Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Panasnya Bunga Mekar - 83

$
0
0
Panasnya Bunga Mekar - Serial Pelangi Di Langit Singosari 4 - SH Mintardja.jpegCerita Silat | Panasnya Bunga Mekar | Serial Pelangi Di Langit Singosari | Panasnya Bunga Mekar | SH Mintardja | Panasnya Bunga Mekar pdf

Di Sebuah Kota Asing (Town of Strangers) - Tamim Ansary Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag I Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag II Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag III Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag IV

menemuinya, ia tidak berkeberatan” jawab pemelihara kuda itu. Lalu, “Pekatik itulah yang merasa keberatan. Ia mempunyai seorang kawan yang dapat membantunya. Tetapi karena Ki Jurasanta sudah menyetujuinya, maka pekatik itu tidak dapat menolaknya lagi”

“Apakah ia berkeberatan?” bertanya Mahisa Bungalan, “jika kehadiranku dapat menggangu, maka aku tidak dapat melakukannya lebih jauh meskipun aku sangat memerlukan pekerjaan itu”

“Tidak” jawab pemelihara kuda itu, “aku sudah mengatakan kepadanya bahwa ada dua ekor kuda dan kemudian akan datang lagi seekor kuda yang lebih baik lagi ke dalam kandang kuda Pangeran Kuda Padmadata, sehingga ia memang memerlukan kawan. Daripada memanggil kawannya yang belum pasti bersedia, maka lebih baik menerima saudaramu yang sudah menyatakan dirinya untuk mengabdikan diri”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi apakah dengan demikian tidak akan menimbulkan persoalalan di kemudian hari?”

“Tidak. Anak itu sudah dapat mengerti setelah aku jelaskan kepadanya” jawab pemelihara kura itu.

“Syukurlah” desis Mahisa Agni, “jika demikian keluargaku akan merasa sangat senang”

“Kau dapat bekerja sejak besok” berkata pemelihara kuda itu, “jika kau tidak berkeberatan, ikutilah aku sekarang menemui Ki Jurasanta. Kau akan mendapat penjelasan. Apakah kau akan tinggal di dalam atau kau akan tinggal pada Ki Daredu”

“O” Mahisa Agni mengangguk-angguk, “jika aku memang harus menghadap, aku akan datang”

Ki Daredu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, ketia ia melihat Mahisa Agni kemudian mengikuti pemelihara kuda itu pergi ke istana Pangeran Kuda Padmadata.

“Aku tidak mengeti, apakah yang sebenarnya yang dilakukannya” desis Ki Daredu.

Dalam pada itu, maka Mahisa Agni pun mengikuti pemelihara kuda itu memasuki regol istana yang besar dari seorang Pangeran yang kaya raya bersama pemelihara kuda itu. Demikian kaki Mahisa Agni menginjak halaman dalam regol ia sudah merasa beberapa pasang mata mengikutinya. Di antaranya adalah pekatik muda yang masih belum trampil menyabit rumput itu.

“Aku memang harus berhati-hati” berkata Mahisa Agni di dalam hatinya. p>

Ketika ia kemudian dihadapkan kepada Ki Jurasanta. maka Mahisa Agni pun telah merubah dirinya, benar-benar seperti seorang petani miskin. Sikapnya, kata- katanya dan kedunguannya.

“Jadi kau benar-benar ingin bekerja disini?” bertanya Ki Jurasanta.

“Ya Ki Jurasanta. Aku memang memerlukan pekerjaan. Aku senang sekali apabila aku dapat bekerja di sini”

Ki Jurasanta mengangguk-angguk. Sementara Mahisa Agni meneruskan keterangannya, “Aku berada di rumah kakang Daredu. Jika aku diperkenankan aku akan tetap berada di rumahnya, sementara siang hari aku berada di sini. Menyabit dan membantu apa saja dalam hubungannya dengan kuda-kuda itu”

“Apakah kau dapat naik kuda?” bertanya Ki Jurasanta.

“Aku pernah melakukannya ketika aku tinggal bersama pamanku dahulu. Tetapi ketika pamanku meninggal, aku tidak lagi pernah mencobanya”

“O, jadi kau pernah juga memelihara kuda di rumah pamanmu?” bertanya Ki Jurasanta.

“Aku membantunya memandikan kuda, menyabit rumput dan menyisir surinya. Bahkan aku pernah digigit lenganku oleh kuda pamanku” Mahisa Agni menjelaskan. Ki Jurasanta tersenyum. Nampaknya ia senang melihat sikap dan kata-kata Mahisa Agni yang nampaknya sangat terbuka dan tanpa ulasan apapun juga.

Katanya kemudian, “Baiklah. Kau dapat segera bekerja di sini. Siapa namamu?”

“Damar” jawab Mahisa Agni.

Ki jurasanta mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Sekarang kau boleh pulang. Besok pagi-pagi kau datang kemari. Kau akan mendapat keranjang dan sebuah sabit yang baik. Kau akan menyabit rumput bersama pekatik muda itu. Tetapi agaknya ia belum begitu pandai, namun ia rajin dan berkemauan untuk belajar. Karena itu, ajari saja anak itu agar ia segera dapat mengurangi pekerjaanmu”

“Baiklah Ki Jurasanta” jawab Mahisa Agni, “aku akan mencobanya jika ia bersedia. Tetapi jika ia tidak bersedia, aku tidak akan memaksanya”

“Ia adalah anak yang baik. Tentu ia tidak akan berkeberatan. Cobalah besok membantunya. Selama ini pemelihara kuda itu sendirilah yang turun ke padang rumput dan mengajarinya. Tetapi jika ada orang lain, maka ia akan tetap berada di dekat kandang saja tanpa meninggalkan binatang peliharaannya”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Tetapi, apakah kehadiranku di sini tidak akan membuat Pangeran Kuda Padmadata menjadi murka, karena Pangeran itu belum pernah mengenal aku”

“Pangeran itu tidak banyak mengenal hamba-hambanya secara langsung. Tetapi Pangeran mempunyai beberapa orang kepercayaan. Tentang binatang peliharaan, Pangeran telah mempercayakan kepadaku. Sejak seekor burung peranjak di kandang yang berwarna merah dan kuning keemasan itu, sampai kepada kuda- kudanya yang tegar. Bahkan jika ada seekor harimau yang belum mendapat makannya, maka Pangeran akan menegurku” jawab Ki Jurusanta

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya lagi, “Apakah Ki Jurasanta sudah lama mengabdi kepada Pangeran Kuda Padmadata?”

Ki Jurasanta tertawa. Katanya, “Aku mengabdi di sini sejak ayahanda Pangeran Kuda Padmadata masih tinggal di sini” Mahisa Agni masih mengangguk-angguk. Katanya, “Sudah lama sekali. Dengan demikian, Pangeran sudah mengenalmu sebaik-baiknya”

“Ya. Karena itu aku mendapat kepercayaan pada salah satu segi kegemaran Pangeran”

“Dengan demikian ada beberapa orang yang berkedudukan seperti Ki Jurasanta dalam bidang-bidang yang lain di sini?” bertanya Mahisa Agni kemudian.

“Sudah tentu. Ada orang yang menjadi manggala pada pasukan pengawal. Di istana ini ada sekelompok pengawal. Ada pula yang memimpin sekelompok hamba dalam yang mengatur segala sesuatu dalam istana itu, sampai kepada makan dan minum Pangeran”

Mahisa Agni mengangguk-angguk. Ia tidak bertanya lebih banyak lagi agar tidak menumbuhkan kecurigaan peda Ki Jurusanta yang baru saja mengenalnya. Tetapi bahwa ia sudah diperkenankan bekerja di tempat itu, maka sebagian dari tugasnya sudah dapat dilakukan dengan baik.

Sejenak kemudian, maka Mahisa Agni pun minta diri untuk kembali ke rumah Ki Daredu. Di keesokan harinya ia akan kembali untuk mulai dengan pekerjaannya. Dengan langkah ringan Mahisa Agni meninggalkan istana Pangeran Kuda Padmadata. Ia tidak akan menjadi bingung untuk menemukan kembali jalan menuju ke rumah Ki Daredu, karena ia sudah mengenal jalan di Kediri sebaik-baiknya.

Namun, ketika terasa sesuatu menyentuh firasatnya, maka iapun berpaling. Dilihatnya dua orang berjalan mengikutinya pada jarak yang tidak terlalu jauh. Salah seorang dari keduanya adalah pekatik muda yang akan dibantunya belajar menyabit rumput.

Dada Mahisa Agni berdesir. Tetapi ia tidak berbuat sesuatu. Ia berjalan saja seperti tidak ada prasangka apapun juga, meskipun ia menjadi berhati-hati. Ketika ia sampai di tempat yang terbuka, maka tiba-tiba saja pekatik muda itu memanggilnya, “Ki Sanak. Berhenti lan sebentar”

Mahisa Agni menjadi berdebar. Tetapi iapun berhenti pula. Bahkan sambil tersenyum-senyum ia menyapa, “Kaukah pekatik muda itu? Aku mendapat tugas untuk mengajarimu besok”

Pekatik itu sudah berada selangkah di hadapannya. Sambil berdiri bertolak pinggang ia bertanya, “Kenapa kau bekerja pada Pangeran Kuda Padmadata?”

“Kenapa?” Mahisa Agni mengulang. Tetapi iapun tertawa sambil berkata. “Kau bergurau. Aku sudah mencari pekerjaan di mana- mana. Sejak aku meninggalkan kampung halamanku. Tetapi baru kali ini aku mendapat pekerjaan setelah sekian lama aku membebani kakang Daredu”

“Kau sudah tua” berkata pekatik muda itu, “tetapi nampaknya tubuhnya masih kuat”

“O tentu anak muda. Aku masih kuat. Aku masih mampu menjinjing keranjang penuh dengan rumput yang hijau basah. Kau tidak percaya?”

Pekatik muda itu tertawa. Namun suara Mahisa Agni terputus ketika tiba-tiba saja anak muda itu memegang rambutnya dan kemudian merengutnya, “kau keras kepala”

Mahisa Agni terkejut Iapun kemudian bergeser surut. Dengan wajah ketakutan ia berkata, “Apa salahku anak muda”

“Kau tidak bersalah. Tetapi kau harus mengetahui, bahwa kau adalah hamba yang paling hina di istana Pangeran Kuda Padmadata. Kau tidak boleh berbuat sesuatu yang dapat menyakiti hatiku dan apalagi membuat aku marah” “Ya, ya. Aku tidak akan berbuat apa-apa kecuali menyabit rumput. Aku akan membantumu, mengajarimu dan bekerja sebaik-baiknya agar aku mendapat upah yang cukup untuk makan sehari- hari”

Anak muda itu menyentuh dahi Mahisa Agni dengan jari-jarinya sambil berkata, “Hati-hatilah bekerja di Istana itu. Kau harus tunduk kepada perintahku”

Mahisa Agni memandang anak muda itu dengan wajah yang tegang dan ketakutan. Selangkah lagi ia mundur. Dengan suara gemetar ia berkata, “Aku tentu akan menurut segala perintahmu. He, tetapi bukankah ada Ki Jurasanta” p>

Tiba-tiba anak muda itu sekali lagi meremas rambut Mahisa Agni sambil berkata, “Katakan sekali lagi. Aku akun mengupas wajahmu dengan batu”

“Tidak. Tidak” Mahisa Agni menjadi semakin ketakutan, “kau harus tunduk kepadaku. Jika kau berani mengatakan hal ini kepada Ki jurasanta, maka kau tidak akan melihat matahari di keesokan harinya. Mengerti?”

“Ya, ya. Aku mengerti” jawab Mahisa Agni.

“Semua orang harus tunduk kepadaku” berkata anak muda itu, “pada suatu saat Ki Jurasanta pun akan tunduk kepadaku” p>

Mahisa Agni mengangguk-ungguk. Ia tidak berani ber kata sesuatu lagi.

“Pergilah” bentak anak muda itu, “tetapi ingatlah. Ki Jurasanta hanya berkuasa dalam lingkungan istana itu saja. Tegapi aku berkuasa atas orang-orang yang aku kehendaki dimanapun juga ia berada, dan aku kuasa untuk mencabut jiwanya, siapapun yang tidak aku sukai” p>

“Jangan, jangan minta Mahisa Agni.

“Ingat-lngatlah” berkata anak muda itu sambil mendorong Mahisa Agni sehingga Mahisa Agni itu terjatuh karenanya.

Dengan tergesa-gesa Mahisa Agni pun meninggalkan anak muda itu dengan ketakutan. Namun beberapa langkah kemudian, ketika ia sudah membelakanginya, maka iapun menarik nafas dalam-dalam.

“Aku sudah mengira” berkata Mahisa Agni kepada diri sendiri” anak itu tentu bukan pekatik seperti kebanyakan pekatik. Ia di tempatkan oleh seseorang yang dengan ketatnya mengawasi isi istana itu. Hamba-hambanya dan orang-orang yang berhubungan dengan para hamba di sini. Ia menakut-nakuti orang-orang yang berhubungan dengan isi istana itu, agar tidak seorang pun yang berani berbuat sesuatu diluar pengetahuan mereka”

Dengan demikian, maka Mahisa Agni mengetahui sebagian dari keadaan istana itu. Orang yang berkepentingan dengan warisan Pangeran Kuda Padmadata agaknya sudah memasang jaring-jaring yang kuat dan rapat.

Namun Mahisa Agni pun menjadi cemas, bahwa orang orang yang demikian benar-benar tidak akan mempunyai belas kasihan kepada siapapun juga. Usaha pembunuhan atas perempuan yang pernah menjadi isteri Pangeran Kuda Padmadata dan anak laki-lakinya itu tentu tidak akan dihentikan, sebelum perempuan dan anak laki-lakinya itu benar-benar mati.

“Tetapi apakah Pangeran Kuda Padmadata benar-benar tidak mengetahui akan rencana itu, atau justru ia telah menyetujuinya karena suatu penyesalan bahwa ia sudah kawin dengan seorang perempuan padesan dan mempunyai seorang anak laki-laki. Atau mungkin atas permintaan isterinya yang cantik dari katangan tataran yang sederajad atau mungkin, mungkin dan seribu macam kemungkinan.

Mahisa Agni menarik nafas dalam-dalam. Ia mempercepat langkahnya. Ia ingin segera sampai ke rumah Ki Daredu dan menceriterakan hal itu kepada Witantra dan Mahisa Bungalan.

“Kita sudah melihat satu jalur” berkatara Witantra ketika Mahisia Agni menceriterakannya tentang pekatik muda itu. Lalu, “Ia tentu salah satu dari tangan orang yang ingin membunuh perempuan dan anak laki-lakinya itu”

“Kemungkinan terbesar adalah demikianlah” berkata Mahisa Agni, “meskipun mungkin hal itu dilakukan karena ia menjadi sakit hati, bahwa aku telah diterima bekerja bersamanya”

“Ya, tetapi kemungkinan yang pertamalah yang terbesar” berkatalah Mahisa Bungalan.

“Aku sependapat” sahut Mahisa Agni, “tetapi aku pun harus memperhitungkan dan menilai semuanya sebaik-baiknya tanpa didorong oleh sekedar prasangka dan ketergesa-gesaan”

“Pamanmu harus berhati- hati” berkata Witantra ambil tersenyum, “jangan sampai ia menunjuk sasaran yang salah”

Mahisa Agni pun tersenyum pula sambil berkata, “Apakah anak-anak muda tidak telaten lagi bekerja seperti kita yang tua- tua ini”

Mahisa Bungalan pun tersenyum pula. Katanya, “Tetapi itu tidak berarti bahwa aku tidak berhati-hati dan memperhitungkan segala kemungkinan paman”

Mahisa Agni dan Witantra tertawa. Namun dalam pada itu Mahisa Agnipun berkata, “Kakang Witantra, apakah tidak Sebaiknya kita berterus terang kepada Ki Daredu, sehingga jika terjadi sesuatu, ia tidak menjadi sangat terkejut. Mungkin orang-orang itu akan mengambil sikap lebih keras lagi pada suatu saat”

Witantra mengangguk- angguk. Iapun sebenarnya sudah memikirkan apakah yang sebaiknya dilakukan atas Ki Daredu. Jika ia tidak mengetahui sama sekali, apa yang dikerjakan oleh Mahisa Agni, Witantra dan Mahisa Bungalan, maka pada suatu saat ia akan manjadi terkejut sekali, dan bahkan mungkin akan dapat mengganggunya ketenangan hidupnya sekeluarga.

“Tetapi kitapun harus berhati-hati” berkata Witantra, “mungkin terasa terlalu lamban. Tetapi kita harus menyakinkan Ki Daredu bahwa yang kita lakukan akan bermanfaat bagi Pangeran Kuda Padmadata sekeluarga. Dan bahkan mungkin akan mencakup lingkungan yang lebih luas dari satu jaringan kejahatan yang akan menjalar di seluruh Kediri”


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>