Cerita Cinta | Ketika Barongsai Menari | by V. Lestari | Ketika Barongsai Menari | Cersil Sakti | Ketika Barongsai Menari pdf
Seindah Mata Kristalnya - Mayoko Aiko Pelangi di Sengigi - Mayoko Aiko Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat - Hong San Khek The Heroes of Olympus 3: The Mark of Athena (Tanda Athena) The Heroes of Olympus 2: The Son of Neptune (Putra Neptunus) bag I
penampilannya saat itu. Pujian Tom tadi pasti ada benarnya. Bukan sekadar basa-basi.
Danny tersadar dari pesona. "Aku pangling," ia mengakui. Kemudian ia menahan diri untuk bicara lebih banyak lagi ketika melihat sorot mata Tom. Lebih baik jangan menyinggung Vivian.
"Pergi dulu, ya," kata Susan.
Tom menepuk pundak Danny.
"Selamat bersenang-senang, ya!" seru Danny. "Nanti kutunggu kabar darimu, Sus!"
Susan mengangkat tangannya. "Ya. Terima kasih!"
Danny memandangi keduanya sampai tak terlihat lagi. Lalu seorang gadis cantik berambut merah melewatinya dan tersenyum kepadanya. Danny tak segera melihatnya karena konsentrasinya tertuju kepada Tom dan Susan.
"Hai!" sapa si gadis. Tanpa menunggu reaksi Danny ia berjalan terus menuju lift. Tampak baju putih seragam perawat.
Danny tersentak. "Oh, hai!" Kemudian ia berlari mengejar si gadis.
Tom menyewa limusin untuk mengajak Susan berjalan-jalan. Mulanya Susan protes karena biayanya akan mahal. Tetapi Tom mengatakan peristiwa itu tidak terjadi setiap bulan. Susan adalah tamu istimewanya.
185
"Aku punya usul, Tom. Nanti sebagian perjalanan kita naik subway, ya? Bukan mau irit lho. Tetapi aku ingin merasakan kereta bawah tanah di sini."
Tom setuju meskipun pada mulanya keberatan. Yang dikhawatirkannya adalah segi keamanan. Ketika dulu naik subway bersama Vivian, mereka pernah ditodong bandit, tanpa mendapat pertolongan dari penumpang lain. Rupanya penghuni kota besar hampir sama saja di mana-mana. Mereka lebih mementingkan diri sendiri dan masa bodoh dengan orang lain.
Sopir limusin orang Kuba. Ia mengenalkan dirinya sendiri dengan bahasa Inggris yang hampir sulit dipahami. Tetapi ia mengaku sudah mengenali segala pelosok kota dengan baik. Untuk memperkuat pengakuannya itu ia memperlihatkan peta kota New York. "Jadi tak mungkin kesasar!" begitu kesimpulannya.
Mereka tidak merasa perlu menutup kaca pembatas dengan sopir. Tak ada yang perlu disembunyikan. Mereka bicara dalam bahasa Indonesia dan juga tidak melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya dilihat orang lain. Lagi pula lebih gampang bagi Tom untuk memberi instruksi ini itu kepada si sopir.
Beberapa kali sopir melirik lewat kaca spion. Rupanya ia tak tahan untuk ikut nimbrung.
"Bahasa apa itu, Sir?" tanyanya sopan.
"Indonesia," sahut Tom.
"Oh, Indonesia. Yang dulu banyak ribut itu?" Sopir geleng-geleng kepala seolah tak habis pikir.
Tom berpandangan dengan Susan. Kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia sepanjang tahun 1998, terutama tragedi bulan Mei di Jakarta, disiarkan oleh CNN ke seluruh dunia. Tak meng-
186
herankan kalau si sopir mengetahuinya. Tetapi kesannya tak mengenakkan. Mereka tak ingin ditanyai lebih banyak atau memperbincangkan hal itu. Maka Tom menutup kaca pembatas.
Mobil meluncur melintasi Washington Bri dge menuju Manhattan. Susan memasang matanya ke sana kemari. Tetapi perjalanan tak begitu mulus karena jembatan dipadati kendaraan. Saat itu mereka gunaka n untuk mengobrol.
"Jadi teman akrabmu yang tinggal satu atap denganmu tinggal dua orang itu saja ya, Tom."
"Ya. Yang lain sudah berkeluarga lalu pindah ke tempat lain di mana tak ada kebisingan rumah sakit. Ada baiknya juga untuk mereka karena bisa menikmati situasi yang berbeda."
"Tinggal Ron, Danny, dan kau yang masih bujangan. Aku tak mau bertanya tentang kau karena terlalu pribadi, ya. Tapi mereka berdua itu, apakah mereka normal?"
"Ya. Mereka bukan gay. Ron pernah berhubungan serius dengan seorang perempuan sesama kulit hitam, tapi kemudian putus. Perempuan itu kawin dengan lelaki lain. Sejak itu ia tidak memperlihatkan perhatian lagi pada perempuan lain. Mungkin belum ketemu jodohnya. Sedang Danny? Dia tidak pernah serius. Mungkin senangnya begitu."
"Dia sok tampan sih, Tom." Susan tergelak.
"Ah, betulkah begitu? Kau menganggapnya tampan juga?"
"Tentu. Kenyataannya kan begitu. Tapi setampan-tampannya kalau terlalu pede, dia jadi memuakkan." Tom tampak lega mendengar perkataan Susan.
187
"Dengan demikian kau punya pertahanan diri yang kuat menghadapinya, Sus. Siapa tahu dia naksir dan merayumu."
"Kaukira itu tujuannya dengan menawariku ik
http://cerita-silat.mywapblog.com
ut dengannya besok?" "Siapa tahu."
"Tapi kau tidak berkeberatan."
"Aku tidak berhak, Sus. Kau sudah dewasa, kan?"
"Sebagai kakak, kau harusnya merasa bertanggung jawab juga dong."
"Oh ya. Tentu. Cuma aku tak berani melarang-larang. Kata ibumu, kau tak bisa dihadapi dengan larangan."
"Mama bilang begitu?" Susan tertawa. Tapi kemudian ia menggigit bibirnya. Tiba-tiba ia merasa rindu kepada ibunya. Rindu akan ciuman dan dekapannya. Ia diam, bergulat dengan emosinya.
Tom melirik, merasakan perubahan suasana. Ia bisa menduga apa yang tengah dirasakan Susan. Mata Susan berkejap-kejap dan tiba-tiba diam dan memandang ke luar jendela. Sebaiknya ia tidak menginterupsi dengan simpati, walaupun ia sangat ingin memeluk dan menghiburnya. Biarkan Susan mengatasinya sendiri. Solusi dari kemelut yang dirasakan Susan harus datang dari dirinya sendiri.
"Nanti bilang sama Mama dan Papa, aku juga rindu sama mereka, Tom!" kata Susan akhirnya.
"Oh ya. Tentu saja."
"Dan jangan lupa pesan-pesanku itu."
"Kan sudah kucatat semuanya. Aku sendiri juga sangat ingin tahu tentang hal-hal yang kauceritakan itu. Nah, kita sudah sampai di pusat Manhattan."
188
Susan menyisihkan rasa sendunya dan mulai mengagumi dunia baru yang dilihatnya untuk pertama kali. Tampak bangunan-bangunan menjulang bagai hendak mencakar langit. Ada Empire State Building yang pernah dilihatnya dalam film King Kong. Lalu Chrysler Building, Citicorp Building, gedung kembar raksasa World Trade Center. Kemudian mereka berkeliling blok-blok perkantoran Wall Street yang terkenal lewat film berjudul sama yang diperankan oleh Michael Douglas. Jalanan macet di beberapa tempat. Orang-orang perkantoran berhamburan ke luar bagai semut keluar dari sarang.
Mereka juga pergi ke Broadway, tapi tak menonton apa-apa di sana. Cuma lewat saja. Lalu mampir sebentar di toko kue untuk membeli pastry dan minuman. Mereka menyantapnya di dalam mobil dan membagi sopir beberapa potong pastry berikut kapucino dalam karton. Sopir menerimanya dengan senang hati. Bila berkendaraan santai, apalagi diselingi kemacetan, ia bisa menyantapnya sambil menyetir. Lumayan untuk mengisi perut.
Mereka menyusuri pertokoan dan butik di Madi-son.
"Mau lihat-lihat, Sus? Barangkali ada yang menarik minatmu. Aku bawa kartu kredit kok," Tom menawarkan.
Susan tertawa. Kehidupan sederhana dan berhemat-hemat sudah mendarah daging padanya. "Nggak, ah. Terima kasih, Tom. Nanti sajalah kalau uangku sudah berkarung-karung."
"Jangan begitu, Sus. Hidup ini perlu juga dinikmati. Berhenti, ya?"
189
Tom membuka kaca pembatas menyuruh sopir untuk parkir. Tapi Susan segera menggoyangkan tangan dan meminta sopir jalan terus. Sopir tampak bingung.
"Oke. Terus sajalah," kata Tom.
Mobil meluncur lagi. Tom kembali menutup kaca pembatas.
"Percayalah, Tom. Aku sudah menikmati hidupku yang sekarang."
Lalu tiba saatnya menghentikan perjalanan dengan limusin. Mereka ke Soho naik subway. Di tempat ini Susan benar-benar menikmati situasi. Soho dipenuhi orang-orang yang menyebut diri mereka seniman. Di sana mereka seolah membentuk komunitas tersendiri. Bukan cuma orang-orangnya yang menarik perhatian Susan, tapi juga barang-barangnya. Ada pasar seni, pasar sayur, dan berbagai kebutuhan lainnya. Kadang-kadang muncul dorongan ingin memiliki ini itu, tetapi ia sadar itu bukan saatnya untuk berbelanja.
"Masih ada banyak kesempatan lain, Sus. Kita memang tak mungkin puas menjelajahi tempat ini dalam waktu beberapa jam. Apalagi seisi kota. Nanti kan ke sini lagi, ya, Sus?" kata Tom setengah membujuk.
"Ya. Kukira begitu. Tapi umur kita rasanya nggak cukup kalau ingin puas menjelajahi seluruh dunia, ya?"
Susan tertawa, disambut Tom. Mereka bergandengan. Suasana menimbulkan keakraban. Ke mana mata mereka memandang, tampak banyak pasangan muda yang berjalan dengan berpelukan mesra. Hal itu menambah dorongan. Terasa bahwa mereka pun salah satu dari orang-orang yang ada di situ.
190
Mereka ke kafe, minum espresso sambil memandangi orang-orang dan burung-burung dara yang sibuk mematuk-matuk lantai dan terbang ke sana kemari.
"Terima kasih ya, Tom," kata Susan. "Untuk
http://cerita-silat.mywapblog.com
Seindah Mata Kristalnya - Mayoko Aiko Pelangi di Sengigi - Mayoko Aiko Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Silat - Hong San Khek The Heroes of Olympus 3: The Mark of Athena (Tanda Athena) The Heroes of Olympus 2: The Son of Neptune (Putra Neptunus) bag I
penampilannya saat itu. Pujian Tom tadi pasti ada benarnya. Bukan sekadar basa-basi.
Danny tersadar dari pesona. "Aku pangling," ia mengakui. Kemudian ia menahan diri untuk bicara lebih banyak lagi ketika melihat sorot mata Tom. Lebih baik jangan menyinggung Vivian.
"Pergi dulu, ya," kata Susan.
Tom menepuk pundak Danny.
"Selamat bersenang-senang, ya!" seru Danny. "Nanti kutunggu kabar darimu, Sus!"
Susan mengangkat tangannya. "Ya. Terima kasih!"
Danny memandangi keduanya sampai tak terlihat lagi. Lalu seorang gadis cantik berambut merah melewatinya dan tersenyum kepadanya. Danny tak segera melihatnya karena konsentrasinya tertuju kepada Tom dan Susan.
"Hai!" sapa si gadis. Tanpa menunggu reaksi Danny ia berjalan terus menuju lift. Tampak baju putih seragam perawat.
Danny tersentak. "Oh, hai!" Kemudian ia berlari mengejar si gadis.
Tom menyewa limusin untuk mengajak Susan berjalan-jalan. Mulanya Susan protes karena biayanya akan mahal. Tetapi Tom mengatakan peristiwa itu tidak terjadi setiap bulan. Susan adalah tamu istimewanya.
185
"Aku punya usul, Tom. Nanti sebagian perjalanan kita naik subway, ya? Bukan mau irit lho. Tetapi aku ingin merasakan kereta bawah tanah di sini."
Tom setuju meskipun pada mulanya keberatan. Yang dikhawatirkannya adalah segi keamanan. Ketika dulu naik subway bersama Vivian, mereka pernah ditodong bandit, tanpa mendapat pertolongan dari penumpang lain. Rupanya penghuni kota besar hampir sama saja di mana-mana. Mereka lebih mementingkan diri sendiri dan masa bodoh dengan orang lain.
Sopir limusin orang Kuba. Ia mengenalkan dirinya sendiri dengan bahasa Inggris yang hampir sulit dipahami. Tetapi ia mengaku sudah mengenali segala pelosok kota dengan baik. Untuk memperkuat pengakuannya itu ia memperlihatkan peta kota New York. "Jadi tak mungkin kesasar!" begitu kesimpulannya.
Mereka tidak merasa perlu menutup kaca pembatas dengan sopir. Tak ada yang perlu disembunyikan. Mereka bicara dalam bahasa Indonesia dan juga tidak melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya dilihat orang lain. Lagi pula lebih gampang bagi Tom untuk memberi instruksi ini itu kepada si sopir.
Beberapa kali sopir melirik lewat kaca spion. Rupanya ia tak tahan untuk ikut nimbrung.
"Bahasa apa itu, Sir?" tanyanya sopan.
"Indonesia," sahut Tom.
"Oh, Indonesia. Yang dulu banyak ribut itu?" Sopir geleng-geleng kepala seolah tak habis pikir.
Tom berpandangan dengan Susan. Kerusuhan yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia sepanjang tahun 1998, terutama tragedi bulan Mei di Jakarta, disiarkan oleh CNN ke seluruh dunia. Tak meng-
186
herankan kalau si sopir mengetahuinya. Tetapi kesannya tak mengenakkan. Mereka tak ingin ditanyai lebih banyak atau memperbincangkan hal itu. Maka Tom menutup kaca pembatas.
Mobil meluncur melintasi Washington Bri dge menuju Manhattan. Susan memasang matanya ke sana kemari. Tetapi perjalanan tak begitu mulus karena jembatan dipadati kendaraan. Saat itu mereka gunaka n untuk mengobrol.
"Jadi teman akrabmu yang tinggal satu atap denganmu tinggal dua orang itu saja ya, Tom."
"Ya. Yang lain sudah berkeluarga lalu pindah ke tempat lain di mana tak ada kebisingan rumah sakit. Ada baiknya juga untuk mereka karena bisa menikmati situasi yang berbeda."
"Tinggal Ron, Danny, dan kau yang masih bujangan. Aku tak mau bertanya tentang kau karena terlalu pribadi, ya. Tapi mereka berdua itu, apakah mereka normal?"
"Ya. Mereka bukan gay. Ron pernah berhubungan serius dengan seorang perempuan sesama kulit hitam, tapi kemudian putus. Perempuan itu kawin dengan lelaki lain. Sejak itu ia tidak memperlihatkan perhatian lagi pada perempuan lain. Mungkin belum ketemu jodohnya. Sedang Danny? Dia tidak pernah serius. Mungkin senangnya begitu."
"Dia sok tampan sih, Tom." Susan tergelak.
"Ah, betulkah begitu? Kau menganggapnya tampan juga?"
"Tentu. Kenyataannya kan begitu. Tapi setampan-tampannya kalau terlalu pede, dia jadi memuakkan." Tom tampak lega mendengar perkataan Susan.
187
"Dengan demikian kau punya pertahanan diri yang kuat menghadapinya, Sus. Siapa tahu dia naksir dan merayumu."
"Kaukira itu tujuannya dengan menawariku ik
http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari
ut dengannya besok?" "Siapa tahu."
"Tapi kau tidak berkeberatan."
"Aku tidak berhak, Sus. Kau sudah dewasa, kan?"
"Sebagai kakak, kau harusnya merasa bertanggung jawab juga dong."
"Oh ya. Tentu. Cuma aku tak berani melarang-larang. Kata ibumu, kau tak bisa dihadapi dengan larangan."
"Mama bilang begitu?" Susan tertawa. Tapi kemudian ia menggigit bibirnya. Tiba-tiba ia merasa rindu kepada ibunya. Rindu akan ciuman dan dekapannya. Ia diam, bergulat dengan emosinya.
Tom melirik, merasakan perubahan suasana. Ia bisa menduga apa yang tengah dirasakan Susan. Mata Susan berkejap-kejap dan tiba-tiba diam dan memandang ke luar jendela. Sebaiknya ia tidak menginterupsi dengan simpati, walaupun ia sangat ingin memeluk dan menghiburnya. Biarkan Susan mengatasinya sendiri. Solusi dari kemelut yang dirasakan Susan harus datang dari dirinya sendiri.
"Nanti bilang sama Mama dan Papa, aku juga rindu sama mereka, Tom!" kata Susan akhirnya.
"Oh ya. Tentu saja."
"Dan jangan lupa pesan-pesanku itu."
"Kan sudah kucatat semuanya. Aku sendiri juga sangat ingin tahu tentang hal-hal yang kauceritakan itu. Nah, kita sudah sampai di pusat Manhattan."
188
Susan menyisihkan rasa sendunya dan mulai mengagumi dunia baru yang dilihatnya untuk pertama kali. Tampak bangunan-bangunan menjulang bagai hendak mencakar langit. Ada Empire State Building yang pernah dilihatnya dalam film King Kong. Lalu Chrysler Building, Citicorp Building, gedung kembar raksasa World Trade Center. Kemudian mereka berkeliling blok-blok perkantoran Wall Street yang terkenal lewat film berjudul sama yang diperankan oleh Michael Douglas. Jalanan macet di beberapa tempat. Orang-orang perkantoran berhamburan ke luar bagai semut keluar dari sarang.
Mereka juga pergi ke Broadway, tapi tak menonton apa-apa di sana. Cuma lewat saja. Lalu mampir sebentar di toko kue untuk membeli pastry dan minuman. Mereka menyantapnya di dalam mobil dan membagi sopir beberapa potong pastry berikut kapucino dalam karton. Sopir menerimanya dengan senang hati. Bila berkendaraan santai, apalagi diselingi kemacetan, ia bisa menyantapnya sambil menyetir. Lumayan untuk mengisi perut.
Mereka menyusuri pertokoan dan butik di Madi-son.
"Mau lihat-lihat, Sus? Barangkali ada yang menarik minatmu. Aku bawa kartu kredit kok," Tom menawarkan.
Susan tertawa. Kehidupan sederhana dan berhemat-hemat sudah mendarah daging padanya. "Nggak, ah. Terima kasih, Tom. Nanti sajalah kalau uangku sudah berkarung-karung."
"Jangan begitu, Sus. Hidup ini perlu juga dinikmati. Berhenti, ya?"
189
Tom membuka kaca pembatas menyuruh sopir untuk parkir. Tapi Susan segera menggoyangkan tangan dan meminta sopir jalan terus. Sopir tampak bingung.
"Oke. Terus sajalah," kata Tom.
Mobil meluncur lagi. Tom kembali menutup kaca pembatas.
"Percayalah, Tom. Aku sudah menikmati hidupku yang sekarang."
Lalu tiba saatnya menghentikan perjalanan dengan limusin. Mereka ke Soho naik subway. Di tempat ini Susan benar-benar menikmati situasi. Soho dipenuhi orang-orang yang menyebut diri mereka seniman. Di sana mereka seolah membentuk komunitas tersendiri. Bukan cuma orang-orangnya yang menarik perhatian Susan, tapi juga barang-barangnya. Ada pasar seni, pasar sayur, dan berbagai kebutuhan lainnya. Kadang-kadang muncul dorongan ingin memiliki ini itu, tetapi ia sadar itu bukan saatnya untuk berbelanja.
"Masih ada banyak kesempatan lain, Sus. Kita memang tak mungkin puas menjelajahi tempat ini dalam waktu beberapa jam. Apalagi seisi kota. Nanti kan ke sini lagi, ya, Sus?" kata Tom setengah membujuk.
"Ya. Kukira begitu. Tapi umur kita rasanya nggak cukup kalau ingin puas menjelajahi seluruh dunia, ya?"
Susan tertawa, disambut Tom. Mereka bergandengan. Suasana menimbulkan keakraban. Ke mana mata mereka memandang, tampak banyak pasangan muda yang berjalan dengan berpelukan mesra. Hal itu menambah dorongan. Terasa bahwa mereka pun salah satu dari orang-orang yang ada di situ.
190
Mereka ke kafe, minum espresso sambil memandangi orang-orang dan burung-burung dara yang sibuk mematuk-matuk lantai dan terbang ke sana kemari.
"Terima kasih ya, Tom," kata Susan. "Untuk
http://cerita-silat.mywapblog.com
Ketika Barongsai Menari - V. Lestari