Cerita Silat | Tarian Liar Naga Sakti | by Marshall | Tarian Liar Naga Sakti | Cersil Sakti | Tarian Liar Naga Sakti pdf
Cersil Mahesa Kelud ~ Simo Gendeng Mencari Mati Cersil Mustika Lidah Naga 4 Cersil Shugyosa ~ Samurai Pengembara 3 Cersil Candika - Dewi Penyebar Maut 13 Cersil Trilogi Blambangan - Banyuwangi
engan keunggulan yang
menjadi berlipat. Pada pertarungan seperti itu,
kombinasi Wisanggeni dan Nagat Pattynam tidaklah
manjur karena mereka terpisah cukup jauh oleh
desakan Barisan Warna Warni.
Karena itu, akhirnya perlahan-lahan mereka semua
didesak dan digiring untuk menuju ke lapangan
setelah Barisan Warna Warni dengan sengaja
memberi mereka peluang dan kelonggaran serta jalan
untuk menyeberang ke pulau utama. Ketika hampir
semua mereka sudah berada di lapangan baru
mereka sadar jika jalan mereka memang secara
sengaja telah digiring untuk datang ke lapangan
dimana semua tokoh 3 pulau berada. Bukan cuma itu,
keadaan semakin menyulitkan mereka setelah
beberapa saat kemudian, datang dan bergabung
Nenggala, Kiang Li Hwa dan Thian Ki Hwesio. Di
belakang mereka menyusul Tham Beng Kui bersama
dengan Cui Giok Lie. Jika tokoh-tokoh yang lain
langsung mengawasi Barisan Warna Warni yang
mendesak lawannya untuk memasuki lapangan,
maka Li Hwa langsung mendatangi Kiang Hauw Lam
dan menyapanya dengan suara penuh haru:
“Lam koko ……. Bagaimana keadaanmu …….”?
“Ach engkau Hwa moi ………. beginilah keadaanku.
Harap engkau memaafkan aku yang sempat
mengacaukan pesta pernikahanmu, betapapun aku
harus membela ibuku, tetapi dalam hatiku engkau
tetap adalah adikku ……..”
“Aku tahu, aku tahu Lam koko ……, tapi apakah
engkau baik-baik saja …..”? bertanya Li Hwa sambil
mendekati Kiang Hauw Lam, betapapun dia mengenal
dan mengetahui bahwa kakak tirinya ini
mengasihinya meskipun dahulu terkesan dingin.
Tetapi, hubungan kakak beradik mereka (se ayah
beda ibu) Nampak tetap baik.
“Aku berharap begitu adikku, tetapi ibuku dalam
keadaan yang mengkhawatirkan. Aku khawatir
kemampuannya sudah lenyap ……”
“Acccchhhhh ………” jerit Li Hwa sambil mendekati
Hauw Lam dan ibunya, Lamkiong Li Cu yang masih
tetap tidak sadarkan diri.
“Hauw Lam koko …….” Tiba-tiba suara gadis yang lain
memasuki telinga Kiang Hauw Lam, dan suara itu
selalu berada dalam sanubarinya.
“Lie moi …… engkau juga berada disini …..”? tanyanya
penuh rasa rindu, tetapi sulit untuk diekspresikan,
karena keadaan memang tidak memungkinkan. Rasa
rindu dan pendar asmara itu mesti mereka pendam,
dan hanya terekspresikan dari pandang mata dan
gerak-gerik penuh perhatian dan rasa.
“Ya, aku memang berusaha menyusulmu dan
membebaskanmu dari gerombolan itu. Tidak tahunya
…… ternyata …….”
“Engkau kecewa melihat kenyataan ini Lie moi …..”?
tanya Hauw Lam meski dia sudah tahu jawabannya.
Tapi terkadang, memang kalimat cinta harus
diungkapkan dan bukan dipendam selamanya.
“Tidak ….. bukan, bukan begitu maksudku …….”
“Jadi, apa yang engkau pikirkan sekarang …..”?
“Aku tidak memikirkan apa-apa, engkau tetap Hauw
Lam koko yang aku kenal …” bisik gadis itu sendu.
Dan itu sudah cukup bagi Hauw Lam. Dan juga cukup
bagi Li Hwa sudah segera paham apa yang terjadi
antara mereka berdua. Karena itu, diapun merangkul
gadis itu sambil menghibur:
“Sudahlah adikku, kita selesaikan semua satu demi
satu ………cobalah menangani ibumu terlebih dahulu
Lam koko, biarkan kami menjagamu disini ……”
Hiburan yang tulus karena Li Hwa melihat jalan kasih
yang terlampau berliku bagi mereka berdua, terutama
bagi Giok Lie yang polos dan terlihat begitu mencintai
kakaknya. Hatinya menjadi rawan dan tidak tahu apa
yang mesti diperbuat. Baik bagi Giok Lie maupun bagi
kakaknya Hauw Lam.
Sementara percakapan mereka berlangsung, semua
tokoh yang datang bersama Lamkiong Li Cu dan
Kiang Hauw Lam, kini sudah berada di tengah
lapangan. Kecuali kedua orang gadis cilik yang
menjadi anak murid Lamkiong Li Cu, yakni Pui Hoa
dan Siauw Yam. Justru sejak upaya pelarian para
tokoh di lapangan itu kedua gadis cilik murid terakhir
Lamkiong Li Cu telah menghilang entah kemana.
Tetapi, kita tinggalkan mereka yang menghilang entah
kemana perginya, mari kita ikuti perkembangan di
lapangan. Perkembangan yang terjadi ketika pada
akhirnya para tokoh itu berjumpul b
http://cerita-silat.mywapblog.com
ersama dan kini
sudah menghadapi para pendekar yang hadir disana.
Baik para pendekar dari 3 pulau, Pulau Awan Putih,
Hwee Liong To dan Lam Hay Bun, maupun para tokoh
yang berasal dari Tionggoan.
Melihat tidak ada jalan keluar lagi karena lapangan
sudah dikepung oleh Barisan Warna Warni, akhirnya
tokoh tertua dari mereka, yakni Naga Pattynam yang
bertindak untuk berbicara atas nama mereka semua:
“Sudah kuperingatkan kalian berdua, bahwa Lam Hay
Bun akan memakan kita semua, tetapi kalian tidak
percaya (sambil memandang Hauw Lam, dan sekali
pandang saja dia segera paham jika keadaan Li Cu
saat itu sudah tidak ada harapan). Heeeeeeeh,
Beginilah jadinya. ……… hahahahahaha, tetapi
sebetulnya lohu tidak merasa takut sedikitpun.
Hmmmm, Duta Agung Kiang Ceng Liong, sekarang,
apa gerangan yang kalian semua inginkan dari kami
…..”?
Mendengar namanya disebutkan, Ceng Liong yang
sebenarnya masih sedikit enggan untuk tampil karena
berada di wilayah kekusaan Lam Hay Bun,
memandang sekejap kearah Lamkiong Sian Li dan
juga Lamkiong Bouw. Keduanya paham dengan
kesulitan yang dialami Ceng Liong, tetapi sekaligus
kagum akan niat baiknya yang tetap menghargai Lam
Hay Bun sebagai tuan rumah. Karena pikir an itu,
makan Lamkiong Bouw dan juga Lamkiong Sian Li
yang menjadi tocu, dengan cepat tersenyum kepada
Kiang Ceng Liong dan mengnggukkan kepala tanda
memberinya ijin untuk tampil berbicara atas nama
mereka semua:
“Terima kasih atas perkenan Tocu Lam Hay Bun
Lamkiong Sian Li dan Lamkiong cianpwee, sesepuh
Lam Hay Bun untuk mengijinkan aku berbicara atas
nama kita semua; Naga Pattynam, kekisru han yang
kalian timbulkan terentang bukan hanya di daratan
Tionggoan, tetapi melebar hingga ke lautan dan ikut
mengacau di Lam Hay Bun. Perbuatan kalian ini
sungguh-sungguh sangat mengesalkan dan
menimbulkan banyak keributan dan bahkan banyak
korban. Bukan hanya Lembah Pualam Hijau yang
mengejarmu, tetapi bahkan juga Kaypang, Bu Tong,
Siauw Lim dan banyak perguruan Tionggoan,
termasuk Pulau Naga Api dan sekarang Lam Hay Bun.
Selain itu, Suhengmu yang mendidik seorang murid
untuk pengkhianatanmu juga sudah siap menuntut
pertanggungjawabanmu. Bukan hanya engkau, Naga
Pattynam, tetapi juga Wisanggeni, Bu Hok Lokoay,
Hiong Say, Mahendra dan Gayatri, Janaswamy, Ciu
Lam Hok, kalian semua adalah perusuh yang banyak
menyebabkan pertikaian dan kematian. Karena itu,
hari ini kita harus menyelesaikan apa yang sudah
kalian awali, dan biarlah kita lakukan dengan cara
dunia persilatan. Dengar perkataanku …… Dari setiap
kalian masing-masing, kami persilahkan meninggalkan
lapangan dan Lam Hay Bun jika kalian masing-masing
mampu dan berhasil mengalahkan lawan-lawanmu.
Tetapi jika kalian gagal, maka hukuman paling ringan
adalah melenyapkan kepandaian kalian. Jika kalian
tidak bersedia bertarung dengan cara dunia persilatan,
silahkan menutuk diri sendiri dan menghabiskan ilmu
silat kalian dan seterusnya boleh berlayar kembali ke
Tionggoan tanpa ada yang akan mengganggu kalian
……..”
“Hahahahahahaha, Duta Agung, engkau sungguh-
sungguh sombong. Apakah engkau kira aku takut
menghadapimu? Menghadapi kawan-kawanmu?
Bahkan menghadapi keroyokan kalian semua kami
tidaklah takut. Apalagi hanya menghadapi seorang
lawan seorang diantara kalian ……. Sungguh engkau
memandang kami remeh ….”
“Buktinya sudah jelas, tak seorangpun dari kalian
yang sanggup menembus Barisan Warna Warni, tetapi
engkau masih demikian sombong berbicara besar.
Keputusanku sudah jelas dan tegas, jika engkau bisa
melewati seorang lawan yang kusiapkan dari
rombongan kami, engkau bebas meninggalkan Lam
Hay Bun. Bahkan akan diantarkan berlayar menuju
Tionggoan dengan selamat. Tetapi jika tidak, harus
kutegaskan, lautan selatan akan menjadi kuburanmu
…..……… paling ringan aku akan memunahkan
kepandaianmu. Karena itu, silahkan engkau
menetapkan nasibmu sendiri …….”
“Huh, sombong benar. Jika memang demikian Duta
Agung, aku menan
Cersil Mahesa Kelud ~ Simo Gendeng Mencari Mati Cersil Mustika Lidah Naga 4 Cersil Shugyosa ~ Samurai Pengembara 3 Cersil Candika - Dewi Penyebar Maut 13 Cersil Trilogi Blambangan - Banyuwangi
engan keunggulan yang
menjadi berlipat. Pada pertarungan seperti itu,
kombinasi Wisanggeni dan Nagat Pattynam tidaklah
manjur karena mereka terpisah cukup jauh oleh
desakan Barisan Warna Warni.
Karena itu, akhirnya perlahan-lahan mereka semua
didesak dan digiring untuk menuju ke lapangan
setelah Barisan Warna Warni dengan sengaja
memberi mereka peluang dan kelonggaran serta jalan
untuk menyeberang ke pulau utama. Ketika hampir
semua mereka sudah berada di lapangan baru
mereka sadar jika jalan mereka memang secara
sengaja telah digiring untuk datang ke lapangan
dimana semua tokoh 3 pulau berada. Bukan cuma itu,
keadaan semakin menyulitkan mereka setelah
beberapa saat kemudian, datang dan bergabung
Nenggala, Kiang Li Hwa dan Thian Ki Hwesio. Di
belakang mereka menyusul Tham Beng Kui bersama
dengan Cui Giok Lie. Jika tokoh-tokoh yang lain
langsung mengawasi Barisan Warna Warni yang
mendesak lawannya untuk memasuki lapangan,
maka Li Hwa langsung mendatangi Kiang Hauw Lam
dan menyapanya dengan suara penuh haru:
“Lam koko ……. Bagaimana keadaanmu …….”?
“Ach engkau Hwa moi ………. beginilah keadaanku.
Harap engkau memaafkan aku yang sempat
mengacaukan pesta pernikahanmu, betapapun aku
harus membela ibuku, tetapi dalam hatiku engkau
tetap adalah adikku ……..”
“Aku tahu, aku tahu Lam koko ……, tapi apakah
engkau baik-baik saja …..”? bertanya Li Hwa sambil
mendekati Kiang Hauw Lam, betapapun dia mengenal
dan mengetahui bahwa kakak tirinya ini
mengasihinya meskipun dahulu terkesan dingin.
Tetapi, hubungan kakak beradik mereka (se ayah
beda ibu) Nampak tetap baik.
“Aku berharap begitu adikku, tetapi ibuku dalam
keadaan yang mengkhawatirkan. Aku khawatir
kemampuannya sudah lenyap ……”
“Acccchhhhh ………” jerit Li Hwa sambil mendekati
Hauw Lam dan ibunya, Lamkiong Li Cu yang masih
tetap tidak sadarkan diri.
“Hauw Lam koko …….” Tiba-tiba suara gadis yang lain
memasuki telinga Kiang Hauw Lam, dan suara itu
selalu berada dalam sanubarinya.
“Lie moi …… engkau juga berada disini …..”? tanyanya
penuh rasa rindu, tetapi sulit untuk diekspresikan,
karena keadaan memang tidak memungkinkan. Rasa
rindu dan pendar asmara itu mesti mereka pendam,
dan hanya terekspresikan dari pandang mata dan
gerak-gerik penuh perhatian dan rasa.
“Ya, aku memang berusaha menyusulmu dan
membebaskanmu dari gerombolan itu. Tidak tahunya
…… ternyata …….”
“Engkau kecewa melihat kenyataan ini Lie moi …..”?
tanya Hauw Lam meski dia sudah tahu jawabannya.
Tapi terkadang, memang kalimat cinta harus
diungkapkan dan bukan dipendam selamanya.
“Tidak ….. bukan, bukan begitu maksudku …….”
“Jadi, apa yang engkau pikirkan sekarang …..”?
“Aku tidak memikirkan apa-apa, engkau tetap Hauw
Lam koko yang aku kenal …” bisik gadis itu sendu.
Dan itu sudah cukup bagi Hauw Lam. Dan juga cukup
bagi Li Hwa sudah segera paham apa yang terjadi
antara mereka berdua. Karena itu, diapun merangkul
gadis itu sambil menghibur:
“Sudahlah adikku, kita selesaikan semua satu demi
satu ………cobalah menangani ibumu terlebih dahulu
Lam koko, biarkan kami menjagamu disini ……”
Hiburan yang tulus karena Li Hwa melihat jalan kasih
yang terlampau berliku bagi mereka berdua, terutama
bagi Giok Lie yang polos dan terlihat begitu mencintai
kakaknya. Hatinya menjadi rawan dan tidak tahu apa
yang mesti diperbuat. Baik bagi Giok Lie maupun bagi
kakaknya Hauw Lam.
Sementara percakapan mereka berlangsung, semua
tokoh yang datang bersama Lamkiong Li Cu dan
Kiang Hauw Lam, kini sudah berada di tengah
lapangan. Kecuali kedua orang gadis cilik yang
menjadi anak murid Lamkiong Li Cu, yakni Pui Hoa
dan Siauw Yam. Justru sejak upaya pelarian para
tokoh di lapangan itu kedua gadis cilik murid terakhir
Lamkiong Li Cu telah menghilang entah kemana.
Tetapi, kita tinggalkan mereka yang menghilang entah
kemana perginya, mari kita ikuti perkembangan di
lapangan. Perkembangan yang terjadi ketika pada
akhirnya para tokoh itu berjumpul b
http://cerita-silat.mywapblog.com
Tarian Liar Naga Sakti - Marshall
ersama dan kini
sudah menghadapi para pendekar yang hadir disana.
Baik para pendekar dari 3 pulau, Pulau Awan Putih,
Hwee Liong To dan Lam Hay Bun, maupun para tokoh
yang berasal dari Tionggoan.
Melihat tidak ada jalan keluar lagi karena lapangan
sudah dikepung oleh Barisan Warna Warni, akhirnya
tokoh tertua dari mereka, yakni Naga Pattynam yang
bertindak untuk berbicara atas nama mereka semua:
“Sudah kuperingatkan kalian berdua, bahwa Lam Hay
Bun akan memakan kita semua, tetapi kalian tidak
percaya (sambil memandang Hauw Lam, dan sekali
pandang saja dia segera paham jika keadaan Li Cu
saat itu sudah tidak ada harapan). Heeeeeeeh,
Beginilah jadinya. ……… hahahahahaha, tetapi
sebetulnya lohu tidak merasa takut sedikitpun.
Hmmmm, Duta Agung Kiang Ceng Liong, sekarang,
apa gerangan yang kalian semua inginkan dari kami
…..”?
Mendengar namanya disebutkan, Ceng Liong yang
sebenarnya masih sedikit enggan untuk tampil karena
berada di wilayah kekusaan Lam Hay Bun,
memandang sekejap kearah Lamkiong Sian Li dan
juga Lamkiong Bouw. Keduanya paham dengan
kesulitan yang dialami Ceng Liong, tetapi sekaligus
kagum akan niat baiknya yang tetap menghargai Lam
Hay Bun sebagai tuan rumah. Karena pikir an itu,
makan Lamkiong Bouw dan juga Lamkiong Sian Li
yang menjadi tocu, dengan cepat tersenyum kepada
Kiang Ceng Liong dan mengnggukkan kepala tanda
memberinya ijin untuk tampil berbicara atas nama
mereka semua:
“Terima kasih atas perkenan Tocu Lam Hay Bun
Lamkiong Sian Li dan Lamkiong cianpwee, sesepuh
Lam Hay Bun untuk mengijinkan aku berbicara atas
nama kita semua; Naga Pattynam, kekisru han yang
kalian timbulkan terentang bukan hanya di daratan
Tionggoan, tetapi melebar hingga ke lautan dan ikut
mengacau di Lam Hay Bun. Perbuatan kalian ini
sungguh-sungguh sangat mengesalkan dan
menimbulkan banyak keributan dan bahkan banyak
korban. Bukan hanya Lembah Pualam Hijau yang
mengejarmu, tetapi bahkan juga Kaypang, Bu Tong,
Siauw Lim dan banyak perguruan Tionggoan,
termasuk Pulau Naga Api dan sekarang Lam Hay Bun.
Selain itu, Suhengmu yang mendidik seorang murid
untuk pengkhianatanmu juga sudah siap menuntut
pertanggungjawabanmu. Bukan hanya engkau, Naga
Pattynam, tetapi juga Wisanggeni, Bu Hok Lokoay,
Hiong Say, Mahendra dan Gayatri, Janaswamy, Ciu
Lam Hok, kalian semua adalah perusuh yang banyak
menyebabkan pertikaian dan kematian. Karena itu,
hari ini kita harus menyelesaikan apa yang sudah
kalian awali, dan biarlah kita lakukan dengan cara
dunia persilatan. Dengar perkataanku …… Dari setiap
kalian masing-masing, kami persilahkan meninggalkan
lapangan dan Lam Hay Bun jika kalian masing-masing
mampu dan berhasil mengalahkan lawan-lawanmu.
Tetapi jika kalian gagal, maka hukuman paling ringan
adalah melenyapkan kepandaian kalian. Jika kalian
tidak bersedia bertarung dengan cara dunia persilatan,
silahkan menutuk diri sendiri dan menghabiskan ilmu
silat kalian dan seterusnya boleh berlayar kembali ke
Tionggoan tanpa ada yang akan mengganggu kalian
……..”
“Hahahahahahaha, Duta Agung, engkau sungguh-
sungguh sombong. Apakah engkau kira aku takut
menghadapimu? Menghadapi kawan-kawanmu?
Bahkan menghadapi keroyokan kalian semua kami
tidaklah takut. Apalagi hanya menghadapi seorang
lawan seorang diantara kalian ……. Sungguh engkau
memandang kami remeh ….”
“Buktinya sudah jelas, tak seorangpun dari kalian
yang sanggup menembus Barisan Warna Warni, tetapi
engkau masih demikian sombong berbicara besar.
Keputusanku sudah jelas dan tegas, jika engkau bisa
melewati seorang lawan yang kusiapkan dari
rombongan kami, engkau bebas meninggalkan Lam
Hay Bun. Bahkan akan diantarkan berlayar menuju
Tionggoan dengan selamat. Tetapi jika tidak, harus
kutegaskan, lautan selatan akan menjadi kuburanmu
…..……… paling ringan aku akan memunahkan
kepandaianmu. Karena itu, silahkan engkau
menetapkan nasibmu sendiri …….”
“Huh, sombong benar. Jika memang demikian Duta
Agung, aku menan