
Bunga di Kaki Gunung Kawi bag VIII Pembunuhan Di Rue Morgue - The Murders in the Rue Morgue - Edgar Allan Poe Detak Jantung dan Hati yang Meracau - Edgar Allan Poe Bunga di Kaki Gunung Kawi bag IX Bunga di Kaki Gunung Kawi bag X
“Aku melihat sendiri”
“Kenapa kau berteriak- teriak seperti melihat hantu, apalagi hanya seseorang” Geram orang bertubuh tinggi itu.
Keduanya tidak menjawab. Mereka merasa agak malu juga mengatakan bahwa mereka telah terlempar tanpa dapat berbuat apa-apa.
Namun dalam pada itu, beberapa orang yang lain telah datang pula. Masing- masing dengan jenis senjata mereka yang menyeramkan.
“Kepung tempat itu, agar orang itu tidak dapat lari” geram orang bertubuh tinggi itu.
Namun dalam pada itu, orang-orang itupun terkejut ketika mereka melihat Ki Dukut telah meloncat berlari. Dengan serta merta orang-orang itupun berteriak, “Jangan biarkan mereka lari”
Tetapi mereka terkejut ketika mereka mendengar orang yang akan mereka kejar itu bersuit nyaring. Mereka pun segera menyadari bahwa orang itu tentu tidak sendiri.
“Bersiaplah“ orang bertubuh tinggi itu menggeram, “agaknya ada orang- orang gila jemu hidup datang ke rumah kita. Kita akan menyambutnya sebagai tamu yang paling terhormat”
Dalam pada itu, ketika orang-orang berikutnya ke luar dari gubug-gubug di hutan itu, maka orang-orang yang berpihak kepada Ki Dukut pun telah mendekat pula. Tetapi sesuai dengan pesan Ki Dukut, mereka berada di tempat yang agak terbuka.
Dalam pada itu, maka orang-orang yang keluar dari sarangnya dengan senjata masing-masing itupun segera bergerak maju. Mereka sadar, bahwa mereka akan berhadapan dengan sekelompok orang yang belum mereka ketahui. Bukan hanya berhadapan dengan seseorang saja.
Pemimpin mereka ternyata adalah seorang yang bertubuh tinggi pula. Tetapi orang itu tidak berjambang. Bahkan kepalanya hampir tidak ditumbuhi rambut lagi. Namun demikian, matanya bagaikan menyorotkan api, sementara giginya terdengar gemeretak.
“Orang-orang gila manakah yang telah berani mendekati tempat ini” geramnya.
Dalam pada itu, maka orang-orang Ki Dukut pun telah bersiap pula. Ketika Ki Dukut kembali kepada mereka, maka iapun berkata, “Mereka akan segera datang”
Sejenak orang-orang Ki Dukut yang manyebut dirinya sebagai seekor Rajawali itu masih harus menunggu. Ki Dukut telah berhasil mengusik mereka seperti membasahi sarang semut.
“Berhati-hatilah” berkata Ki Dukut kepada orang-orangnya, “mereka sedang dibakar oleh kemarahan. Tetapi kalian jangan kehilangan akal. Kalian telah memiliki dasar-dasar olah kanuragan yang barangkali lebih dari mereka. Karena itu, kalian harus tetap mempergunakan akal yang terang, sehingga kalian tidak akan kehilangan kemampuan kalian yang baru pada tataran permulaan itu. Hadapi mereka dengan sadar”
Orang yang sudah bersiap itu menjadi semakin mantap. Rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi menunggu, karena mereka segera ingin menunjukkan bahwa mereka telah memiliki dasar-dasar kemampuan ilmu kanuragan. Bukan sekedar mengandalkan kekuatan tenaga wadag mereka dengan kasar.
Sejenak kemudian, orang-orang yang marah itu telah datang berlari-lari sambil mengacungkan senjata mereka. Bahkan ada diantara mereka yang berteriak-teriak.
“Mereka datang” berkata Ki Dukut, “marilah, kita akan menyongsong mereka” p>
Ki Dukut pun kemudian meloncat dari persembunyiannya. Demikian Ki Dukut berdiri, maka orang-orangnya pun berloncatan pula sendiri di sebelah menyebelah. Mereka sudah diajari oleh Ki Dukut, bagaimana mereka harus menempatkan diri. Meskipun tidak lengkap, tetapi mereka telah berdiri di dalam gelar. Gelar garuda nglayang. Sementara Ki Dukut menjadi, paruh dari gelarnya. Pengikutnya yang setia menjadi pendamping yang selalu dekat padanya. Sementara bekas pemimpin gerombolan itu dan orang yang berwajah cacat telah berdiri di kedua ujung menjadi sayap pasukannya, masing-masing bersama beberapa orang.
“Mereka akan terjebak” desis Ki Dukut, “mereka akan menyerang paruh yang nampaknya lemah. Tetapi sayap sebelah menyebelah itu akan segera mencengkam mereka dan sekaligus menguasainya.
Pengikutnya mengangguk-angguk. Di paruh pasukan itu memang hanya ada dua orang. Ki Dukut dan pengikutnya yang setia. Kemudian dua orang di belakang yang menjadi dada pasukannya, sementara di ekor gelar itu terdapat tiga orang berdiri termangu-mangu.
Demikianlah, seperti yang sudah diperhitungkan, maka gerombolan yang marah itu tidak mempunyai perhitungan yang luas seperti Ki Dukut. Mereka langsung menyerang paruh pasukan yang nampaknya tidak akan berdaya sama sekali menghadapi serangan itu.
Ki Dukut dan pengikutnya telah bersiap sepenuhnya. Kemudian terdengar Ki Dukut berkata kepada orang-orang yang berada di belakangnya, “Jika mereka membentur aku. maka aku akan mundur. Kalian akan segera terlibat. Beritahukan kepada ekor pasukan ini, jika ada diantara lawan yang menerobos langsung, maka mereka berkewajib an untuk menahan, sementara sayap itu akan segera bergerak pula.
Demikianlah, maka dengan permainan yang mengasyikkan itu, Ki Dukut menunggu lawannya yang marah. Sekelompok orang berwajah kasar telah berlari-lari mendatangi mereka. Namun beberapa langkah di hadapan Ki Dukut, mereka memperlambat langkah mereka, dan bahkan kemudian mereka telah berhenti.
“Gila, siapakah kalian, ha?“ bertanya orang bertubuh tinggi dan berkepala botak.
“Aku Rajawali Panakluk Bumi” jawab Ki Dukut.
“Persetan” geram orang bertubuh tinggi itu, “apa maumu datang ke sarangku. Apakah kau pemimpin dari sekelompok orang-orang dungu yang tidak tahu, siapakah aku ini he?“ bertanya orang bertubuh tinggi itu.
“Kami adalah kelompok yang semula dipimpin oleh Iblis Pencabut Nyawa. Tetapi kini pemimpin itu ada di tanganku atas kehendaknya, karena aku adalah saudara tuanya yang baru datang dari menyadap ilmu kanuragan yang tidak ada duanya di muka bumi. Karena itulah maka aku disebut Rajawali Panakluk Bumi” jawab Ki Dukut.
“Gila. Jadi kalian ini anak buah si Iblis dungu itu? Seharusnya ia mengenal dengan siapa kalian berhadapan. Kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa atas kami. Tetapi apakah maksud kalian sebenarnya datang ke tempat ini? Apakah kalian akan menyerahkan pimpinan gerombolan kepadaku atau kalian minta perlindunganku karena kalian telah diganggu oleh gerombolan lain sehingga daerah buronmu menjadi sempit?“ bertanya orang yang botak itu.
“Tidak” jawab Ki Dukut, “kami datang untuk memperluas daerah pengaruh kami. Kalian harus tunduk kepada kami. Meskipun kalian akan tetap kami beri hak untuk berburu di padang perburuan kalian, tetapi kalian berada dibawah perintah kami. Setiap saat jika kami perlukan, kalian tidak akan dapat menolak. Apakah itu tenaga kalian, apakah harta kekayaan yang telah kalian kumpulkan”
“Kau benar-benar gila” teriak orang berkepala botak itu belum pernah mendengar serba sedikit tentang aku. Tentang Macan Wulung. He, akulah Macan Wulung itu.
Ki Dukut mengangguk- angguk. Katanya, “Namamu lebih baik dari Iblis Pencabut Nyawa. Macan Wulung terdengar lebih sederhana, tetapi lebih berkesan. Sayang, aku datang untuk menaklukanmu”
“Persetan” jawab orang berkepala botak itu, “kalian datang untuk mengantarkan nyawa kalian. Kamisudah siap mencincang kalian disini” geram orang itu sambil memandang berkeliling, lalu, “kenapa kalian berdiri berpencaran? Kau kira dengan demikian kalian dapat menyebak kami?“
“Kami sama sekali tidak ingin menjebak kalian. Kami datang dengan gelar perang yang tidak kau kenal sebelumnya. Sebenarnyalah kami ingin mengalahkan kalian tanpa membunuh seorangpun apabila mungkin. Tetapi jika terpaksa, apaboleh buat”
Orang yang menyebut dirinya Macan Wulung itu menggeram marah. Sikap Ki Dukut benar-benar telah menyakitkan hatinya.
Karena itu, maka ia tidak ingin menunda lebih lama lagi. Orang-orang yang datang dengan sikap yang sombong itu harus dihancurkan. Mereka harus menyadari kebodohan mereka, bahwa mereka telah datang ke sarang gerombolan yang dipimpin oleh seorang yang bernama Macan Wulung.
Dengan demikian maka orang berkepala botak itupun kemudian berteriak, “Bunuh mereka semuanya. Jangan ada yang tersisa” p>
Tetapi pada saat itu pula Ki Dukut tertawa. Kemudian demikian perintah itu selesai, Ki Dukut pun berteriak, “Jangan kau bunuh seorang pun dari lawan-lawanmu yang menyerah” p>
“Persetan“ Macan Wulung itu berteriak semakin keras.
Demikianlah, sejenak kemudian, maka Macan Wulung itu telah meloncat menyerang Ki Dukut yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk Bumi. Demikian ia meloncat maju, maka pengikut-pengikutnyapun segera berlari-larian menyerang pula.
Ki Dukut bergeser setapak. Pengikutnya yang setia itupun telah menggenggam senjatanya. Demikian orang-orang yang dipimpin oleh Macan Wulung itu meloncat menyerang, maka senjatanyapun segera berputaran.
Dua orang yang menjadi dada pasukan itupun melangkah maju. Merekapun segera terlihat ke dalam pertempuran. Sementara orang-orang yang lain langsung menyerang tiga yang berdiri agak terpisah. Tiga orang yang menjadi ekor gelar Ki Dukut.
Dalam pada itu, maka untuk sekejap, orang-orang yang berada dipusat gelar itu bagaikan telah ditimbuni dengan lawan yang jumlahnya terlalu banyak. Namun hanya sekejap. Sebelum mereka sempat berbuat sesuatu, maka sayap gelar itupun telah menyergap dari sebelah menyebelah, sehingga dengan demikian, maka orang- orang Macan Wulung itu seolah-olah menghadapi lawan yang datang dari tiga arah.
Pertempuran berikutnya menjadi semakin sengit. Orang-orang Ki Dukut dengan sengaja memancing pertempuran agar meluas. Mereka telah mendapat latihan yang khusus Bertempur bersama-sama dalam satu kelompok, atau bertempur seorang lawan seorang.
Sejenak kemudian, pertempuran itupun telah menebar. Orang-orang Macan Wulung, yang melihat lawan mereka mundur, mula-mula mengira bahwa lawan-lawan mereka telah terdesak justru baru saja kedua gerombolan itu berbenturan.
Tetapi dugaan itu ternyata salah. Demikian pertempuran itu menebar, maka mulai terasa, bahwa orang-orang yang datang itupun ternyata memiliki kemampuan yang cukup sebagai bekal kedatangan mereka ke gerombolan Macan Wulung itu.
Orang-orang Ki Dukut tetap terbagi dalam tiga kelompok. Sayap Kiri dan sayap Kanan menghadap ke induk gelar, sementara induk gelarnya, dipimpin langsung oleh Ki Dukut, sehingga dengan demikian maka Ki Dukut seorang diri dan pengawalnya itu, dapat dihitung sebagai sekelompok orang yang tangguh.
Karena itu, maka Macan Wulung yang berada di dalam arena pertempuran di induk gelar pasukan Rajawali Penakluk itu menjadi heran, bahwa jumlah orangnya yang lebih banyak di bagian pertempuran di induk gelar lawan itu sama sekali tidak berhasil mendesak lawannya.
Bahkan kemudian. Macan Wulung itu melihat betapa orang yang memimpin pasukan lawan itu telah bertempur dengan laku yang aneh.
Sementara itu, orang- orang yang berada di sayap pasukan Ki Dukut itupun telah mengejutkan lawan-lawan mereka. Orang- orang yang datang menyerang sarang mereka itu ternyata memiliki kemampuan yang melampaui kemampuan mereka.
Dengan demikian, maka beberapa saat kemudian, mulailah keseimbangan pertempuran itu goyah. Orang-orang Ki Dukut sedikit demi sedikit mulai menguasai seluruh arena. Mereka yang harus bertempur seorang melawan seorangpun nampak, bahwa orang-orang Ki Dukut memiliki ketrampilan dan memainkan senjatanya melampaui lawannya.
Macan Wulung mulai bingung menghadapi lawan yang seorang ini. Ia sudah mempunyai pengalaman bertempur yang luas di padang perburuan. Ia pernah bertempur melawan berbagai macam lawan dengan ilmunya masing- masing. Tetapi Macan Wulung belum pernah melihat seseorang mampu berbuat seperti yang dilakukan oleh orang yang menyebut dirinya Rajawali Penakluk itu.
Tetapi Macan Wulung bukan pengecut. Ia masih bertempur untuk meyakinkan diri, apakah benar-benar ia berhadapan dengan lawan yang memiliki ilmu yang aneh.
Sementara itu, seperti yang dipesan oleh Ki Dukut, maka orang-orangnya berusaha untuk bertempur dan mengalahkan lawannya tanpa membunuhnya, meskipun diluar kehendak mereka, kadang-kadang senjata mereka telah melukai lawannya. Tetapi kadang-kadang merekapun tidak dapat mengendalikan diri, sehingga dengan marah mereka menggoreskan senjata mereka ke tubuh lawannya, karena lawannya pun telah melukainya.
Demikianlah pertempuran itu berlangsung dengan sengitnya. Tetapi terasa pada orang-orang Macan Wulung bahwa gerombolan yang datang menyerang itu tidak dengan penuh nafsu berusaha membunuh sebanyak-banyaknya.
“Menyerah sajalah“ tiba- tiba mereka mendengar Ki Dukut berteriak, “kami datang tidak untuk membunuh. Kami datang untuk memperluas pengaruh kami. Jika kalian menyerah, maka kalian berada di bawah perlindungan kami. Tetapi kalian harus tunduk kepada perintah kami”
“Aku sobek mulutmu” geram Macan Wulung.
“Kau sudah berusaha untuk melakukannya” sahut Ki Dukut, “tetapi kau tidak mampu”
Ketika Macan Wulung itu menggeram, maka Ki Dukut justru tertawa berkepanjangan.
Jantung Macan Wulung rasa-rasanya hampir meledak menahan marah melihat sikap Ki Dukut. Tetapi ia benar-benar tidak dapat berbuat banyak. Ki Dukut benar-benar seorang yang memiliki kemampuan yang tidak dapat diimbanginya. Bahkan orang-orangnya pun ternyata memiliki beberapa kelebihan daripada orang-orang Macan Wulung yang dibanggakannya itu.
Demikianlah, akhirnya perlawanan Macan Wulung benar-benar telah dilumpuhkan. Beberapa orangnya telah terluka dan tidak mampu lagi berbuat sesuatu, meskipun mereka tidak dibunuh. Sementara Macan Wulung sendiri menjadi bingung, bagaimana ia menghadapi Rajawali yang bertempur bagaikan iblis itu.
Dalam pada itu, untuk lari pun rasa-rasanya tidak ada kesempatan lagi bagi Macan Wulung. Pasukan Rajawali Penakluk itu seolah- oleh telah mengepung mereka dengan rapat.
Demikianlah, maka Macan Wulung itu benar-benar tidak lagi dapat menemukan jalan lain kecuali satu-satunya yang ditawarkan oleh Ki Dukut. Menyerah.
Karena itu, ketika sekali lagi Ki Dukut berteriak agar mereka menyerahkan, maka Macan Wulungpun menjawab, “Aku akan menyerah bersama orang-orangku asal kau bersikap jujur”