Cerita Misteri | Bisikan Arwah | by Abdullah Harahap | Bisikan Arwah | Cersil Sakti | Bisikan Arwah pdf
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag I Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag II Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag III Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag IV Panasnya Bunga Mekar bag I
EMBAH REJO meletakkan tongkat bambu runcing di
kedua ujungnya itu, lurus di sepanjang tubuh ayah
Mira. Tubuh si sakit yang tegang dan terus-terusan
meronta itu, perlahan-lahan melemah, kemudian
kedua lengannya terkulai layu di sisi tubuhnya.
Kakinya gemetar sesaat, kemudian menjadi tenang.
Namun mata orangtua yang malang itu masih
melotot, dan mulutnya masih mengerang.
"Hai kau penghuni tubuh terhantar ini," rungut dukun
tua renta disamping Mira." Kau paling menakuti
bambu, bukan? Nah, tak akan kuangkat bambu itu
bila tak kau tinggalkan segera tubuh laki-laki ini."
"Aku akan pergi...... aku akan pergi," terdengar rintihan
menyayat dari mulut ayah Mira.
"Mengapa kau berada di tubuh orang ini?"
"Hanya rohku saja. Saat ini, jasad dan sebagian rohku
ada di tempat lain!"
"Aku tak perduli pada jasad dan sebagian rohmu di
tempat lain itu. Tak perduli pula di tubuh siapa jasad
dan sebagian rohmu saat ini hinggap. Tetapi demi
setan alas, mengapa orang ini sampai kau ganggu?"
"Bukan aku. Dialah yang menggangguku. Dia sering
sekali datang ke tempatku. la tak tau dimana aku
berada, tetapi ia menduga-duga saja. Celakanya,
dugaan itu benar, dan sekali waktu kami kepergok.
Aku baru saja mau kembali ke persemay amanku
waktu ia muncul dengan tiba-tiba seraya ia berteriak:
"Kau setan jahaman. Kau ganggu menantuku. Kau
bunuh saudaraku!"
Embah Rejo menghela nafas. Mira ingin dukun itu
bertanya lebih lanjut untuk meyakinkan dirinya
bahwa lwan juga dipengaruhi roh Parta dan
pembunuhan yang dilakukan roh itu terhadap paman
Sukarya dan Eka serta kekasihnya, ada hubungannya.
Namun tiba-tiba ia merasa takut. Sampai dimana roh
itu mempengaruhi diri lwan? Apakah hanya sekedar
muncul dalam impian seperti yang dialami Mira?
Tetapi Mira dalam mimpinya secara nyata juga
membakar sisik ular yang ia simpan. Apakah lwan
juga telah dipengaruhi roh itu jauh dari sangkaan-
sangkaan Mira?
Perempuan itu menggigil, dan entah mengapa rasa
lega setelah dukun tak bertanya apa-apa lagi. la cuma
berkata:
"Sekarang, pergilah kau. Jangan ganggu orang ini lagi!"
"Terimakasih, embah. Terimakasih, embah. Aku akan
pergi. Aku akan pergi......."
Tiba-tiba Mira memegang lengan dukun. Tanyanya,
tajam:
"Mengapa embah biarkan ia pergi. Mengapa tak
dibunuh?"
Terkekeh-kekeh orangtua itu, sahutnya tenang-
tenang:
"Kalau ia harus kubunuh saat ini, maka ujung bambu
yang runcing harus kuhunjamkan langsung ke jantung
ayahmu. Inginkah kau hal itu kulakukan, anak manis?
Hehehehe..........."
Mira bergidik. Lalu menggelengkan kepala. la lihat
ibunya dan Susanti memeluk tubuh ayah mereka.
Meskipun belum sadar, tetapi jelas kelihatan wajah
ayah yang tenang, mulutnya tersenyum getir dan
lega, seolah-olah ia sadar baru lepas dan siksaan yang
mendera jiwanya. Dadang yang sudah hilang
ketakutannya, ia suruh tidur. Setelah itu ia temui
Embah Rejo yang duduk seenaknya di ruang depan.
"Mau minum kopi, embah?"
"Kopi? Itu membuatku batuk rejan nanti seperti
ayahmu."
"Apakah batuk ayah akan sembuh pula?"
"Kau campurkan ramuan ini ke minumannya tiap pagi.
Batuknya pasti sembuh!"
Mira menerima bungkusan kecil dari tangan orang tua
renta itu. Entah kapan Embah Rejo menyediakannya,
Mira tak tahu. Dan ia tak mau tau. Yang penting, obat
itu berguna bagi kesehatan ayahnya. Oleh karena itu,
ia tak banyak bertanya lagi, kecuali:
"Dengan apa kebaikan embah harus kami bayar?"
Dukun itu terkekeh-kekeh. Dipandanginya Mira tajam-
tajam.
"Nanti saja sekalian."
"Emangnya apalagi yang akan embah lakukan?"
"Pelupa benar kau ini, anak manis. Bukankah kau
datang menemuiku tidak saja untuk mengobati
ayahmu, tetapi juga untuk minta dilepaskan semacam
pengaruh aneh yang menguasai dirimu?"
"Tapi embah," sahut Mira heran. "Saya tak
menceritakan apa-apa tentang diri saya."
"Mulutmu tidak, tapi bau nafas dan sinar matamu. Ya."
Mira menarik nafas.
"Berapa tarifnya, embah?"
http://cerita-silat.mywapblog.com
"Jadi masih kau perlukan pertolonganku? Atau kau
memerlukan pertolongan orang lain saja?"
Mira memikirkannya. la memang ingin ditolong oleh
bapak ajengan di desa kecamatan itu. Tapi ajengan
sedang pergi ke gunung. Mungkin baru pulang besok,
tetapi bila pasiennya bertambah bisa lebih lama. Dan
besok Iwan akan datang menyusulnya, sehingga ia
tidak akan berkesempatan menemui ajengan tanpa
membuka kartu pada suaminya. Lagipula, tidakkah
makin cepat makin baik? Dukun dihadapannya ini,
konon sering menyakiti orang, tetapi buktinya,
ayahnya telah disembuhkan padahal ayahnya tak
pernah menyakiti dukun ini. Jadi, penyakit ayahnya
bukan buatan si dukun. Ia sudah membuktikan
dengan mata kepala dan telinga sendiri, tadi di kamar
tidur ayahnya.
Mira cepat mengambil keputusan.
"Apakah sekarang embah bisa menolong saya?"
"Sekarang?" orang tua itu geleng kepala.
"Jadi kapan?" Mira agak kecewa.
"Sebentar lagi saja. Aku pulang dulu ke rumah,
mengambil ramu-ramuan yang sesuai untuk
mengetahui pengaruh apa yang mengganggu dirimu."
"Jadi pengobatan tak perlu di rumah embah?" tanya
Mira gembira. "Cukup disini saja?"
"Wah, berat kalau disini," Embah Rejo geleng-geleng
kepala lagi. "Tempatnya harus sunyi sepi, jauh dari
suara-suara berisik manusia, tetapi dekat dengan
suara-suara alam yang murni."
"Dimanakah itu, embah?" tanya Mira mengernyitkan
dahi.
"Di pinggir sungai."
"Saya......... saya harus kemana? Boleh ditemani,
embah?"
"Ditemani perginya, boleh saja. Sudah kubilang,
gangguan manusia lain bisa menggagalkan
pengobatanku. Pergilah ke sungai begitu aku
tinggalkan rumah itu. Diantar siapa saja, tetapi begitu
nanti aku menemuimu di sungai, orang itu harus
sudah pergi."
Mira ragu-ragu.
Tetapi ajengan belum tentu kapan bisa ditemui. Dan
Iwan akan datang besok. Akhirnya ia menghela
nafas.
"Baiklah. Embah saya tunggu di sungai," gumamnya
lemah. Disebelah mana, Embah?"
"Ditempat air berputar."
"Lumayan juga jauhnya. Dan air berputar.. .........."
Dukun itu berdiri. Tertawa terkekeh-kekeh, dan sambil
berjalan ke pintu ia berkata dengan suara yang lemah
lembut:
"Anak manis, air tak lagi berputar. Sungai hampir
kering. Hanya kesepian yang kukehendaki. Nah, kita
bertemu sebentar lagi, ya?"
Lalu ia keluar pintu. Mira menyusul, maksud
mengantar sampai ke pekarangan. Tetapi begitu ia
berdiri didepan pintu rumah orang tuanya, dukun
lelaki tua renta yang aneh itu telah lenyap ditelan
kepekatan malam. Mira menghela nafas lagi.
Berulang-ulang. Ragu-ragu sesaat, kemudian
mengacuhkan apapun yang terjadi. Mudah-mudahan
ia bisa menjaga diri. Tetapi yang lebih penting ia mulai
menaruh kepercayaan pada dukun yang menurut
orang-orang menakutkan tetapi ternyata ramah
tamah itu.
la masuk ke kamar Dadang, tetapi si bungsu itu sudah
mendengkur. Susanti agak pucat waktu ia minta
tolong diantarkan ke sungai, lalu mengeluh:
"Demi kau, apa boleh buat!"
"Ingat. Jangan beritahu ibu. Katakanlah padanya kita
mau tidur, lalu tutup pintu kamar mereka. Kita keluar
diam-diam. Kasihan ibu, kalau ia sampai tau hal apa
yang menimpa diriku. Cukuplah penderitaan ayah
menyiksa bathin dan phisik beliau."
Beberapa menit kemudian, dengan berkerudung
selimut satu seorang, keduanya keluar dari rumah.
Tetangga-tetangga sudah pada tidur, jadi mereka tak
perlu mengendad- endap. Untung bulan pelan-pelan
dijauhi awan sehingga jalan yang mereka lalui cukup
terang untuk dilihat. Lagipula Susanti hapal benar
jalan-jalan di kampung mereka, termasuk arah ke
sungai dimana biasanya kalau sedang meluap ada air
berputar. Ketika melewati mesjid, bulan semakin
penuh saja di langit.
***
BULAN penuh itu menyinari jalan lwan. Waktu keluar
dari rumah Bana. Beberapa saat sebelumnya, ia
melihat Bana mati berdiri, kemudian luluh terkulai.
lwan mula-mula tak mengerti mengapa begitu cepat
dirinya berubah dan bagaimana semua itu sampai
terjadi. Basa
Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag I Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag II Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag III Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag IV Panasnya Bunga Mekar bag I
EMBAH REJO meletakkan tongkat bambu runcing di
kedua ujungnya itu, lurus di sepanjang tubuh ayah
Mira. Tubuh si sakit yang tegang dan terus-terusan
meronta itu, perlahan-lahan melemah, kemudian
kedua lengannya terkulai layu di sisi tubuhnya.
Kakinya gemetar sesaat, kemudian menjadi tenang.
Namun mata orangtua yang malang itu masih
melotot, dan mulutnya masih mengerang.
"Hai kau penghuni tubuh terhantar ini," rungut dukun
tua renta disamping Mira." Kau paling menakuti
bambu, bukan? Nah, tak akan kuangkat bambu itu
bila tak kau tinggalkan segera tubuh laki-laki ini."
"Aku akan pergi...... aku akan pergi," terdengar rintihan
menyayat dari mulut ayah Mira.
"Mengapa kau berada di tubuh orang ini?"
"Hanya rohku saja. Saat ini, jasad dan sebagian rohku
ada di tempat lain!"
"Aku tak perduli pada jasad dan sebagian rohmu di
tempat lain itu. Tak perduli pula di tubuh siapa jasad
dan sebagian rohmu saat ini hinggap. Tetapi demi
setan alas, mengapa orang ini sampai kau ganggu?"
"Bukan aku. Dialah yang menggangguku. Dia sering
sekali datang ke tempatku. la tak tau dimana aku
berada, tetapi ia menduga-duga saja. Celakanya,
dugaan itu benar, dan sekali waktu kami kepergok.
Aku baru saja mau kembali ke persemay amanku
waktu ia muncul dengan tiba-tiba seraya ia berteriak:
"Kau setan jahaman. Kau ganggu menantuku. Kau
bunuh saudaraku!"
Embah Rejo menghela nafas. Mira ingin dukun itu
bertanya lebih lanjut untuk meyakinkan dirinya
bahwa lwan juga dipengaruhi roh Parta dan
pembunuhan yang dilakukan roh itu terhadap paman
Sukarya dan Eka serta kekasihnya, ada hubungannya.
Namun tiba-tiba ia merasa takut. Sampai dimana roh
itu mempengaruhi diri lwan? Apakah hanya sekedar
muncul dalam impian seperti yang dialami Mira?
Tetapi Mira dalam mimpinya secara nyata juga
membakar sisik ular yang ia simpan. Apakah lwan
juga telah dipengaruhi roh itu jauh dari sangkaan-
sangkaan Mira?
Perempuan itu menggigil, dan entah mengapa rasa
lega setelah dukun tak bertanya apa-apa lagi. la cuma
berkata:
"Sekarang, pergilah kau. Jangan ganggu orang ini lagi!"
"Terimakasih, embah. Terimakasih, embah. Aku akan
pergi. Aku akan pergi......."
Tiba-tiba Mira memegang lengan dukun. Tanyanya,
tajam:
"Mengapa embah biarkan ia pergi. Mengapa tak
dibunuh?"
Terkekeh-kekeh orangtua itu, sahutnya tenang-
tenang:
"Kalau ia harus kubunuh saat ini, maka ujung bambu
yang runcing harus kuhunjamkan langsung ke jantung
ayahmu. Inginkah kau hal itu kulakukan, anak manis?
Hehehehe..........."
Mira bergidik. Lalu menggelengkan kepala. la lihat
ibunya dan Susanti memeluk tubuh ayah mereka.
Meskipun belum sadar, tetapi jelas kelihatan wajah
ayah yang tenang, mulutnya tersenyum getir dan
lega, seolah-olah ia sadar baru lepas dan siksaan yang
mendera jiwanya. Dadang yang sudah hilang
ketakutannya, ia suruh tidur. Setelah itu ia temui
Embah Rejo yang duduk seenaknya di ruang depan.
"Mau minum kopi, embah?"
"Kopi? Itu membuatku batuk rejan nanti seperti
ayahmu."
"Apakah batuk ayah akan sembuh pula?"
"Kau campurkan ramuan ini ke minumannya tiap pagi.
Batuknya pasti sembuh!"
Mira menerima bungkusan kecil dari tangan orang tua
renta itu. Entah kapan Embah Rejo menyediakannya,
Mira tak tahu. Dan ia tak mau tau. Yang penting, obat
itu berguna bagi kesehatan ayahnya. Oleh karena itu,
ia tak banyak bertanya lagi, kecuali:
"Dengan apa kebaikan embah harus kami bayar?"
Dukun itu terkekeh-kekeh. Dipandanginya Mira tajam-
tajam.
"Nanti saja sekalian."
"Emangnya apalagi yang akan embah lakukan?"
"Pelupa benar kau ini, anak manis. Bukankah kau
datang menemuiku tidak saja untuk mengobati
ayahmu, tetapi juga untuk minta dilepaskan semacam
pengaruh aneh yang menguasai dirimu?"
"Tapi embah," sahut Mira heran. "Saya tak
menceritakan apa-apa tentang diri saya."
"Mulutmu tidak, tapi bau nafas dan sinar matamu. Ya."
Mira menarik nafas.
"Berapa tarifnya, embah?"
http://cerita-silat.mywapblog.com
Bisikan Arwah - Abdullah Harahap
"Jadi masih kau perlukan pertolonganku? Atau kau
memerlukan pertolongan orang lain saja?"
Mira memikirkannya. la memang ingin ditolong oleh
bapak ajengan di desa kecamatan itu. Tapi ajengan
sedang pergi ke gunung. Mungkin baru pulang besok,
tetapi bila pasiennya bertambah bisa lebih lama. Dan
besok Iwan akan datang menyusulnya, sehingga ia
tidak akan berkesempatan menemui ajengan tanpa
membuka kartu pada suaminya. Lagipula, tidakkah
makin cepat makin baik? Dukun dihadapannya ini,
konon sering menyakiti orang, tetapi buktinya,
ayahnya telah disembuhkan padahal ayahnya tak
pernah menyakiti dukun ini. Jadi, penyakit ayahnya
bukan buatan si dukun. Ia sudah membuktikan
dengan mata kepala dan telinga sendiri, tadi di kamar
tidur ayahnya.
Mira cepat mengambil keputusan.
"Apakah sekarang embah bisa menolong saya?"
"Sekarang?" orang tua itu geleng kepala.
"Jadi kapan?" Mira agak kecewa.
"Sebentar lagi saja. Aku pulang dulu ke rumah,
mengambil ramu-ramuan yang sesuai untuk
mengetahui pengaruh apa yang mengganggu dirimu."
"Jadi pengobatan tak perlu di rumah embah?" tanya
Mira gembira. "Cukup disini saja?"
"Wah, berat kalau disini," Embah Rejo geleng-geleng
kepala lagi. "Tempatnya harus sunyi sepi, jauh dari
suara-suara berisik manusia, tetapi dekat dengan
suara-suara alam yang murni."
"Dimanakah itu, embah?" tanya Mira mengernyitkan
dahi.
"Di pinggir sungai."
"Saya......... saya harus kemana? Boleh ditemani,
embah?"
"Ditemani perginya, boleh saja. Sudah kubilang,
gangguan manusia lain bisa menggagalkan
pengobatanku. Pergilah ke sungai begitu aku
tinggalkan rumah itu. Diantar siapa saja, tetapi begitu
nanti aku menemuimu di sungai, orang itu harus
sudah pergi."
Mira ragu-ragu.
Tetapi ajengan belum tentu kapan bisa ditemui. Dan
Iwan akan datang besok. Akhirnya ia menghela
nafas.
"Baiklah. Embah saya tunggu di sungai," gumamnya
lemah. Disebelah mana, Embah?"
"Ditempat air berputar."
"Lumayan juga jauhnya. Dan air berputar.. .........."
Dukun itu berdiri. Tertawa terkekeh-kekeh, dan sambil
berjalan ke pintu ia berkata dengan suara yang lemah
lembut:
"Anak manis, air tak lagi berputar. Sungai hampir
kering. Hanya kesepian yang kukehendaki. Nah, kita
bertemu sebentar lagi, ya?"
Lalu ia keluar pintu. Mira menyusul, maksud
mengantar sampai ke pekarangan. Tetapi begitu ia
berdiri didepan pintu rumah orang tuanya, dukun
lelaki tua renta yang aneh itu telah lenyap ditelan
kepekatan malam. Mira menghela nafas lagi.
Berulang-ulang. Ragu-ragu sesaat, kemudian
mengacuhkan apapun yang terjadi. Mudah-mudahan
ia bisa menjaga diri. Tetapi yang lebih penting ia mulai
menaruh kepercayaan pada dukun yang menurut
orang-orang menakutkan tetapi ternyata ramah
tamah itu.
la masuk ke kamar Dadang, tetapi si bungsu itu sudah
mendengkur. Susanti agak pucat waktu ia minta
tolong diantarkan ke sungai, lalu mengeluh:
"Demi kau, apa boleh buat!"
"Ingat. Jangan beritahu ibu. Katakanlah padanya kita
mau tidur, lalu tutup pintu kamar mereka. Kita keluar
diam-diam. Kasihan ibu, kalau ia sampai tau hal apa
yang menimpa diriku. Cukuplah penderitaan ayah
menyiksa bathin dan phisik beliau."
Beberapa menit kemudian, dengan berkerudung
selimut satu seorang, keduanya keluar dari rumah.
Tetangga-tetangga sudah pada tidur, jadi mereka tak
perlu mengendad- endap. Untung bulan pelan-pelan
dijauhi awan sehingga jalan yang mereka lalui cukup
terang untuk dilihat. Lagipula Susanti hapal benar
jalan-jalan di kampung mereka, termasuk arah ke
sungai dimana biasanya kalau sedang meluap ada air
berputar. Ketika melewati mesjid, bulan semakin
penuh saja di langit.
***
BULAN penuh itu menyinari jalan lwan. Waktu keluar
dari rumah Bana. Beberapa saat sebelumnya, ia
melihat Bana mati berdiri, kemudian luluh terkulai.
lwan mula-mula tak mengerti mengapa begitu cepat
dirinya berubah dan bagaimana semua itu sampai
terjadi. Basa