
Surat Kecil Untuk Tuhan Perserikatan Naga Api - Stevanus S.P Going to Heaven - Mohammad Ikhsan Kurnia The Heroes of Olympus 1 The Lost Hero (Pahlawan yang Hilang) Bunga di Kaki Gunung Kawi - Bag I
ah penjaga itu teringat bahwa baru saja dilihatnya seekor kuda yang berlari kencang dan membelok di ujung jalan sebelum melampaui penjagaannya.
"Kalau Ken Arok masih membawa kudanya, maka pasti kuda yang membelok itu tadi," gumam penjaga itu kepada diri sendiri.
Dan sebenarnyalah Ken Arok mengurungkan niatnya kembali ke pondoknya. Ia merasa tidak tenang di dalam barak itu. Menurut perhitungannya. Kuda Sempana pasti akan menyusulnya dan mengganggunya lagi, sehingga ia tidak akan sempat untuk beristirahat. Karena itu Ken Arok memacu kudanya ke rumah Witantra. Ia mengharap dapat beristirahat di rumah itu. Dan seandainya Kuda Sempana mencarinya ke sana, biarlah Witantra yang memberinya jawaban
Ketika ia memasuki halaman rumah Witantra, ternyata Witantra pun baru saja sampai. Sebab ia terpaksa menuntun kudanya dan berjalan bersama istri dan pemomong Ken -Dedes.
Kehadiran Ken Arok itu benar-benar mengejutkannya, tetapi ketika Ken Arok telah me
nceritakan apa yang terjadi, maka Witantra itu pun tersenyum. Katanya, "Nah, kalau Adi mau tidur, tidurlah, meskipun hanya di atas sehelai tikar."
"Biarlah. Aku ingin beristirahat tampak diganggu oleh siapa pun. Karena itu aku berlari kemari."
Ken Arok itu pun segera dipersilakan tidur di ruang tengah, namun Ken Arok itu berkata, "Biarlah aku tidur di luar Kakang, udara terlalu panas."
"Di luar terlalu dingin," sahut Witantra.
"Tidak. Di luar udara segar dan sejuk."
Sambil menjinjing sehelai tikar Ken Arok pergi ke samping rumah. Seperti pada masa-masanya yang telah lampau segera ia memanjat ke atas kedogan kuda dan tidur dengan nyenyaknya beralaskan tikar dan jerami.
Tetapi di dalam rumah itu, Witantra tidak segera dapat memejamkan matanya. Ia sedang membuat gambaran-gambaran tentang usahanya untuk menolong Ken Dedes dari ketakutan dan derita sepanjang umurnya.
"Besok aku harus menemui Kuda Sempana," desisnya. Dan dipaksanya dirinya melupakan sejenak apa saja yang akan terjadi. Ketika malam sudah hampir menjelang pagi, barulah Witantra dapat tertidur sesaat.
Namun seisi rumah itu pun segera terkejut ketika terdengar derap kaki-kaki kuda memasuki halaman rumah itu. Sebelum mereka menjadi sadar benar, maka terdengarlah ketokan yang keras pada pintu depan.
Witantra meloncat dari pembaringannya. Namun ia tidak segera beralih membuka pintu rumahnya. Sesaat ia memperhatikannya dengan sungguh-sungguh. Ketika ketokan itu masih saja berulang berkali-kali maka terdengar Witantra bertanya, "Siapa?"
"Aku," terdengar jawaban di luar pintu, "Kuda Sempana."
"Oh," Witantra menarik nafas panjang, dan gumamnya di dalam hati, "Ternyata anak ini tidak bersabar sampai matahari memancar kembali."
Perlahan-lahan Witantra pergi ke pintu rumahnya. Istrinya yang terbangun pula, berdiri dengan tegang di muka sentongnya. Ketika Witantra lewat di sampingnya, maka terdengar istrinya berbisik, "Hati-hatilah Kakang."
"Anak itu tidak akan apa-apa. Ia belum tahu segenap persoalan yang harus dilakukannya. Kedatangannya pasti hanya di dorong oleh kegelisahan yang tak dapat ditundanya.
Istrinya tidak menjawab. Namun wajahnya masih saja tegang seperti hatinya yang tegang pula.
Di muka pintu Witantra masih bertanya, "Adi Kuda Sempana, kenapa Adi datang di pagi-pagi buta ini?"
"Ada sesuatu yang ingin aku tanyakan Kakang," jawab Kuda Sempana.
Sesaat kemudian terdengar pintu bergerit terbuka. Di muka pintu berdiri Kuda Sempana dengan nafas terengah-engah. Dipandanginya wajah Witantra dengan penuh kecurigaan.
"Marilah," Witantra mempersilakan.
Kuda Sempana menggelengkan kepalanya. Jawabnya, "Tidak Kakang. Aku hanya ingin tahu, apakah yang Kakang perbincangkan dengan Akuwu bersama Adi Ken Arok?"
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Kenapa Adi tidak menunggu sampai besok siang?"
"Aku tidak tahan. Hatiku seakan-akan selalu diganggu oleh pertemuan kalian.
"Kenapa?" bertanya Witantra.
Kuda Sempana tidak segera menjawab. Hatinya menjadi berdebar-debar dan kata-katanya seakan-akan tersangkut di kerongkongan.
Di samping rumah itu, di atas kandang kuda, Ken Arok mendengar pula kehadiran Kuda Sempana. Namun dengan malasnya ia menggeliat dan berusaha untuk tidur kembali.
Tetapi percakapan antara Witantra dan Kuda Sempana ternyata menarik perhatiannya, sehingga justru ia mencoba menangkap setiap kata yang meluncur dari sela-sela Bibir mereka.
Sejenak kemudian terdengar Kuda Sempana menjawab, "Kakang, pertemuan yang terjadi di istana malam tadi adalah tidak wajar."
"Apa yang tidak wajar?"
"Akuwu tidak biasa memanggil seseorang di malam hari apabila tidak terlalu penting."
"Ya. Memang Akuwu memanggil pada sore hari. Namun aku masih harus mandi dan makan dahulu, sehingga aku datang terlambat."
"Kalau Kakang yang terlambat, tidak mungkin Akuwu akan menerima Kakang. Bahkan mungkin Kakang telah diusirnya."
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Sesaat ia menjadi ragu-ragu Apakah ia akan mengatakan apa yang didengarnya dari Akuwu saat itu juga. Tetapi tebersit di dalam hatinya, apabila mungkiri biarlah ditemuinya saja Kuda Sempana pada kesempatan yang lebih baik. Tidak di pagi-pagi buta dan apabila ia tidak sedang dibakar oleh kebingungan.
Karena itu, maka sekali lagi Witantra itu berkata, "Adi Kuda Sempana. Duduklah. Dan marilah kita berbicara dengan tenang. Apabila Adi tidak juga mau duduk, maka setiap pembicaraan pasti akan tergesa-gesa."
"Tidak Kakang. Aku hanya perlu sepatah dua patah kata dari Kakang. Apakah yang dibicarakan akuwu malam tadi?"
Witantra mengerutkan keningnya. Sambil menebarkan pandangan matanya ke seluruh halaman ia berkata, "Apakah Adi Kuda Sempana belum mendengarnya dari Adi Ken Arok."
Kuda Sempana menggeleng. "Belum," jawabnya.
"Kenapa Adi tidak bertanya saja kepadanya?"
Anak muda yang bernama Kuda Sempana itu mengernyitkan alisnya. Dengan jengkel ia menjawab, "Aku sudah bertanya kepadanya, tetapi ia minta kepadaku untuk menanyakan saja kepada Kakang Witantra."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun ia masih mencoba menunggu sampai siang. Katanya, "Baiklah, nanti aku akan datang ke barakmu. Aku akan minta Adi Ken Arok menceritakan apa yang telah didengarnya dari akuwu.
"Kenapa nanti? Dan kenapa Ken Arok?" sahut Kuda Sempana semakin jengkel, "Ken Arok minta kepadaku untuk menghubungi Kakang. Kakang sekarang berkata, akan membawa Ken Arok. Apakah aku ini kalian sangka seperti sebuah balok permainan yang dapat dilemparkan ke sana kemari."
"Bukan itu maksudku Adi. Tetapi kali ini adalah bukan waktu yang tepat untuk berbincang. Biarlah istri dan ibuku tidur sampai fajar. Kedatangan Adi benar-benar mengejutkan mereka."
"Kalian selalu mementingkan kepentingan diri. Ken Arok juga berkata demikian. Ia ingin segera tidur. Kakang juga hanya berpikir tentang keluarga Kakang. Tetapi Kakang tidak mau mengerti perasaanku. Semalam aku tidak dapat tidur. Semalam aku selalu diburu oleh kegelisahan."
"Bukankah itu juga suatu perbuatan yang hanya mementingkan kepentinganmu sendiri? Kalau kita berbuat dengan memperhatikan kepentingan orang lain, maka kau tidak akan datang kemari di pagi buta ini. Kau pasti akan menunggu sampai hari besok."
Kuda Sempana terdiam. Namun kemudian ia menjawab, "Nah. Sekarang aku minta Kakang mengatakan. Dua tiga patah kata saja. Bagaimana sikap Akuwu terhadap gadis itu?"
"Gadis itu menjadi sakit karenanya."
"Aku bertanya tentang sikap Akuwu terhadap gadis itu.
"Oh. Akuwu mencoba mengobatinya. Telah dipanggil olehnya seorang dukun yang baik."
"Bukan itu" Kuda Sempana tiba-tiba membentak, "Sikap perasaan Akuwu sebagai laki-laki terhadap perempuan."
Witantra menarik alisnya tinggi-tinggi. Kemudian katanya, "Kuda Sempana tinggalkan tempat ini. Kau tahu siapa aku? Perwira prajurit pengawal istana dan akuwu. Kau dengar perintah ini, hai pelayan dalam?"
Telinga Kuda Sempana seakan-akan seperti tersentuh api mendengar kata-kata itu.
Sesaat ia terpaku, namun giginya gemeretak menekan kemarahan yang melonjak-lonjak di hatinya. Hampir-hampir ia kehilangan pengamatan diri. Sebagai seorang laki-laki yang telah berani melakukan perbuatan yang berbahaya, melarikan seorang gadis, maka apapun yang akan menghalanginya, pasti akan diterjangnya. Tetapi kali ini ia berhadapan dengan seorang perwira pengawal istana dan akuwu. Karena itu ia menjadi ragu-ragu. Bukan karena ia takut untuk berkelahi melawannya, tetapi apakah dengan demikian ia tidak melanggar ketentuan sebagai seorang hamba istana.
Sejenak Kuda Sempana berdiri tegang. Dipandanginya mata Witantra yang seakan-akan menyala membakar jantungnya Namun kemudian pandangan matanya itu terlempar jauh ke sudut halaman.
Yang terdengar kemudian adalah suara Witantra, "Tinggalkan tempat ini"
Dada Kuda Sempana berdebar-debar keras sekali. Selangkah ia surut namun kemudian jawabnya, "Kakang Witantra, ternyata Kakang tidak mau menolong meringankan perasaanku. Baik. Selagi aku terikat pada ketentuan dan peraturan, aku menaati perintahmu. Tetapi pada suatu ketika kita akan berdiri di luar garis jabatan kita masing-masing. Dalam kesempatan itu kita akan bertemu sebagai dua orang laki-laki. Kali ini kau masih dapat mempergunakan kekuasaanmu untuk mengusir aku. Namun pada saatnya kau akan terbungkam."
"Kuda Sempana" geram Witantra, "Saat itu tidak akan lama lagi datang. Di mana kita akan berhadapan sebagai dua orang laki-laki tanpa tanda- tanda jabatan masing-masing."
Kuda Sempana membelalakkan matanya. Timbullah kecurigaan yang semakin besar di dalam dirinya. Sehingga karena itu ia berkata, "Aku tidak sabar lagi menunggu saat itu datang."
"Pergilah" hardik Witantra, "Kau tidak akan menunggu sampai matahari terbenam di hari yang akan datang nanti."
Sekali lagi Kuda Sempana menggeretakkan giginya. Dipandangnya wajah Witantra sekali lagi. Kemudian cepat-cepat ia memutar tubuhnya. dan berjalan tergesa-gesa ke kudanya. Sesaat kemudian terdengarlah langkah kudanya menderu di keremangan fajar yang sudah mulai membayang di timur.
Witantra menarik nafas dalam-dalam. Ditengadahkan wajahnya, dan dilihatnya bintang pagi berkilauan di tenggara. Cahaya yang kemerah-merahan sudah mulai membayangi langit. Dan di kejauhan ayam jantan riuh berkokok bersahutan.
Ketika Witantra akan melangkah memasuki rumahnya, dilihatnya Ken Arok berjalan dari samping rumahnya. Sekali ia menggeliat kemudian katanya, "Kakang Kuda Sempana benar-benar diombang-ambingkan oleh perasaannya sendiri.
"Itu adalah hukumannya yang pertama," sahut Witantra.
"Ya. Hukuman itu masih akan bertambah-t ambah."
Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya, katanya pula, "Perbuatan-perbuatan yang demikian tidak akan mendatangkan ketenteraman di dalam hati. Nah, marilah, Masuklah. Apakah kau dapat tidur pagi ini?"
"Sebentar. Derap kaki kuda Kakang Kuda Sempana telah membangunkan aku."
Kembali Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya. Dan kembali Witantra itu berkata, "Marilah. Masuklah."
"Terima kasih. Biarlah aku mandi dahulu."
Setelah mereka membersihkan diri masing-masing, barulah mereka duduk di ruang depan rumah Witantra itu sambil menghangatkan diri dengan air daun sere. Meskipun demikian, angan-angan mereka sama sekali tidak melekat pada keadaan mereka saat itu. Mereka sedang sibuk membayangkan, apa yang akan terjadi seterusnya.
"Apakah kita akan menghadap Akuwu?" bertanya Ken Arok.
"Tidak, Akuwu telah mengeluarkan perintah. Aku akan langsung datang kepada Kuda Sempana. Hari ini persoalan harus selesai. Sehingga b esok, gadis itu sudah tidak lagi terlibat dalam arus keta kutan dan kecemasan."
Ken Arok mengangguk-anggukkan kepalanya. Katanya, "Kalau demikian apakah kita langsung pergi ke barak Kakang Kuda Sempana."
"Ya," jawab Witantra, "marilah kita pergi ke sana."
Keduanya segera berdiri. Ketika Ken Arok berjalan ke luar, Witantra masuk ke dalam mencari istrinya.
"Aku akan pergi Nyai," pamitnya.
Nyai Witantra sudah tahu, apa yang akan dilakukan oleh suaminya. Karena itu mau tidak mau, maka hatinya pun menjadi cemas.
"Hati-hatilah Kakang," suaranya lirih, hampir tidak dapat meloncat dari Bibirnya yang tipis.
"Aku akan mencoba menjaga diriku baik-baik," sahut Witantra.
Ibunya, yang kemudian datang pula, menepuk pundak anaknya sambil berkata, "Kau adalah seorang prajurit."
"Ya. Dan kali ini aku tidak sedang menghadapi musuh-musuh Tumapel, tetapi aku sedang berjuang untuk mencoba menyelamatkan sesama."
"Itu juga pekerjaan seorang kesatria," bisik ibunya.
Namun mereka terkejut ketika mereka mendengar suara yang bernada tinggi, "Kakang Witantra selalu mencari kesulitan."
Witantra berpaling. Dilihatnya Ken Umang bersandar