Cerita Silat | Neraka Kematian | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Neraka Kematian | Cersil Sakti | Neraka Kematian pdf
Pendekar Mabuk - Misteri Tuak Dewata Wiro Sableng - Bahala Jubah Kencono Pendekar Rajawali Sakti - 156. Ratu Wajah Maya Pendekar Gila 29 - Syair Maut Lelaki Buntung Wiro Sableng 72 - Purnama Berdarah
kutentukan!"
"Baik, Gusti Prabu!"
"Nah! Kalian boleh pergi sekarang! "
Kedua orang itu menjura hormat, lalu beringsut ke belakang dan menghilang dari ruangan ini.
Bre Redana masih tersenyum-senyum sendiri, sepeninggal kedua orang tadi.
"Kau jangan dulu merasa puas, Kakang! " kata gadis yang duduk tidak jauh darinya, dan tak lain dari Ayu Larasati.
"Kenapa tidak? Pendekar Rajawali Sakti telah cemar namanya. Kini dia diburu kawan-kawannya sendiri. Banyak yang mulai menjauhinya. Aku tidak perlu turun tangan sendiri untuk membunuh bangsat itu! " tegas Bre Redana yakin.
"Bagaimana kalau dia punya akal lain untuk berkelit dari tuduhan itu?"
"Dia tidak akan sempat memikirkannya. Persoalan itu pasti membuatnya goncang, sehingga tidak mampu berpikir yang lain."
"Sebaiknya kau jangan terlalu yakin, Kakang. Pastikan hal itu agar rencanamu tidak lagi berantakan."
"Pasukan kita semakin banyak dan terlatih. Kekayaan mulai mengalir ke negeri ini. Kita mulai tumbuh kuat. Dan dalam keadaan seperti ini, tak ada lagi yang kutakuti!"
Ayu Larasati mencibir melihat kakaknya yang kelihatan tengah kegirangan.
"Ayo! Bergembiralah, Adikku! Apalagi yang kau pikirkan? Sebentar lagi kita akan menduduki Swandana. Lalu, tidak lama kemudian Karang Setra. Kita akan menjadi sebuah kerajaan besar. Dan kau adalah adik dari seorang raja besar! Ha ha ha...!" ujar Bre Redana, jumawa.
Ayu Larasari bangkit dari duduknya, lalu menghampiri jendela. Dari situ, matanya bisa memandang keluar. Di halaman depan terlihat banyak sekali prajurit yang tengah berlatih ilmu olah kanuragan.
Pemandangan seperti itu memang hampir setiap hari terlihat. Kerajaan Alas Karang boleh bangga, sebab dalam waktu singkat memiliki prajurit tangguh dengan jumlah cukup banyak. Namun entah kenapa hati Ayu Larasati masih waswas. Gadis ini tidak terhibur, apalagi terhanyut kegembiraan kakaknya, Bre Redana!
"Pemuda itu tidak bisa dianggap enteng, Kakang. Kau tidak bisa menganggap sebelah mata padanya...,"kata Ayu Larasari lagi, mengingatkan.
"Siapa yang kau maksud? Raja Karang Setra itu?"
"Ya."
"Orang tahu, kalau dia Pendekar Rajawali Sakti. Dan mereka pun kini termakan berita itu. Apalagi yang kau risaukan? Apa kau kira dia dewa yang bisa menyihir keadaan seperti ini menjadi keajaiban? Aib yang diterima sulit dihapuskan. Dan dia akan menderita, meski nyawanya telah melayang sekalipun!" tandas Bre Redana, semakin yakin.
"Kenapa kau begitu yakin? Apakah terpikir akan keadaan yang lain?"
"He he he...! Adikku, Adikku...! Kini aku bangga mempunyai adik sepertimu. Sejak kembali ke istana ini, watakmu berubah banyak. Kau de-wasa. Dan akalmu semakin panjang. Tapi tidak ada yang perlu dikhawarirkan. Percayalah! Segalanya akan beres!"
Ayu Larasari terdiam. Namun, pandangannya tetap tertuju keluar.
Bre Redana bangkit dan mendekari adiknya. Lalu ditepuk-tepuknya pundak gadis itu.
"Sudahlah, tidak usah khawatir. Semuanya akan beres. Percayalah...."
Baru saja kata-kata itu habis mendadak dua orang prajurit masuk ke dalam ruangan seraya bersujud hormat.
"Ampun, Gusti Prabu! Maafkan karena kami mengganggu ketenangan Paduka...!" ucap prajurit itu, berbarengan.
"Tidak apa. Nah, ada apa?" sahut Bre Redana tersenyum seraya duduk kembali di tempatnya semula.
"Kami membawa berita buruk, Gusti Prabu...," sahut salah seorang dengan suara lirih.
"Berita buruk apa?! Katakanlah cepat!" sentak pemuda beralis kuning itu.
Kedua prajurit itu tersentak, dan cepat-cepat menunduk. Sesaat mereka diam membisu.
"Kenapa diam?! Ayo katakan, berita buruk apa yang kau bawa?!" bentak Bre Redana.
"Para prajurit kita yang mengemban tugas rahasia telah tertangkap, Paduka... "
"Tertangkap? Apa maksudmu?!"
"Kalau saja orang- orang desa yang menangkap, mereka akan segera melepaskan diri. Tapi yang menangkap adalah orang- orang tangguh. Mereka disekap, dan kami tidak mengetahui dibawa ke mana...."'
"Kurang ajar!" dengus Bre Redana geram.
Wajah pemuda itu berkerut geram dengan kedua tangan terkepal. Hela napasnya terasa memburu. Ditatapnya kedua prajurit itu, dalam- dalam.
"Bagaimana dengan Sanjaya, Warakitri, dan Setiaki?"
"Kami belum bertemu, Gusti Prabu!"
"Bodoh! Apakah kajian tidak menyiapkan pasukan perlindungan bagi mereka?"
"Sudah, Gusti Prabu. Tapi dalam beberapa hari keributan, kami kehilangan jejak mereka..."
"Sial!"
Bre Redana langsung menghantam kursinya pelan, untuk melampiaskan kekesalannya. Lalu, kembali ditatapnya kedua prajurit itu lekat-lekat, seraya menarik napas dalam-dalam.
"Sekarang juga kalian cari mereka. Perintahkan ketiganya kembali menghadapku!" ujar Bre Redana.
"Baik, Gusti Prabu!" sahut kedua prajurit cepat. Segera setelah menjura hormat, mereka beringsut meninggalkan tempat ini. Sementara itu, wajah Bre Redana yang tadi riang gembira kini berubah kelam penuh kejengkelan! "
***
Pendekar Mabuk - Misteri Tuak Dewata Wiro Sableng - Bahala Jubah Kencono Pendekar Rajawali Sakti - 156. Ratu Wajah Maya Pendekar Gila 29 - Syair Maut Lelaki Buntung Wiro Sableng 72 - Purnama Berdarah
kutentukan!"
"Baik, Gusti Prabu!"
"Nah! Kalian boleh pergi sekarang! "
Kedua orang itu menjura hormat, lalu beringsut ke belakang dan menghilang dari ruangan ini.
Bre Redana masih tersenyum-senyum sendiri, sepeninggal kedua orang tadi.
"Kau jangan dulu merasa puas, Kakang! " kata gadis yang duduk tidak jauh darinya, dan tak lain dari Ayu Larasati.
"Kenapa tidak? Pendekar Rajawali Sakti telah cemar namanya. Kini dia diburu kawan-kawannya sendiri. Banyak yang mulai menjauhinya. Aku tidak perlu turun tangan sendiri untuk membunuh bangsat itu! " tegas Bre Redana yakin.
"Bagaimana kalau dia punya akal lain untuk berkelit dari tuduhan itu?"
"Dia tidak akan sempat memikirkannya. Persoalan itu pasti membuatnya goncang, sehingga tidak mampu berpikir yang lain."
"Sebaiknya kau jangan terlalu yakin, Kakang. Pastikan hal itu agar rencanamu tidak lagi berantakan."
"Pasukan kita semakin banyak dan terlatih. Kekayaan mulai mengalir ke negeri ini. Kita mulai tumbuh kuat. Dan dalam keadaan seperti ini, tak ada lagi yang kutakuti!"
Ayu Larasati mencibir melihat kakaknya yang kelihatan tengah kegirangan.
"Ayo! Bergembiralah, Adikku! Apalagi yang kau pikirkan? Sebentar lagi kita akan menduduki Swandana. Lalu, tidak lama kemudian Karang Setra. Kita akan menjadi sebuah kerajaan besar. Dan kau adalah adik dari seorang raja besar! Ha ha ha...!" ujar Bre Redana, jumawa.
Ayu Larasari bangkit dari duduknya, lalu menghampiri jendela. Dari situ, matanya bisa memandang keluar. Di halaman depan terlihat banyak sekali prajurit yang tengah berlatih ilmu olah kanuragan.
Pemandangan seperti itu memang hampir setiap hari terlihat. Kerajaan Alas Karang boleh bangga, sebab dalam waktu singkat memiliki prajurit tangguh dengan jumlah cukup banyak. Namun entah kenapa hati Ayu Larasati masih waswas. Gadis ini tidak terhibur, apalagi terhanyut kegembiraan kakaknya, Bre Redana!
"Pemuda itu tidak bisa dianggap enteng, Kakang. Kau tidak bisa menganggap sebelah mata padanya...,"kata Ayu Larasari lagi, mengingatkan.
"Siapa yang kau maksud? Raja Karang Setra itu?"
"Ya."
"Orang tahu, kalau dia Pendekar Rajawali Sakti. Dan mereka pun kini termakan berita itu. Apalagi yang kau risaukan? Apa kau kira dia dewa yang bisa menyihir keadaan seperti ini menjadi keajaiban? Aib yang diterima sulit dihapuskan. Dan dia akan menderita, meski nyawanya telah melayang sekalipun!" tandas Bre Redana, semakin yakin.
"Kenapa kau begitu yakin? Apakah terpikir akan keadaan yang lain?"
"He he he...! Adikku, Adikku...! Kini aku bangga mempunyai adik sepertimu. Sejak kembali ke istana ini, watakmu berubah banyak. Kau de-wasa. Dan akalmu semakin panjang. Tapi tidak ada yang perlu dikhawarirkan. Percayalah! Segalanya akan beres!"
Ayu Larasari terdiam. Namun, pandangannya tetap tertuju keluar.
Bre Redana bangkit dan mendekari adiknya. Lalu ditepuk-tepuknya pundak gadis itu.
"Sudahlah, tidak usah khawatir. Semuanya akan beres. Percayalah...."
Baru saja kata-kata itu habis mendadak dua orang prajurit masuk ke dalam ruangan seraya bersujud hormat.
"Ampun, Gusti Prabu! Maafkan karena kami mengganggu ketenangan Paduka...!" ucap prajurit itu, berbarengan.
"Tidak apa. Nah, ada apa?" sahut Bre Redana tersenyum seraya duduk kembali di tempatnya semula.
"Kami membawa berita buruk, Gusti Prabu...," sahut salah seorang dengan suara lirih.
"Berita buruk apa?! Katakanlah cepat!" sentak pemuda beralis kuning itu.
Kedua prajurit itu tersentak, dan cepat-cepat menunduk. Sesaat mereka diam membisu.
"Kenapa diam?! Ayo katakan, berita buruk apa yang kau bawa?!" bentak Bre Redana.
"Para prajurit kita yang mengemban tugas rahasia telah tertangkap, Paduka... "
"Tertangkap? Apa maksudmu?!"
"Kalau saja orang- orang desa yang menangkap, mereka akan segera melepaskan diri. Tapi yang menangkap adalah orang- orang tangguh. Mereka disekap, dan kami tidak mengetahui dibawa ke mana...."'
"Kurang ajar!" dengus Bre Redana geram.
Wajah pemuda itu berkerut geram dengan kedua tangan terkepal. Hela napasnya terasa memburu. Ditatapnya kedua prajurit itu, dalam- dalam.
"Bagaimana dengan Sanjaya, Warakitri, dan Setiaki?"
"Kami belum bertemu, Gusti Prabu!"
"Bodoh! Apakah kajian tidak menyiapkan pasukan perlindungan bagi mereka?"
"Sudah, Gusti Prabu. Tapi dalam beberapa hari keributan, kami kehilangan jejak mereka..."
"Sial!"
Bre Redana langsung menghantam kursinya pelan, untuk melampiaskan kekesalannya. Lalu, kembali ditatapnya kedua prajurit itu lekat-lekat, seraya menarik napas dalam-dalam.
"Sekarang juga kalian cari mereka. Perintahkan ketiganya kembali menghadapku!" ujar Bre Redana.
"Baik, Gusti Prabu!" sahut kedua prajurit cepat. Segera setelah menjura hormat, mereka beringsut meninggalkan tempat ini. Sementara itu, wajah Bre Redana yang tadi riang gembira kini berubah kelam penuh kejengkelan! "
***