Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Bisikan Arwah - 25

$
0
0
Cerita Misteri | Bisikan Arwah | by Abdullah Harahap | Bisikan Arwah | Cersil Sakti | Bisikan Arwah pdf

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag I Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag II Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag III Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag IV Panasnya Bunga Mekar bag I

EMBAH REJO meletakkan tongkat bambu runcing di
  kedua ujungnya itu, lurus di sepanjang tubuh ayah
  Mira. Tubuh si sakit yang tegang dan terus-terusan
  meronta itu, perlahan-lahan melemah, kemudian
  kedua lengannya terkulai layu di sisi tubuhnya.
  Kakinya gemetar sesaat, kemudian menjadi tenang.
  Namun mata orangtua yang malang itu masih
  melotot, dan mulutnya masih mengerang.
  "Hai kau penghuni tubuh terhantar ini," rungut dukun
  tua renta disamping Mira." Kau paling menakuti
  bambu, bukan? Nah, tak akan kuangkat bambu itu
  bila tak kau tinggalkan segera tubuh laki-laki ini."
  "Aku akan pergi...... aku akan pergi," terdengar rintihan
  menyayat dari mulut ayah Mira.
  "Mengapa kau berada di tubuh orang ini?"
  "Hanya rohku saja. Saat ini, jasad dan sebagian rohku
  ada di tempat lain!"
  "Aku tak perduli pada jasad dan sebagian rohmu di
  tempat lain itu. Tak perduli pula di tubuh siapa jasad
  dan sebagian rohmu saat ini hinggap. Tetapi demi
  setan alas, mengapa orang ini sampai kau ganggu?"
  "Bukan aku. Dialah yang menggangguku. Dia sering
  sekali datang ke tempatku. la tak tau dimana aku
  berada, tetapi ia menduga-duga saja. Celakanya,
  dugaan itu benar, dan sekali waktu kami kepergok.
  Aku baru saja mau kembali ke persemay amanku
  waktu ia muncul dengan tiba-tiba seraya ia berteriak:
  "Kau setan jahaman. Kau ganggu menantuku. Kau
  bunuh saudaraku!"
  Embah Rejo menghela nafas. Mira ingin dukun itu
  bertanya lebih lanjut untuk meyakinkan dirinya
  bahwa lwan juga dipengaruhi roh Parta dan
  pembunuhan yang dilakukan roh itu terhadap paman
  Sukarya dan Eka serta kekasihnya, ada hubungannya.
  Namun tiba-tiba ia merasa takut. Sampai dimana roh
  itu mempengaruhi diri lwan? Apakah hanya sekedar
  muncul dalam impian seperti yang dialami Mira?
  Tetapi Mira dalam mimpinya secara nyata juga
  membakar sisik ular yang ia simpan. Apakah lwan
  juga telah dipengaruhi roh itu jauh dari sangkaan-
  sangkaan Mira?
  Perempuan itu menggigil, dan entah mengapa rasa
  lega setelah dukun tak bertanya apa-apa lagi. la cuma
  berkata:
  "Sekarang, pergilah kau. Jangan ganggu orang ini lagi!"
  "Terimakasih, embah. Terimakasih, embah. Aku akan
  pergi. Aku akan pergi......."
  Tiba-tiba Mira memegang lengan dukun. Tanyanya,
  tajam:
  "Mengapa embah biarkan ia pergi. Mengapa tak
  dibunuh?"
  Terkekeh-kekeh orangtua itu, sahutnya tenang-
  tenang:
  "Kalau ia harus kubunuh saat ini, maka ujung bambu
  yang runcing harus kuhunjamkan langsung ke jantung
  ayahmu. Inginkah kau hal itu kulakukan, anak manis?
  Hehehehe..........."
  Mira bergidik. Lalu menggelengkan kepala. la lihat
  ibunya dan Susanti memeluk tubuh ayah mereka.
  Meskipun belum sadar, tetapi jelas kelihatan wajah
  ayah yang tenang, mulutnya tersenyum getir dan
  lega, seolah-olah ia sadar baru lepas dan siksaan yang
  mendera jiwanya. Dadang yang sudah hilang
  ketakutannya, ia suruh tidur. Setelah itu ia temui
  Embah Rejo yang duduk seenaknya di ruang depan.
  "Mau minum kopi, embah?"
  "Kopi? Itu membuatku batuk rejan nanti seperti
  ayahmu."
  "Apakah batuk ayah akan sembuh pula?"
  "Kau campurkan ramuan ini ke minumannya tiap pagi.
  Batuknya pasti sembuh!"
  Mira menerima bungkusan kecil dari tangan orang tua
  renta itu. Entah kapan Embah Rejo menyediakannya,
  Mira tak tahu. Dan ia tak mau tau. Yang penting, obat
  itu berguna bagi kesehatan ayahnya. Oleh karena itu,
  ia tak banyak bertanya lagi, kecuali:
  "Dengan apa kebaikan embah harus kami bayar?"
  Dukun itu terkekeh-kekeh. Dipandanginya Mira tajam-
  tajam.
  "Nanti saja sekalian."
  "Emangnya apalagi yang akan embah lakukan?"
  "Pelupa benar kau ini, anak manis. Bukankah kau
  datang menemuiku tidak saja untuk mengobati
  ayahmu, tetapi juga untuk minta dilepaskan semacam
  pengaruh aneh yang menguasai dirimu?"
  "Tapi embah," sahut Mira heran. "Saya tak
  menceritakan apa-apa tentang diri saya."
  "Mulutmu tidak, tapi bau nafas dan sinar matamu. Ya."
  Mira menarik nafas.
  "Berapa tarifnya, embah?"
  http://cerita-silat.mywapblog.com
Bisikan Arwah - Abdullah Harahap

  "Jadi masih kau perlukan pertolonganku? Atau kau
  memerlukan pertolongan orang lain saja?"
  Mira memikirkannya. la memang ingin ditolong oleh
  bapak ajengan di desa kecamatan itu. Tapi ajengan
  sedang pergi ke gunung. Mungkin baru pulang besok,
  tetapi bila pasiennya bertambah bisa lebih lama. Dan
  besok Iwan akan datang menyusulnya, sehingga ia
  tidak akan berkesempatan menemui ajengan tanpa
  membuka kartu pada suaminya. Lagipula, tidakkah
  makin cepat makin baik? Dukun dihadapannya ini,
  konon sering menyakiti orang, tetapi buktinya,
  ayahnya telah disembuhkan padahal ayahnya tak
  pernah menyakiti dukun ini. Jadi, penyakit ayahnya
  bukan buatan si dukun. Ia sudah membuktikan
  dengan mata kepala dan telinga sendiri, tadi di kamar
  tidur ayahnya.
  Mira cepat mengambil keputusan.
  "Apakah sekarang embah bisa menolong saya?"
  "Sekarang?" orang tua itu geleng kepala.
  "Jadi kapan?" Mira agak kecewa.
  "Sebentar lagi saja. Aku pulang dulu ke rumah,
  mengambil ramu-ramuan yang sesuai untuk
  mengetahui pengaruh apa yang mengganggu dirimu."
  "Jadi pengobatan tak perlu di rumah embah?" tanya
  Mira gembira. "Cukup disini saja?"
  "Wah, berat kalau disini," Embah Rejo geleng-geleng
  kepala lagi. "Tempatnya harus sunyi sepi, jauh dari
  suara-suara berisik manusia, tetapi dekat dengan
  suara-suara alam yang murni."
  "Dimanakah itu, embah?" tanya Mira mengernyitkan
  dahi.
  "Di pinggir sungai."
  "Saya......... saya harus kemana? Boleh ditemani,
  embah?"
  "Ditemani perginya, boleh saja. Sudah kubilang,
  gangguan manusia lain bisa menggagalkan
  pengobatanku. Pergilah ke sungai begitu aku
  tinggalkan rumah itu. Diantar siapa saja, tetapi begitu
  nanti aku menemuimu di sungai, orang itu harus
  sudah pergi."
  Mira ragu-ragu.
  Tetapi ajengan belum tentu kapan bisa ditemui. Dan
  Iwan akan datang besok. Akhirnya ia menghela
  nafas.
  "Baiklah. Embah saya tunggu di sungai," gumamnya
  lemah. Disebelah mana, Embah?"
  "Ditempat air berputar."
  "Lumayan juga jauhnya. Dan air berputar.. .........."
  Dukun itu berdiri. Tertawa terkekeh-kekeh, dan sambil
  berjalan ke pintu ia berkata dengan suara yang lemah
  lembut:
  "Anak manis, air tak lagi berputar. Sungai hampir
  kering. Hanya kesepian yang kukehendaki. Nah, kita
  bertemu sebentar lagi, ya?"
  Lalu ia keluar pintu. Mira menyusul, maksud
  mengantar sampai ke pekarangan. Tetapi begitu ia
  berdiri didepan pintu rumah orang tuanya, dukun
  lelaki tua renta yang aneh itu telah lenyap ditelan
  kepekatan malam. Mira menghela nafas lagi.
  Berulang-ulang. Ragu-ragu sesaat, kemudian
  mengacuhkan apapun yang terjadi. Mudah-mudahan
  ia bisa menjaga diri. Tetapi yang lebih penting ia mulai
  menaruh kepercayaan pada dukun yang menurut
  orang-orang menakutkan tetapi ternyata ramah
  tamah itu.
  la masuk ke kamar Dadang, tetapi si bungsu itu sudah
  mendengkur. Susanti agak pucat waktu ia minta
  tolong diantarkan ke sungai, lalu mengeluh:
  "Demi kau, apa boleh buat!"
  "Ingat. Jangan beritahu ibu. Katakanlah padanya kita
  mau tidur, lalu tutup pintu kamar mereka. Kita keluar
  diam-diam. Kasihan ibu, kalau ia sampai tau hal apa
  yang menimpa diriku. Cukuplah penderitaan ayah
  menyiksa bathin dan phisik beliau."
  Beberapa menit kemudian, dengan berkerudung
  selimut satu seorang, keduanya keluar dari rumah.
  Tetangga-tetangga sudah pada tidur, jadi mereka tak
  perlu mengendad- endap. Untung bulan pelan-pelan
  dijauhi awan sehingga jalan yang mereka lalui cukup
  terang untuk dilihat. Lagipula Susanti hapal benar
  jalan-jalan di kampung mereka, termasuk arah ke
  sungai dimana biasanya kalau sedang meluap ada air
  berputar. Ketika melewati mesjid, bulan semakin
  penuh saja di langit.
  ***
  BULAN penuh itu menyinari jalan lwan. Waktu keluar
  dari rumah Bana. Beberapa saat sebelumnya, ia
  melihat Bana mati berdiri, kemudian luluh terkulai.
  lwan mula-mula tak mengerti mengapa begitu cepat
  dirinya berubah dan bagaimana semua itu sampai
  terjadi. Basa

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>