Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Penghuni Telaga Iblis - 6

$
0
0
Cerita Silat | Penghuni Telaga Iblis | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Penghuni Telaga Iblis | Cersil Sakti | Penghuni Telaga Iblis pdf

Pendekar Rajawali Sakti - 111. Teror Si Raja Api Pendekar Rajawali Sakti - 108. Harga Sebuah Kepala Pendekar Rajawali Sakti - 112. Dendam Datuk Geni Pendekar Rajawali Sakti - 113. Pembalasan Iblis Sesat Pendekar Rajawali Sakti - 114. Gerhana Darah Biru

ampaikan salam hormatku pada beliau. Tapi untuk saat sekarang, aku belum bisa. Ada sesuatu yang harus kukerjakan di rumah. Kapan-kapan, aku pasti mampir. Tak apa-apa kan? " kilah pemuda itu, juga bangkit dari duduknya.
  Surtiningsih menggeleng lemah. Ada sedikit rasa kecewa dalam hatinya mendengar penolakan itu. Tapi dia tak kuasa memaksa. Padahal keinginannya untuk memperkenalkan pemuda itu pada orangtuanya menggebu-gebu sekali. Dia sendiri tidak tahu, kenapa sampai terlalu percaya pada pemuda itu. Sepertinya, ada sesuatu kekuatan yang tak bisa ditolaknya.
  Dan seperti kerbau yang dicocok hidungnya, gadis itu menurut saja ketika pemuda itu memba-wanya ke depan pondok
  "Aku pulang dulu, Kang," pamit Surtiningsih.
  Pemuda itu hanya tersenyum manis sambil mengangguk pelan.
  Dan sambil melangkah pelan, sesekali Surtiningsih menoleh ke arah pondok itu. Tampak pemuda itu melambai sambil tersenyum manis.
 
  ***
 
  "Surti! Kenapa mukamu pucat? Kau sakit?" tanya Nyi Suparmi heran melihat wajah anaknya berkerut menahan sakit sehabis bangun tidur.
  "Aduh .., aduuuh...!" keluh Surtiningsih.
  "Surti! Kenapa kau, Nak? Kenapa? Kang! Anakmu ini kenapa?! Dia..., dia...! "
  Perempuan setengah baya itu tampak bingung sambil berteriak-teriak memilukan.
  Sebentar saja seorang laki-laki setengah baya masuk ke dalam kamar. Seketika dia terkejut memandang Surtiningsih yang tergeletak dengan wajah pucat dan sekujur tubuh terasa dingin bagai disiram es. Tubuh gadis itu bergetar hebat dan keringat sebesar butiran butiran jagung mengucur dari pori-porinya.
  "Astaga! Surti! Kenapa kau, Nak?! Dari mana kau kemarin!" sentak laki-laki yang tak lain ayah Surtiningsih. Dia bernama Ki Riman.
  "Ayah.... Ibu..., panas..., dingin. Aduuuh, sa..., sakit..."
  "Surti, kenapa kau? Kenapa?! Kang! Jangan diam saja. Ayo cepat panggil dukun! Cepat, Pak" teriak Nyi Suparmi dengan wajah gelisah.
  "Baik, baik..," Ki Riman langsung melompat keluar dari kamar. Dia segera berlari memanggil dukun yang hanya sepuluh tombak dari rumahnya.
  Sebentar saja Ki Riman sudah kembali membawa seorang dukun yang tersohor di Desa Weton Nyelap ini. Namun begitu tiba di depan rumah, terdengar jerit tangis istrinya yang memilukan. Laki-laki setengah baya itu cepat menerobos ke dalam. Dan ternyata anaknya sudah terbujur kaku dengan mata terpejam. Jantungnya telah berhenti berdetak. Demikian pula nadinya telah berhenti berdenyut. Nyi Suparmi langsung memeluk suaminya begitu tiba di dalam kamar.
  "Anak kita, Kang, Anak kita...!" teriak Nyi Suparmi dengan suara memilukan.
  Laki-laki itu tak tahu, apa yang harus dilaku- kannya. Dia hanya membelai belai kepala istrinya dan berusaha menenangkan.
  "Sudahlah, Bu. Mungkin sudah ditakdirkan kalau ajal anak kita telah tiba hari ini...."
  "Kematiannya tak wajar!" desis dukun yang dibawa Ki Riman setelah memeriksa tubuh gadis itu.
  "Apa?!" sentak kedua orang suami istri itu he-ran.
  "Coba lihat! Sekujur tubuhnya timbul bercak-bercak merah yang cepat sekali menjalar. Lihat! Bercak merah di lehernya telah menjadi sebuah bisul yang terus membesar!" tunjuk dukun itu dengan wajah kaget.
  Apa yang dikatakan dukun itu memang benar. Dan tentu saja ini membuat mereka kaget. Apalagi ketika bisul itu pecah dan menyebarkan bau busuk yang sangat menusuk!
  "Celaka! Penyakit yang dideritanya mirip Prapti!" desis dukun itu kembali.
  "Prapti kawannya?" tanya Ki Riman, ingin memastikan.
  Dukun itu mengangguk
  "Baru saja tadi Prapti meninggal. Dan...."
  Kedua suami istri itu terkejut dan mengira bahwa penyakit anaknya berasal dari Prapti karena ketularan.
  Dan memang tak ada yang tahu kalau kejadian yang sama telah menimpa perawan-perawan lain di desa Weton Nyelap. Satu persatu mereka tewas dengan didahului terserang penyakit aneh, berupa bercak- bercak bernanah yang menyebarkan bau busuk!
  Tentu saja kejadian itu membuat kalut seisi desa. Sebab, ternyata korban-korban yang tewas semakin bertambah dari hari ke hari. Bahkan kali ini tidak hanya perawan atau wanita bersuami, tapi juga pemuda-pemuda dan laki-laki penduduk desa ini.
 
  ***
 
  Ki Gendi berjalan mondar mandir di teras depan rumahnya. Sesekali matanya melirik ke de-pan, seperti hendak menembus kegelapan malam. Kemudian ketika mengetahui tak ada seorang pun di sana, Kepala Desa Weton Nyelap itu terhenyak kembali di kursi. Lalu, dihisapnya lintingan rokok bakaunya dalam- dalam.
  Dan mendadak laki-laki setegah baya itu tersentak kaget, ketika seseorang berlari tergopoh gopoh dari arah luar.
  "Wongso! Sudah kau temukan dia?" tanya Gendi, langsung bangkit dari duduknya.
  Seorang laki-laki bertubuh kurus dengan kumis jarang tak beraturan, menganggukkan kepala.
  "Di mana? " tanya kepala desa itu.
  "Di rumah Ki Sumarja."
  "Gila! Tua bangka itu ternyata masih doyan perempuan juga!" desis Ki Gendi.
  "Kita akan menggerebeknya sekarang, Ki?"
  "Apa kau yakin kalau perempuan itu yang me-nyebabkan malapetaka di desa kita ini?"
  Wongso mengangguk cepat
  "Semua orang tahu kalau dia memang perempuan nakal dan penggoda suami orang...."
  "Hm.... Alasan lainnya?"
  "Semua orang juga tahu, kalau habis bercinta dengannya maka laki-laki itu terserang penyakit yang menjijikkan. Lalu, tak berapa lama laki-laki itu tewas. Dan dia tak sendiri, Ki. Tapi berdua dengan seorang pemuda tanggung berwajah tampan. Pada mulanya, tak ada seorang pun yang mengenalnya. Tapi seorang penduduk desa telah mengenali wajahnya, saat bersama seorang gadis penduduk desa ini," jelas Wongso.
  "Hm... Kalau begitu, mari kita berangkat. Bawa beberapa orang tangguh untuk berjaga-jaga, jangan sampai mereka melawan!"
  "Baik, Ki!"
  Kedua orang itu segera melangkah keluar halaman rumah kepala desa Ini. Tak berapa lama mereka berjalan. Ki Gendi langsung berbelok menuju tempat yang dimaksud. Sedangkan Wongso berjalan mendatangi beberapa orang desa yang selama ini dikenal sebagai jago- jago silat tangguh.
 
  ***
 
  "Sumarja! Buka pintumu, cepat!" bentak Ki Gendi sambil mengetuk sebuah pintu rumah ketika telah tiba di rumah Ki Sumarja.
  "Siapa?!"
  Terdengar sahutan dari dalam. Tapi bukan hanya itu yang terdengar. Ada pula suara ribut-ribut kecil seperti orang yang kebingungan.
  "Aku, Ki Gendi..!" jawab Ki Gendi dari luar.
  Tak berapa lama terdengar suara langkah terseret. Dan begitu pintu terbuka, muncul sese-orang dari dalam. Rambutnya kusut dan mukanya terlihat pucat. Pakaiannya pun berkesan acak-acakan. Laki-laki kurus dengan rambut sebagian besar telah ubanan itu tersenyum kecil ketika melihat orang yang datang.
  "Eh, Ki Gendi. Ada apa malam-malam begini ke sini, Ki?" sapa orang yang dipanggil Ki Sumarja dengan suara serak bercampur sedikit gemetar.
  "Mana perempuan itu?" tanya Ki Gendi tanpa tendeng aling-aling.
  "Perempuan? Perempuan mana?"
  "Jangan berpura-pura, Sumarja!" bentak laki-laki berkumis tebal dengan tubuh besar, yang juga Kepala desa Weton Nyelap ini.
  "Eh! Aku tak mengerti maksudmu...?! "
  Ki Sumarja berusaha menutupi apa yang terjadi di rumahnya. Namun, mendadak seorang perempuan muda muncul dari dalam. Dan bibirnya langsung melepaskan senyum kecil pada Kepala Desa Weton Nyelap itu.
  "Akukah yang kau maksud?" kata wanita itu dengan suara mendesah dan senyum genit.
  Ki Gendi terkejut begitu melihat wajah perempuan itu. Mana mungkin wajah yang selama ini selalu terbayang dalam ingatannya bisa terlupakan. Tapi kenangan itu telah berlalu lima belas tahun silam. Seharusnya, dia sudah sedikit berumur. Tapi yang berdiri di hadapannya, seperti gadis berusia belasan tahun!
  "Kau... Setiasih...?"
  "Jangan bergurau, Ki Gendi. Mana mungkin dia Setiasih. Kalaupun betul, tentu tak semuda ini. Setiasih telah mati lima belas tahun lalu! " sahut Ki Sumarja sambil tertawa kecil.
  Ki Gendi cepat tersadar mendengar tawa Sumarja. Wajahnya kembali berubah kelam.
  "Setiasih atau bukan kau harus ikut untuk menerima hukuman!" tegas Ki Gendi.
  "Tunggu dulu! Ada persoalan apa ini?! " selak Ki Sumarja.
  Ki Gendi mendelik tajam pada laki-laki berusia kurang dari lima puluh tahun itu.
  "Tak tahukah, kalau jiwamu kini dalam baha ya!” tanya kepala desa itu dingin. "Kau telah melakukan hubungan badan dengannya, bukan?"
  Ki Sumarja tak menyahut.
  "Nyawamu tinggal sesaat lagi, Sumarja!" lanjut Ki Gendi.
  "Omong kosong!" teriak Ki Sumarja ketika tubuhnya terasa mulai dingin.
  "Kau boleh telan ucapanmu itu. Tapi dia ber-kata benar. Kau akan mampus sesaat lagi!" timpal satu suara yang tiba-tiba saja menggema di tempat itu.
  Serentak ketiganya berpaling ke arah sumber suara. Kini di depan pintu rumah Ki Sumarja berdiri seorang laki-laki bertubuh sedang. Wajahnya seram dengan kumis tebal. Tangannya membawa sebilah pedang besar. Bola matanya tajam menusuk ketika menatap ke arah perempuan yang berada di samping Ki Sumarja.
  "Perempuan keparat! Kau akan mampus di ta-nganku!" dengus laki-laki itu sambil mendengus dingin.
  "Heh?!"
  Sring!
  Ki Sumarja dan Ki Gendi terkejut mendengar kata kata orang yang baru datang itu. Tapi lebih terkejut lagi ketika mendadak laki-laki itu mengibaskan pedangnya yang tajam berkilat ke arah perempuan di samping Ki Sumarja.
 
  ***

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>