Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Panasnya Bunga Mekar - 82

$
0
0
Panasnya Bunga Mekar - Serial Pelangi Di Langit Singosari 4 - SH Mintardja.jpegCerita Silat | Panasnya Bunga Mekar | Serial Pelangi Di Langit Singosari | Panasnya Bunga Mekar | SH Mintardja | Panasnya Bunga Mekar pdf

Bunga di Kaki Gunung Kawi bag VIII Pembunuhan Di Rue Morgue - The Murders in the Rue Morgue - Edgar Allan Poe Detak Jantung dan Hati yang Meracau - Edgar Allan Poe Bunga di Kaki Gunung Kawi bag IX Bunga di Kaki Gunung Kawi bag X

Akhirnya, ia menggantikan pemelihara kuda yang terdahulu, yang sudah terlalu tua dan tidak dapat bekerja lagi”

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Ki Daredu. Apakah di istana itu tidak memerlukan pekatik lagi? Jika pekatik itu kini bertugas sebagai pemelihara kuda, maka apakah sudah ada pekatik yang lain yang menyediakan rumput bagi kuda-kuda yang berada di istana itu”

“Sudah tuahku. Sudah ada. Akupun mengenalnya, karena kami sering bersama-sama berada di padang rumput”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya “Aku akan ikut bersamamu ke padang rumput. Akan membantumu menjadi seorang pekatik”

“Tuanku. Hamba tidak mengerti“ wajah Ki Daredu menjadi tegang.

“Kau berjanji untuk tidak bersikap demikian dihadapan orang lain. Bahkan di hadapan isterimu” desis Mahisa Agni ”Kau akan menganggap aku sebagai saudaramu yang datang dari jauh. Kau ingat“

Ki Daredu mengeleng- gelengkan kepalanya sambil bergumam “Hamba tidak mengerti. Apa saja yang sedang tuanku lakukan sekarang di Kediri”

Mahisa Agni tertawa. Katanya ”Aku tidak sedang berbuat apa-apa selain mengenal Kediri pada masa ini, setelah beberapa lama aku tinggalkan. Ketika aku berada di Kediri, Pangeran Kuda Padmadata belum menjadi seorang yang mendireng seperti sakarang. Ia masih terlalu muda dan mungkin tidak termasuk ke dalam perhatianku pada masa itu”

“Kenapa sebanarnya dengan Pangeran itu?“ bertanya Ki Daredu.

“Tidak apa-apa. Dan kaupun tidak perlu mengatakan dan menanyakan kepada siapapun juga. Aku hanya ingin ikut bersamamu ke padang rumput untuk menyabat rumput”

Ki Daredu menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Hamba tidak mengerti. Tetapi jika demikian yang tuan kehendaki, maka apa boleh buat”

Demikianlah ketika Ki Daredu pergi ke padang rumput, untuk menyabit rumput yang hijau segar, maka Manlsa Agni telah pergi bersamanya dalam pakaian seorang pekatik. p>

“Namaku Damar” desis Mahisa Agni ketika mereka barada di padang.

Ki Daredu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian mengangguk sambil menjawab “Aku, hamba, eh, aku menurut saja yang tuanku, maksudku, yang kehendaki”

Mahisa Agni tersenyum. Tetapi ia tidak menyahut. Sejenak kemudian Mahisa Agnipun telah ikut menyabit rumput bersama Ki daredu. Di padang itu terdapat beberapa orang yang juga sedang menyabit rumput untuk memberi makan kuda-kuda peliharaan yang banyak jumlahnya di Kediri.

“Tuanku, maksudku, kami dapat juga menyabit rumput he?“ bertanya Ki Daredu.

“Di masa kecilku aku tinggal di sebuah padepokan kecil. Aku juga sering menyabit rumput dan menggembala kerbau” jawab Mahisa Agni.

“Tuanku senang berkelekar” Ki Daredu tertawa.

“Namaku Damar“ Mahisa Agni memperingatkan.

“O, ya. Maksudku, kau sedang berkelekar, Damar”

Mahisa Agnipun tertawa tertahan.

Namun dalam pada itu, yang dilakukannya itu telah membawa Mahisa Agni ke dalam sebuah kenangan. Kenangan di masa yang telah jauh lampau. Samar-samar mulai terbayang, sebuah padepokan kecil yang bernama Panawijen. Seorang anak muda yang sederhana, tinggal di padepokan. Sehari-hari dilakukannya pekerjaan sebagi-mana anak-anak padesan. Namun di malam hari anak muda itu belajar bukan saja oleh kanuragan, tetapi juga kejiwan dan kesusastraan serba sedikit dari seorang mPu yang bernama mPu Purwa.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Kenangan itu manis sekali, tetapi juga pahit seperti empedu. Perlahan-lahan Mahisa Agni menggeleng, seolah-olah ia ingin mengusir kenangan yang semakin lama menjadi semakin mengabur dan akhirnya hilang sama sekali, ketika Mahisa Agni berhasil memusatkan perhatiannya kepada beberapa orang menyabit rumput di padang itu.

“Ki Daredu, yang manakah pekatik Pangeran Kuda Padmadata yang sekarang?“ bertanya Mahisa Agni.

“Itulah. Yang masih muda. Semuda kemanakan tuanku”

“Namaku Damar”

“Ya, ya. Semuda kemanakanmu yang bernama Bungalan itu”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya “Bawa aku kepadanya. Aku ingin memperkenalkan diri”

Ki Daredu termangu- mangu. Namun tiba-tiba ia berkata “Ia datang dengan pekatik yang lama, sekarang menjadi juru pemelihara kuda”

“O, jadi orang itu ada disini pula?“

“Ya. Agaknya pekatik itu menyabit rumput yang tidak begitu baik, sehingga pemelihara kuda itu memerlukan datang untuk memberinya petunjuk”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia mengerutkan keningnya. Kepada Ki Daredu ia bertanya “Pekatik baru itu memang terlalu bodoh. Ia sama sekali tidak dapat menyabit rumput. Jika sekiranya ia mempunyai sedikit pengalaman menyabit rumput sebelumnya, ia tidak akan berbuat seperti itu. Aku sudah lama sekali tidak menyabit. Tetapi aku agaknya masih lebih pandai daripadanya”

Ki Daredu mengangguk- angguk. Katanya “Ya. Sejenak semula aku sudah menyangka, bahwa ia sama sekali belum pernah melakukan pekerjaan itu. Meskipun demikian, ia adalah anak yang rajin, sehingga setiap hari iapun dapat membawa rumput yang cukup untuk memberi makan beberapa ekor kuda di rumah Pangeran Kuda Padmadata itu. Tetapi agaknya pemelihara kuda itu menganggap perlu untuk memberinya beberape petujuk”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Lalu katanya “Cari kesempatan untuk berbicara dengan mereka. Aku ingin memperkenalkan diri”

Ki Daredupun kemudian menjinjing keranjang rumputnya mendekati mereka. Sambil melemparkan keranjangnya ia bertanya “He kau turun lagi ke padang rumput ini?”

Yang diajak berbicara itupun tersenyum sambil menjawab “Anak itu bodoh sekali. Sudah beberapa kali aku memberinya petunjuk. Tetapi ia belum berhasil mendapatkan rumput seperti yang aku kehendaki. Bahkan masih belum mencukupi kebutuhan, apa lagi Pangeran Kuda Padmadata mempunyai dua ekor kuda yang baru dan tegar”

“Apakah aku dapat membantu“ tiba-tiba saja Mahisa Agni bertanya.

Ki Daredu terkejut. Tetapi ia menahan diri untuk tidak memberikan kesan apapun, juga, karena ia sudah muiai curiga, bahwa kedatangan Mahisa Agni ke Kediri, bukannya tanpa maksud tertentu.

Pemelihara kuda Pangeran Kuda Padmadata itu memandang Mahisa Agni sejenak. Dengan ragu-ragu ia bertanya “Siapakah orang ini Ki Daredu?“

Ki Daredu menjadi bimbang. Tetapi iapun kemudian menjawab “Ia saudaraku yang datang dari jauh”

“Siapakah namanya?” p>

“Damar” sahut Ki Daredu dengan memaksa diri, Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Daredupun berkata “ia datang dari padesan. Agaknya sawah dan ladangnya menjadi kering olah musin kemarau yang panjang. Karena itu, ia datang ke kota”

Pemelihara kuda itu mengangguk-angguk. Katanya “Ya. Padang inipun sudah mulai terpengaruh pula oleh musim, meskipun ada parit khusus yang sengaja dialirkan lewat padang ini justru agar rumput di padang ini tidak menjadi kering sama sekali”

“Ya. Padang ini adalah padang yang diperuntukkan bagi kuda-kuda peliharaan di daerah belahan Selatan kota Kediri. Padang serupa hanya ada tiga hamparan di seluruh kota ini” jawab pemelihara kuda itu” Jika padang ini menjadi kering, maka kita harus mencari rumput ke sawah-sawah dan pategalan”

Ki Daredu mengangguk- angguk. Sementara MahisaAgnipun bertanya sekali lagi “Apakah aku dapat menghambakan diri kepada Pangeran yang mempunyai kuda yang tegar itu. Maksudku. Pangeran Kuda….“

“Kuda Padmadata“ pemelihara kuda itu melengkapi.

“Ya. Pangeran Kuda Padmadata. Aku tidak dapat segera kembali ke padukuhanku yang kering. Disini aku akan mendapat sekedar makan dan tempat untuk menumpang badan sepata” sambung Mahisa Agni.

“Kau tidak mempunyai keluarga?“ bertanya pemelihara kuda itu.

“Tidak Ki Sanak. Isteriku telah meninggal. Anakku yang seorang tidak lagi aku ketahui dimana tinggalnya, sementara anakku yang seorang lagi, perempuan, telah meninggal ketika ia melahirkan anak”

Pemelihara kuda itu termangu-mangu. Katanya kemudian “Aku memang memerlukan kawan. He, apakah ia sekarang membantumu Ki Daredu?“

“Membantu menyabit disini. Tetapi ia belum menghambakan diri kepada siapapun” Ki Daredu mencoba menyesuaikan diri, bahkan katanya kemudian “jika ia mendapat tempat untuk menghamba, aku akan sangat terterima kasih, karena aku yang miskin ini tidak perlu menanggung hidupnya meskipun ia hanya sebatang kara”

“Aku akan membicarakannya dengan Ki Jurasanta. lurah para abdi di istana Pangeran Kuda Padmadata kata pemelihara kuda itu.

“Terima kasih Ki Sanak, terima kasih. Aku tak sampai hati terlalu lama menjadi beban kakang Daredu yang sudah merasa kesulitan menanggung keluarganya sendiri” berkata Mahisa Agni.

“Bukankah namamu Damar?“ bertanya pemelihara kuda itu.

“Ya, namaku Damar” sahut Mahisa Agni.

“Baiklah. Aku akan menyampaikannya” desis pemelihara kuda di istana Pangeran Kuda Padmadata itu.

Namun dalam pada itu, Mahisa kadang-kadang memperhatikan pekatik baru yang masih muda, yang ternyata masih kurang pandai menyabit rumput itu. Pada sorot matanya, Mahisa Agni menangkap isyarat, bahwa ia harus berhati-hati terhadapnya.

“Ia hadir di istana itu dengan tugas khusus” desis Mahisa Agni di dalam hatinya “meskipun ia tidak pandai menyabit rumput, tetapi ia mencoba untuk melakukan tugasnya sebaik- baiknya. Namun ada sesuatu yang perlu diperhatikan pada anak itu”

Ternyata bahwa pandangan Mahisa Agni yang tajam, berhasil menangkap sesuatu pada anak itu. Meskipun demikian, Mahisa Agni masih tetap pada sikapnya” p>

“Datanglah besok” berkata pemelihara kuda itu “aku tentu sudah berkesempatan bertemu dengan Ki Jurasanta”

“Terima kasih” desis Mahisa Agni terima kasih “Dan Mahisa Agnipun kemudian meneruskan membantu Ki Daredu menyabit rumput. Ia berbuat seperu yang dilakukan oleh kebanyakan pekatik. Untunglah bahwa di masa kecilnya, Mahisa Agni pernah juga melakukannya, sebagai anak padepokan kecil. Sehingga dengan demikian, nampak bahwa ia memiliki ketrampilan melampaui anak muda yang telah bekerja pada Pangeran Kuda Padmadata itu.

Ketika kemudian mereka kembali pulang sebelum Ki Daredu membawa rumputnya ke istana Panji Kudasuwana, yang bertugas atas nama kekuasaan Singasari di Kediri, tidak habisnya ia bertanya di dalam hati, apakah yang sebenarnya dilakukan olen Mahisa Agni, tetapi ada keseganan untuk menanyakannya.

Mahisa Agnilah yang kemudian sambil menjinjing keranjang dikepalanya berkata “Kau tidak usah menjadi pening karena sikapku Ki Daredu. Biarlah aku mencari cara tersendiri untuk menemukan kesegaran kenangan atas kota ini”

“Tetapi tuanku telah berbuat sesuatu yang tidak sepantasnya. Apakah yang akan dikatakan orang jika akhirnya mereka mengetahui, bahwa tuankulah yang menjadi penyabit rumput di istana Pangeran Kuda Padmadata.

“Itu sudah wajar. Aku anak padepokan kecil yang kemudian menjadi penyabit rumput”

“Tuanku adalah penguasa tertinggi di Kediri atas nama kerajaan Singasari yang kini memerintah Kediri” berkata Ki Daredu.

Mahisa Agni tertawa. Katanya “Itu adalah Panji Kudasuwana. Bukan aku. Pada waktunya memang aku. Tetapi itu sudah lampau seperti juga Panji Pati-pati kini tidak berkuasa lagi”

Ki Daredu berdesis “Aku sudah pikun” lalu suaranya merendah “Ampun tuanku. Hamba tidak tahu apakah yang sebaiknya harus hamba lakukan. Mudah-mudahan hamba dapat membantu tuanku dengan rencana yang membingungkan ini”

Mahisa Agni masih tertawa. Keranjang rumput itupun masih berada dikepalanya. Katanya “Aku pantas menjadi seorang pekatik. Ki Daredu menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar menjadi bingung menghadapi sikap Mahisa Agni. Ia sadar, bahwa ada sesuatu yang akan dilakukan oleh orang yang pernah memegang kekuasaan di Kediri atas nama pimpinan tertinggi di Singasari itu. Tetapi bagaimana mungkin ia sampai merendahkan dirinya dan menjadi seorang pekatik.

Tetapi Ki Daredu kemudiani tidak berani bertanya. Ia tidak ingin dianggap orang tua yang banyak ingin mengetahui persoalan yang bukan persoalannya.

Ketika Mahisa Agni sampai di rumah Ki Daredu, maka iapun segera menceriterakan apa yang telah dilakukannya. Mahisa Agni sempat juga menceriterakan, bagaimana Ki Daredu menjadi bingung karenanya.

Sementara itu, kening Mahisa Bungalan menjadi berkerut-merut. Ia tahu, bahwa yang dilakukan olah Mahisa Agni itu tentu berbahaya. Jika orang-orang yang berada di seputar Pangeran Kuda Padmadata mengetahuinya, maka ia akan berhadapan dengan kekuatan yang mungkin sangat besar.

Mahisa Agni seolah-olah mengetahui kecemasan Mahisa Bungalan itu. Maka katanya kemudian “Jika aku mengalami kesulitan, bukankah kau dan kakang Witantra ada disini?“

JILID 10

“YA”, MAHISA BUNGALAN mengangguk-angguk, “tetapi apakah ada kesempatan paman untuk memberitahukan hal itu kepada kami?”

“Aku tentu tidak akan membiarkan segalanya terjadi tanpa dapat terbuat sesuatu. Aku akan melihat gelagat dan perkembangan keadaan” jawab Mahisa Agni.

Witantra dan Mahisa Bungalan kemudian tidak dapat berbuat lain kecuali menyetujui rencana Mahisa Agni untuk menghambakan diri kepada Pangeran Kuda Padmadata, apabila permohonannya dapat dikabulkan.

Di hari berikutnya, Mahisa Agni kembali mengkuti Ki Daredu ke padang rumput untuk menyabit, sekaligus untuk menemui pemelihara kuda Pangeran Kuda Padmadata.

“Ha, kau Ki Daredu” siapa pemelihara kuda itu.

Ki Daredu pun mendekatinya sambil bertanya,, “Bagaimana? Apakah kau sudah ketemu dengan Ki Jurasanta?”

“Aku sudah


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>