Cerita Silat | Orang-Orang Atas Angin | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Orang-Orang Atas Angin | Cersil Sakti | Orang-Orang Atas Angin pdf
Cersil indo Ilmu Halimun Pendekar Rajawali Sakti - 148. Putri Randu Walang Cersil indo Lorong batas dunia Pendekar Rajawali Sakti - 149. Teror Manusia Bangkai Pendekar Romantis - Skandal Hantu Putih
Pendekar Rajawali Sakti
episode:
Orang- Orang Atas Angin
Oleh Teguh S.
Penerbit Cintamedia, Jakarta
1
"Dasar anak keras kepala! Mau apa dia...? Anak perempuan mau belajar ilmu olah kanuragan segala! Memangnya mau jadi ahli berkelahi?!" gerutu orang laki-laki setengah baya berpakaian indah sambil mondar-mandir di ruang tengah yang tertata apik.
Laki-laki berusia lima puluh tahun yang adalah Adipati Bagelan ini menghela napas panjang. Kemudian dia duduk di kursi besar yang menghadap ke depan. Tidak lama, masuk seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun. Setelah memben hormat, wanita itu duduk di depan adipati yang bernama Sutawijaya.
"Ampun, Gusti Adipati. Adakah sesuatu yang harus hamba kerjakan sehingga Gusti Adipati berkenan memanggil hamba...?" tanya wanita berpakaian seperti emban di istana itu dengan suara halus.
"Hm, ya...."
"Apakah gerangan, Gusti Adipati...?"
Adipati Sutawijaya menarik napas panjang, sambil memperhatikan wanita tua itu dengan seksama.
"Nyai Larasati.... Sudah berapa lama kau mengasuh putriku Sekarmayang?" tanya laki- laki itu.
"Sejak dia masih bayi merah. Gusti Adipati," sahut emban bernama Nyai Larasati.
"Ya! Dan bahkan, sampai saat ini Sekarmayang begitu dekat denganmu. Dia selalu menurut pada kata-katamu. Malah kau lebih berpengaruh dibanding ibundanya sendiri...," kata Adipati Sutawijaya seperti menyesalkan kalau anaknya dididik oleh seorang emban.
Nyai Larasati terdiam. Wanita ini menunggu majikannya meneruskan kata-kata meski dia mulai tahu ke mana arah pembicaraan itu sendiri.
"Tahukah kau, apa yang merisaukanku saat ini tentang Sekarmayang?"
"Ampun, Gusti Adipati. Mana mungkin hamba mengetahuinya...."
"Coba dengar, Nyai Larasati. Putriku ingin per-gi ke padepokan dan belajar ilmu olah kanuragan dan ilmu kesaktian lainnya. Apakah menurutmu pantas dilakukan oleh seorang gadis putri seorang adipati? " tanya Adipati Bagelan ini.
Nyai Larasati menundukkan kepala. Dia tidak berani menjawab pertanyaan itu. Sebab kalau saja salah menjawab, pasti akan membuat sang adipati gusar.
"Hal itu tidak pantas dan memalukan! " sahut adipati itu menjawab sendiri pertanyaanya. "Aku tidak suka melihat putriku berkeinginan yang aneh-aneh. Ilmu olah kanuragan itu hanya patut dituntut oleh laki-laki, bukan wanita. Kau dengar, Nyai Larasati! Aku dan ibundanya telah berusaha membujuk. Namun, dia tetap keras kepala dan tidak mau menurut. Nah! Sekarang, pergilah padanya. Bujuk dia, untuk mengurungkan niatnya. Kau mengerti?"
"Mengerti, Gusti Adipati!" sahut Nyai Larasati.
"Bagus! Aku tahu, dia menghormatimu. Dan selama ini, dia mau mendengar kata-katamu. Bujuk dan katakan, bahwa hal seperti itu tidak pantas dilakukan seorang wanita. Apalagi, wanita terhormat sepertinya," ujar Adipati Sutawijaya tegas.
"Baiklah. Akan hamba coba untuk membujuk-nya. Tapi, Gusti Adipati…"
"Apa?!"
"Bagaimana kalau Sekarmayang tidak mau menurut kata-kata hamba...?"
"Usahakan sebisamu! Aku percaya, dia akan menurut kata-katamu!" tandas laki-laki setengah baya ini.
Nyai Larasati terdiam sejenak, tidak berani memandang wajah majikannya. Tugas ini sebenarnya mudah saja baginya. Tapi soal keberhasilannya, itulah hal yang sulit. Sejak kecil dia mengasuh Sekarmayang. Sehingga kenal betul watak putri sang adipati ini. Gadis belia itu berwatak keras. Segala keinginannya harus dipenuhi. Bila tidak, maka akan melakukan apa saja sebagai sikap unjuk rasanya.
"Apa lagi? Apakah kau tidak mampu melakukannya? " tanya sang adipati ketika wanita setengah baya itu belum juga beranjak dari tempatnya.
"Eh! Bukan begitu, Gusti Adipati. Tapi... Sekarmayang mempunyai sifat keras. Segala keinginannya harus dipenuhi. Hamba khawatir, dia berbuat nekat jika dicegah...," kilah Nyai Larasati, takut-takut.
"Nyai Larasati! Kupercayakan kau mengerja-kan tugas ini, karena aku tahu bahwa kau mampu melakukannya!" tandas sang adipati dengan suara ditekan sedemikian rupa, guna menegaskan perintahnya.
Nyai Larasati mengangguk dalam. Dia me- ngerti, tidak ada gunanya lagi mengemukakan alasan.
"Baiklah, Gusti Adipati. Hamba akan menco-banya...," sahut Nyai Larasati seraya menghatur sembah dengan merapatkan kedua tangan di depan hidung. Dan wanita itu pun mohon diri dari ruangan ini.
"Ingat! Usahakan kau berhasil membujuknya," ujar adipati itu lagi.
Adipati Sutawijaya tersenyum seraya menghela napas panjang. Kemudian dia memilin-milin kumisnya sambil menyandarkan punggung ke kursi.
***
Sekarmayang menangis terisak di tempat tidurnya. Wajahnya ditelungkupkan ke bantal. Beberapa kali ibundanya mengetuk pintu, namun tidak dihiraukannya. Hatinya kesal sekali, karena keinginannya untuk menimba ilmu olah kanuragan tidak terpenuhi. Bahkan kedua orangtuanya menentang dengan keras. Dan tidak habis pikir apa salahnya seorang wanita belajar ilmu silat? Gadis ini sering melihat para pengawal kadipaten berlatih satu sama lain. Gerakan-gerakan mereka terlihat indah di matanya, sehingga merangsang hatinya untuk ikut belajar. Benaknya, langsung membayangkan orangtuanya akan bangga bila dia memiliki kepandaian hebat. Namun ketika niatnya dikemukakan, impiannya pun sirna. Ternyata kedua orangtuanya menolak, bahkan dengan keras melarangnya.
Jiwa gadis cantik berusia tujuh belas tahun itu memberontak. Dan bahkan secara sembunyi-sembunyi, dia belajar dari Jaka Anggada, putra Panglima Gendaran yang menjadi kepala pasukan pengawal kadipaten. Namun suatu ketika, Sekarmayang tertangkap basah sedang berlatih. Maka sang adipati pun langsung menyekapnya. Gadis itu tidak diperbolehkan keluar dengan bebas lagi dari kamarnya. Setiap ada urusan, maka diwajibkan menyertakan dua orang pengawal yang selalu mengawasinya.
Sekarmayang merasakan hal itu sebagai hu-kuman berat, sehingga membuatnya kesal. Bela-kangan ini, dia jarang keluar dari kamar. Bahkan tiga hari terakhir, sama sekali tidak mau keluar. Dan yang mencemaskan kedua orangtuanya, Sudan dua hari ini Sekarmayang menolak makan. Kedua orangtuanya telah hilang akal untuk membujuknya. Sebab, Sekarmayang hanya mau makan, bila keinginannya belajar ilmu silat di Padepokan Kembang Wangi dipenuhi. Dan belum habis gadis itu menuntaskan tangisnya mendadak...
Slap!
"Ohhh...! "
Sekarmayang yang baru saja bergerak telen-tang, kontan terkejut ketika satu cahaya merah laksana nyala api berkelebat ke dalam ruangan. Ruangan kamarnya yang gelap jadi terang oleh nyala api sebesar kepala, yang tergantung di hadapannya. Gadis itu beringsut ke pojok tempat tidur dengan wajah pucat.
"Oh! Apa ini? Pergi...! Pergiii...!" teriak Sek
Cersil indo Ilmu Halimun Pendekar Rajawali Sakti - 148. Putri Randu Walang Cersil indo Lorong batas dunia Pendekar Rajawali Sakti - 149. Teror Manusia Bangkai Pendekar Romantis - Skandal Hantu Putih
Pendekar Rajawali Sakti
episode:
Orang- Orang Atas Angin
Oleh Teguh S.
Penerbit Cintamedia, Jakarta
1
"Dasar anak keras kepala! Mau apa dia...? Anak perempuan mau belajar ilmu olah kanuragan segala! Memangnya mau jadi ahli berkelahi?!" gerutu orang laki-laki setengah baya berpakaian indah sambil mondar-mandir di ruang tengah yang tertata apik.
Laki-laki berusia lima puluh tahun yang adalah Adipati Bagelan ini menghela napas panjang. Kemudian dia duduk di kursi besar yang menghadap ke depan. Tidak lama, masuk seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahun. Setelah memben hormat, wanita itu duduk di depan adipati yang bernama Sutawijaya.
"Ampun, Gusti Adipati. Adakah sesuatu yang harus hamba kerjakan sehingga Gusti Adipati berkenan memanggil hamba...?" tanya wanita berpakaian seperti emban di istana itu dengan suara halus.
"Hm, ya...."
"Apakah gerangan, Gusti Adipati...?"
Adipati Sutawijaya menarik napas panjang, sambil memperhatikan wanita tua itu dengan seksama.
"Nyai Larasati.... Sudah berapa lama kau mengasuh putriku Sekarmayang?" tanya laki- laki itu.
"Sejak dia masih bayi merah. Gusti Adipati," sahut emban bernama Nyai Larasati.
"Ya! Dan bahkan, sampai saat ini Sekarmayang begitu dekat denganmu. Dia selalu menurut pada kata-katamu. Malah kau lebih berpengaruh dibanding ibundanya sendiri...," kata Adipati Sutawijaya seperti menyesalkan kalau anaknya dididik oleh seorang emban.
Nyai Larasati terdiam. Wanita ini menunggu majikannya meneruskan kata-kata meski dia mulai tahu ke mana arah pembicaraan itu sendiri.
"Tahukah kau, apa yang merisaukanku saat ini tentang Sekarmayang?"
"Ampun, Gusti Adipati. Mana mungkin hamba mengetahuinya...."
"Coba dengar, Nyai Larasati. Putriku ingin per-gi ke padepokan dan belajar ilmu olah kanuragan dan ilmu kesaktian lainnya. Apakah menurutmu pantas dilakukan oleh seorang gadis putri seorang adipati? " tanya Adipati Bagelan ini.
Nyai Larasati menundukkan kepala. Dia tidak berani menjawab pertanyaan itu. Sebab kalau saja salah menjawab, pasti akan membuat sang adipati gusar.
"Hal itu tidak pantas dan memalukan! " sahut adipati itu menjawab sendiri pertanyaanya. "Aku tidak suka melihat putriku berkeinginan yang aneh-aneh. Ilmu olah kanuragan itu hanya patut dituntut oleh laki-laki, bukan wanita. Kau dengar, Nyai Larasati! Aku dan ibundanya telah berusaha membujuk. Namun, dia tetap keras kepala dan tidak mau menurut. Nah! Sekarang, pergilah padanya. Bujuk dia, untuk mengurungkan niatnya. Kau mengerti?"
"Mengerti, Gusti Adipati!" sahut Nyai Larasati.
"Bagus! Aku tahu, dia menghormatimu. Dan selama ini, dia mau mendengar kata-katamu. Bujuk dan katakan, bahwa hal seperti itu tidak pantas dilakukan seorang wanita. Apalagi, wanita terhormat sepertinya," ujar Adipati Sutawijaya tegas.
"Baiklah. Akan hamba coba untuk membujuk-nya. Tapi, Gusti Adipati…"
"Apa?!"
"Bagaimana kalau Sekarmayang tidak mau menurut kata-kata hamba...?"
"Usahakan sebisamu! Aku percaya, dia akan menurut kata-katamu!" tandas laki-laki setengah baya ini.
Nyai Larasati terdiam sejenak, tidak berani memandang wajah majikannya. Tugas ini sebenarnya mudah saja baginya. Tapi soal keberhasilannya, itulah hal yang sulit. Sejak kecil dia mengasuh Sekarmayang. Sehingga kenal betul watak putri sang adipati ini. Gadis belia itu berwatak keras. Segala keinginannya harus dipenuhi. Bila tidak, maka akan melakukan apa saja sebagai sikap unjuk rasanya.
"Apa lagi? Apakah kau tidak mampu melakukannya? " tanya sang adipati ketika wanita setengah baya itu belum juga beranjak dari tempatnya.
"Eh! Bukan begitu, Gusti Adipati. Tapi... Sekarmayang mempunyai sifat keras. Segala keinginannya harus dipenuhi. Hamba khawatir, dia berbuat nekat jika dicegah...," kilah Nyai Larasati, takut-takut.
"Nyai Larasati! Kupercayakan kau mengerja-kan tugas ini, karena aku tahu bahwa kau mampu melakukannya!" tandas sang adipati dengan suara ditekan sedemikian rupa, guna menegaskan perintahnya.
Nyai Larasati mengangguk dalam. Dia me- ngerti, tidak ada gunanya lagi mengemukakan alasan.
"Baiklah, Gusti Adipati. Hamba akan menco-banya...," sahut Nyai Larasati seraya menghatur sembah dengan merapatkan kedua tangan di depan hidung. Dan wanita itu pun mohon diri dari ruangan ini.
"Ingat! Usahakan kau berhasil membujuknya," ujar adipati itu lagi.
Adipati Sutawijaya tersenyum seraya menghela napas panjang. Kemudian dia memilin-milin kumisnya sambil menyandarkan punggung ke kursi.
***
Sekarmayang menangis terisak di tempat tidurnya. Wajahnya ditelungkupkan ke bantal. Beberapa kali ibundanya mengetuk pintu, namun tidak dihiraukannya. Hatinya kesal sekali, karena keinginannya untuk menimba ilmu olah kanuragan tidak terpenuhi. Bahkan kedua orangtuanya menentang dengan keras. Dan tidak habis pikir apa salahnya seorang wanita belajar ilmu silat? Gadis ini sering melihat para pengawal kadipaten berlatih satu sama lain. Gerakan-gerakan mereka terlihat indah di matanya, sehingga merangsang hatinya untuk ikut belajar. Benaknya, langsung membayangkan orangtuanya akan bangga bila dia memiliki kepandaian hebat. Namun ketika niatnya dikemukakan, impiannya pun sirna. Ternyata kedua orangtuanya menolak, bahkan dengan keras melarangnya.
Jiwa gadis cantik berusia tujuh belas tahun itu memberontak. Dan bahkan secara sembunyi-sembunyi, dia belajar dari Jaka Anggada, putra Panglima Gendaran yang menjadi kepala pasukan pengawal kadipaten. Namun suatu ketika, Sekarmayang tertangkap basah sedang berlatih. Maka sang adipati pun langsung menyekapnya. Gadis itu tidak diperbolehkan keluar dengan bebas lagi dari kamarnya. Setiap ada urusan, maka diwajibkan menyertakan dua orang pengawal yang selalu mengawasinya.
Sekarmayang merasakan hal itu sebagai hu-kuman berat, sehingga membuatnya kesal. Bela-kangan ini, dia jarang keluar dari kamar. Bahkan tiga hari terakhir, sama sekali tidak mau keluar. Dan yang mencemaskan kedua orangtuanya, Sudan dua hari ini Sekarmayang menolak makan. Kedua orangtuanya telah hilang akal untuk membujuknya. Sebab, Sekarmayang hanya mau makan, bila keinginannya belajar ilmu silat di Padepokan Kembang Wangi dipenuhi. Dan belum habis gadis itu menuntaskan tangisnya mendadak...
Slap!
"Ohhh...! "
Sekarmayang yang baru saja bergerak telen-tang, kontan terkejut ketika satu cahaya merah laksana nyala api berkelebat ke dalam ruangan. Ruangan kamarnya yang gelap jadi terang oleh nyala api sebesar kepala, yang tergantung di hadapannya. Gadis itu beringsut ke pojok tempat tidur dengan wajah pucat.
"Oh! Apa ini? Pergi...! Pergiii...!" teriak Sek