Cerita Silat | Memburu Pengkhianat | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Memburu Pengkhianat | Cersil Sakti | Memburu Pengkhianat pdf
Pendekar Rajawali Sakti - 111. Teror Si Raja Api Pendekar Rajawali Sakti - 108. Harga Sebuah Kepala Pendekar Rajawali Sakti - 112. Dendam Datuk Geni Pendekar Rajawali Sakti - 113. Pembalasan Iblis Sesat Pendekar Rajawali Sakti - 114. Gerhana Darah Biru
begitu cepat, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hap!"
Namun sungguh di luar dugaan, Pendekar Rajawali Sakti tidak berusaha bergeming sedikit pun juga. Bahkan begitu ujung tongkat yang berbentuk kepala ular itu sudah dekat dadanya, cepat kedua telapak tangannya dikatupkan. Sehingga, ujung tongkat perempuan tua itu terjepit di antara kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti di depan dada.
"Ikh...!"
Nyai Wisanggeni berusaha menarik kembali tongkatnya, tapi jepitan tangan Rangga begitu kuat. Seakan-akan, tongkat itu berada dalam jepitan dua batu karang yang begitu kuat. Meskipun seluruh kekuatan tenaga dalamnya sudah dikerahkan. tapi tetap saja tongkatnya tidak terlepaskan. Bahkan sedikit pun tidak bergeming.
"Keparat...! Hih, yeaaah...!"
***
Tampak begitu geram Nyai Wisanggeni menda- pati tongkatnya tidak berdaya berada dalam jepitan tangan lawannya yang masih muda ini. Dan sambil berteriak keras, tubuhnya melenting ke atas. Lalu, kaki kanannya menghentak memberi satu tendangan yang begitu keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hap! Hiyaaa...!"
Namun tanpa diduga sama sekali, Rangga me-lepaskan jepitannya pada tongkat perempuan tua itu. Dan bagaikan kilat, tangan kirinya dikibaskan menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', tepat mengarah ke kaki Nyai Wisanggeni yang menjulur mengarah ke kepala. Begitu cepat gerakan tangannya, sehingga Nyai Wisanggeni tidak sempat lagi menarik pulang kakinya. Dan.
Plak!
"Akh...!"
Bersamaan terdengarnya pekikan Nyai Wisanggeni, Rangga melesat ke atas. Lalu, cepat sekali di lepaskannya satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Begitu cepat pukulannya, sehingga Nyai Wisanggeni tidak dapat lagi mempertahankan dadanya yang kosong.
Begkh!
"Aaakh ..!"
Kembali Nyai Wisanggeni menjerit keras me-lengking tinggi, begitu pukulan tangan kanan Rangga tepat menghantam keras dadanya. Akibatnya, tubuh perempuan tua itu seketika terpental jauh ke belakang.
Bruk!
Keras sekali tubuh perempuan tua itu terban-ting ke tanah. Dan dari mulutnya langsung me-nyemburkan darah kental berwarna agak kehi taman. Sedangkan Rangga sudah kembali berdiri tegak sekitar dua batang tombak jauhnya di depan Nyai Wisanggeni.
"Hoeeekh...!"
Kembali Nyai Wisanggeni memuntahkan darah kental agak kehitaman dari mulutnya, saat berusaha berdiri lagi. Dengan bantuan tongkatnya, perempuan tua itu bisa berdiri lagi, walaupun tubuhnya jadi terhuyung. Sementara, Rangga tetap menunggu dengan senyuman tersungging di bibir. Entah apa arti senyum Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku akan mengadu nyawa denganmu, Pendekar Rajawali Sakti...," desis Nyai Wisanggeni, agak bergetar suaranya.
"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil saja.
Sementara, Nyai Wisanggeni sudah melepaskan tongkatnya. Lalu dengan tangan kosong dibuatnya beberapa gerakan di depan dada. Sorot matanya tertuju lurus, bagai hendak merobek dada Pendekar Rajawali Sakti yang sudah membuatnya jatuh bangun beberapa kali.
"Hih...!"
Begitu perempuan tua itu menarik tangannya hingga tersilang di depan dada, seketika kedua tangannya jadi berubah merah membara seperti terbakar. Rangga yang sudah pernah menghadapi ilmu seperti itu dari Ki Sancaka, segera merapatkan kedua tangannya di depan dada.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti membuat gerakan tubuh. Kedua kakinya segera direntangkan ke samping. Dan begitu tubuhnya kembali tegak, terlihat semburat cahaya biru di antara kedua telapak tangannya yang masih tetap merapat di depan dada. Rangga yang sudah tahu kalau Nyai Wisanggeni sudah mempersiapkan ilmu kesaktian dahsyat, tidak mau tanggung-tanggung lagi. Segera disiapkannya aji 'Cakra Buana Sukma’ untuk menandinginya.
"Tahan ajian pamungkasku, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!"
Sambil membentak nyaring, Nyai Wisanggeni langsung saja menghentakkan kedua tangannya yang sudah memerah ke depan. Dan pada saat itu juga...
"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"
Dua cahaya meluncur begitu cepat dari dua aliran ilmu kesaktian, tanpa dapat dicegah lagi. Dan ketika kedua sinar merah dan biru itu bertemu tepat di tengah-tengah...
Glarrr...!
Satu ledakan dahsyat terdengar bagai guntur membelah angkasa. Tampak Nyai Wisanggeni ter-pental jauh ke belakang sambil menjerit begitu panjang melengking tinggi. Keras sekali tubuhnya terbanting di tanah, dan bergulingan beberapa kali, sebelum berhenti setelah membentur sebongkah batu yang cukup besar. Sementara Rangga sedikit pun tidak bergeser kakinya.
Pendekar Rajawali Sakti langsung mencabut aji kesaktiannya begitu melihat Nyai Wisanggeni tidak bergerak-gerak lagi, tergeletak di tanah berumput yang cukup tebal ini. Tampak dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir darah kental berwama agak kehitaman. Sedikit pun tidak ada gerakan yang menandakan kalau wanita tua itu masih hidup.
"Hm...," Rangga menggumam perlahan.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memperha-tikan perempuan tua itu, kemudian melangkah menghampiri. Langkahnya baru terhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga tindak lagi dari tubuh perempuan tua yang tergeletak tidak bergerak-ge-rak lagi. Dadanya terlihat berlubang agak meng-hitam agak kebiruan. Asap berwarna kebiruan terlihat mengepul dari dadanya yang berlubang cukup besar.
Pendekar Rajawali Sakti menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat. Memang sungguh dahsyat akibat aji 'Cakra Buana Sukma' tingkat terakhir. kalau dikerahkan lewat tenaga dalam penuh dan sempurna. Setelah yakin kalau Nyai Wisanggeni sudah tidak bernyawa lagi, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya. Lalu kakinya melangkah menghampiri Pandan Wangi, Danupaksi, dan Panglima Lanang yang sudah menanti sejak tadi. Mereka langsung menyambut kemenangan itu dengan wajah cerah, walaupun sejak semula sudah begitu yakin akan kemenangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayo kita kembali ke Karang Setra," ajak Rangga langsung, sebelum ada yang melontarkan suara.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera me-lompat naik ke punggung kuda masing-masing. Panglima Lanang memberi tali kekang kuda Dewa Bayu pada Pendekar Rajawali Sakti. Orang tua itu melompat naik ke atas punggung kudanya sendiri, setelah Rangga berada di atas punggung Dewa Bayu, kuda hiiam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.
Dan tidak berapa lama kemudian, mereka se-mua sudah bergerak meninggalkan puncak bukit ini. Para prajurit yang berjumlah puluhan orang itu mengikuti dari belakang. Mereka semua menjalankan kuda perlahan-lahan, langsung menuju Karang Setra. Rangga berkuda paling depan, didampingi Danupaksi dan Pandan Wangi.
"Bagaimana kalian bisa bertemu, Pandan?" tanya Rangga.
"Rajawali Putih membawaku ke batas Kota Pa-kuan. Di sana aku bertemu Danupaksi," sahut Pandan Wangi.
"Kau tahu dari mana kalau aku ada di sini, Danupaksi?" tanya Rangga seraya berpaling pada adik tirinya.
"Paman Lanang," sahut Danupaksi ringan. Rangga langsung melirik Panglima Lanang.
"Maafkan hamba, Gusti Prabu. Hamba tidak langsung kembali ke Istana Pakuan. Hamba terus mengikuti...."
"Ah, sudahlah potong Rangga cepat.
Mereka pun tidak bicara lagi, terus bergerak perlahan-lahan menuju ke Karang Setra yang ber-batasan dengan Kerajaan Pakuan.
SELESAI
Pendekar Rajawali Sakti - 111. Teror Si Raja Api Pendekar Rajawali Sakti - 108. Harga Sebuah Kepala Pendekar Rajawali Sakti - 112. Dendam Datuk Geni Pendekar Rajawali Sakti - 113. Pembalasan Iblis Sesat Pendekar Rajawali Sakti - 114. Gerhana Darah Biru
begitu cepat, disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hap!"
Namun sungguh di luar dugaan, Pendekar Rajawali Sakti tidak berusaha bergeming sedikit pun juga. Bahkan begitu ujung tongkat yang berbentuk kepala ular itu sudah dekat dadanya, cepat kedua telapak tangannya dikatupkan. Sehingga, ujung tongkat perempuan tua itu terjepit di antara kedua telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti di depan dada.
"Ikh...!"
Nyai Wisanggeni berusaha menarik kembali tongkatnya, tapi jepitan tangan Rangga begitu kuat. Seakan-akan, tongkat itu berada dalam jepitan dua batu karang yang begitu kuat. Meskipun seluruh kekuatan tenaga dalamnya sudah dikerahkan. tapi tetap saja tongkatnya tidak terlepaskan. Bahkan sedikit pun tidak bergeming.
"Keparat...! Hih, yeaaah...!"
***
Tampak begitu geram Nyai Wisanggeni menda- pati tongkatnya tidak berdaya berada dalam jepitan tangan lawannya yang masih muda ini. Dan sambil berteriak keras, tubuhnya melenting ke atas. Lalu, kaki kanannya menghentak memberi satu tendangan yang begitu keras disertai pengerahan tenaga dalam tinggi.
"Hap! Hiyaaa...!"
Namun tanpa diduga sama sekali, Rangga me-lepaskan jepitannya pada tongkat perempuan tua itu. Dan bagaikan kilat, tangan kirinya dikibaskan menggunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega', tepat mengarah ke kaki Nyai Wisanggeni yang menjulur mengarah ke kepala. Begitu cepat gerakan tangannya, sehingga Nyai Wisanggeni tidak sempat lagi menarik pulang kakinya. Dan.
Plak!
"Akh...!"
Bersamaan terdengarnya pekikan Nyai Wisanggeni, Rangga melesat ke atas. Lalu, cepat sekali di lepaskannya satu pukulan keras dari jurus 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Begitu cepat pukulannya, sehingga Nyai Wisanggeni tidak dapat lagi mempertahankan dadanya yang kosong.
Begkh!
"Aaakh ..!"
Kembali Nyai Wisanggeni menjerit keras me-lengking tinggi, begitu pukulan tangan kanan Rangga tepat menghantam keras dadanya. Akibatnya, tubuh perempuan tua itu seketika terpental jauh ke belakang.
Bruk!
Keras sekali tubuh perempuan tua itu terban-ting ke tanah. Dan dari mulutnya langsung me-nyemburkan darah kental berwarna agak kehi taman. Sedangkan Rangga sudah kembali berdiri tegak sekitar dua batang tombak jauhnya di depan Nyai Wisanggeni.
"Hoeeekh...!"
Kembali Nyai Wisanggeni memuntahkan darah kental agak kehitaman dari mulutnya, saat berusaha berdiri lagi. Dengan bantuan tongkatnya, perempuan tua itu bisa berdiri lagi, walaupun tubuhnya jadi terhuyung. Sementara, Rangga tetap menunggu dengan senyuman tersungging di bibir. Entah apa arti senyum Pendekar Rajawali Sakti.
"Aku akan mengadu nyawa denganmu, Pendekar Rajawali Sakti...," desis Nyai Wisanggeni, agak bergetar suaranya.
"Hm...," Rangga hanya menggumam kecil saja.
Sementara, Nyai Wisanggeni sudah melepaskan tongkatnya. Lalu dengan tangan kosong dibuatnya beberapa gerakan di depan dada. Sorot matanya tertuju lurus, bagai hendak merobek dada Pendekar Rajawali Sakti yang sudah membuatnya jatuh bangun beberapa kali.
"Hih...!"
Begitu perempuan tua itu menarik tangannya hingga tersilang di depan dada, seketika kedua tangannya jadi berubah merah membara seperti terbakar. Rangga yang sudah pernah menghadapi ilmu seperti itu dari Ki Sancaka, segera merapatkan kedua tangannya di depan dada.
Perlahan Pendekar Rajawali Sakti membuat gerakan tubuh. Kedua kakinya segera direntangkan ke samping. Dan begitu tubuhnya kembali tegak, terlihat semburat cahaya biru di antara kedua telapak tangannya yang masih tetap merapat di depan dada. Rangga yang sudah tahu kalau Nyai Wisanggeni sudah mempersiapkan ilmu kesaktian dahsyat, tidak mau tanggung-tanggung lagi. Segera disiapkannya aji 'Cakra Buana Sukma’ untuk menandinginya.
"Tahan ajian pamungkasku, Pendekar Rajawali Sakti! Hiyaaat...!"
Sambil membentak nyaring, Nyai Wisanggeni langsung saja menghentakkan kedua tangannya yang sudah memerah ke depan. Dan pada saat itu juga...
"Aji 'Cakra Buana Sukma'! Yeaaah...!"
Dua cahaya meluncur begitu cepat dari dua aliran ilmu kesaktian, tanpa dapat dicegah lagi. Dan ketika kedua sinar merah dan biru itu bertemu tepat di tengah-tengah...
Glarrr...!
Satu ledakan dahsyat terdengar bagai guntur membelah angkasa. Tampak Nyai Wisanggeni ter-pental jauh ke belakang sambil menjerit begitu panjang melengking tinggi. Keras sekali tubuhnya terbanting di tanah, dan bergulingan beberapa kali, sebelum berhenti setelah membentur sebongkah batu yang cukup besar. Sementara Rangga sedikit pun tidak bergeser kakinya.
Pendekar Rajawali Sakti langsung mencabut aji kesaktiannya begitu melihat Nyai Wisanggeni tidak bergerak-gerak lagi, tergeletak di tanah berumput yang cukup tebal ini. Tampak dari mulut, hidung, dan telinganya mengalir darah kental berwama agak kehitaman. Sedikit pun tidak ada gerakan yang menandakan kalau wanita tua itu masih hidup.
"Hm...," Rangga menggumam perlahan.
Sebentar Pendekar Rajawali Sakti memperha-tikan perempuan tua itu, kemudian melangkah menghampiri. Langkahnya baru terhenti setelah jaraknya tinggal sekitar tiga tindak lagi dari tubuh perempuan tua yang tergeletak tidak bergerak-ge-rak lagi. Dadanya terlihat berlubang agak meng-hitam agak kebiruan. Asap berwarna kebiruan terlihat mengepul dari dadanya yang berlubang cukup besar.
Pendekar Rajawali Sakti menghembuskan napas panjang yang terasa begitu berat. Memang sungguh dahsyat akibat aji 'Cakra Buana Sukma' tingkat terakhir. kalau dikerahkan lewat tenaga dalam penuh dan sempurna. Setelah yakin kalau Nyai Wisanggeni sudah tidak bernyawa lagi, Pendekar Rajawali Sakti memutar tubuhnya. Lalu kakinya melangkah menghampiri Pandan Wangi, Danupaksi, dan Panglima Lanang yang sudah menanti sejak tadi. Mereka langsung menyambut kemenangan itu dengan wajah cerah, walaupun sejak semula sudah begitu yakin akan kemenangan Pendekar Rajawali Sakti.
"Ayo kita kembali ke Karang Setra," ajak Rangga langsung, sebelum ada yang melontarkan suara.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera me-lompat naik ke punggung kuda masing-masing. Panglima Lanang memberi tali kekang kuda Dewa Bayu pada Pendekar Rajawali Sakti. Orang tua itu melompat naik ke atas punggung kudanya sendiri, setelah Rangga berada di atas punggung Dewa Bayu, kuda hiiam tunggangan Pendekar Rajawali Sakti.
Dan tidak berapa lama kemudian, mereka se-mua sudah bergerak meninggalkan puncak bukit ini. Para prajurit yang berjumlah puluhan orang itu mengikuti dari belakang. Mereka semua menjalankan kuda perlahan-lahan, langsung menuju Karang Setra. Rangga berkuda paling depan, didampingi Danupaksi dan Pandan Wangi.
"Bagaimana kalian bisa bertemu, Pandan?" tanya Rangga.
"Rajawali Putih membawaku ke batas Kota Pa-kuan. Di sana aku bertemu Danupaksi," sahut Pandan Wangi.
"Kau tahu dari mana kalau aku ada di sini, Danupaksi?" tanya Rangga seraya berpaling pada adik tirinya.
"Paman Lanang," sahut Danupaksi ringan. Rangga langsung melirik Panglima Lanang.
"Maafkan hamba, Gusti Prabu. Hamba tidak langsung kembali ke Istana Pakuan. Hamba terus mengikuti...."
"Ah, sudahlah potong Rangga cepat.
Mereka pun tidak bicara lagi, terus bergerak perlahan-lahan menuju ke Karang Setra yang ber-batasan dengan Kerajaan Pakuan.
SELESAI