
Di Sebuah Kota Asing (Town of Strangers) - Tamim Ansary Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag I Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag II Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag III Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag IV
seorang pekatik”
“Di kota mana?“ bertanya isterinya.
“Kota raja Singasari. Bukan di Kediri”
“O. Jauh sekali”
“Ya, jauh sekali. Mereka sudah rindu bertemu dengan kadangnya yang hanya menjedi seorang pekatik”
Nyi Daredu mengangguk- angguk. Ketika ia berkesempatan menemui ketiga tamunya, maka katanya “Kami mengucapkan terima kasih yang besar sekali, bahwa kalian telah bersedia mengunjungi kami yang kecil ini”
“Apakah bedanya?“ bertanya Mahisa Agni “kami juga abdi-abdi yang kecil di Singasari”
“Tetapi kalian bukannya seorang pekatik seperti suamiku”
Mahisa Agni dan Witantra tertawa. Sementara Mahisa Bungalan mengangguk- angguk kecil.
“Nyai” berkata Witantra “hampir seumur kami, kami tidak berkesempatan mengunjungi kakang Daredu. Karena itu, maka kami telah memerlukan untuk datang ke Kediri, selagi kami masih mampu berkuda pada jarak yang cukup jauh”
“Terima kasih. Terima kasih” desis Nyi Daredu. Sebagaimana seseorang yang menerima kunjungan saudara-saudaranya yang jauh dan jarang bertemu, maka Nyi Daredu berusaha untuk menjamu tamunya sebaik-baiknya. Meskipun demikian ketika ia menghidangkannya, iapun berkata “Hanya inilah yang dapat kami hidangkan”
“Luar biasa” berkata Mahisa Agni “kami telah menerima kehormatan yang besar sekali”
Ternyata bahwa Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan telah menerima suguhan itu dengan senang hati. Mereka telah memperlakukan hidangan itu benar-benar seperti hidangan yang sangat menyenangkan.
Demikianlah, maka untuk beberapa saat Mahisa Agni. Witantra dan Mahisa Bungalan akan berada di Kediri. Mereka telah menyusun rencana untuk melakukan tugas mereka, dalam hubungannya dengan Pangeran Kuda Padmadata.
Setelah mereka beristirahat semalam di rumah Ki Daredu, dan tidur bertiga di amben besar di ruang depan, maka di pagi harinya mereka bertiga telah minta diri untuk melihat- lihat Kota yang telah beberapa lama tidak mereka kunjungi.
Meskipun ada juga perubahan yang nampak pada kota itu, tetapi perubahan itu tidak terlalu besar, sehingga ketiganya dengan cepat dapat mengenali seluruh kota. Seperti yang mereka rencanakan, maka yang mereka lakukan di hari pertama itu barulah lewat di depan istana Pangeran Kuda Padmadata tanpa berbuat apapun juga.
Istana itu adalah istana yang cukup menarik. Pangeran Kuda Padmadata memang seorang yang kaya, yang memiliki tanah kelenggahan yang luas, beberapa tonggak hutan tutupan yang menghasilkan getah yang sangat mahal. Memiliki bermacam-macam kekayaan yang tidak banyak dimiliki oleh para bangsawan yang lain.
“Kita harus mengenalnya lebih banyak” berkata Mahisa Agni.
“Nampaknya istana itu tenang-tenang saja” desis Mahisa Bungalan.
“Ya” sahut Witantra “tetapi siapa tahu bahwa di dalam dinding halaman terdapat beberapa orang yang dengan mata setajam mata elang, memandangi setiap orang yang masuk regol. Meskipun nampaknya mereka sebagai juru taman, namun mereka adalah orang-orang yang memang dipasang oleh pihak tertentu”
“Kita harus mengetahui lingkungan hidupnya” berkata Mahisa Agni “mungkin Ki Daredu mengenal satu dua orang abdi dari istana itu. Mungkin pekatiknya, mungkin juru taman atau juru pengangsunya”
“Sementara kita dapat mencari sumber yang lain” berkata Mahisa Bungalan “mungkin di kedai-kedai kita akan dapat mendengar serba sedikit tentang orang yang kaya raya itu”
“Tetapi kita harus berhati- hati” desis Witantra “jika yang kita lakukan di kedai- kedai itu sempat mencurigakan orang lain, maka kita akan mengalami kesulitan.
“Kita berusaha untuk tidak meninggalkan kesan yang dapat menarik perhatian orang lain” jawab mahisa Bungalan.
Witantra dan Mahisa Agni mengangguk-angguk. Mereka masih saja berjalan menyusuri jalan-jalan di kota. Tetapi mereka berusaha untuk tidak menarik perhatian orang lain.
Sebenarnyalah Kediri adalah kota yang bersih dan teratur. Beberapa orang bangsawan di Kediri adalah orang-orang yang kaya raya, termasuk Pangeran Kuda Padmadata. Namun agaknya dibalik kekayaan itu, tersembunyi api yang dapat membakar nafsu ketamakan dan kedengkian. Tetapi masih belum nampak, siapakah yang telah menyalakan api itu.
Adalah kewajiban ketiga orang yang datang dari Singasari itu untuk mencari keterangan dan kemudian memecahkan persoalannya.
Tetapi Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan tidak tergesa-gesa. Ia harus melakukan dengan cermat. Yang terjadi atas Ki Tunda Wara dan Ki Wangut adalah cermin dari ketergesa-gesaan itu, sehingga mereka telah mengali kegagalan mutlak, sehingga mereka bukan saja tidak berhasil melakukan tugas mereka, namun mereka justru telah menjadi korban.
Namun ternyata, bahwa kegagalan Ki Wangut dan Ki Tunda Wara telah tercium oleh para pengikutnya. Hari-hari yang telah dilalui ternyata terlalu lama. Tanpa ada keterangan dan berita.
Dalam kegelisahan, maka para pengikut Ki Wangut telah mencari hubungan dengan orang-orang yang dikenalnya merupakan jalur dengan orang-orang di Kediri.
Tetapi hubungan itupun agaknya terlalu sulit untuk sampai kepada orang yang pertama.
Meskipun demikian, agaknya orang-orang yang menjadi jalur hubungan dengan Kediri itu memiliki kemampuan berpikir yang lebih baik dari sisa-sisa pengikut Ki Wangut yang gelisah. Sehingga dengan demikian, maka berita tentang kemungkinan kegagalan usaha untuk membunuh perempuan dan anaknya itu telah terdengar oleh orang-orang yang bermain dengan rencana itu di Kediri.
“Mereka ternyata adalah orang-orang dungu” desis seorang yeng berjambang lebat
“Aku sudah mengira. Jika ia berhasil, maka ia tentu sudah, menuntut upah yang kita janjikan itu, setelah mereka dapat menyerahkan bukti-bukti kematian perempuan dan anak laki-laki itu” sahut seorang yang bertubuh tinggi.
“Agaknya pinak yang semula berdiri diluar persoalan ini telah menjadi sebab gagalnya rencana Ki Wangut. Aku semula menganggap bahwa ia memiliki kelebihan dari orang- orang lain yang pernah aku kenal. Tetapi ternyata ia tidak lebih dari seorang yang hanya pandai membual. Menurut pendengaranku, ia telah mengorbankan terlalu banyak pengikutnya. Sedangkan akhirnya ia tidak berhasil sama sekali”
“Itu adalah akibat dari kebodohannya” berkata orang ber jambang pula.
Sementara orang bertubuh tinggi itu berkata “Tetapi kita tidak boleh terpancang pada sikap itu. Bahkan yang terjadi adalah akibat kebodohan Ki Wangut Jika masalahnya menjadi semakin buruk, maka kita harus mengambil sikap lain”
“Maksudmu?“ bertanya orang berjambang.
“Mungkin ada pihak- pihak yang ingin menelusuri masalah ini sampai ke Kediri” sahut orang bertubuh tinggi.
“Memang mungkin sekali. Karena itu, maka kita harus memperketat pengawasan di sekitar istana Pangeran Kuda Padmadata. Mungkin ada orang yang ingin langsung menghadapnya untuk menyampaikan masalah ini. Atau mungkin justru perempuan dan anak itu langsung dibawanya menghadap”
“Kita akan berhubungan dangan jaring-jaring yang sudah kita susun. Kita harus bekerja bersungguh-sungguh. Taruhannya adalah segala kekayaan dan warisan yang Pangeran yang kaya-kaya itu. Sebeb tidak seharusnya warisan itu jatuh ke tangan darahi padesan meskipun ia adalah anak Pangeran Kuda Padmadata”
Kawanya yang berjambang itu tertawa. Katanya “Apakah itu yang terpenting?“
“Lalu apa?“ bertanya yang bertubuh tinggi.
“Yang terpenting adalah nasib kita sendiri. Jika kita dengan keras hati berniat menggagalkan saluran warisan itu kepada daerah padesan, maka yang terpenting adalah, bahwa kita akan menerima sebagian dari padanya”
“Ah, kau memang terlalu tamak” desis orang ber tubuh tinggi itu.
“Apakah kau kira, kau tidak akan berbuat demikian?“ bertanya orang berjambang “seandainya, anak padesan itu berjanji kepada kita untuk memberikan lebih banyak dari bagian yang akan kita terima jika warisan itu tidak jatuh kepadanya, maka apakah kita tidak akan berpihak kepada anak padesan itu, meskipun kita sendiri mampunyai tetesan darah bangsawan”
“Kau memang gila” desis orang bertubuh tinggi “tetapi itu adalah pengakuan yang jujur. Aku kita akupun berpendirian serupa. Namun demikian, aku masih memikir kan harga diriku sebagai seorang bangsawan dari tingkat yang paling rendah sekalipun”
Orang berjambang itu tertawa semakin keras. Tetapi akhirnya ia berkata “Baiklah Semuanya dapat saja kita lakukan. Tetapi yang penting, kita harus selalu mengawasi segala kemungkinan yang dapat terjadi di istana Pangeran Kuda Padmadata”
Dengan demikian, maka kegelisahan para pengikut Ki Wangut itu telah menggerakkan orang-orang yang terlibat dalam persoalan yang sedang bergejolak di dalam keluarga Pangeran Kuda Padmadata. Mereka memang sudah memperhitungkan, berdasarkan atas laporan-laporan dari perkembangan keadaan, maka Ki Wangut akan mengalami kegagalan. Meskipun mereka belum menerima keterangan selengkapnya tentang kegagalan Ki Wangut. namun bahwa orang itu tidak lagi nampak untuk waktu yang lama, maka mereka menduga, bahwa Ki Wangut tidak berhasil menemukan tempat persembunyian perempuan dan anaklaki-lakinya atau bahkan Ki Wangut telah mengalami kegagalan yang paling pahit seperti yang pernah terjadi atas beberapa orang pengikutnya.
Dengan persiapan yang baik, maka istana Pangeran Kuda Padmadata telah dikelilingi oleh beberapa orang yang bertugas untuk mengawasi jika ada orang yang mencurigakan tersangkut dalam persoalan yang gawat itu mulai merambah jalan masuk untuk menghadap Pangeran Kuda Padmadata, atau bahkan langsung menghadapkan perenipuan dan anak laki-lakinya, yang seharusnya sudah dimusnahkan itu.
Bukan saja satu dua orang pengawal, tetapi orang-orang dalam di istana itupun telah mendapat tugas-tugas khusus yang berhubungan dengan kemungkinan yang tidak diinginkan itu.
Ternyata bahwa Pangeran Kuda Padmadata adalah seorang bangsawan yang senang sekali memelihara berbagai macam binatang. Dari burung yang berkicau, sampai pada binatang buas yang dibuatnya kandang yang khusus di halaman.
Di halaman samping dari istana itu terdapat kandang seekor harimau loreng yang besar dan garang. Beberapa langkah lagi terdapat kandang harimau hitam legam yang sangat berbahaya, karena harimau itu pandai memanjat seperti seekor kucing. Meskipun harimau hitam itu tidak sebesar dan sekuat harimau loreng, tetapi bagi lawan-lawannya, harimau hitam justru lebih berbahaya, karena kelicikannya.
Tetapi berbeda dengan kandang yang kuat dan garang itu, di bagian lain terdapat sangkar burung berkicau bergantungan di serambi. Namun kadang-kadang para tamu terkejut ketika mereka memasuki pintu samping kerena mereka akan melihat kulit seekor ular yang utuh membelit pada sebatang kayu. Kepalanya yang besar dengan mulut menganga tergantung tepat diatas pintu.
Istana Pangeran Kuda Padmadata menunjukkan, bahwa pemiliknya adalah seorang pemburu yang baik.
Di hari-hari berikutnya. Mahisa Agni, Mahisa Bungalan dan Witantra berhasil mendengar serba sedikit tentang Pangeran itu. Tetapi yang mereka dengar dari beberapa orang di kedai- kedai adalah, bahwa Pangeran Kuda Padmadata adalah seorang pemburu. Selebihnya mereka tidak mengetahui.
“Kita sudah mengetahui beberapa hal” berkata Mahisa Agni “Pangeran itu adalah seorang yang kaya raya dan ia seorang pemburu yang baik“
“Baru itu“ potong Mahisa Bungalan.
Witantra tertawa. Katanya “Jangan tergesa-gesa. Kita sudah melalui jalan di depan rumah itu beberapa kali. Kita melihat beberapa orang sibuk di halaman, membersihkan taman dan kadang-kadang melakukan pekerjaan yang tidak berarti. Betapapun kayanya seseorang, tetapi ia tidak mempunya juru taman yang berlebih- lebihan jumlahnya. Di hari kedua aku melihat ada tiga orang yang sibuk di halaman rumah itu. Meskipun hari ini aku hanya melihat seorang”
“Mungkin mereka adalah pekatik atau juru pengangsu atau gamel yang sedang tidak mempunyai pekerjaan. Karena mereka senang pula akan berjenis-jenis tanaman, maka mereka telah membantu juru taman untuk memelihara tanaman bunga yang tumbuh di halaman” desis Mahisa Bungalan.
“Memang mungkin. Tetapi mungkin pula, mereka memang dipasang untuk mengawasi orang-orang yang tidak mereka kehendaki memasuki halaman istana itu” jawab Witantra.
Mahisa Bungalan mengangguk-angguk. Katanya “Ya. Itupun dapat terjadi. Tetapi sudah barang tentu kita tidak akan dapat terus menerus mondar mandir tanpa berbuat sesuatu”
Mahisa Agnipun tertawa. Katanya “Kau ternyata masih terlalu dikuasai oleh kemudaanmu. Kita harus berhati-hati. Jangan membiarkan gejolak perasaanmu mendorongmu untuk berbuat sesuatu diluar pertimbangan”
Mahisa Bungalan menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Tetapi kita tidak boleh terlambat paman”
“Ya, ya” sahut Witantra “kita memang harus berbuat sesuatu secepatnya”
Mahisa Bungalan mengerutkan keningnya. Tetapi iapun terdiam.
Sementara itu, maka ketika mereka berada di rumah Ki Daredu, maka Mahisa Agnipun bertanya kepada pekatik itu “Ki Daredu, apakah kau mengetahui serba sedikit tentang Pangeran Kuda Padmadata dengan kesenangannya berburu?“
Ki Daredu termangu- mangu sejenak. Kemudian jawabnya “Hamba tidak banyak mengetahui tentang Pangeran yang kaya raya itu tuanku. Yang hamba ketahui, di dalam istananya terdapat banyak sekali jenis binatang hidup atau mati”
“Apakah kau mempunyai seorang kenalan atau sanak kadang yang mengabdi pada Pangeran itu?“
Ki Daredu termenung sejenak. Namun kemudian katanya “Jika sekedar mengenal, hamba mengenal seorang diantara mereka. Hamba mengenal seorang pemelihara kuda yang baik di istana itu. Mula-mula ia tidak lebih dari seorang pekatik yang harus mencari rumput seperti hamba untuk memberi makan beberapa ekor kuda yang baik di istana itu. Tetapi kemudian ia berhasil mempelajari sifat dan tabiat kuda yang dikenalnya di dalam istana itu.