Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Bisikan Arwah - 24

$
0
0
Cerita Misteri | Bisikan Arwah | by Abdullah Harahap | Bisikan Arwah | Cersil Sakti | Bisikan Arwah pdf

Bunga di Kaki Gunung Kawi bag VIII Pembunuhan Di Rue Morgue - The Murders in the Rue Morgue - Edgar Allan Poe Detak Jantung dan Hati yang Meracau - Edgar Allan Poe Bunga di Kaki Gunung Kawi bag IX Bunga di Kaki Gunung Kawi bag X

ali keatas. Mira terbatuk-batuk, hampir
  muntah oleh baunya yang tak tertahankan, lalu
  kemudian asap kemeyan itu kembali mengecil,
  bersamaan dengan wajah Embah Rejo menjadi biasa
  kembali. Hanya tinggal butir-butir keringat sebesar
  jagung memenuhi wajahnya, pertanda ia telah
  mengerahkan segenap kekuatan dalamnya untuk
  memperoleh apa yang ia inginkan. Setelah menatap
  Mira sejurus, ia berkata:
  "Suparja berbuat kekeliruan!"
  Mira terdongak.
  "Kekeliruan apa, embah?"
  "Seharusnya ia lebih banyak berdiam di rumah,
  sehingga tidak saja batuk rejannya sembuh, akan
  tetapi juga ia tak sampai harus berpapasan dengan
  mahluk itu."
  "Mahluk....... mahluk apa, Embah?" jantung Mira
  berdenyut kencang. la mengharapkan orang tua itu
  mengatakan tentang ular besar yang sisiknya hitam
  legam. Akan tetapi Embah Rejo cuma mengatakan:
  "Roh!"
  "Roh? Roh siapa, Embah?"
  "Roh Parta."
  Tetapi Embah, bagaimana ayah bisa melihat dan
  mengganggu roh orang yang sudah lama meninggal
  dunia?"
  "Roh Parta masih gentayangan!"
  Hampir pingsan Mira mendengarnya. Di sebelahnya,
  Dadang mulai menangis. Embah Rejo memandangi
  anak lelaki itu dengan jengkel.
  "Mengapa pula kau menangis, anak bodoh?"
  Ditanya begitu, bukannya tangis Dadang berhenti,
  malah semakin keras. la peluk kakaknya erat-erat
  seraya memohon: "Mari pulang, kak. Mari pulang!"
  "Kalian akan segera pulang. Aku yang antar. Tak usah
  takut, cucuku," suara orangtua itu berubah lembut. la
  kemudian tertawa terkekeh-kekeh, meskipun Mira tak
  melihat sesuatu yang lucu untuk
  ditertawakan.
  Orangtua itu kemudian bangkit, mengambil sebuah
  tongkat dari ruang dalam. Tongkat itu terbuat dari
  bambu yang warnanya sudah kuning tanah, runcing
  kedua ujungnya.
  Semula Mira menyangka tongkat bambu itu akan
  dipergunakan Embah Rejo membantu tubuhnya
  berjalan. Tetapi selagi mereka kembali ke
  pertengahan kampung, Embah Rejoa hanya
  mengapitnya di pinggang, seperti layaknya seorang
  serdadu dijaman kemerdekaan dulu. la berjalan tegak
  lurus, tak pernah terantuk akar-akar pohon kelapa
  atau terhantam rimbunan dedaunan serta ranting-
  ranting, kopi, seperti halnya yang dialami Mira dan
  Dadang yang berusaha membelalakkan mata agar
  bisa melihat jalan mereka dalam kegelapan. Meskipun
  Mira dan adiknya takut sekali berjalan di belakang
  orang tua itu, tetapi mereka lebih takut lagi berjalan
  didepan laki-laki itu.
  ***
  Di depan rumahnya, Bana ingin menghambur masuk
  ke dalam kemudian mengunci pintu dan bergulung
  dibawah selimut isterinya. Kerongkongannya tiba-tiba
  tersumbat meski gumpalan-gumpalan teriakan ingin
  minta tolong, bagai gumuruh berdentum-dentum di
  dada. la bagaikan patung mati, yang lumpuh dan bisu,
  sementara mahluk yang berdiri didekatnya,
  menyeringai lebar.
  " ........... kenapa mukamu kelabu, Bana? Takutkah
  kau?"
  Suara yang serak itu, kini seperti mendesis-desis. Dan
  dari sela-sela gigi mahluk yang berbicara itu, terjulur
  keluar lidah yang panjang bercabang-cabang. Dari
  lidah itu menetes lendir yang baunya pengik alang
  kepalang.
  "Kau seperti tak mengenalku, Bana," desis mahluk itu.
  "Bukankah kau ingat siapa Eka?"
  Bana mengangguk, hanya itulah yang bisa ia buat.
  Mengangguk. Patah-patah.
  Terdengar tawa yang nyinyir:
  "Kalau kau kenal Eka, tentu kau kenal pula
  suaminya...!"
  Entah bagaimana mulut Bana tiba-tiba bisa terbuka:
  "Laki-laki itu bukan suaminya. Laki-laki itu manusia
  kejam yang menjadikan Eka tak lebih dari seorang
  gundik yang hina!"
  "Eh, kau berani mengejek aku, Bana? Tak tahukah
  kau, aku ini si Parta?"
  Bagai belah bumi tempat Bana berpijak, tetapi ia tak
  tenggelam di antara belahan itu, meskipun betapa
  inginnya dia hal itu terjadi saat itu juga!
  "Siapa bilang aku berlaku kejam pada Eka, he Bana?"
  "Perempuan itu."
  "Apa lagi kata si terkutuk haram jadah itu?"
  Bana menjilat bibirnya yang kering kerontang.
  Jawabnya parau:
  "Ia tak
  http://cerita-silat.mywapblog.com
Bisikan Arwah - Abdullah Harahap

  cinta padamu lagi!"
  "Lalu pada siapa ia jatuh cinta?"
  Bana tak ingin menjawab, tetapi mulutnya toh
  terbuka oleh tarikan magnit yang tak kuasa ia tolak:
  "Padaku."
  "Lalu kau telanjangi ia di rumahku?"
  "Aku tak bermaksud menelanjanginya. Ia
  mengajakku kesana, katanya ia kesepian kau
  tinggalkan, perlu teman. Lalu ia menarikku ke tempat
  tidur, dan akulah yang mula-mula ia telanjangi........"
  Mahluk setengah manusia yang perlahan-lahan
  berubah setengah ular di depan Bana, tertawa
  terkekeh-kekeh. Lidahnya menjulur kesana kemari,
  hampir saja menyentuh hidung Bana. Perut Bana
  mulas, berguncang hebat. la mau muntah, tetapi
  perutnya bagai besi saja layaknya, kaku tegang.
  "Kalau begitu, aku akan masuk ke kamar tidur
  isterimu. Seperti yang kau lakukan dulu di kamar tidur
  isteriku. Lalu isterimu menelanjangiku, seperti Eka kau
  katakan menelanjangimu pula........." dan mahluk itu
  bergerak dari samping Bana. Hanya dalam sedetik,
  seperti angin yang bersiur, tubuh yang berbentuk
  setengah manusia setengah ular itu telah berada di
  depan pintu, mendorongnya seenaknya, terhempas
  membuka. Kemudian ia dengar jeritan isterinya
  tertahan di dalam rumah, kemudian sepi.
  Bulan tenggelam lagi dibalik awan yang pemalas itu.
  Bana tersentak. Kesepian di dalam rumah
  menyadarkan dirinya. Ia berteriak lantang:
  "Jangan, terkutuk!"
  Lantas dalam beberapa lompatan ia telah berada
  dalam rumah, berlari ke kamar tidur dan melihat
  mahluk yang mengerikan itu tengah menindih tubuh
  telanjang isterinya yang pingsan di atas tempat tidur.
  Tanpa bergerak dari tempatnya, mahluk mengerikan
  itu memandang kepada Bana, tertawa nyinyir dan
  menantang:
  "Pergunakan paculmu, Bana. Bukankah seperti kau,
  dulu pun aku merentak masuk, lalu menghantammu?"
  Bana mengangkat paculnya tinggi-tinggi. Mahluk itu
  cuma menatap. Dingin dan hampa. Dan pacul
  ditangan Bana terhenti di udara, dengan tangan laki-
  laki yang malang itu tetap teracung tanpa bisa ia
  gerakkan sama sekali.
  Pandangan mata dingin itu jadi berkilat-kilat, ia
  teruskan hajat kelelakiannya yang terkutuk itu. Ketika
  ia selesai, isteri Bana masih dalam keadaan pingsan.
  Waktu mahluk itu berdiri kembali di dadanya, Bana
  tak melihat bulu tetapi sisik yang hitam legam. Dan
  kepalanya tak lagi mengenakan rambut, telinganya
  pun seperti lenyap. Kepala itu benar-benar telah
  berubah jadi kepala ular, dengan lidah bercabang-
  cabang menjulur-julur keluar dan mata merah
  kehijauan memandang dengan sinar mata buas
  kearah Bana.
 
  http://cerita-silat.mywapblog.com
Bisikan Arwah - Abdullah Harahap

 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>