Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Penghuni Telaga Iblis - 5

$
0
0
Cerita Silat | Penghuni Telaga Iblis | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Penghuni Telaga Iblis | Cersil Sakti | Penghuni Telaga Iblis pdf

Pendekar Rajawali Sakti - 116. Datuk Muka Hitam Pendekar Rajawali Sakti - 117.Memburu Pengkhianat Pendekar Rajawali Sakti - 121. Rahasia Patung Kencana Lembah Merpati - Chung Sin Bag II Pendekar Rajawali Sakti - 123. Misteri Hantu Berkabung

3
 
 
 
  Seorang gadis cantik tengah berlari-lari kecil menemui ibunya di belakang. Senyumnya terkembang dengan kedua belah tangan disembunyikan di balik tubuhnya. Ibunya melirik sekilas sambil geleng-geleng kepala, lalu menghentikan pekerjaannya.
  "Belakangan ini Ibu lihat kau selalu gembira, Surtiningsih. Apa yang menyebabkan hatimu begitu gembira?" tanya wanita setengah baya itu, menatap anak gadisnya yang kini telah tumbuh menjadi perawan bertubuh sintal dan berwajah manis.
  "Coba Ibu tebak? " gadis cantik yang bernama Surtiningsih malah memberi pertanyaan pada ibunya.
  "Mana bisa Ibu menebak. Tapi...." ibunya tersenyum-senyum dikulum.
  "Apa?!" tantang Surtiningsih.
  Perempuan setengah baya itu masih tersenyum-senyum kecil
  "Biasanya kalau anak perawan suka cengar-cengir sendiri dan rajin bersolek, tentu tak lain karena...."
  "Karena apa?" potong Surtiningsih dengan suara mulai meninggi. Wajahnya tampak jengah menahan malu.
  "Karena memiliki pujaan hati!" tebak wanita setengah baya itu yang dikenal bernama Nyi Su-parmi.
  Gadis itu seketika menundukkan wajah dengan tersipu-sipu malu. Nyi Suparmi mendekat dan mencoba meyakinkan.
  "Tadi malam kau pulang agak malam. Dan katanya diantar oleh seorang pemuda. Apakah itu kekasihmu?" tanya Nyi Suparmi.
  Surtiningsih mengangguk sambil tersenyum kecil.
  "Siapa namanya. Dan, berasal dan desa mana?"
  "Eh! Aku belum sempat kenal namanya, Bu Tak sempat...," sahut Surtiningsih terheran- heran sendiri.
  Mendengar itu, tentu Nyi Suparmi semakin keheranan. Ditatap anaknya itu dengan wajah pe-nuh tanda tanya.
  "Bagaimana mungkin?"
  "Ah! Aku lupa, Bu. Tapi hari ini pasti akan ku-tanyakan. Dia berjanji akan menemuiku di luar desa!" sahut Surtiningsih dengan wajah girang.
  "Bawalah dia nanti ke sini," ujar Nyi Suparmi.
  "Tentu, Bu. Surtiningsih berangkat dulu sekarang!" pamit gadis itu sambil berbalik.
  "Eh, tunggu dulu! Kau sudah pamit pada ayahmu?"
  Surtiningsih menoleh sekilas sambil mengangguk cepat, kemudian kembali berlalu. Perempuan setengah baya itu hanya menggeleng kecil sambil tersenyum-senyum.
 
  ***
 
  Surtingsih tak langsung ke tempat tujuan. Gadis itu rupanya lebih memilih mampir ke rumah kawan akrabnya, yang bernama Prapti. Dan baru saja kakinya menginjak halaman rumah Prapti, di sana sudah banyak orang ramai berkumpul. Hatinya tercekat dan bertanya-tanya. Apa yang telah terjadi di rumah itu? Bergegas Surtiningsih menghampiri seorang laki-laki setengah baya yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Langsung ditanyakan, kenapa di rumah Prapti terjadi keramaian seperti itu.
  "Prapti meninggal..." jelas laki-laki setengah baya itu.
  "Apa! Meninggal? Karena apa?!" Bukan main kagetnya Surtiningsih mendengar berita itu. Langsung diterobosnya orang-orang yang berkumpul. Dia langsung masuk ke dalam, mene-mui kedua orang tua sahabatnya itu.
  Apa yang dilihat Surtiningsih memang tak salah. Tampak Prapti terbujur kaku di sebuah dipan beralaskan tikar pandan. Sekujur tubuhnya penuh bisul-bisul bernanah. Sebagian telah pecah, membasahi kain putih yang menutupi tubuhnya. Bahkan bau busuk yang amat menusuk menyergap di tempat ini. Beberapa orang terlihat mual-mual. Malah ada yang muntah muntah, sampai jatuh pingsan. Tentu saja karena tak rahan oleh bau busuk yang luar biasa.
  "Ibu tak tahu sebabnya. Tapi mulanya dia sakit hati karena kekasihnya ternyata main gila dengan perempuan lain. Padahal, laki-laki itu telah berjanji, sehingga Prapti rela menyerahkan segalanya. Karena pikirnya tak lain lagi kekasihnya akan mengawininya," jelas perempuan berusia empat puluh dua tahun. Dan dia adalah ibu dari Prapti yang meninggal dunia itu.
  Surtiningsih termenung sesaat mendengar ce-rita itu. Kekasih? Prapti tak pernah menceritakan padanya, siapa sebenarnya yang menjadi kekasihnya. Dan Surtiningsih sendiri belum pernah bertemu kekasih Prapti. Tapi kenapa bisa jadi begini? Apa karena Prapti punya penyakit yang menjijikkan itu, sehingga kekasihnya tak sudi lagi padanya? Tapi sejak kecil, dia tahu betul kalau Prapti belum pernah menderita penyakit seperti ini.
  ***
 
  Surtiningsih memang tak langsung pulang. Gadis itu harus memenuhi janjinya terhadap seseorang di ujung desa ini. Dan dengan setengah berlari di hampirinya seorang pemuda berwajah tampan yang telah menunggu lama di depan sebuah pondok kecil yang biasa digunakan para petani untuk menunggu sawahnya. Pemuda berambut sebahu itu tampak duduk dengan gelisah, di bawah siraman matahari yang menerobos lewata atap pondok yang sudah rusak. Kelihatan pondok itu sudah sekian lama tak dipakai lagi.
  "Hm Mengapa lama sekali kau ke sini, Surti?" sapa pemuda itu ketika Surtiningsih telah mendekat.
  "Aku mampir dulu di rumah kawan, Kang. Dia..., dia..., meninggal dunia tadi," sahut gadis itu lirih, seraya menempatkan pantat di sisi pemuda itu.
  "Oh! Aku turut berduka cita atas kemalangan yang menimpa kawanmu itu! " seru si pemuda de-ngan wajah terkejut.
  "Oh, ya. Aku tak bisa lama-lama berada di sini, Kang. Kedua orangtuaku perlu diberi tahu tentang meninggalnya Prapti," kata Surtiningsih, memberi tahu.
  "Sabarlah. Sebentar lagi, Surti. Aku masih rindu denganmu. Mari kita berbincang-bincang di dalam," ajak pemuda itu. Dirangkulnya pinggang Surtiningsih dan ditatapnya dalam-dalam.
  Gadis itu juga balas memandang, Dan seperti mendapat kekuatan gaib, ketika pemuda itu menganggukkan kepala sambil tersenyum manis. Surtiningsih tak kuasa menolak. Dia pasrah saja saat pemuda itu membawanya ke dalam, sambil memeluknya.
  Di dalam gubuk kecil itu tak terdapat apa-apa, selain dipan kecil yang sudah reot. Sebelum dia sendiri duduk, pemuda itu juga mendudukkan Surtiningsih di dipan yang beralaskan tikar pandan. Dibelai-belainya rambut gadis itu perlahan-lahan.
  Sementara Surtiningsih diam saja sambil tertunduk malu. Dan tangan pemuda itu agaknya tak diam di situ. Dengan nakalnya, tangan pemuda itu terus menjelajahi daerah-daerah yang paling peka bagi seorang gadis. Surtiningsih tersentak kaget dan berusaha berontak. Namun pemuda itu malah memeluk tubuhnya makin erat. Kembali Surtiningsih seperti kerbau yang dicocok hidungnya. Malah ketika pakaiannya dibuka perlahan-lahan, dia hanya menatapi pemuda itu dengan sinar mata kosong.
  "Kang! Ja..., jangan...!" hanya itu yang keluar dari bibir Surtiningsih.
  Namun penolakan itu malah membuat pemuda itu makin liar saja. Bahkan tangannya seperti tak mengenal lelah menjelajahi dua bukit ranum miliki Surtiningsih yang berbentuk indah menantang. Sementara Surtiningsih juga seperti lupa segalanya. Pelukannya pada pemuda itu makin dipererat. Desahan-desahan lirih makin sering terdengar, ditingkahi deru napas menggebu.
  "Jangan takut, Surti. Di sini sepi. Sejak tadi, tak seorang pun kulihat lewat sini," bujuk pemuda itu lirih.
  Dan belum juga Surtiningsih bersuara lagi, pemuda itu langsung melumat bibirnya dengan gemas. Surtiningsih gelagapan sendiri. Gadis desa yang baru menginjak usia dewasa itu sama sekali belum pernah merasakan pengalaman yang men-debarkan seperti ini. Sehingga tak heran kalau tubuhnya gemetar panas dingin. Tapi pemuda itu terus merayu dan mencumbunya tanpa henti. Sehingga, gadis itu seperti tak kuasa menolak. Dan ketika pemuda itu telah membuka pakaiannya sendiri, Surtiningsih malah seperti menunggu tak sabar.
  "Kang...," desah gadis itu lirih, seraya kembali memeluk pemuda itu.
  Dan kini yang terdengar hanya napas bagai kuda pacu saja dalam pondok itu. Kedua insan itu seperti sudah mabuk dalam bahtera nafsu.
 
  ***
  Walaupun sudah berpakaian, Surtiningsih me-rasakan bergetar dan panas dingin. Dia merasa ada sesuatu yang hilang dari dirinya. Entah apa, dia sendiri tidak tahu.
  "Kang...," panggil gadis itu.
  "Hm..." pemuda itu hanya bergumam.
  "Aku..., aku takut..."
  "Kenapa takut?"
  "Kau..., kau berjanji akan menikahiku, bukan?"
  "Tentu saja. Kenapa tidak>"
  "Aku tak ingin nasibku seperti kawanku itu...."
  Pemuda itu hanya tersenyum. Kemudian dici-umnya gadis itu sesaat. Lalu, punggungnya ditepuk-tepuk.
  "Apakah kau tak percaya kata kataku? " tanya pemuda itu.
  "Aku percaya...."
  "Nah! Kenapa diragukan lagi? Sekarang kau ingin pulang?"
  Surtiningsih mengganggukkan kepala. Kemudian ditatapnya pemuda itu dengan sorot mata penuh harap.
  "Ayah dan ibu ingin bertemu denganmu. Mau-kah kau bertemu mereka sekarang?" kata Sur-tiningsih, seraya bangkit dari duduknya.
  "Aku senang sekali mendengarnya. S

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>