Cerita Silat | Pasukan Alis Kuning | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Pasukan Alis Kuning | Cersil Sakti | Pasukan Alis Kuning pdf
Pendekar Mabuk - Misteri Tuak Dewata Wiro Sableng - Bahala Jubah Kencono Pendekar Rajawali Sakti - 156. Ratu Wajah Maya Pendekar Gila 29 - Syair Maut Lelaki Buntung Wiro Sableng 72 - Purnama Berdarah
Lima orang prajurit segera beranjak. Tidak berapa lama, mereka kembali bersama sisa-sisa anak buah Sangkil Bawen yang langsung terkejut melihat Sangkil Bawen serta kawan-kawannya telah binasa.
"Siapa di antara kalian yang sekarang menjadi wakil yang lain?" tanya Bre Redana.
"Hamba, Kanjeng Gusti Prabu...," sahut salah seorang.
"Siapa namamu?"
"Sangkot..."
"Kau lihat, Sangkot! Sangkil Bawen kini telah binasa. Dia telah membayar mahal atas pengkhianatannya. Tidak seorang pun boleh menghianatiku, kecuali sudah bosan hidup. Sekarang, bagaimana keputusanmu? " kata Bre Redana.
"Kanjeng Gusti Prabu, hamba dan yang lain telah berikrar untuk tetap setia...!"
"Aku tahu, Sangkot dan tetaplah begitu. Bila kuketahui akan berkhianat, nasib kalian sama dengan Sangkil Bawen. Mengerti?! "
"Kami mengerti, Kanjeng Gusli Prabu! Tekad kami telah bulat untuk mengabdi padamu...!"
"Bagus! Akan kuingat itu. Perlu kalian ketahui, aku telah mengetahui recana Sangkil Bawen sejak semula. Setelah kupasang beberapa mata-mata di sekitar kalian. Maka tak heran bila aku juga tahu pertentangan kalian. Dan aku percaya padamu, Sangkot. Juga pada kawan-kawanmu ini. Tetaplah begitu. Dan, jangan dirubah kalau kalian ingin selamat..!" tandas Bre Redana.
Sangkot mengangguk. Demikian juga kawan-kawannya.
"Kembalilah ke tempat kalian. Dan esok pagi-pagi sekali, kalian akan ku beri tugas bersama yang lain!"
"Terima kasih Kanjeng Gusti Prabu…..! Kalau begitu kami mohon pamit"
Bre Redana mengangguk, kemudian member isyarat pada yang lain untuk bubar.
***
Bre Redana dan rombongannya menempati sebuah rumah yang cukup besar, hadiah dari para penduduk. Rumah itu sendiri meskipun besar, namun secara keseluruhan terlihat rapuh. Tiang-tiangnya sudah keropos. Sebagian besar gentengnya pecah dan tidak bisa terpakai lagi. Namun dengan sukarela, para penduduk desa membantu untuk memperbaikinya. Dan Bre Redana agaknya cukup murah hati untuk memberikan imbalan seperti yang telah dijanjikan
"Kalian telah menolong kami Dan sebagai imbalannya, sudah patut kami menolong kalian pula! " kilah Ki Samin.
"Anak buahku akan memberi semua penduduk desa ini sedikit bantuan. Tiap kepala, akan mendapat dua keping uang emas. Katakanlah pada yang lain...," sahut pemuda itu sambil tersenyum.
"Oh! Mereka akan sangat berterima kasih! Kalian begitu murah hati...!" seru Ki Samin. "Kalau begitu, sekarang juga aku akan memanggil para penduduk."
Seketika itu juga Ki Samin berbalik dan melangkah keluar rumah besar ini. Dikumpulkannya para penduduk di halaman depan, terutama mereka yang ikut membantu pekerjaan memperbaiki rumah Itu.
Setelah para penduduk berkumpul, Bre Redana keluar bersama salah seorang pembantunya yang telah membawakan sekantung uang emas. Kemudian disuruhnya orang itu membagi-bagikan kepada penduduk desa yang menyambut dengan wajah gembira.
"Nah Bre Redana, sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas kebaikan hatimu. Jumlah itu amat besar bagi kami...," ucap Ki Samin.
"Aku bisa merasakan kalau selama ini kalian hidup sengsara. Selain karena tekanan Sangkil Bawen, kalian juga kesulitan untuk mencari mata pencaharian. Tak ada sawah dan ladang untuk digarap. Tidak ada ternak untuk dimanfaatkan. Oleh sebab itu jika suka, aku menawarkan pekerjaan pada kalian," kata Bre Redana.
"Oh! Kami akan suka sekali! Pekerjaan apa gerangan yang akan kau tawarkan pada kami?!" sam-but Ki Samin.
"Kalian telah mengetahui siapa kami. Dan tekad kami telah bulat. Para penjahat itu harus disingkirkan! Namun kami tidak memiliki jumlah prajurit. Oleh sebab itu jika suka, aku bermaksud mengajak kalian bergabung. Anak buahku akan memberi latihan ilmu olah kanuragan, serta memberi kalian imbalan yang pantas. Sedang yang kuminta adalah kesetiaan. Dan bila telah bergabung lalu berani mengkhianatiku, aku tidak akan segan-segan memancung kepala. Pikirkanlah baik-baik!" jelas Bre Redana.
"Aku setuju! Kurasa mereka pun setuju," sahut Ki Samin.
Setelah Ki Samin memberitahu penjelasan Bre Redana, para penduduk menyambutnya dengan gembira. Ada beberapa hal yang membuat mereka merasa tidak ragu. Yaitu, Bre Redana bersama para prajuritnya terusir karena teraniaya kawanan penjahat. Lalu, mereka kelihatannya bukan orang jahat. Terbukti, telah membebaskan dari pengaruh Sangkil Bawen. Dan tidak kalah pentingnya, orang- orang ini membawa rezeki bagi mereka. Bila bekerja, tentu saja kesejahteraan mereka terjamin.
Mendengar jawaban bersemangat itu, Bre Redana tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala.
"Nah! Kau dengar sendiri, bukan? Mereka senang sekali bila bekerja dengan kalian...," ujar Ki Samin.
"Ya, aku bisa melihatnya...."
***
Kini Sangkil Bawen tidak akan mengusik penduduk Desa Ketakus lagi. Dia dan anak buahnya lelah ditundukkan oleh pemuda yang kini dipanggil para penduduk sebagai Kanjeng Gusti Prabu Bre Redana dan pasukannya. Namun begitu penduduk desa masih waswas. Sebab, mereka tahu watak gembong penjahat itu. Licik dan tidak mudah ditaklukkan. Hatinya akan berontak bila harus tunduk pada seseorang!
Dan malam ini, Sangkil Bawen dan para pengikutnya sepakat ikut bermain di rumah ini. Ketika malam semakin larut, perlahan-lahan laki-laki itu bangkit. Segera dibangunkannya anak buahnya. Beberapa orang terkejut, namun dia cepat memberi isyarat agar tidak menimbulkan suara berisik.
"Ada apa...? " tanya salah seorang anak buah Sangkil Bawen.
"Tenanglah, Sangkot!" ujar Sangkil Bawen, pelan.
Sangkot yang merupakan salah seorang anak buah paling dekat Sangkil Bawen mengkerut, tap0ak mimiknya heran. Sebab malam-malam begini tidak
Pendekar Mabuk - Misteri Tuak Dewata Wiro Sableng - Bahala Jubah Kencono Pendekar Rajawali Sakti - 156. Ratu Wajah Maya Pendekar Gila 29 - Syair Maut Lelaki Buntung Wiro Sableng 72 - Purnama Berdarah
Lima orang prajurit segera beranjak. Tidak berapa lama, mereka kembali bersama sisa-sisa anak buah Sangkil Bawen yang langsung terkejut melihat Sangkil Bawen serta kawan-kawannya telah binasa.
"Siapa di antara kalian yang sekarang menjadi wakil yang lain?" tanya Bre Redana.
"Hamba, Kanjeng Gusti Prabu...," sahut salah seorang.
"Siapa namamu?"
"Sangkot..."
"Kau lihat, Sangkot! Sangkil Bawen kini telah binasa. Dia telah membayar mahal atas pengkhianatannya. Tidak seorang pun boleh menghianatiku, kecuali sudah bosan hidup. Sekarang, bagaimana keputusanmu? " kata Bre Redana.
"Kanjeng Gusti Prabu, hamba dan yang lain telah berikrar untuk tetap setia...!"
"Aku tahu, Sangkot dan tetaplah begitu. Bila kuketahui akan berkhianat, nasib kalian sama dengan Sangkil Bawen. Mengerti?! "
"Kami mengerti, Kanjeng Gusli Prabu! Tekad kami telah bulat untuk mengabdi padamu...!"
"Bagus! Akan kuingat itu. Perlu kalian ketahui, aku telah mengetahui recana Sangkil Bawen sejak semula. Setelah kupasang beberapa mata-mata di sekitar kalian. Maka tak heran bila aku juga tahu pertentangan kalian. Dan aku percaya padamu, Sangkot. Juga pada kawan-kawanmu ini. Tetaplah begitu. Dan, jangan dirubah kalau kalian ingin selamat..!" tandas Bre Redana.
Sangkot mengangguk. Demikian juga kawan-kawannya.
"Kembalilah ke tempat kalian. Dan esok pagi-pagi sekali, kalian akan ku beri tugas bersama yang lain!"
"Terima kasih Kanjeng Gusti Prabu…..! Kalau begitu kami mohon pamit"
Bre Redana mengangguk, kemudian member isyarat pada yang lain untuk bubar.
***
Bre Redana dan rombongannya menempati sebuah rumah yang cukup besar, hadiah dari para penduduk. Rumah itu sendiri meskipun besar, namun secara keseluruhan terlihat rapuh. Tiang-tiangnya sudah keropos. Sebagian besar gentengnya pecah dan tidak bisa terpakai lagi. Namun dengan sukarela, para penduduk desa membantu untuk memperbaikinya. Dan Bre Redana agaknya cukup murah hati untuk memberikan imbalan seperti yang telah dijanjikan
"Kalian telah menolong kami Dan sebagai imbalannya, sudah patut kami menolong kalian pula! " kilah Ki Samin.
"Anak buahku akan memberi semua penduduk desa ini sedikit bantuan. Tiap kepala, akan mendapat dua keping uang emas. Katakanlah pada yang lain...," sahut pemuda itu sambil tersenyum.
"Oh! Mereka akan sangat berterima kasih! Kalian begitu murah hati...!" seru Ki Samin. "Kalau begitu, sekarang juga aku akan memanggil para penduduk."
Seketika itu juga Ki Samin berbalik dan melangkah keluar rumah besar ini. Dikumpulkannya para penduduk di halaman depan, terutama mereka yang ikut membantu pekerjaan memperbaiki rumah Itu.
Setelah para penduduk berkumpul, Bre Redana keluar bersama salah seorang pembantunya yang telah membawakan sekantung uang emas. Kemudian disuruhnya orang itu membagi-bagikan kepada penduduk desa yang menyambut dengan wajah gembira.
"Nah Bre Redana, sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas kebaikan hatimu. Jumlah itu amat besar bagi kami...," ucap Ki Samin.
"Aku bisa merasakan kalau selama ini kalian hidup sengsara. Selain karena tekanan Sangkil Bawen, kalian juga kesulitan untuk mencari mata pencaharian. Tak ada sawah dan ladang untuk digarap. Tidak ada ternak untuk dimanfaatkan. Oleh sebab itu jika suka, aku menawarkan pekerjaan pada kalian," kata Bre Redana.
"Oh! Kami akan suka sekali! Pekerjaan apa gerangan yang akan kau tawarkan pada kami?!" sam-but Ki Samin.
"Kalian telah mengetahui siapa kami. Dan tekad kami telah bulat. Para penjahat itu harus disingkirkan! Namun kami tidak memiliki jumlah prajurit. Oleh sebab itu jika suka, aku bermaksud mengajak kalian bergabung. Anak buahku akan memberi latihan ilmu olah kanuragan, serta memberi kalian imbalan yang pantas. Sedang yang kuminta adalah kesetiaan. Dan bila telah bergabung lalu berani mengkhianatiku, aku tidak akan segan-segan memancung kepala. Pikirkanlah baik-baik!" jelas Bre Redana.
"Aku setuju! Kurasa mereka pun setuju," sahut Ki Samin.
Setelah Ki Samin memberitahu penjelasan Bre Redana, para penduduk menyambutnya dengan gembira. Ada beberapa hal yang membuat mereka merasa tidak ragu. Yaitu, Bre Redana bersama para prajuritnya terusir karena teraniaya kawanan penjahat. Lalu, mereka kelihatannya bukan orang jahat. Terbukti, telah membebaskan dari pengaruh Sangkil Bawen. Dan tidak kalah pentingnya, orang- orang ini membawa rezeki bagi mereka. Bila bekerja, tentu saja kesejahteraan mereka terjamin.
Mendengar jawaban bersemangat itu, Bre Redana tersenyum dan mengangguk-anggukkan kepala.
"Nah! Kau dengar sendiri, bukan? Mereka senang sekali bila bekerja dengan kalian...," ujar Ki Samin.
"Ya, aku bisa melihatnya...."
***
Kini Sangkil Bawen tidak akan mengusik penduduk Desa Ketakus lagi. Dia dan anak buahnya lelah ditundukkan oleh pemuda yang kini dipanggil para penduduk sebagai Kanjeng Gusti Prabu Bre Redana dan pasukannya. Namun begitu penduduk desa masih waswas. Sebab, mereka tahu watak gembong penjahat itu. Licik dan tidak mudah ditaklukkan. Hatinya akan berontak bila harus tunduk pada seseorang!
Dan malam ini, Sangkil Bawen dan para pengikutnya sepakat ikut bermain di rumah ini. Ketika malam semakin larut, perlahan-lahan laki-laki itu bangkit. Segera dibangunkannya anak buahnya. Beberapa orang terkejut, namun dia cepat memberi isyarat agar tidak menimbulkan suara berisik.
"Ada apa...? " tanya salah seorang anak buah Sangkil Bawen.
"Tenanglah, Sangkot!" ujar Sangkil Bawen, pelan.
Sangkot yang merupakan salah seorang anak buah paling dekat Sangkil Bawen mengkerut, tap0ak mimiknya heran. Sebab malam-malam begini tidak