Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Hantu Putih Mata Elang - 19

$
0
0
Cerita Silat | Hantu Putih Mata Elang | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Hantu Putih Mata Elang | Cersil Sakti | Hantu Putih Mata Elang pdf

rahasia benteng kuno Cersil mwb Sepasang Golok Mustika Cersil mwb Pedang Abadi Pendekar Rajawali Sakti - 137. Misteri Dewi Maut Cersil mwb Pendekar Kembar

teruskan pencarian di sini?" lanjut laki-laki berkulit legam itu.
  Rangga memandang sekilas. Kemudian perha-bannya dialihkan pada keempat orang laki-laki yang tadi menuruni tebing. Kini, satu persatu mereka naik ke permukaan.
  "Kelihatannya tidak membawa hasil. Mungkin dugaan Rangga keliru...," timpal Buntaran.
  "Mungkin juga aku keliru. Namun, tidak ada salahnya dicoba, bukan? Lagi pula, baru sebagian lubang yang diperiksa. Siapa tahu lubang lainnya membawa hasil. Dan itu pun baru di satu sisi. Coba perhatikan sisi tebing yang lain. Di sana, terlihat suram. Dan itu menunjukkan kalau lubang-lubang di sebelah sana lebih dalam!" tunjuk Rangga, ke sisi tebing sungai lain.
  "Sungai ini cukup lebar. Dan kalau benar Hantu Putih Mata Elang bersembunyi di Hutan Lengkeng ini, bagaimana mungkin bisa menyebe-rang ke sana?" tanya Linggawuni tidak percaya dengan kata-kata Pendekar Rajawali Sakti.
  "Pertanyaan itu sama dengan bagaimana cara wanita itu lenyap begitu saja di hutan ini? Padahal, semua orang yakin kalau dia bersembunyi di sini," sahut Rangga.
  Linggawuni dan Buntaran terdiam. Sementara, anak buah mereka tengah melepas lelah. Sedang yang lain mencari ranting dan kayu-kayu kering yang akan dibuat api unggun.
  "Bagaimana? Apakah kalian bersedia meneruskan pencarian di sini? Atau ada rencana lain yang hendak dilakukan? " tanya Rangga.
  "Kami memang belum menemukan kepastian, di mana tempat persembunyian wanita itu. Bahkan sedikit sekali petunjuk yang kami peroleh...," kata Buntaran.
  "Hhh..." Linggawuni menghela napas. "Agaknya kami tidak punya pilihan selain mengikuti rencanamu. Namun bila ini tidak membawa hasil, lalu apa yang akan kita lakukan?"
  "Sebaiknya, nanti saja kita pikirkan lagi."
  "Ya, baiklah...," sahut Linggawuni seraya me- rebahkan diri di dekat perapian yang telah dibuat anak buahnya.
  Beberapa orang di antara mereka membuka perbekalan makanan dan membagikannya pada yang lain. Termasuk, Pendekar Rajawab Sakti.
  "Tidak terlalu banyak. Namun, cukup untuk sekadar mengganjal perut di malam yang dingin begini...," kata Linggawuni sambil tersenyum.
  Laki-laki itu segera mengunyah beberapa po-tong daging kering yang selesai dibakar.
  "Apakah kau tahu ke mana hilangnya pemuda-pemuda yang menjadi korbannya, Rangga? Dan, sebenarnya untuk apa pemuda-pemuda itu diculiknya?" tanya Linggawuni, di tengah rebahannya.
  "Aku tidak tahu. Tapi, mungkin saja berada di sarangnya. Wanita itu menculik, biasanya untuk menyempurnakan suatu ilmu atau mempertahan-kan ilmu yang sedang dianutnya. Hal itu biasa dilakukan oleh orang yang sedang menuntut ilmu hitam. Orang itu memerlukan korban, sesuai tun-tutan ilmu itu..."
  "Apakah pemuda-pemuda itu tewas...?"
  "Bisa jadi. Namun, bisa juga mereka dibuat lu-pa akan asal-usulnya. Dan, mereka hanya mengerti perintah orang yang telah menculiknya," jelas Rangga.
  039;Tapi, untuk apa jika mereka dibuat seperti itu...? " tanya Linggawuni lagi.
  Pertanyaan laki-laki berkulit gelap itu belum terjawab, ketika salah seorang anak buahnya ber-seru kaget.
  "Ki Linggawuni, apa itu...?!" tunjuknya ke satu arah.
  Bukan hanya Linggawuni saja yang berpaling. Malah semuanya segera berpaling, dan melihat dua orang pemuda tanpa berpakaian sehelai pun, melangkah menghampiri mereka perlahan-lahan.
  Semua orang yang tengah beristirahat langsung beranjak dengan sikap siaga.
 
  ***
 
  "Ki Linggawuni! Di sini ada lagi!" seru seorang anak buahnya yang lain, menunjuk ke satu arah.
  Mereka menoleh, dan melihat tiga orang pemuda lagi menghampiri. Seperti dua orang pemuda yang pertama, mereka pun tidak mengenakan apa-apa untuk menutupi tubuhnya.
  "Kurang ajar! Apa-apaan ini?! Orang- orang sinting...!" desis Linggawuni geram.
  "Ki Linggawuni! Biar kuhajar orang-orang ini!" sahut anak buahnya seraya menghampiri.
  Namun Rangga cepat menangkap pergelangan tangan orang itu, sehingga langkahnya tertahan.
  'Tahan, Kisanak! "
  "Lepaskan, Rangga! Orang-orang sinting itu harus diberi pelajaran!"
  039;Tenanglah, Kisanak. Jangan terburu nafsu. Perhatikan baik-baik, mereka bukanlah orang sembarangan!"
  "Maksudnya? "
  "Pandangan matanya kosong. Raut wajah mereka dingin. Orang-orang ini telah mati jiwa dan semangatnya!" jelas pemuda itu menerangkan.
  "Maksudmu mereka adalah...."
  Ucapan Linggawuni yang mulai menduga, di-sambung cepat Buntaran dengan wajah tegang.
  "Korban-korbannya wanita iblis itu?!"
  Rangga mengangguk pelan.
  "Mungkin saja...."
  "Rangga! Coba lihat! Orang-orang ini muncul lagi dari segala arah!" seru Linggawuni kaget.
  Apa yang dikatakan Linggawuni tidak salah. Jumlah pemuda berpenampilan aneh yang perla-han-lahan mengurung tidak kurang dari dua puluh orang.
  "Apa yang harus kita lakukan, Rangga...?" desis Buntaran.
  "Kita harus melakukan sesuatu!&quo t; sambung Linggawuni.
  'Tunggu dulu! Jika jarak mereka telah lima langkah dari kita, barulah bertindak. Namun, saat ini kita tunggu. Apa yang hendak mereka lakukan," ujar Pendekar Rajawali Sakti.
  Namun para pemuda yang mengurung agaknya tidak menghiraukan apa yang tengah terpikirkan Pendekar Rajawali Sakti beserta kawan-kawannya. Mereka terus melangkah, dan seperti tidak hendak berhenti.
  "Kurang ajar...!" Buntaran memaki seraya ber-kacak pinggang. Tangan kanannya langsung menuding ke depan. "Sini kalian! Biar kutampar mukamu! Bocah tidak tahu adat...!"
  Wuuut!
  Salah seorang pemuda telanjang itu melompat menerkam Buntaran tanpa basa-basi. Dan bersamaan dengan itu, yang lainnya mengikuti. Maka secara bersamaan, mereka melompat menerkam orang-orang di hadapannya.
  Plak!
  "Setan...!"
  Linggawuni dan Buntaran mendengus geram ketika merasakan tenaga pemuda-pemuda telanjang yang berusaha mencekik mereka itu kuat bukan main.
  "Ki Linggawuni! Aaakh...!"
  Beberapa anak buah Linggawuni dan Buntaran berteriak dengan suara tertahan. Mereka berusaha menangkis serangan. Namun, meski tubuh pemuda- pemuda telanjang itu kurus dan kelihatan tidak bertenaga, sesungguhnya memiliki tenaga amat kuat. Dengan sekali mengibaskan tangan, maka anak buah Linggawuni dibuat tidak berdaya. Sehingga, pemuda telanjang itu dengan mudah mencekiknya.
  "Hiiih!"
  Rangga menggeram. Kedua tangannya lang- sung mencengkeram kedua pergelangan tangan pemuda telanjang yang menyerangnya. Kemudian dibantingnya dengan keras.
  Pemuda telanjang itu jatuh berdebum. Namun, tidak sedikit pun keluar keluhan dan mulutnya. Dan seperti tidak merasakan rasa sakit, dia kembali bangun dan melompat menyerang Pendekar Raja-wali Sakti dengan garang.
  Begkh!
  "Hugkh! "
  Kembali pemuda telanjang itu mengeluh tertahan. Tubuhnya terbanting tujuh langkah. Dan Rangga langsung melompat ke samping menolong salah seorang anak buah Linggawuni. Kedua tangannya mencengkeram ke pundak. Lalu dengan pengerahan tenaga dalam disentaknya pemuda telanjang itu dan dibantingnya ke tanah. Kemudian, Rangga bergerak membantu yang lain.
  "Yeaaat!"
  "Hugkh...!"
  Dalam waktu singkat, para pemuda telanjang itu terpelanting ke sana kemari. Namun meski de-mikian, mereka sama sekali tidak merasakan sakit. Bahkan mampu cepat bangkit. Raut wajahnya tampak datar, dan sama sekali tidak menyiratkan nafsu apa pun.
  "Rangga! Apa yang akan kita lakukan...? " tanya Linggawuni cemas.
  "Sudah, kita bunuh saja! Mereka berbaha-ya...!" desis Buntaran geram, seraya mencabut go-lok besar yang terselip di punggung.
  Sret!
  Sikap Buntaran diikuti anak buahnya. Dalam keadaan begitu, mendadak....
  "Hi hi hi...!"
  Terdengar suara ketawa nyaring yang berku-mandang di sekitar tempat ini.
  "Rangga...!"
  Wajah Linggawuni tampak cemas. Demikian pula anak buahnya yang lain.
  Sebentar kemudian terlihat sesosok bayangan melesat. Dan bayangan itu makin jelas ketika me-layang turun di hadapan mereka. Kini tampak seorang wanita jelita berpakaian serba putih yang amat tipis. Sehingga setiap lekuk-lekuk tubuhnya yang menggiurkan jelas terlihat. Kulitnya pucat. Dan bibirnya yang merah merekah, tersenyum lebar. Rambutnya yang panjang keemasan, berki-bar-kibar ditiup angin malam.
  "Hantu Putih Mata Elang...!" desis Rangga.
 
  ***

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>