Cerita Silat | Memburu Pengkhianat | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Memburu Pengkhianat | Cersil Sakti | Memburu Pengkhianat pdf
Bag III Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Pendekar Rajawali Sakti 105.- Istana Gerbang Neraka Pendekar Rajawali Sakti 106.- Dewa Racun Hitam Pendekar Rajawali Sakti 110.- Sekutu Iblis Pendekar Rajawali Sakti - 116. Datuk Muka Hitam
8
Bagaikan kilat, Rangga melenting ke atas mem pergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Dan begitu kakinya menjejak tanah di depan Nyai Wisanggeni, kedua tangannya langsung mengibas cepat secara bergantian. Akibatnya si Setan Perempuan Penghisap Darah itu jadi kelabakan menghindarinya.
"Hap! Hiyaaa...!"
Nyai Wisanggeni terpaksa harus berlompatan dan jungkir balik menghindari setiap kibasan kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti yang bagaikan sayap seekor burung rajawali murka ini. Setiap kibasan tangannya selalu menimbulkan hempasan angin kuat, disertai hembusan hawa panas menyengat kulit.
Nyai Wisanggeni terus berjumpalitan sambil sesekali mengebutkan tongkatnya untuk menangkis setiap kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa kali tongkat perempuan tua itu menghantam tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, pemuda berbaju rompi putih itu terus saja melancarkan serangan dengan kibasan kedua tangannya yang begitu cepat dan dahsyat.
"Hap! Yeaaah...!"
Dan pada satu saat, tiba-tiba saja Rangga me-miringkan tubuhnya ke kanan. Lalu dengan ge-rakan tubuh begitu cepat, jurusnya dirubah menjadi 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Begitu cepat gerakannya, sehingga Nyai Wisanggeni jadi kaget tidak menyangka. Dan..
Begkh!
"Akh...!"
Pukulan dahsyat yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat lagi ditahan, tepat menghantam keras dada perempuan tua itu. Sehingga, Nyai Wisanggeni menjerit ketika tubuhnya terpental ke belakang sejauh dua batang tombak.
Bruk!
Keras sekali tubuh perempuan tua itu terban-ting ke tanah, dan bergelimpangan beberapa kali. Tubuhnya baru berhenti ketika menghantam sebatang pohon yang sangat besar.
Brak!
Seketika pohon yang besar itu hancur berke-ping-keping terlanda tubuh perempuan tua itu. Namun Nyai Wisanggeni bisa cepat bangkit lagi walaupun terhuyung-huyung. Tampak darah kental berwarna agak kehitaman menyembur keluar dari mulutnya, begitu kedua telapak kakinya menjejak tanah lagi. Dia berdiri dengan bertumpu pada ujung tongkatnya yang ditekan kuat di depan ujung jari kakinya. Sementara, Rangga terlihat berdiri tegak menatap tajam pada perempuan tua berjubah putih kumal itu dengan sinar mata memerah bagai bara api.
"Keparat...!" Nyai Wisanggeni menggeram ma-rah merasa kecolongan. "Kubunuh kau, Pendekar Rajawali Sakti...!"
Wuk!
Sambil menggeram marah Nyai Wisanggeni mengebutkan tongkatnya lurus ke depan, hingga ujung kepala tongkat yang berbentuk kepala ular tertuju lurus ke dada Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti tetap berdiri tegak tanpa bergeming sedikit pun. Hanya pandangan matanya saja yang terlihat begitu tajam menusuk ke bola mata perempuan tua itu.
Belum juga Setan Perempuan Penghisap Darah itu bisa melancarkan serangan, mendadak saja terdengar suara gemuruh hingga membuat tanah di puncak bukit itu jadi bergetar bagai terjadi gempa. Getaran dan suara gemuruh itu membuat Nyai Wisanggeni jadi tersentak kaget setengah mati. Kembali tongkatnya yang sudah menjulur lurus ke depan diturunkan. Sementara Rangga juga terperanjat tidak mengerti.
Dan belum lagi hilang rasa keterkejutan mereka, terlihat debu mengepul tinggi ke angkasa dari lereng bukit ini, sehingga menarik perhatian mereka. Namun tidak lama kemudian, terlihat semak-semak dan pepohonan bergoyang bagai terlanda badai. Dan....
"Danupaksi..." Rangga mendesis perlahan begitu terlihat seorang penunggang kuda muncul dari balik semak belukar.
Dan kemunculan pemuda penunggang kuda yang ternyata Danupaksi, diikuti pula oleh seorang gadis cantik berbaju biru muda. Gadis yang menunggang kuda putih itu tidak lain Pandan Wangi. Kemudian, disusul lagi oleh seorang laki-laki berusia separo baya, serta puluhan orang berkuda berpakaian seragam prajurit dari Kerajaan Karang Setra. Dalam waktu tidak berapa lama saja, puncak bukit itu sudah dipenuhi prajurit dari Karang Setra.
***
"Tangkap dia...!" seru Danupaksi tiba-tiba.
"Tahan!" bentak Rangga keras menggelegar, sebelum para prajurit yang diperintah Danupaksi bergerak untuk menangkap Nyai Wisanggeni.
Tajam sekali Rangga menatap adik tirinya, kemudian melangkah beberapa tindak menghampiri. Sementara Danupaksi sendiri sudah turun dari punggung kudanya, didampingi Pandan Wangi dan Panglima Lanang.
"Aku tidak menginginkan ada kecurangan da lam persoalan ini. Biar aku yang menanganinya sendiri," tegas Rangga.
"Tapi, Kakang. Dia sudah..."
"Cukup, Danupaksi!" sentak Rangga tegas, memutuskan ucapan adik tirinya.
Danupaksi langsung diam membisu. tidak be rani lagi membantah, walaupun dalam hatinya terdapat ganjalan yang menggunung. Dan matanya menatap tajam penuh kebencian pada Nyai Wisanggeni yang telah membuatnya terbaring beberapa hari di Istana Pakuan. Tapi melihat tatapan mata Rangga yang begitu tajam pemuda itu tidak bisa lagi membuka mulutnya.
"Kalian semua. menjauh dari sini!" bentak Rangga lantang menggelegar.
Tanpa diperintah dua kali, semua prajurit yang berada di tempat itu langsung bergerak menjauh. Tinggal Danupaksi, Pandan Wangi, dan Panglima Lanang yang masih tetap berada dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti. Sedikit Rangga melirikkan matanya yang tajam pada mereka. Dan tanpa diminta dengan kata-kata lagi, mereka segera menarik diri bergerak menjauhinya. Sementara Rangga sendiri melangkah mendekati Nyai Wisanggeni yang tampaknya sudah tidak memiliki harapan untuk bisa menyelamatkan diri lagi.
"Kau tidak perlu cemas, Nyai Wisanggeni. Mereka tidak akan ikut campur. Hanya aku yang akan memenuhi keinginanmu," kata Pendekar Rajawali Sakti kalem.
"Hm… Kuakui kejantananmu, Pendekar Rajawali Sakti. Aku pun akan berlaku sebagaimana mestinya seorang pesilat," sambut Nyai Wisanggeni, kagum dengan kekesatriaan lawannya.
"Mari, Nyai. Mulailah lebih dulu," ujar Rangga mempersilakan dengan senyuman tersungging di bibir.
Nyai Wisanggeni menggeser kakinya beberapa langkah ke kanan. Sementara diperhatikannya orang-orang yang berada di sekelilingnya. Memang, mereka tampaknya tidak tengah berada dalam keadaan siap tempur. Bahkan sebagian tampak enak duduk di bawah pohon, seperti begitu yakin kalau rajanya bisa mengalahkan perempuan tua ini. Bahkan Danupaksi, Pandan Wangi, dan Panglima Lanang, terlihat duduk mencangkung beralaskan rerumputan yang cukup tebal terhampar di puncak bukit ini. Mereka juga begitu yakin kalau Pendekar Rajawali Sakti bisa mengalahkan lawannya.
Melihat semua itu, Nyai Wisanggeni jadi berge-tar juga hatinya. Disadari kalau lawan yang sedang dihadapinya bukanlah lawan sembarangan. Lawan yang sudah menewaskan gurunya, juga murid tunggal kesayangannya. Sudah barang tentu kepandaian pemuda berbaju rompi putih ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Ini terlihat dari begitu yakinnya orang-orang yang ada di puncak bukit ini, tanpa tersirat keraguan sedikit pun.
"Phuuuh...!"
Nyai Wisanggeni menghembuskan napasnya panjang-panjang, mencoba mengurangi keraguan dan kegentaran yang bersemayam dalam hatinya. Ujung tongkatnya yang runcing pun ditancapkan ke tanah, tepat di ujung jari kakinya. Dan tatapan matanya kini tertuju lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang berada sekitar satu setengah tombak di depan.
"Baiklah, Pendekar Rajawali Sakti. Tahan se-ranganku...," desis Nyai Wisanggeni datar "Hiyaaat...!"
Sambil berteriak nyaring melengking, perempuan tua itu langsung saja melesat cepat bagai kilat. Dan tongkatnya seketika dikebutkan, tepat mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakb.
"Haiiit..!"
Namun hanya sedikit saja Rangga mengegos-kan kepalanya, serangan Nyai Wisanggeni dengan mudah dihindari. Tapi, Rangga agak terkejut juga saat merasakan desir angin yang begitu panas di atas kepalanya, ketika tongkat berbentuk ular milik perempuan tua itu lewat.
"Hep!"
Cepat Rangga melompat ke belakang sejauh dua langkah. Dan pada saat itu Nyai Wisanggeni sudah memutar tongkatnya, yang langsung disabetkan ke pinggang.
Bet!
"Hih...!"
Tidak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk menghindarinya. Maka segera dikerahkannya jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' untuk menangkis. Cepat sekali gerakan yang mereka lakukan, sehingga...
Plak!
"Ikh...?!"
Nyai Wisanggeni terpekik kaget, begitu tongkatnya menghantam tangan kanan Rangga yang mengibas menangkis serangannya. Seluruh tangan kanannya yang memegang tongkat kontan terasa jadi bergetar. Dan seluruh persendian tulang tangannya jadi nyeri bagai hendak lepas. Sementara, Rangga sendiri sempat terlompat ke belakang, tanpa merasakan apa-apa sama sekali.
"Hm...," Pendekar Rajawali Sakti menggumam pelan.
Dari benturan tangan dengan tongkat ular Nyai Wisanggeni tadi, sudah bisa diukur kalau tingkat pengerahan kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya masih unggul. Sementara, Nyai Wisanggeni sudah bersiap hendak melakukan serangan lagi.
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring, perempuan tua itu kembali melompat dengan sabetan tongkat yang
Bag III Hijaunya Lembah Hijaunya Lereng Pegunungan Pendekar Rajawali Sakti 105.- Istana Gerbang Neraka Pendekar Rajawali Sakti 106.- Dewa Racun Hitam Pendekar Rajawali Sakti 110.- Sekutu Iblis Pendekar Rajawali Sakti - 116. Datuk Muka Hitam
8
Bagaikan kilat, Rangga melenting ke atas mem pergunakan jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega'. Dan begitu kakinya menjejak tanah di depan Nyai Wisanggeni, kedua tangannya langsung mengibas cepat secara bergantian. Akibatnya si Setan Perempuan Penghisap Darah itu jadi kelabakan menghindarinya.
"Hap! Hiyaaa...!"
Nyai Wisanggeni terpaksa harus berlompatan dan jungkir balik menghindari setiap kibasan kedua tangan Pendekar Rajawali Sakti yang bagaikan sayap seekor burung rajawali murka ini. Setiap kibasan tangannya selalu menimbulkan hempasan angin kuat, disertai hembusan hawa panas menyengat kulit.
Nyai Wisanggeni terus berjumpalitan sambil sesekali mengebutkan tongkatnya untuk menangkis setiap kibasan tangan Pendekar Rajawali Sakti. Beberapa kali tongkat perempuan tua itu menghantam tangan Pendekar Rajawali Sakti. Tapi, pemuda berbaju rompi putih itu terus saja melancarkan serangan dengan kibasan kedua tangannya yang begitu cepat dan dahsyat.
"Hap! Yeaaah...!"
Dan pada satu saat, tiba-tiba saja Rangga me-miringkan tubuhnya ke kanan. Lalu dengan ge-rakan tubuh begitu cepat, jurusnya dirubah menjadi 'Pukulan Maut Paruh Rajawali' tingkat terakhir. Begitu cepat gerakannya, sehingga Nyai Wisanggeni jadi kaget tidak menyangka. Dan..
Begkh!
"Akh...!"
Pukulan dahsyat yang dilepaskan Pendekar Rajawali Sakti tidak dapat lagi ditahan, tepat menghantam keras dada perempuan tua itu. Sehingga, Nyai Wisanggeni menjerit ketika tubuhnya terpental ke belakang sejauh dua batang tombak.
Bruk!
Keras sekali tubuh perempuan tua itu terban-ting ke tanah, dan bergelimpangan beberapa kali. Tubuhnya baru berhenti ketika menghantam sebatang pohon yang sangat besar.
Brak!
Seketika pohon yang besar itu hancur berke-ping-keping terlanda tubuh perempuan tua itu. Namun Nyai Wisanggeni bisa cepat bangkit lagi walaupun terhuyung-huyung. Tampak darah kental berwarna agak kehitaman menyembur keluar dari mulutnya, begitu kedua telapak kakinya menjejak tanah lagi. Dia berdiri dengan bertumpu pada ujung tongkatnya yang ditekan kuat di depan ujung jari kakinya. Sementara, Rangga terlihat berdiri tegak menatap tajam pada perempuan tua berjubah putih kumal itu dengan sinar mata memerah bagai bara api.
"Keparat...!" Nyai Wisanggeni menggeram ma-rah merasa kecolongan. "Kubunuh kau, Pendekar Rajawali Sakti...!"
Wuk!
Sambil menggeram marah Nyai Wisanggeni mengebutkan tongkatnya lurus ke depan, hingga ujung kepala tongkat yang berbentuk kepala ular tertuju lurus ke dada Rangga. Sedangkan Pendekar Rajawali Sakti tetap berdiri tegak tanpa bergeming sedikit pun. Hanya pandangan matanya saja yang terlihat begitu tajam menusuk ke bola mata perempuan tua itu.
Belum juga Setan Perempuan Penghisap Darah itu bisa melancarkan serangan, mendadak saja terdengar suara gemuruh hingga membuat tanah di puncak bukit itu jadi bergetar bagai terjadi gempa. Getaran dan suara gemuruh itu membuat Nyai Wisanggeni jadi tersentak kaget setengah mati. Kembali tongkatnya yang sudah menjulur lurus ke depan diturunkan. Sementara Rangga juga terperanjat tidak mengerti.
Dan belum lagi hilang rasa keterkejutan mereka, terlihat debu mengepul tinggi ke angkasa dari lereng bukit ini, sehingga menarik perhatian mereka. Namun tidak lama kemudian, terlihat semak-semak dan pepohonan bergoyang bagai terlanda badai. Dan....
"Danupaksi..." Rangga mendesis perlahan begitu terlihat seorang penunggang kuda muncul dari balik semak belukar.
Dan kemunculan pemuda penunggang kuda yang ternyata Danupaksi, diikuti pula oleh seorang gadis cantik berbaju biru muda. Gadis yang menunggang kuda putih itu tidak lain Pandan Wangi. Kemudian, disusul lagi oleh seorang laki-laki berusia separo baya, serta puluhan orang berkuda berpakaian seragam prajurit dari Kerajaan Karang Setra. Dalam waktu tidak berapa lama saja, puncak bukit itu sudah dipenuhi prajurit dari Karang Setra.
***
"Tangkap dia...!" seru Danupaksi tiba-tiba.
"Tahan!" bentak Rangga keras menggelegar, sebelum para prajurit yang diperintah Danupaksi bergerak untuk menangkap Nyai Wisanggeni.
Tajam sekali Rangga menatap adik tirinya, kemudian melangkah beberapa tindak menghampiri. Sementara Danupaksi sendiri sudah turun dari punggung kudanya, didampingi Pandan Wangi dan Panglima Lanang.
"Aku tidak menginginkan ada kecurangan da lam persoalan ini. Biar aku yang menanganinya sendiri," tegas Rangga.
"Tapi, Kakang. Dia sudah..."
"Cukup, Danupaksi!" sentak Rangga tegas, memutuskan ucapan adik tirinya.
Danupaksi langsung diam membisu. tidak be rani lagi membantah, walaupun dalam hatinya terdapat ganjalan yang menggunung. Dan matanya menatap tajam penuh kebencian pada Nyai Wisanggeni yang telah membuatnya terbaring beberapa hari di Istana Pakuan. Tapi melihat tatapan mata Rangga yang begitu tajam pemuda itu tidak bisa lagi membuka mulutnya.
"Kalian semua. menjauh dari sini!" bentak Rangga lantang menggelegar.
Tanpa diperintah dua kali, semua prajurit yang berada di tempat itu langsung bergerak menjauh. Tinggal Danupaksi, Pandan Wangi, dan Panglima Lanang yang masih tetap berada dekat dengan Pendekar Rajawali Sakti. Sedikit Rangga melirikkan matanya yang tajam pada mereka. Dan tanpa diminta dengan kata-kata lagi, mereka segera menarik diri bergerak menjauhinya. Sementara Rangga sendiri melangkah mendekati Nyai Wisanggeni yang tampaknya sudah tidak memiliki harapan untuk bisa menyelamatkan diri lagi.
"Kau tidak perlu cemas, Nyai Wisanggeni. Mereka tidak akan ikut campur. Hanya aku yang akan memenuhi keinginanmu," kata Pendekar Rajawali Sakti kalem.
"Hm… Kuakui kejantananmu, Pendekar Rajawali Sakti. Aku pun akan berlaku sebagaimana mestinya seorang pesilat," sambut Nyai Wisanggeni, kagum dengan kekesatriaan lawannya.
"Mari, Nyai. Mulailah lebih dulu," ujar Rangga mempersilakan dengan senyuman tersungging di bibir.
Nyai Wisanggeni menggeser kakinya beberapa langkah ke kanan. Sementara diperhatikannya orang-orang yang berada di sekelilingnya. Memang, mereka tampaknya tidak tengah berada dalam keadaan siap tempur. Bahkan sebagian tampak enak duduk di bawah pohon, seperti begitu yakin kalau rajanya bisa mengalahkan perempuan tua ini. Bahkan Danupaksi, Pandan Wangi, dan Panglima Lanang, terlihat duduk mencangkung beralaskan rerumputan yang cukup tebal terhampar di puncak bukit ini. Mereka juga begitu yakin kalau Pendekar Rajawali Sakti bisa mengalahkan lawannya.
Melihat semua itu, Nyai Wisanggeni jadi berge-tar juga hatinya. Disadari kalau lawan yang sedang dihadapinya bukanlah lawan sembarangan. Lawan yang sudah menewaskan gurunya, juga murid tunggal kesayangannya. Sudah barang tentu kepandaian pemuda berbaju rompi putih ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Ini terlihat dari begitu yakinnya orang-orang yang ada di puncak bukit ini, tanpa tersirat keraguan sedikit pun.
"Phuuuh...!"
Nyai Wisanggeni menghembuskan napasnya panjang-panjang, mencoba mengurangi keraguan dan kegentaran yang bersemayam dalam hatinya. Ujung tongkatnya yang runcing pun ditancapkan ke tanah, tepat di ujung jari kakinya. Dan tatapan matanya kini tertuju lurus ke bola mata Pendekar Rajawali Sakti yang berada sekitar satu setengah tombak di depan.
"Baiklah, Pendekar Rajawali Sakti. Tahan se-ranganku...," desis Nyai Wisanggeni datar "Hiyaaat...!"
Sambil berteriak nyaring melengking, perempuan tua itu langsung saja melesat cepat bagai kilat. Dan tongkatnya seketika dikebutkan, tepat mengarah ke kepala Pendekar Rajawali Sakb.
"Haiiit..!"
Namun hanya sedikit saja Rangga mengegos-kan kepalanya, serangan Nyai Wisanggeni dengan mudah dihindari. Tapi, Rangga agak terkejut juga saat merasakan desir angin yang begitu panas di atas kepalanya, ketika tongkat berbentuk ular milik perempuan tua itu lewat.
"Hep!"
Cepat Rangga melompat ke belakang sejauh dua langkah. Dan pada saat itu Nyai Wisanggeni sudah memutar tongkatnya, yang langsung disabetkan ke pinggang.
Bet!
"Hih...!"
Tidak ada lagi kesempatan bagi Rangga untuk menghindarinya. Maka segera dikerahkannya jurus 'Sayap Rajawali Membelah Mega' untuk menangkis. Cepat sekali gerakan yang mereka lakukan, sehingga...
Plak!
"Ikh...?!"
Nyai Wisanggeni terpekik kaget, begitu tongkatnya menghantam tangan kanan Rangga yang mengibas menangkis serangannya. Seluruh tangan kanannya yang memegang tongkat kontan terasa jadi bergetar. Dan seluruh persendian tulang tangannya jadi nyeri bagai hendak lepas. Sementara, Rangga sendiri sempat terlompat ke belakang, tanpa merasakan apa-apa sama sekali.
"Hm...," Pendekar Rajawali Sakti menggumam pelan.
Dari benturan tangan dengan tongkat ular Nyai Wisanggeni tadi, sudah bisa diukur kalau tingkat pengerahan kekuatan tenaga dalam yang dimilikinya masih unggul. Sementara, Nyai Wisanggeni sudah bersiap hendak melakukan serangan lagi.
"Hiyaaat..!"
Sambil berteriak nyaring, perempuan tua itu kembali melompat dengan sabetan tongkat yang