Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Pendekar Seratus Hari - 13

$
0
0
Cerita Silat | Pendekar Seratus Hari | by S.D Liong | Pendekar Seratus Hari | Cersil Sakti | Pendekar Seratus Hari pdf

Cersil mwb Kasih Diantara Remaja Pendekar Rajawali Sakti - 142. Istana Ratu Sihir Pendekar Rajawali Sakti - 147. Tongkat Sihir Dewa Api Cersil indo Tawanan Datuk Sesat Cersil mwb Kelelawar Hijau

Apakah pertanyaanmu itu dapat kuanggap balas bertanya?”
  “Jawabanmu untuk pertanyaan yang kedua tadi belum jelas, mengapa engkau hendak menganggapnya sebagai pertanyaan ketiga?” tiba-tiba Cu-ing menyeletuk.
  Bok-yong Kang tertawa: “Jawabanku tadi sudah cukup jelas.”
  Cu-ing mengerut kemarahan, bentaknya: “Baik, kalau begitu akulah yang akan mengajukan pertanyaan ketiga itu. Siau Mo menyaru jadi guru sekolah Siau Lo-seng dan menyelundup ke dalam rumahku. Kemudian membunuh beberapa orang yang sedang berada di rumahku. Apakah maksudnya berbuat demikian?”
  Mendengar itu Bok-yong Kang merenung. Beberapa saat kemudian, baru ia menjawab: “Pembalasan dari dendam darah!”
  Mendengar jawaban itu berobahlah Nyo Jong-ho.
  “Siau Mo!” bentak jago tua itu, “Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan itu pernah apa dengan engkau?”
  Mendengar itu sekalian tokoh-tokoh terkejut sekali.
  Bu-eng-sin-liong atau Naga sakti tanpa bayangan Siau Han-kwan, sebuah nama yang menggetarkan dunia persilatan. Tetapi sedikit orang persilatan yang pernah melihat orangnya. Sesuai dengan gelarnya sebagai Naga sakti tanpa bayangan, sepak terjang Siau Han- kwan itu memang aneh. Dia muncul tak diketahui, lenyap pun tak diketahui. Jika muncul hanya seperti naga yang menampakkan kepala, tapi menyembunyikan ekornya.
  Memang setiap pemunculannya karena hendak melerai suatu pertikaian antara sesama kaum persilatan. Tetapi tiada seorang pun tahu tempat tinggalnya dan bagaimana wajahnya.
  Saat itu ruangan pun sunyi sehingga suara orang bernapas pun terdengar jelas. Sekalian mata tokoh- tokoh persilatan mencurah ke arah Siau Mo si pendekar Ular Emas. Mereka ingin mendengar jawabannya.
  Tampak Siau Mo masih duduk di kursi batu, dadanya berombak keras seperti orang yang terengah-engah napasnya.
  Sekonyong-konyong ia membuta mata. Bola matanya memancarkan sinar merah darah. Sinar pembunuhan.
  Sesaat kemudian ia berkata dengan tersegu-segu: “Arwah ayah bunda di alam baka...... akhirnya aku bertemu dengan orang yang kenal kepadamu, ......anak akan membalaskan sakit hati ayah bunda berdua...... kematian adik yang mengenaskan engkoh......”
  Walaupun kata-katanya terputus-putus tetapi jelas nadanya penuh kedukaan dan keharuan.
  Sayup-sayup mata Siau Mo seperti membayangkan suatu pemandangan yang ngeri. Sebuah desa timbul banjir darah, mayat berserakan di segala penjuru, pekik jeritan menyayat hati, tangis rintihan merobek- robek sanubari. Saat itu seolah-olah telah terjadi kiamat.
  Tiba-tiba Siau Mo berteriak: “Adikku, lekaslah engkau lari, adik!”
  Baru pendekar Ular Emas Siau Mo melamunkan peristiwa yang lampau, tiba-tiba Li Giok-hou membentak. Dan serempak menusuk dengan ujung pedangnya ke arah Siau Mo.
  “Li Giok-hou, apakah engkau hendak cari mati?”
  bentak Bok-yong Kang seraya menghantam.
  Li Giok-hou kebutkan pedang. Terdengar bunyi mendesis-desis dan tenaga pukulan Bok-yong Kang terhapus lenyap.
  Bok-yong Kang dengan menggembor lepaskan tiga pukulan.
  Angin menderu-deru bagai prahara yang melanda Giok-hou. Hebat, memang hebat sekali pukulan Bok- yong Kang itu sehingga Giok-hou terkejut dan menarik pedang dan loncat mundur tiga langkah.
  Saat itu Siau Mo masih melamun tentang peristiwa berdarah yang menimpah keluarganya. Rasa ngeri dan duka, mencengkam hatinya sehingga tak menghirau perkelahian kedua orang itu.
  Selekas menginjak tanah, Giok-hou cepat menerjang maju lagi.
  Serangannya memang istimewa. Seperti menabas tetapi seperti menusuk, pun seperti menutuk. Dan ketiga serangan itu cepatnya bukan kepalang.
  Lingkaran sinar pedangnya menyerupai bianglala.
  Melihat ketiga buah serangan pedang lawan begitu aneh dan istimewa, diam-diam Bok-yong Kang terkejut sekali. Dia tahu bahwa dalam tiga buah serangan itu, mengandung suatu serangan yang haus darah, serangan yang maut. Pada hal ia tak dapat mundur karena harus melindungi jiwa Siau Mo.
  Ya, dia harus melindungi Siau Mo, karena hanya dialah satu-satunya orang yang tahu rahasia Siau Mo.
  Walaupun dalam dunia persilatan, seluruh orang persilatan tahu bahwa Pendekar Ular Emas seorang tokoh sakti yang memiliki kepandaian hebat. Tetapi siapakah yang tahu bahwa ada suatu waktu, Pendekar Ular Emas berobah menjadi seorang yang amat lemah sekali. Bahkan sedemikian lemah sekali.
  Bahkan sedemikian lemah sehingga mengangkat pedang saja tak mampu.
  Mengingat kewajiban itu, tiba-tiba Bok-yong Kang menggembor keras lalu menyongsong pedang Giok- hou dengan sebuah pukulan. Diam-diam ia salurkan tenaga segera meluncur menampar pedang.
  Giok-hou tertawa. Pedang ditebarkan dalam sebuah lingkaran sinar lalu menusuk ke dada Bok-yong Kang.
  Perubahan itu benar-benar cepat bukan kepalang.
  Bok-yong Kang, hendak menghindar sudah tak ke buru lagi. Dan memang dia pun tak ingin menghindar.
  Walaupun mati ia akan tetap melindungi Siau Mo.
  Dalam keadaan yang berbahaya itu Siau Mo berseru: “Bokyong-te, menyingkirlah!”
  Mendengar itu Bok-yong Kang menghindar ke samping. Pada saat itu Siau Mo pun sudah melangkah ke tempat Bok-yong Kang tadi sehingga ujung pedang Giok-hou pun langsung menuju ke dadanya.
  “Tring......,” terdengar suara senjata beradu ketika Siau Mo menangkis dengan Pedang Ular Emasnya.
  Kejut Giok-hou bukan main, hampir semangatnya terbang, sehingga pedangnya hampir terlepas. Buru- buru ia mundur.
  Tetapi Siau Mo bertindak cepat sekali. Pedang berputar-putar dan ujungnya menggurat bahu Giok- hou.
  “Hm,” Giok-hou mengerang, ketika lengannya robek, sedangkan pedangnya pun terlepas jatuh ketanah.
  Adegan itu cepat sekali sehingga sekalian orang hanya terlongong-longong dengan wajah pucat.
  Melihat muridnya terluka, cepat Nyo Jong-ho pun loncat ke tengah gelanggang untuk menjaga apabila Siau Mo hendak melanjutkan serangannya. Tetapi ternyata Pendekar Ular Emas itu hanya tertawa dingin dan tenang-tenang menarik pulang pedangnya.
  “Li Giok-hou, tadi engkau melukai bahuku. Sekarang kuhajar dengan luka di bahumu juga,” serunya.
  Pedang Beracun Pembasmi Iblis memang merupakan seorang tunas muda yang cemerlang. Oleh karena di sana sini mendapat pujian, maka ia berobah mangkak dan congkak. Memang selama ini belum pernah ia menderita kekalahan. Bahwa saat itu ia sampai kena dilukai olen Siau Mo sudah tentu membuatnya malu dan marah sekali.
  Li Gok-hou silangkan tangan, menggembor keras terus hendak loncat menyerang tetapi Pedang Ular Emas dari Siau Mo itu lebih cepat. Sekali berkiblat, ujung Pedang Ular Emas itu sudah mengancam Giok-hou.
  “Kalau engkau minta mati, pun jangan saat ini dulu.
  Tiga hari kemudian nanti tentu akan datang orang yang akan membasmi kalian. Simpanlah tenagamu untuk menghadapi orang itu!”
  Mendengar ucapan itu berobahlah wajah Nyo Jong-ho, serunya dengan bengis: “Siau Mo, apakah artinya omonganmu itu? Harap suka menjelaskan!”
  Pendekar Ular Emas menyahut tawar: “Nyo Jong-ho, apakah dahulu engkau ikut dalam pembunuhan terhadap Naga Sakti Tanpa Bayangan Siau Han- kwan?”
 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>