Cerita Silat | Lembah Merpati | oleh Chung Sin | Lembah Merpati | Cersil Sakti | Lembah Merpati pdf
Bunga di Kaki Gunung Kawi bag IX Bunga di Kaki Gunung Kawi bag X Bisikan Arwah - Abdullah Harahap Lembah Merpati - Chung Sin Panasnya Bunga Mekar Bag II
jak dengan
penuh semangat.
Dengan tidak turut sertanya Tju Thing Thing, Koo San
Djie sudah menggunakan ilmunya Awan Asap Lewat
Di mata, tentu saja dengan lebih leluasa, bagaikan
terbang kakinya, dia melesat dengan cepat.
Tiauw Tua juga tidak mau ketinggalan. Dengan
kecepatan yang tidak mau kalah dari Koo San Djie, ia
sudah mengikuti di belakang pemuda itu.
Tidak lama kemudian, puncak gunung Pit- kie yang
menjulang ke atas langit sudah tertampak di hadapan
mereka.
Tiauw Tua sudah memanggil Koo San Djie yang
berada di depannya:
“Saudara kecil, baik kita beristirahat sebentar.”
Lalu, diajaknya sang perjaka ke sebuah kuil yang
terdapat di situ. Sambil makan-makanan kering yang
memang dibawanya, Tiauw Tua berkata lagi:
“Pesangrahan Liong-sun-say dibangun demikian aneh,
kau harus hati-hati. Gurumu memiliki aneka macam
kepandaian, seperti Kiu-kiong-pat-kwa dan
bermacam-macam rahasia, apa sudah diturunkan
kepadamu?”
Koo San Djie, mengangguk-anggukan kepala, dia
membenarkan pertanyaan itu.
Tiauw Tua melanjutkan penuturannya:
“Tong Touw Hio dengan kepandaiannya yang tinggi,
memang tidak usah dikata lagi, yang harus
diperhatikan ialah senjata-senjata atau pesawat-
pesawat rahasia yang sukar diduga. Untuk
menghadapi orang seperti Tong Touw Hio ini, jika
tidak sampai terpaksa, janganlah kita menggunakan
kekerasan. Mengenai tingkah laku dari Tong Touw Hio
ini, aku sendiripun belum mengetahui betul. Sebelum
kita mengetahui dengan jelas, janganlah sembarang
mengganggu.”
Koo San Djie hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Biarpun Tiauw Tua bersedia menjadi
budaknya atas kemauannya sendiri, tapi dalam mata
Koo San Djie, orang tua itu tidak bedanya dengan
guru saja. Ia selalu menuruti segala kehendaknya.
Setelah diam sejenak Tiauw Tua berkata pula:
“Jika betul Tong Touw Hio telah bersekongkol dengan
orang Lembah Merpati, sudah tentu Ong Hoe Tjoe
berada padanya.”
Koo San Djie tidak mengerti. Maka ia sudah menanya:
“Mengapa?”
Tiauw Tua lantas memberikan penjelasan terperinci:
“Begini soalnya. Setelah mereka dapat menculik Ong
Hoe Tjoe, sudah tentu mereka mengetahui, bahwa
kau tentu akan menyusulnya. Jika mereka
mempunyai pesanggrahan yang ini, dan agar Lembah
Merpati tetap beraoa dalam keadaan yang
tersembunyi, sudah tentu mereka tidak mau pergi ke
Lembah Merpati yang jauh.”
Koo San Djie yang melihat Tiauw Tua dapat
mengupas suatu soal sedemikian jelasnya, sudah
menjadi sangat girang. Dengan segera, sudah
berkemas untuk berangkat.
Tiauw Tua tertawa, melihat kelakuan Koo San Djie
yang seperti itu, dengan sabar ia berkata:
“Jika betul di sini, untuk apa harus tergesa-gesa?
Tunggu saja sampai nanti malam jam dua, kita dapat
bergerak dengan leluasa.”
Sebelum berkata, ia sudah memejamkan kedua
matanya. Dengan perlahan-lahan ia menjalankan
latihan mengatur pernapasan.
Koo San Djie juga merasa bahwa beberapa hari ini
tidak melatih diri. Maka ia juga menutup mulutnya,
tidak berkata-kata. Sebentar saja, mereka berdua
telah sampai ke dalam keadaan yang lupa akan
segala-galanya.
Mendadak, suara desiran angin dari getaran baju
lewat di atas mereka. Koo San Djie kaget, dia
terbangun.
Tiauw Tua juga telah membuka kedua matanya,
dengan gesit ia melompat ke atas dan berkata:
“Kejar!”
Gerakan badan dari dua orang itu boleh dikatakan
sudah sangat cepat, tapi begitu keluar dari pintu kuil,
keadaan di sekitarnya ada sangat gelap, mana ada
bayangan manusia? Hatinya Tiauw Tua menjadi kaget
juga atas kecepatan dari orang tadi. Maka dengan
memberi tanda, tubuhnya sudah melesat menuju ke
arah pesanggrahan Liong-sun-say.
Pesanggrahan Liong-sun-say dibangun dengan megah,
seperti benteng, tapi tidak untuk perang, seperti
keraton, tapi tidak ada rajanya. Di sekitarnya gelap,
tidak ada penerangannya. Di empat penjuru dikelilingi
oleh tembok yang tinggi, di tengah-tengah atas pintu
terdapat huruf besar yang berbu
http://cerita-silat.mywapblog.com
nyi
“LIONG-SUN-SAY”
Tiauw Tua memandang Koo San Djie tangannya
menunjuk ke kanan.
Koo San Djie membongkokkan badan, kakinya sudah
melejit terbang, dia menuju ke atas, tepat setinggi
tembok.
Kepandaian ini telah membuat Tiauw Tua memuji.
Maka, ia juga menuju ke sebelah kiri.
Koo San Djie di atas wuwungan rumah, matanya
memandang ke bawah rumah yang bersusun,
terbenam dalam kegelapan.
Mendadak, terasa pula desiran angin dari getaran baju
yang seperti di atas kuil tadi. Kedua matanya telah
dibuka lebar-lebar, dilihatnya sesosok bayangan yang
kecil langsung lenyap dalam kegelapan.
Maka, dengan tangan menekan tembok, badannya
terbang melayang ke arah lenyapnya bayangan tadi.
Tapi, kali inipun ia menubruk tempat kosong pula. Ia
menjadi kesal juga, dua kali ia telah dibik in kecele.
Sedari ia turun ke dalam kalangan Kang-ouw, inilah
suatu kekalahan yang baru pertama kali dialaminya.
Maka, dengan tidak mempedulikannya pula, ia sudah
mencari kamar tahanan.
Mulai dari rumah yang pertama, satu per satu ia
memeriksanya. Tapi sampai rumah yang terakhirpun
tidak dilihatnya suatu apa.
Biarpun ia mempunyai kepandaian yang tinggi dan
gerakan yang cepat, tapi kurang pengala man. Maka
waktu ia berlompatan dari satu rumah ke lain rumah,
telah dapat diketahui oleh orang.
Baru saja ia mau mencoba lompat ke suatu
wuwungan rumah yang terang benderang, atau di
belakangnya telah terdengar suara tertawa
berkakakan:
“Saudara kecil ini mengapa melatih diri di atas rumah
orang?”
Koo San Djie menjadi merandek. Telinganya
mendengar pula suara orang tadi:
“Aku adalah Tong Touw Hio, pemilik dari
pesanggrahan ini. Jika kau suka memandang mukaku,
marilah turun, dan kita berbicara di bawah.”
Lalu, dengan hormat ia menggunakan tangannya
menyilahkan Koo San Djie masuk.
Dalam hatinya San Djie memikir:
“Jika tidak memasuki goa macan, mana dapat
mengambil anak macan? Aku akan menuruti
kehendaknya. Apa dia dapat menelan diriku?”
Maka, dengan meluruskan badannya, ia turun dan
masuk dalam ruangan pesanggrahan Liong-sun-say
yang aneh itu.
Bunga di Kaki Gunung Kawi bag IX Bunga di Kaki Gunung Kawi bag X Bisikan Arwah - Abdullah Harahap Lembah Merpati - Chung Sin Panasnya Bunga Mekar Bag II
jak dengan
penuh semangat.
Dengan tidak turut sertanya Tju Thing Thing, Koo San
Djie sudah menggunakan ilmunya Awan Asap Lewat
Di mata, tentu saja dengan lebih leluasa, bagaikan
terbang kakinya, dia melesat dengan cepat.
Tiauw Tua juga tidak mau ketinggalan. Dengan
kecepatan yang tidak mau kalah dari Koo San Djie, ia
sudah mengikuti di belakang pemuda itu.
Tidak lama kemudian, puncak gunung Pit- kie yang
menjulang ke atas langit sudah tertampak di hadapan
mereka.
Tiauw Tua sudah memanggil Koo San Djie yang
berada di depannya:
“Saudara kecil, baik kita beristirahat sebentar.”
Lalu, diajaknya sang perjaka ke sebuah kuil yang
terdapat di situ. Sambil makan-makanan kering yang
memang dibawanya, Tiauw Tua berkata lagi:
“Pesangrahan Liong-sun-say dibangun demikian aneh,
kau harus hati-hati. Gurumu memiliki aneka macam
kepandaian, seperti Kiu-kiong-pat-kwa dan
bermacam-macam rahasia, apa sudah diturunkan
kepadamu?”
Koo San Djie, mengangguk-anggukan kepala, dia
membenarkan pertanyaan itu.
Tiauw Tua melanjutkan penuturannya:
“Tong Touw Hio dengan kepandaiannya yang tinggi,
memang tidak usah dikata lagi, yang harus
diperhatikan ialah senjata-senjata atau pesawat-
pesawat rahasia yang sukar diduga. Untuk
menghadapi orang seperti Tong Touw Hio ini, jika
tidak sampai terpaksa, janganlah kita menggunakan
kekerasan. Mengenai tingkah laku dari Tong Touw Hio
ini, aku sendiripun belum mengetahui betul. Sebelum
kita mengetahui dengan jelas, janganlah sembarang
mengganggu.”
Koo San Djie hanya mengangguk-anggukkan
kepalanya. Biarpun Tiauw Tua bersedia menjadi
budaknya atas kemauannya sendiri, tapi dalam mata
Koo San Djie, orang tua itu tidak bedanya dengan
guru saja. Ia selalu menuruti segala kehendaknya.
Setelah diam sejenak Tiauw Tua berkata pula:
“Jika betul Tong Touw Hio telah bersekongkol dengan
orang Lembah Merpati, sudah tentu Ong Hoe Tjoe
berada padanya.”
Koo San Djie tidak mengerti. Maka ia sudah menanya:
“Mengapa?”
Tiauw Tua lantas memberikan penjelasan terperinci:
“Begini soalnya. Setelah mereka dapat menculik Ong
Hoe Tjoe, sudah tentu mereka mengetahui, bahwa
kau tentu akan menyusulnya. Jika mereka
mempunyai pesanggrahan yang ini, dan agar Lembah
Merpati tetap beraoa dalam keadaan yang
tersembunyi, sudah tentu mereka tidak mau pergi ke
Lembah Merpati yang jauh.”
Koo San Djie yang melihat Tiauw Tua dapat
mengupas suatu soal sedemikian jelasnya, sudah
menjadi sangat girang. Dengan segera, sudah
berkemas untuk berangkat.
Tiauw Tua tertawa, melihat kelakuan Koo San Djie
yang seperti itu, dengan sabar ia berkata:
“Jika betul di sini, untuk apa harus tergesa-gesa?
Tunggu saja sampai nanti malam jam dua, kita dapat
bergerak dengan leluasa.”
Sebelum berkata, ia sudah memejamkan kedua
matanya. Dengan perlahan-lahan ia menjalankan
latihan mengatur pernapasan.
Koo San Djie juga merasa bahwa beberapa hari ini
tidak melatih diri. Maka ia juga menutup mulutnya,
tidak berkata-kata. Sebentar saja, mereka berdua
telah sampai ke dalam keadaan yang lupa akan
segala-galanya.
Mendadak, suara desiran angin dari getaran baju
lewat di atas mereka. Koo San Djie kaget, dia
terbangun.
Tiauw Tua juga telah membuka kedua matanya,
dengan gesit ia melompat ke atas dan berkata:
“Kejar!”
Gerakan badan dari dua orang itu boleh dikatakan
sudah sangat cepat, tapi begitu keluar dari pintu kuil,
keadaan di sekitarnya ada sangat gelap, mana ada
bayangan manusia? Hatinya Tiauw Tua menjadi kaget
juga atas kecepatan dari orang tadi. Maka dengan
memberi tanda, tubuhnya sudah melesat menuju ke
arah pesanggrahan Liong-sun-say.
Pesanggrahan Liong-sun-say dibangun dengan megah,
seperti benteng, tapi tidak untuk perang, seperti
keraton, tapi tidak ada rajanya. Di sekitarnya gelap,
tidak ada penerangannya. Di empat penjuru dikelilingi
oleh tembok yang tinggi, di tengah-tengah atas pintu
terdapat huruf besar yang berbu
http://cerita-silat.mywapblog.com
Lembah Merpati - Chung Sin
nyi
“LIONG-SUN-SAY”
Tiauw Tua memandang Koo San Djie tangannya
menunjuk ke kanan.
Koo San Djie membongkokkan badan, kakinya sudah
melejit terbang, dia menuju ke atas, tepat setinggi
tembok.
Kepandaian ini telah membuat Tiauw Tua memuji.
Maka, ia juga menuju ke sebelah kiri.
Koo San Djie di atas wuwungan rumah, matanya
memandang ke bawah rumah yang bersusun,
terbenam dalam kegelapan.
Mendadak, terasa pula desiran angin dari getaran baju
yang seperti di atas kuil tadi. Kedua matanya telah
dibuka lebar-lebar, dilihatnya sesosok bayangan yang
kecil langsung lenyap dalam kegelapan.
Maka, dengan tangan menekan tembok, badannya
terbang melayang ke arah lenyapnya bayangan tadi.
Tapi, kali inipun ia menubruk tempat kosong pula. Ia
menjadi kesal juga, dua kali ia telah dibik in kecele.
Sedari ia turun ke dalam kalangan Kang-ouw, inilah
suatu kekalahan yang baru pertama kali dialaminya.
Maka, dengan tidak mempedulikannya pula, ia sudah
mencari kamar tahanan.
Mulai dari rumah yang pertama, satu per satu ia
memeriksanya. Tapi sampai rumah yang terakhirpun
tidak dilihatnya suatu apa.
Biarpun ia mempunyai kepandaian yang tinggi dan
gerakan yang cepat, tapi kurang pengala man. Maka
waktu ia berlompatan dari satu rumah ke lain rumah,
telah dapat diketahui oleh orang.
Baru saja ia mau mencoba lompat ke suatu
wuwungan rumah yang terang benderang, atau di
belakangnya telah terdengar suara tertawa
berkakakan:
“Saudara kecil ini mengapa melatih diri di atas rumah
orang?”
Koo San Djie menjadi merandek. Telinganya
mendengar pula suara orang tadi:
“Aku adalah Tong Touw Hio, pemilik dari
pesanggrahan ini. Jika kau suka memandang mukaku,
marilah turun, dan kita berbicara di bawah.”
Lalu, dengan hormat ia menggunakan tangannya
menyilahkan Koo San Djie masuk.
Dalam hatinya San Djie memikir:
“Jika tidak memasuki goa macan, mana dapat
mengambil anak macan? Aku akan menuruti
kehendaknya. Apa dia dapat menelan diriku?”
Maka, dengan meluruskan badannya, ia turun dan
masuk dalam ruangan pesanggrahan Liong-sun-say
yang aneh itu.