Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Bunga di Kaki Gunung Kawi - 94

$
0
0
Bunga di Kaki Gunung Kawi - Pelangi di Langit Singosari - SH. Mintarja.jpegCerita Silat | Bunga di Kaki Gunung Kawi | Serial Pelangi di Langit Singosari | Bunga di Kaki Gunung Kawi | SH. Mintarja | Bunga di Kaki Gunung Kawi pdf

Still (Sekuel Cewek) - Esti Kinasih Cinderellas Scandal - Phoebe Pendekar Mabuk 70 Hilangnya Kitab Pusaka Once - Phoebe Unforgiven Hero - Santhy Agatha

lu mencari kesulitan."
  Witantra berpaling. Dilihatnya Ken Umang bersandar tiang pintu sentongnya. Dengan mengangkat dadanya ia berkata, "Kalau Kakang tidak mencampuri persoalan itu, maka Kakang tidak akan dihadapkan pada persoalan-persoalan yang rumit. Kalau Kakang pergi berperang pedang di tangan, menghadapi musuh-musuh Tumapel, maka akan berbanggalah seluruh rakyat Tumapel. Tetapi kali ini? Kakang berkelahi untuk seorang perempuan yang tak tahu diri. Perempuan pedesaan apa yang dicita-citakan? Menjadi istri Akuwu barangkali? Istri Tunggul Ametung?"
  "Umang" potong Nyai Witantra, "Jangan berkata lagi tentang persoalan yang tidak kau ketahui."
  "Aku tahu seluruh persoalannya."
  "Tidak" potong Witantra, "Persoalan ini tidak terlalu sederhana. Bukan sekedar persoalan merebut perempuan. Tetapi persoalan ini adalah persoalan kemanusiaan. Persoalan yang lebih berharga dari segenap persoalan."
  Ken Umang mencibirkan Bibirnya sambil mengangkat wajahnya. Hidungnya yang kecil, runcing seakan-akan membayangkan hatinya yang runcing pula.
  Kemudian sambil tersenyum Ken Umang itu berkata, "Kakang Witantra ingin menjadi pahlawan kemanusiaan."
  Wajah Witantra menjadi semburat merah. Tetapi ia tidak mau melayani anak-anak sebaya Ken Umang. Seorang anak yang sedang dilanda oleh arus pancaroba. Seorang anak gadis yang belum menemukan alas berpijak. Karena itu maka bisiknya kepada istrinya, "Awasi Adikmu. Ia sedang berada di daerah yang paling berbahaya di sepanjang perjalanan hidupnya. Ia memandang dunia dari dirinya dan berpusar pada dirinya pula. Dalam usia yang demikian, maka berkecamuklah di dalam dadanya, iri, cemburu, cita-cita dan nafsu. Kalau sekali ia salah berpijak maka ia akan tersesat untuk seterusnya."
  "Alangkah sulitnya menguasai anak itu," desak kakak perempuannya.
  "Mudah-mudahan kau berhasil," sahut Witantra, yang kemudian sekali lagi ia minta diri.
  Istrinya, ibunya dan Ken Umang mengantar Witantra dan Ken Arok sampai ke muka regol. Wajah Nyai Witantra masih saja disaput oleh kecemasan hatinya. Ia tahu benar, apa yang akan dilakukan oleh suaminya. Mengemban tugas kemanusiaan, memisahkan gadis yang malang dari Panawijen itu dari Kuda Sempana.
  Agak jauh dari mereka, berdirilah emban pemomong Ken Dedes dengan penuh kebimbangan. Sekali ia melangkah maju, dan langkah itu terhenti ketika Ken Umang berpaling kepadanya.
  "He, Nini tua," bertanya Ken Umang, "Apakah momonganmu itu terlalu amat cantik, sehingga seisi istana menjadi bingung karenanya?"
  Pemomong Ken Dedes mengerutkan keningnya. Namun kata-kata itu dijawabnya, "Tidak Ngger. Momonganku adalah seorang gadis pedesaan yang sederhana."
  "Nah, bukankah kau ikut berbangga karenanya? Lihat, semua orang di dalam Istana Akuwu Tumapel memperbincangkannya. Ken Dedes. Ken Dedes. Kau lihat, Kakang Witantra, perwira pengawal istana dan pengawal akuwu itu pun menjadi sangat sibuknya. Seorang anak muda pelayan dalam yang tidur di sini semalam pun menjadi ribut. Belum lagi pelayan dalam yang bernama Kuda Sempana yang hampir gila dibuatnya."
  Emban tua itu tidak menjawab Bahkan ditundukkannya wajahnya. Banyak kata-kata yang bergolak di dalam dadanya. Namun ditahannya kata-kata itu kuat-kuat, dan disimpannya baik-baik, Tetapi ternyata terloncat jawaban dari Nyai Witantra, kakak perempuan Ken Umang itu sendiri.
  "Umang, Bibi tua tidak tahu apa-apa. Dan apakah salah Ken Dedes, apabila seluruh isi istana menjadi ribut. Bahkan seandainya seluruh laki-laki di Tumapel terbakar pula hatinya melihat kehadirannya di istana serta melihat kecantikannya. Umang, kau juga seorang gadis yang cantik. Namun beruntunglah nasibmu, bahwa kau tidak usah mengalami bencana seperti Ken Dedes. Sebentar lagi kau juga akan meningkat dewasa sepenuhnya. Hati-hatilah."
  Sekali lagi Ken Umang mengangkat dagunya. Kedua matanya yang redup memandang emban tua itu dengan pancaran yang aneh. Namun ia tidak membantah kata-kata kakaknya. Di dalam hatinya tebersitlah kebanggaannya atas kecantikannya. Seperti yang didengarnya dari kakaknya perempuan itu, dari mertua kakaknya dan dari beberapa orang lagi. Sekali-kali ia becermin juga di wajah air yang tenang. Dan memang wajahnya pun tidak kurang cantiknya. Sebentarlah lagi, seandainya bunga, maka bunga itu akan berkembang.
  Tetapi kenapa kecantikannya itu tidak mampu menggetarkan istana seperti Ken Dedes? Ia akan berbangga seandainya laki-laki datang bersimpuh kepadanya. Ia akan dapat berbuat banyak dengan kesempatan seperti yang didapatkan oleh Ken Dedes itu. Tetapi ternyata Ken Dedes menyesali nasibnya itu.
  "Alangkah bodohnya," geram Ken Umang di dalam hatinya, "Kalau aku, maka aku akan dapat memilih di antara mereka. Dengan berbagai sayembara, maka akhirnya aku mendapatkan yang paling baik di antara mereka. Mungkin sayembara tanding. Mungkin sayembara pilih. Mungkin sayembara bebana atau apapun yang menyenangkan. Ah. Dasar gadis pedesaan. Gadis yang dikungkung oleh perasaan yang sempit. Yang menilai cinta sebagai nyawanya sendiri. Bagiku, cinta adalah kehidupan ini. Kehidupan yang memberi aku kepuasan. Yang memberi aku apa yang aku inginkan kini. Itulah cinta yang bijaksana. Cinta yang terasa segarnya sebagai meneguk air kelapa ketika kita sedang kehausan. Bukan cinta yang selalu dirundung malang. Cinta yang dibungai oleh air mata dan penyesalan."
  Tetapi ia tidak berkata apa-apa. Disimpannya penilaiannya atas cinta itu di dalam hatiny a. Tetapi seolah-olah ia berjanji kepada diri sendiri, bah wa ia akan dapat menemukan cinta seperti yang dihar apkannya itu.
  Dengan langkah yang pendek-pendek Ken Umang berjalan kembali masuk ke dalam rumah. Sekali ia berpaling dan dilihatnya ketiga orang perempuan masih berdiri di tempatnya. Nyai Witantra memandanginya sampai ia hilang masuk ke balik pintu.
  "Anak itu anak yang terlalu bengal," desisnya.
  "Sabarlah Nyai," sahut ibu Witantra, "mudah-mudahan semakin banyak umurnya, ia akan menjadi semakin menyadari arti hidupnya. Hidup seorang gadis, yang kelak akan menjadi seorang perempuan dan syukurlah menjadi seorang ibu."
  Nyai Witantra mengangguk-anggukkan kepalanya sambil berkata, "Mudah-mudahan. Tetapi tidak semua gadis mengalami masa yang tajam setajam pergolakan yang terjadi dalam diri Ken Umang. Aku juga pernah merasakan ketidaktentuan dalam hidup dan cita-cita. Namun segera aku dapat menemukan keseimbangan. Namun anak itu tidak.
  "Ajarilah perlahan-lahan," berkata mertuanya.
  Nyai Witantra pun kemudian terdiam. Dipandanginya pintu rumahnya yang masih terbuka. Namun Adiknya sudah tidak tampak lagi. Karena itu maka segera ia mempersilakan ibunya masuk dan mempersilakan emban tua pemomong Ken Dedes itu pula beserta mereka.
  Malam itu, Akuwu Tunggul Ametung hampir tidak dapat tertidur pula. Sekali-kali ia bangkit berjalan hilir mudik di dalam biliknya. Namun ketika terasa udara terlalu panas, maka akuwu itu pun berjala n keluar ruangan dengan sebuah kepet di tangannya. D i serambi, di luar ruangan dalam dilihatnya seorang pela yan duduk terkantuk-kantuk menunggu seandainya ad a perintah daripadanya Sedang di sudut halaman dilihat nya pelita yang suram dalam gardu penjagaan para pr ajurit.
  Tetapi di serambi itu pun terasa panasnya masih menyengat tubuhnya. Keringatnya mengalir membasmi seluruh wajah kulitnya. Tetapi Tunggul Ametung tidak menyadari, bahwa sebenarnya yang paling panas malam itu adalah nyala kegelisahan di dalam dadanya sendiri. Karena itu, ke manapun ia pergi, dan bahkan seandainya ia berendam di dalam air dingin sekalipun, maka tubuhnya pasti masih akan terasa panas.
  Tanpa disengajanya, maka akuwu itu kemudian berjalan ke samping, menembus pintu dan sampailah ia di ruangan pusat istana Tumapel. Di belakang ruangan itulah berjajar tiga buah ruangan yang disebut sentong kiwa, sentong tengah dan sentong tengen. Kakinya seolah-olah bergerak saja dengan sendiri, sehingga akuwu itu terkejut ketika dilihatnya seorang emban tidur mendengkur beralaskan selendangnya di muka pintu sentong tengen.
  Hampir-hampir Tunggul Ametung membentaknya. Tetapi untunglah segera ia teringat kepada gadis yang pingsan di dalam bilik kanan itu. Karena itu maka niatnya diurungkan Bahkan perlahan-lahan sambil berjingkat Tunggul Ametung berjalan mendekati sentong tengen itu. Ketika ia menjenguk ke dalam dilihatnya Nyai Puroni pun tertidur sambil meletakkan kepalanya di pembaringan Ken Dedes.
  Akuwu menarik nafas dalam-dalam ketika dilihatnya gadis yang pingsan itu kini telah tertidur pula, meskipun tampak gelisah. Sekali-kali dilihatnya gadis itu menggeliat, kemudian terdengar suara keluhan perlahan-lahan. Namun gadis itu tertidur kembali.
  "Gadis itu tertidur karena kelelahan. Lelah lahir dan batinnya," gumam Tunggul Ametung kepada diri sendiri.
  Tetapi Tunggul Ametung itu tidak segera beranjak dari tempatnya. Tiba-tiba ia terpaku kepada wajah gadis yang sedang tidur di pembaringan itu. Wajahnya yang pedih menahan sakit hati, matanya yang bendul karena menangis dan bibinya yang tipis bergerak-gerak melontarkan keluhan yang sedih. Namun semuanya itu benar-benar telah memukau hatinya. Baru kini ia sempat memandang wajah itu dengan seksama. Wajah yang wajar bersih tanpa selapis pulasan apapun. Bahkan tampaklah air matanya masih juga membasahi ujung-ujung rambut dan bantalnya.
  "Hem," akuwu itu menarik nafas dalam-dalam, "Kasihan. Gadis yang bersih itu kini kehila ngan kegemitangan masa depannya. Kehitangan kekasi h yang dicintainya. Kehitangan kemerdekaan dirinya da n kehilangan apapun yang dimilikinya apa bila ia benar- benar jatuh ke tangan Kuda Sempana.
  "Hem, setan itu benar-benar telah menjebak aku."
  Tetapi desah itu pun terputus. Akuwu menggelengkan kepalanya. Ia telah berbuat di hadapan saksi-saksi. Ia tidak akan dapat melemparkan tanggung jawab kepada orang lain. Ia tidak akan berkata bahwa perbuatan itu dilakukan oleh Kuda Sempana. Ia tidak akan bisa menghukum orang lain karena perkosaan atas kemanusiaan. Semua telah terjadi di hadapan hidungnya.
  "Hem," sekali lagi Tunggul Ametung itu menggeram. Dan sekali dipandanginya wajah gadis yang sedang tertidur itu. Wajah yang wajar bersin tanpa selapis pulasan apapun.
  "Kalau aku dapat mencarikan ganti yang hilang dari gadis itu," katanya di dalam hati, "Seandainya aku memiliki seseorang yang bernama Wiraprana. Seandainya aku dapat menghidupkannya kembali. Seandainya, ya seandainya semua itu belum terjadi Tetapi itu adalah angan-angan yang mustahil terjadi. Sekarang, ya, apa yang dapat dilakukannya?"
  Hati Tunggul Ametung berdesir ketika Ken Dedes itu bergerak. Namun kembali gadis itu diam. Namun tampaklah wajah itu berkerut seakan-akan menahan pedih yang menggores-gores hatinya.
  "Kasihan," desis akuwu.
  Dan tiba-tiba saja melonjaklah sesuatu di dalam hati akuwu itu. Darahnya yang gelisah. seakan-akan mendidih karenanya. Matanya itu tajam-tajam memandangi wajah Ken Dedes yang wajar, bersih dan muram ia tidak tahu, kenapa tiba-tiba saja tebersitlah suara di dalam hatinya, "Tunggul Ametung, kesalahan ini terletak di pundakmu. Karena itu kaulah yang harus menebusnya. Semua milikmu tidak akan cukup banyak untuk mengganti kepedihan hati gadis itu. Gadis yang sebenarnya bukan gadis pedesaan kebanyakan seperti yang kau saksikan sendiri. Dari tubuh gadis memancar cahaya yang tidak dapat kau lihat dengan mata wadagmu. Namun sekali-sekali tampak oleh mata hatimu."
  Tunggul Ametung itu menjadi berdebar-debar suara itu terngiang di dalam rongga hatinya. Semakin lama semakin keras. Sehingga Akuwu Tumapel itu menjadi bingung karenanya.
  Dalam kebingungan itu sekali lagi mata hatinya melihat keganjilan itu. Tubuh Ken Dedes tiba-tiba menjadi bercahaya. Hanya sekilas saja, sekilas pada saat Tunggul Ametung seakan-akan kehilangan kesadarannya. Namun ketika ia mencoba membuka matanya lebar-lebar kembali ia melihat gadis itu terbuj ur diam. Gadis pedesaan, dengan kain lurik kasar dan r ambut yang terurai lepas.
  Tunggul Ametung itu menjadi gemetar. Ia mengalami suat u peristiwa yang tidak dimengertinya. Sedang suara yang terngiang di telinga hatinya menjadi semakin keras Dan seolah-olah mengguntur tidak henti-hentinya.
  Akuwu itu benar-benar diganggu oleh indera halusnya. Meskipun wadagnya sama sekali tidak mengalami rangsang apapun, namun telinga hatinya telah mendengar suara itu, dan mata hatinya telah me lihat cahaya ini. Perpaduan dari penghayatan hatinya it u, menumbuhkan akibat yang luar biasa pada dirinya. D an tiba-tiba pula, di luar kemauannya. terdengar akuwu itu bergumam perlahan-lahan, "Akan aku tebus semua kesalahan ini. Akan aku ganti yang hilang dari gadis itu dengan semua yang aku miliki, termasuk tanah Tumap el."
  Kata-kata janji itu seakan-akan disambut oleh suara guruh yang menggelegar dan guntur yang bersahut-sahutan di antara kilat yang bersambung. Suaranya bergelora seolah-olah menggugurkan Gunung Kawi, Gunung Arjuna dan Gunung Semeru.
  Akuwu itu pun kemudian menjadi gemetar. Hampir-hampir ia tidak dapat lagi berdiri tegak pada kedua kakinya. Dengan tangan yang menggigil dicobanya untuk berpegangan pada tiang-tiang pintu sentong tengen sambil memejamkan matanya. Seandainya istana ini roboh karena petir dan guntur, biarlah ia tidak menyaksikannya.
  Namun tiang-tiang itu masih tegak di tempatnya. Istana itu sama sekali tidak bergoyang. Sehingga sesaat kemudian, ketika gemuruh itu telah mereda, terasa dada Tunggul Ametung menjadi sesak. Kini disadarinya, bahwa guruh

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>