Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Panasnya Bunga Mekar - 228

$
0
0
Panasnya Bunga Mekar - Serial Pelangi Di Langit Singosari 4 - SH Mintardja.jpegCerita Silat | Panasnya Bunga Mekar | Serial Pelangi Di Langit Singosari | Panasnya Bunga Mekar | SH Mintardja | Panasnya Bunga Mekar pdf

Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag I Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag II Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag III Sepasang Ular Naga Di Satu Sarang bag IV Panasnya Bunga Mekar bag I

mereka kepada Pangeran Indrasunu.

Tetapi sekali lagi Mahendra berkata “Kalianpun jangan kehilangan akal. Jika pada saatnya Pangeran Indrasunu tidak terbangun lagi, maka kalian dapat membunuhku”

Para pengawal itu termangu-mangu. Apalagi ketika Pangeran Wirapaksi yang percaya kepada kata-kata Mahendra itupun menyambung “Minggirlah. Percayalah kepadaku. Pangeran Indrasunu adalah adik iparku”

Para pengawal itu ragu- ragu. Tetapi ketika para pengawal istana Pangeran Wirapaksi mulai bergeser, maka ‘merekapun telah melangkah surut.

Dalam pada itu, Mahendrapun dengan tergesa-gesa mendekati Wasi Sambuja yang dalam keadaan parah. Namun rasa- rasanya Wasi Sambuja masih dapat mengatasi keadaannya. Sementara itu Mahendrapun telah memberi isyarat kepada Mahisa Agni untuk mendekatinya.

Setelah berpesan kepada Mahisa Bungalah untuk menunggui Witantra yang sedang berusaha mengatur pernafasannya dan mengatasi kesulitan dibagian dalam dadanya, maka Mahisa Agnipun telah dengan tergesa-gesa mendekatinya.

Mahisa Agni dan Mahendrapun kemudian berjongkok di sebelah Wasi Sambuja yang terbujur diam. Keduanyapun kemudian berusaha untuk membantu mengatur pernafasan mereka. Mahendra telah mengangkat kedua tangan Wasi Sambuja dan kemudian meletakkannya membentang. Sementara Mahisa Agnipun kemudian duduk diam sambil meletakkan tangannya di dada Wasi Sambuja.

Masih terasa nafas Wasi Sambuja bergerak. Tetapi sama sekali tidak teratur dan bahkan kadang-kadang hampir tidak terasa.

Karena itu, maka Mahendrapun telah mengambil sejenis obat yang selalu dibawanya. Dengan beberapa tetes air, obat itu dicairkannya dan kemudian dituangkannya ke dalam mulut Wasi Sambuja.

“Mudah-mudahan dapat membantunya” berkata Mahendra sambil mengendorkan ikat pinggang kulit Wasi Sambuja yang tebal dan lebar.

“Bawa Wasi Sambuja ke serambi“ minta Mahendra kemudian kepada para pengawal Pangeran Indrasunu.

Oleh beberapa orang maka Wasi Sambuja itupun kemudian dibaringkan di amben kayu di serambi samping istana Pangeran Wirapaksi. Sementara itu, justru Witantra masih tetap berbaring di sisi arena.

“Apakah Ki Witantra tidak dibawa ke serambi pula?” bertanya Pangeran Wirapaksi.

Tetapi Mahisa Agni menggeleng. Katanya “Ia sedang berusaha dengan kekuatan sendiri untuk memperbaiki pernafasan dan berusaha menyembuhkan guncangan di dalam dadanya karena benturan itu. Aku masih berharap bahwa ia dapat melakukannya bagi dirinya sendiri tanpa bantuan sejenis obat-obatan, karena dengan kekuatan sendiri, segalanya akan berjalan lebih baik dan wajar bagi tubuhnya”

Pangeran Wirapaksi mengangguk-angguk. Tetapi iapun melihat bahwa pernafasan Witantra yang terbaring di sisi arena itu, semakin lama menjadi semakin teratur.

Dalam pada itu, setelah Wasi Sambuja terbaring di amben kayu, maka Mahisa Agni dan Mahendrapun me-ninggalkannya dan merekapun mendekati Witantra yang terbaring sambil berkata kepada para pengawal Indrasunu, agar Pangeran Indrasunu yang tertidur itupun dibawa ke serambi pula.

Ketika Mahisa Agni dan Mahendra berjongkok di sisi tubuh Witantra, ternyata bahwa Witantra sudah berhasil mengatasi segala kesulitan didalam dirinya. Meskipun tubuhnya masih sangat lemah, namun pernafasannya sudah menjadi teratur. Dadanya tidak lagi terasa pepat bagaikan ditindih gunung.

Dibantu oleh Mahisa Bungalan, maka perlahan-lahan Witantrapun berusaha untuk duduk. Sambil menarik nafas dalam-dalam, ia bergumam “Wasi itu memiliki ilmu yang sangat tinggi. Dimana ia sekarang?“

Mahisa Agni memandang ke serambi sambil berkata “Ia telah dibaringkan di amben kayu”

Wajah Witantra menegang. Dengan terbata-bata ia bertanya “Tetapi bukankah aku tidak membunuhnya ?“

“Tidak” jawab Mahendra “ia tidak mati. Tetapi keadaannya sangat parah. Tetapi aku sudah memberikan obat baginya. Mudah- mudahan ia berhasil mengatasi keadaannya”

Witantra mengangguk- angguk. Katanya “Aku akan melihatnya”

Dengan tubuh yang masih lemah, Witantra itupun berdiri dibantu oleh Mahisa Bungalan. Iapun kemudian diikuti oleh Mahisa Agni dan Mahendra melangkah menuju ke serambi pula untuk melihat keadaan Wasi Sambuja.

Ketika Witantra sampai di serambi, Wasi Sambuja masih terbaring diam. Nampaknya keadaannya memang parah. Namun setelah obat yang diberikan oleh Mahendra dituangkan kedalam mulutnya dan mengalir melalui tenggorokannya, maka pernafasannya menjadi berangsur baik dan mulai teratur. Namun demikian matanya masih tetap terpejam.

Witantra yang lemah itupun kemudian duduk di bibir amben tempat Wasi Sambuja terbaring. Ketika ia memandang ke amben yang lain, dilihatnya Pangeran Indrasunupun terbaring pula.

“Kenapa anak itu?” bertanya Witantra.

“Aku telah membuatnya tidur sebentar” jawab Mahendra yang kemudian menceriterakan apa yang telah diperbuat oleh Pangeran Indrasunu.

Dalam pada itu, ketika angin yang silir menyentuh tubuh Pangeran Indrasunu, maka iapun mulai sadar perlahan-lahan. Akhirnya iapun teringat segalanya yang telah terjadi, sehingga karena itu, maka iapun segera meloncat bangun.

“Dimana guru?“ Pangeran Indrasunu itupun ke-mudian bertanya dengan tegang.

“Tenanglah” berkata Mahendra “gurumu sedang berusaha untuk memperbaiki pernafasannya”

“Omong kosong. Kalian telah membunuhnya“ Pangeran itu membentak.

“Ia dalam keadaan yang semakin baik” jawab Mahendra

“Omong kosong. Jika kalian membunuh guru, bunuh aku sama sekali. Guru datang kemari karena aku memanggilnya. Karena itu, maka kematiannya harus aku tuntut sampai akhir hidupku pula“

“Gurumu masih hidup” jawab Mahisa Agni “ia akan berangsur baik jika kau tidak mengganggunya. Tetapi jika kau tidak mau mengerti usaha kami, maka kematiannya adalah karena pokalmu. Itu berarti bahwa kaulah yang membunuhnya”

Pangeran Indrasunu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian “Kalian berusaha menipu aku”

“Tunggulah barang sejenak. Kau akan melihat satu kenyataan tentang keadaan gurumu ini. Lihat, pernafasannya telah menjadi lebih lancar dan lebih teratur” jawab Mahendra.

Pangeran Wirapaksilah yang kemudian mendekati adik iparnya. Dibimbingnya adik iparnya untuk duduk. Dengan kata-kata sareh Pangeran Wirapaksi berkata “Adimas Indrasunu. Jika orang-orang itu bermaksud jahat, maka alangkah mudahnya untuk membunuh Wasi Sambuja dalam keadaan itu. Tetapi kau harus percaya bahwa mereka tidak akan melakukannya”

Pangeran Indrasunu menarik nafas dalam-dalam. Tubuhnya sendiri rasa- rasanya masih terlalu letih. Bukan saja karena perang tanding. Tetapi benturan ilmu yang telah terjadi, membuatnya hampir tidak bertenaga lagi.

Sebenarnyalah seperti yang dikatakan oleh orang-orang yang mengerumuni Wasi Sambuja termasuk Witantra, bahwa pernafasannya menjadi semakin baik. Beberapa kali Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam meskipun matanya masih terpejam. Namun perlahan-lahan pula ia mulai menggerakkan pelupuk matanya itu.

Ketika matanya terbuka, ia melihat beberapa orang duduk di bibir amben kayu tempat ia terbaring. Semula bayangan-bayangan Itu nampak baur. Namun semakin lama menjadi semakin jelas, sehingga akhirnya ia melihat seorang demi seorang. Diantara mereka nampak Witantra, orang yang melawannya dalam perang tanding, dan Pangeran Wirapaksi sendiri.

Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia melihat Pangeran Indrasunu maka iapun berdesis “Pangeran”

Pangeran Indrasunu mendekatinya. Dengan penuh harap ia berkata “Apakah guru menjadi semakin baik?“

Wasi Sambuja tersenyum. Katanya “Aku berangsur semakin baik” p>

Pangeran Indrasunu mengangguk-angguk. Katanya ”Sukurlah. Sebentar lagi guru akan pulih kembali”

Sesaat Wasi Sambuja masih tetap berbaring. Namun pernafasannya tidak lagi terasa sesak. Dan iapun merasa pada bibir dan lidahnya, bahwa ia telah minum obat yang membantunya mempercepat kesadarannya.

Namun ketika tubuhnya terasa menjadi semakin baik, maka Wasi Sambuja itupun berusaha untuk bangkit.

“Jangan memaksa diri” desis Pangeran Wirapaksi “berbaring sajalah”

Tetapi Wasi Sambuja berusaha untuk tersenyum dan menjawab “Aku sudah berangsur baik”

Dibantu oleh Pangeran hidrasimu, maka Wasi Sambuja pun segera duduk bersandar dinding kayu serambi. Sementara itu, beberapa orang masih tetap mengerumuni mereka. p>

“Sungguh diluar dugaan” desis Wasi Sambuja “bahwa aku telah dikalahkan oleh orang-orang yang tidak aku kenal sebelumnya. Tetapi sudah tentu bahwa yang terjadi ini bukan akhir dari segala-galanya. Meskipun aku tahu, bahwa kalian adalah orang-orang jantan yang menghargai keluhuran budi, sehingga kalian tidak membunuh aku pada saat aku tidak berdaya”

“Apakah Wasi Sambuja masih mendendam?” bertanya Pangeran Wirapaksi. p>

“Tidak Pangeran. Persoalannya bukan dendam dan benci. Tetapi sekedar harga diri sebuah perguruan” jawab Wasi Sambuia

“Jadi paman Wasi Sambuja merasa terhina karena pimpinan tertinggi perguruan paman, dikalahkan oleh orang-orang yang sebelumnya tidak pernah dikenal. Begitu?” bertanya Pangeran Wirapaksi.

“Ya. Begitulah kira-kira” jawab Wasi Sambuja.

“Bagaimana jika yang telah mengalahkan paman Wasi Sambuja itu orang- orang yang telah punya nama?” bertanya Pangeran Wirapaksi.

“Jika tatarannya cukup tinggi untuk mengalahkan aku, maka itu adalah wajar sekali. Tetapi kekalahan yang terjadi ini sebenarnya tidak boleh dipakai sebagai ukuran betapa rendahnya derajad perguruan Wasi Sambuja”

“Paman menilai diri sendiri terlalu besar” berkata Pangeran Wirapaksi ”Tetapi baiklah. Jika paman ingin persoalan ini selesai, maka aku ingin memperkenalkan paman. Mungkin pamanpun telah mengenalnya, tetapi paman kurang memperhatikan, dan tidak sempat mengingat, kembali apa yang pernah terjadi di Kediri“

”Apa yang telah terjadi?” bertanya Wasi Sambuja.

“Sampai saat ini masih ada wakil kekuasaan Singasari di Kediri” berkata Pangeran Wirapaksi.

“Ya” jawab Wasi Sambuja.

“Nah, menurut paman, bagaimana dengan orang yang mendapat tugas seperti itu? Maksudku, apakah orang-orang yang demikian itu dapat disebut orang-orang yang telah mempunyai nama?” bertanya Pangeran Wirapaksi. p>

“Ah, apa hubungannya persoalan ini dengan wakil kekuasaan Singasari di Kediri?” bertanya Wasi Sambuja.

“Apakah paman Wasi Sambuja merasa diri seorang yang pilih tanding sehingga mampu mengalahkan seorang Senopati Agung Singasari yang berada di Kediri?” bertanya Pangeran Wirapaksi itu pula.

“Jangan berkata begitu Pangeran. Dengan demikian maka Pangeran telah menuduh aku memberontak melawan kekuasaan Singasari. Padahal masalahnya adalah masalah yang sangat pribadi” jawab Wasi Sambuja.

“Tidak. Aku sama sekali tidak akan mengaitkan hal ini dengan hubungan antara paman Wasi Sambuja dengan Singasari. Tetapi aku ingin paman menjawab pertanyaanku?“ desak Pangeran Wirapaksi.

“Aku tidak dapat menjawab Pangeran” berkata Wasi Sambuja “tetapi sudah barang tentu, bahwa Senopati Agung itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi“

“Apalagi pada saat-saat permulaan kekuasaan Singasari atas Kediri. Maka orang yang ditugaskan di Kediri tentu orang-orang yang memiliki bekal yang mapan” berkata Pangeran Wirapaksi.

Wasi Sambuja menjadi semakin heran. Tetapi ia justru menjadi semakin bingung ketika Pangeran Wirapaksi berkata “Bagaimanakah sikap paman Wasi Sambuja jika pada suatu saat paman dapat dikalahkan oleh Senopati Agung Singasa yang berada di Kediri? Apakah paman masih juga berbicara tentang harga diri sebuah perguruan?“

Wasi Sambuja menarik nafas dalam-dalam. Namun setelah berpikir sejenak ia menjawab “Pangeran Wirapaksi, pertanyaan Pangeran memang terdengar aneh di telingaku. Tetapi baiklah aku mencoba menjawabnya. Jika yang mengalahkan aku adalah seorang Senopati Agung, sudah tentu aku tidak akan berbicara tentang harga diri, karena wajar sekali bagiku, jika aku dikalahkan oleh seorang Senopati Agung Singasari. Bukan sekedar Senopati kebanyakan”

“Apalagi Senopati Agung itu adalah wakil kekuasaan Singasari di Kediri“ Pangeran Wirapaksi melanjutkan.

“Ya” jawab Wasi Sambuja.

“Jika demikian, sebenarnyalah bahwa sudah tidak ada masalah lagi bagi paman Wasi Sambuja” berkata Pangeran Wirapaksi.

Wasi Sambuja termangu- mangu. Katanya kemudian “Aku tidak mengerti Pangeran”

“Sebenarnyalah, bahwa paman tentu mengenal seseorang yang pernah bergelar Panji Pati-pati, Senopati Agung Singasari yang bertugas di Kediri. Tidak jauh setelah kekuasaan Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa di Singasari temurun kepada puteranya Pangeran Tohjaya, setelah disisipi oleh kekuasaan Pangeran Anusapati” berkata Pangeran Wirapaksi.

Wasi Sambuja mengangguk-angguk. Katanya “Aku mengerti”

“Bagaimana penilaian paman Wasi Sambuja terhadap Panji Pati-pati itu?” bertanya Pangeran Wirapaksi.

Wasi Sambuja menjadi semakin bingung. Namun dalam pada itu Pangeran Wirapaksipun menjelaskan “Paman Wasi Sambuja. Ketika Ken Arok yang bergelar Sri Ranggah Rajasa berkuasa atas Singasari setelah mengalahkan Kediri, maka yang menjadi Senopati Agung dari Singasari di Kediri adalah paman Mahisa Agni. Setelah itu, pada suatu saat, paman Panji Pati-pati juga pernah menjalankan tugas serupa. Dan orang yang bergelar Panji Pati-pati itu adalah paman


Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles