Cerita Silat | Pendekar Seratus Hari | by S.D Liong | Pendekar Seratus Hari | Cersil Sakti | Pendekar Seratus Hari pdf
Cersil mwb Naga Sakti Sungai Kuning Pendekar Rajawali Sakti - 143. Iblis Tangan Tujuh Cersil indo Jamur Sisik Naga Pendekar Rajawali Sakti - 146. Bunuh Pendekar Rajawali Sakti Cersil indo Ilmu Halimun
02.07. Hidup Seratus Hari Pucatlah wajah Nyo Jong-ho mendengar pertanyaan itu. Tubuhnya gemetar dan kepalanya menengadah mengenangkan peristiwa yang telah lampau itu.
Siau Mo tertawa, “Tentang hilangnya beratus jiwa dari keluarga Siau Han-kwan itu pada suatu hari tentu aku dapat menyelidiki sampai terang. Barang siapa ikut dalam pembunuhan itu tentu akan kubasmi.”
Habis berkata Siau Mo melangkah keluar. Bok-yong Kang pun mengikutinya.
Sesaat tokoh-tokoh itu tak berani merinta ngi kepergian kedua anak muda itu.
Tiba-tiba Giok hou mengeram, memungut pedangnya lalu hendak memburu.
“Giok-hou, jangan mengejarnya!” cegah Nyo Jong-ho.
Bahu Giok-hou masih mengucurkan darah.
Diam-diam pemuda itu terkejut menyaksikan kesaktian Siau Mo. Maka ia pun hentikan langkah dan berpaling.
“Gihu, siapakah yang disebut Naga Sakti Tanpa Bayangan itu?”
Nyo Jong-ho menghela napas tak menyahut. Ketua perguruan Thay-kek-bun menghampiri ke samping Nyo Jong-ho dan berbisik: “Saudara Nyo, anak si Naga sakti tanpa bayangan muncul lalu bagaimana kita harus mengatur persiapan?”
Hong-hu Hoa memberi hormat kepada Nyo Jong ho, serunya: “Nyo bengcu, kepandaian kami berdua suami isteri ternyata jelek sekali. Kami tak berguna disini, bukan saja tak mampu memberi bantuan kepada keluarga Nyo pun kebalikannya malah akan membikin malu saja. Maka kami hendak mohon diri kembali ke kampung halaman kami.”
Habis berkata Seruling Kumala dan Tong Ki hendak melangkah pergi.
“Cu Kong-ti.........” tiba-tiba Tong Ki menjerit.
Ternyata jago pertama dari Tiga pedang Kang-lam itu wajahnya pucat.
Mendengar jeritan ngeri itu, cepat Nyo Jong ho menghampiri ke tempat Cu Kong-ti dan memegang tubuhnya. “Bluk......” tiba-tiba Cu Kong-ti rubuh ke lantai.
Ketika Nyo Jong-ho merabah hidungnya, ternyata tokoh pertama dari Tiga pedang Kang-lam itu sudah putus jiwanya.
“Siapakah yang membunuhnya?” teriak Giok-hou.
Pertanyaan itu hanya menambah kegelisahan sekalian tokoh saja. Karena mereka pun juga ingin mengetahui siapa yang membunuh Cu Kong-ti. Karena sejak tadi diperhatikan tiada seorang musuh yang muncul yang menyerang Cu Kong-ti. Tahu-tahu tokoh dari Kang-lam itu ternyata sudah mati.
Jelas diketahui oleh sekalian orang bahwa Siau Mo tadi berada dalam kamar tulis. Dan waktu pergi dia keluar dari pintu samping.
Dengan begitu jelas bukan Siau Mo yang membunuhnya.
Setelah beberapa saat memandang termangu ke arah mayat Cu Kong-ti, berkatalah Nyo Jong-ho dengan gentar: “Ah, tak kira, karena memenuhi undanganku kemari, ketiga jago pedang dari Kang-lam itu harus kehilangan jiwa. Ah, sungguh merasa berdosa kepada arwah mereka.”
Ucapan jago tua yang penuh dengan kerawanan dan kedukaan itu membuat sekalian orang bersedih.
Semula Seruling Kumala Hong-hu Hoa menganggap peristiwa itu tak ada sangkut pautnya dengan mereka berdua suami isteri.
Tetapi pada saat melihat bagaimana tiga jago pedang Kang-lam telah dibunuh dengan ganas seketika bangkitlah perasaannya sebagai seorang pendekar.
Demikian pula perasaan Tangan ganas jarum Beracun Tong Ki. Dia juga terkejut atas kematian Cu Kong-ti.
Kedua suami isteri itu menyadari bahwa musuh benar-benar ganas sekali.
Sejenak memandang ke arah isterinya, Hong-hu Hoa bertanya kepada Nyo Jong-ho: “Nyo bengcu, bagaimanakah sebenarnya peristiwa itu? Harap Nyo bengcu memberi keterangan latar belakang dari peristiwa itu. Apabila memerlukan tenaga kami berdua, sekali pun harus menerjang lautan api, kami pun tetap akan melakukan.”
Nyo Jong-ho menghela napas panjang, ujarnya: “Pembunuhan besar-besaran dalam dunia persilatan sudah mulai. Sejak saat ini dunia persilatan sudah mulai. Sejak saat ini dunia persilatan takkan tenteram.”
Berkata ketua perguruan Thay-kek-bun dengan bersungguh-sungguh: “Apa yang dikatakan Siau Mo tadi bahwa dalam tiga hari ini akan berlangsung pembunuhan besar-besaran untuk membasmi kita semua......... apabila saat ini kita tak cepat bertindak mengundang para jago-jago partai persilatan kemari tentulah bakal......”
Nyo Jong-ho menukas: “Saudara Han, apakah engkau kira dapat begitu cepat mengundang mereka kemari? Harus makan waktu berapa lamakah untuk mengundang mereka datang ke sini? Air laut yang jauh tidak dapat menolong kebakaran di desa. Musuh dapat muncul dan lenyap secara gaib menurut kehendak hatinya.”
“Saat ini Siau Mo tentu belum pergi jauh. Aku tak percaya dengan kepandaian kita semua tak mampu membunuhnya,” kata Giok-hou.
Kembali Nyo Jong-ho menghela napas: “Giok-hou, yang kumaksudkan sebagai musuh itu, bukan Siau Mo tetapi lain orang lagi. Rasanya Siau Mo memang kenal pembunuh itu.”
“Lalu siapakah yang hendak mencari balas kepada gihu itu?” tanyanya heran.
Nyo Jong ho gelengkan kepala: “Aku pun juga tak tahu. Giok-hou, lekaslah engkau bawa adikmu Cu-ing dan Nyo Ih tinggalkan kota Lok-yang ini!”
Belum selesai jago tua itu mengucap, tiba-tiba Giok- hou memekik kaget: “Hai, kemanakah adik Ing?”
Ternyata Cu-ing tak berada di ruang situ. Nyo Jong-ho terkejut sekali.
“Giok-hou, lekas engkau cegah dia,” seru jago tua itu.
Giok-hou pun keluar memanggil gadis itu: “Adik Ing.........” sekali loncat ia melayang ke atas wuwungan rumah dan memandang ke sekeliling penjuru. Tetapi di empat penjuru sunyi tiada tampak seorangpun juga.
◄Y► Tadi selekas keluar dari halaman, Siau Mo dan Bok- yong Kang terus keluar. Tiba-tiba Siau Mo mengerang- erang tertahan dan terus jatuh ke tanah.
“Siau toako, apakah engkau terluka?” cepat Bok-yong Kang menghampiri dan mengangkatnya bangun.
Siau Mo tersenyum rawan: “Bokyong-te, dalam setahun ini aku selalu merepotkan engkau saja. Engkau ikut aku dan merawat diriku. Ah, Bokyong-te, dalam kehidupanku yang sekarang ini mungkin aku tak dapat membalas budimu.”
Melihat wajah Siau Mo mengerut kesakitan Bok-yong Kang kerutkan dahi: “Siau toako, apakah penyakit jantungmu kambuh lagi?”
Memang saat itu dahi Siau Mo bercucuran keringat, wajahnya pucat lesi. Dia tertawa lesu dan menjawab: “Penyakit jantungku makin lama makin berat.
Mungkin aku takkan dapat hidup lama.”
“Siau toako, mengapa engkau berkata begitu?” tegur Bok-yong Kang gelisah, “apakah dengan ilmu kepandaian toako yang begitu sakti, toako tak dapat mengatasi penyakit itu? Maaf kalau aku lancang memberi petunjuk pada toako. Mungkin toako sendiri yang tak mau mengobati penyakitmu itu.”
Siau Mo menghela napas: “Bokyong-te, kita sudah bergaul hampir setahun, masakan engkau tak tahu perasaan hatiku. Masakan aku rela mati begitu saja? Apa lagi dendam darah.”
Berkata sampai disini, ia menekan dadanya dan mengerang pelahan. Setelah itu ia lanjutkan pula: “Penyakit jantungku ini, adalah penyakit turunan.
Sekali pun saat ini aku sudah memiliki ilmu kepandaian yang sakti tetapi kesemuanya itu malah mempercepat kematianku. Memang sebelum belajar silat aku sudah menyadari akibatnya. Setelah dapat menghimpaskan dendam darah keluargaku, sekali pun mati aku sudah puas. Tetapi ternyata keadaan penyakitku sudah payah. Kalau perhitunganku tak salah, paling lama dalam seratus hari ini aku sudah mati. Cobalah engkau bayangkan, bagaimana dalam waktu seratus hari yang begitu cepat, aku mampu melaksanakan pembalasan dendam itu dan melakukan penyelidikan kepada siapa-siapa yang menjadi musuh keluargaku.”
Bok-yong Kang percaya bahwa Siau Mo tak bohong.
Tetapi suatu hal yang membuatnya heran ialah, dengan kepandaian sakti Siau Mo mengapa dia tak mampu mengatasi kambuhan penyakitnya itu? Dan Bok-yo
Cersil mwb Naga Sakti Sungai Kuning Pendekar Rajawali Sakti - 143. Iblis Tangan Tujuh Cersil indo Jamur Sisik Naga Pendekar Rajawali Sakti - 146. Bunuh Pendekar Rajawali Sakti Cersil indo Ilmu Halimun
02.07. Hidup Seratus Hari Pucatlah wajah Nyo Jong-ho mendengar pertanyaan itu. Tubuhnya gemetar dan kepalanya menengadah mengenangkan peristiwa yang telah lampau itu.
Siau Mo tertawa, “Tentang hilangnya beratus jiwa dari keluarga Siau Han-kwan itu pada suatu hari tentu aku dapat menyelidiki sampai terang. Barang siapa ikut dalam pembunuhan itu tentu akan kubasmi.”
Habis berkata Siau Mo melangkah keluar. Bok-yong Kang pun mengikutinya.
Sesaat tokoh-tokoh itu tak berani merinta ngi kepergian kedua anak muda itu.
Tiba-tiba Giok hou mengeram, memungut pedangnya lalu hendak memburu.
“Giok-hou, jangan mengejarnya!” cegah Nyo Jong-ho.
Bahu Giok-hou masih mengucurkan darah.
Diam-diam pemuda itu terkejut menyaksikan kesaktian Siau Mo. Maka ia pun hentikan langkah dan berpaling.
“Gihu, siapakah yang disebut Naga Sakti Tanpa Bayangan itu?”
Nyo Jong-ho menghela napas tak menyahut. Ketua perguruan Thay-kek-bun menghampiri ke samping Nyo Jong-ho dan berbisik: “Saudara Nyo, anak si Naga sakti tanpa bayangan muncul lalu bagaimana kita harus mengatur persiapan?”
Hong-hu Hoa memberi hormat kepada Nyo Jong ho, serunya: “Nyo bengcu, kepandaian kami berdua suami isteri ternyata jelek sekali. Kami tak berguna disini, bukan saja tak mampu memberi bantuan kepada keluarga Nyo pun kebalikannya malah akan membikin malu saja. Maka kami hendak mohon diri kembali ke kampung halaman kami.”
Habis berkata Seruling Kumala dan Tong Ki hendak melangkah pergi.
“Cu Kong-ti.........” tiba-tiba Tong Ki menjerit.
Ternyata jago pertama dari Tiga pedang Kang-lam itu wajahnya pucat.
Mendengar jeritan ngeri itu, cepat Nyo Jong ho menghampiri ke tempat Cu Kong-ti dan memegang tubuhnya. “Bluk......” tiba-tiba Cu Kong-ti rubuh ke lantai.
Ketika Nyo Jong-ho merabah hidungnya, ternyata tokoh pertama dari Tiga pedang Kang-lam itu sudah putus jiwanya.
“Siapakah yang membunuhnya?” teriak Giok-hou.
Pertanyaan itu hanya menambah kegelisahan sekalian tokoh saja. Karena mereka pun juga ingin mengetahui siapa yang membunuh Cu Kong-ti. Karena sejak tadi diperhatikan tiada seorang musuh yang muncul yang menyerang Cu Kong-ti. Tahu-tahu tokoh dari Kang-lam itu ternyata sudah mati.
Jelas diketahui oleh sekalian orang bahwa Siau Mo tadi berada dalam kamar tulis. Dan waktu pergi dia keluar dari pintu samping.
Dengan begitu jelas bukan Siau Mo yang membunuhnya.
Setelah beberapa saat memandang termangu ke arah mayat Cu Kong-ti, berkatalah Nyo Jong-ho dengan gentar: “Ah, tak kira, karena memenuhi undanganku kemari, ketiga jago pedang dari Kang-lam itu harus kehilangan jiwa. Ah, sungguh merasa berdosa kepada arwah mereka.”
Ucapan jago tua yang penuh dengan kerawanan dan kedukaan itu membuat sekalian orang bersedih.
Semula Seruling Kumala Hong-hu Hoa menganggap peristiwa itu tak ada sangkut pautnya dengan mereka berdua suami isteri.
Tetapi pada saat melihat bagaimana tiga jago pedang Kang-lam telah dibunuh dengan ganas seketika bangkitlah perasaannya sebagai seorang pendekar.
Demikian pula perasaan Tangan ganas jarum Beracun Tong Ki. Dia juga terkejut atas kematian Cu Kong-ti.
Kedua suami isteri itu menyadari bahwa musuh benar-benar ganas sekali.
Sejenak memandang ke arah isterinya, Hong-hu Hoa bertanya kepada Nyo Jong-ho: “Nyo bengcu, bagaimanakah sebenarnya peristiwa itu? Harap Nyo bengcu memberi keterangan latar belakang dari peristiwa itu. Apabila memerlukan tenaga kami berdua, sekali pun harus menerjang lautan api, kami pun tetap akan melakukan.”
Nyo Jong-ho menghela napas panjang, ujarnya: “Pembunuhan besar-besaran dalam dunia persilatan sudah mulai. Sejak saat ini dunia persilatan sudah mulai. Sejak saat ini dunia persilatan takkan tenteram.”
Berkata ketua perguruan Thay-kek-bun dengan bersungguh-sungguh: “Apa yang dikatakan Siau Mo tadi bahwa dalam tiga hari ini akan berlangsung pembunuhan besar-besaran untuk membasmi kita semua......... apabila saat ini kita tak cepat bertindak mengundang para jago-jago partai persilatan kemari tentulah bakal......”
Nyo Jong-ho menukas: “Saudara Han, apakah engkau kira dapat begitu cepat mengundang mereka kemari? Harus makan waktu berapa lamakah untuk mengundang mereka datang ke sini? Air laut yang jauh tidak dapat menolong kebakaran di desa. Musuh dapat muncul dan lenyap secara gaib menurut kehendak hatinya.”
“Saat ini Siau Mo tentu belum pergi jauh. Aku tak percaya dengan kepandaian kita semua tak mampu membunuhnya,” kata Giok-hou.
Kembali Nyo Jong-ho menghela napas: “Giok-hou, yang kumaksudkan sebagai musuh itu, bukan Siau Mo tetapi lain orang lagi. Rasanya Siau Mo memang kenal pembunuh itu.”
“Lalu siapakah yang hendak mencari balas kepada gihu itu?” tanyanya heran.
Nyo Jong ho gelengkan kepala: “Aku pun juga tak tahu. Giok-hou, lekaslah engkau bawa adikmu Cu-ing dan Nyo Ih tinggalkan kota Lok-yang ini!”
Belum selesai jago tua itu mengucap, tiba-tiba Giok- hou memekik kaget: “Hai, kemanakah adik Ing?”
Ternyata Cu-ing tak berada di ruang situ. Nyo Jong-ho terkejut sekali.
“Giok-hou, lekas engkau cegah dia,” seru jago tua itu.
Giok-hou pun keluar memanggil gadis itu: “Adik Ing.........” sekali loncat ia melayang ke atas wuwungan rumah dan memandang ke sekeliling penjuru. Tetapi di empat penjuru sunyi tiada tampak seorangpun juga.
◄Y► Tadi selekas keluar dari halaman, Siau Mo dan Bok- yong Kang terus keluar. Tiba-tiba Siau Mo mengerang- erang tertahan dan terus jatuh ke tanah.
“Siau toako, apakah engkau terluka?” cepat Bok-yong Kang menghampiri dan mengangkatnya bangun.
Siau Mo tersenyum rawan: “Bokyong-te, dalam setahun ini aku selalu merepotkan engkau saja. Engkau ikut aku dan merawat diriku. Ah, Bokyong-te, dalam kehidupanku yang sekarang ini mungkin aku tak dapat membalas budimu.”
Melihat wajah Siau Mo mengerut kesakitan Bok-yong Kang kerutkan dahi: “Siau toako, apakah penyakit jantungmu kambuh lagi?”
Memang saat itu dahi Siau Mo bercucuran keringat, wajahnya pucat lesi. Dia tertawa lesu dan menjawab: “Penyakit jantungku makin lama makin berat.
Mungkin aku takkan dapat hidup lama.”
“Siau toako, mengapa engkau berkata begitu?” tegur Bok-yong Kang gelisah, “apakah dengan ilmu kepandaian toako yang begitu sakti, toako tak dapat mengatasi penyakit itu? Maaf kalau aku lancang memberi petunjuk pada toako. Mungkin toako sendiri yang tak mau mengobati penyakitmu itu.”
Siau Mo menghela napas: “Bokyong-te, kita sudah bergaul hampir setahun, masakan engkau tak tahu perasaan hatiku. Masakan aku rela mati begitu saja? Apa lagi dendam darah.”
Berkata sampai disini, ia menekan dadanya dan mengerang pelahan. Setelah itu ia lanjutkan pula: “Penyakit jantungku ini, adalah penyakit turunan.
Sekali pun saat ini aku sudah memiliki ilmu kepandaian yang sakti tetapi kesemuanya itu malah mempercepat kematianku. Memang sebelum belajar silat aku sudah menyadari akibatnya. Setelah dapat menghimpaskan dendam darah keluargaku, sekali pun mati aku sudah puas. Tetapi ternyata keadaan penyakitku sudah payah. Kalau perhitunganku tak salah, paling lama dalam seratus hari ini aku sudah mati. Cobalah engkau bayangkan, bagaimana dalam waktu seratus hari yang begitu cepat, aku mampu melaksanakan pembalasan dendam itu dan melakukan penyelidikan kepada siapa-siapa yang menjadi musuh keluargaku.”
Bok-yong Kang percaya bahwa Siau Mo tak bohong.
Tetapi suatu hal yang membuatnya heran ialah, dengan kepandaian sakti Siau Mo mengapa dia tak mampu mengatasi kambuhan penyakitnya itu? Dan Bok-yo