Cerita Silat | Keris Iblis | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Keris Iblis | Cersil Sakti | Keris Iblis pdf
Pendekar Rajawali Sakti - 156. Ratu Wajah Maya Pendekar Gila 29 - Syair Maut Lelaki Buntung Wiro Sableng 72 - Purnama Berdarah Pendekar Rajawali Sakti - 159. Neraka Kematian Suro Bodong - Menembus Kabut Berdarah
Pendekar Rajawali Sakti
episode:
Keris Iblis
Oleh Teguh S.
Penerbit Cintamedia, Jakarta
1
Desa Kahuripan terletak persis di bawah kaki Gunung Tambur, dengan sebuah sungai lebar di sebelah selatannya. Tempat itu memiliki suasana yang damai dan tentram, hingga tak heran bila selama ini tak pernah ada kekacauan sedikit pun. Konon itu berkat kepala desanya yang cakap dan trampil bernama Suteja. Sebagian besar penduduk mengetahui bahwa beberapa belas tahun silam kepala desa itu adalah seorang tokoh terkenal di dunia persilatan. Ilmu olah kanuragannya cukup lumayan. Sampai akhirnya beliau mengundurkan diri setelah mempersunting seorang gadis penduduk asli desa ini dan memilih menetap di Kahuripan sampai sekarang.
Pagi ini suasana desa tampak mendung. Ayam jantan telah berkokok bersahutan. Biasanya fajar telah merekah di ufuk timur, namun kabut seperti tak tersibak sehingga membuat malam terasa lebih panjang.
Badar tampak duduk di bale-bale depan rumah sambil memandang jauh ke depan. Cangkulnya masih juga tetap dibiarkan berada di dekatnya tanpa disentuh. Kopinya telah habis dihirup, namun tampaknya dia masih enggan untuk buru- buru berangkat ke sawah.
“Kenapa belum berangkat juga, Pak?” tanya istrinya sambil duduk mendekat.
Badar cuma menoleh sekilas pada perempuan setengah baya yang selama ini telah mendampingi hidupnya dengan setia, kemudian kembali memandang jauh ke depan sambil berkata pelan.
“Entahlah... hari ini rasanya malas sekali pergi ke sawah. Layang Seta sudah bangun?”
Perempuan itu bangkit dan menuju ke dalam sambil berkata dengan setengah kesal.
“Biar kubangunkan. Anak itu memang pemalas sekali. Kalau memang Bapak sedang tak enak badan, si Layang Seta saja yang ke sawah.”
“Hhhh....”
Badar menghela nafas. Sesaat kemudian terdengar istrinya mengomel-ngomel tak karuan yang disusul oleh suara gerutuan anak satu- satunya yang berjalan ke depan sambil menutupi sebagian tubuhnya dengan kain sarung.
Tubuh pemuda itu kurus dan rambutnya agak gondrong. Usianya sekitar enam belas tahun. Badar melihatnya sekilas, dan pemuda bernama Layang Seta itu tampak tak acuh sambil membaringkan tubuhnya di atas bale depan bapaknya itu.
“Dasar pemalas! Apa kerjamu tiap hari. Layang Seta?! Ayo bangun dan cuci mukamu, kemudian berangkat ke sawah. Hari ini bapakmu sedang tak enak badan!” teriak perempuan setengah baya tadi sambil mengomel dan menarik tangan anaknya.
“Sebentar... masih mengantuk....”
“Eeee, apa tak puas kau tidur semalaman?! Mau jadi apa kau kelak kalau kerjamu cuma tidur saja?!”
“Sudahlah, Bu. Aku bukan tak enak badan, cuma sedang tak tenang,” ujar Badar menyabarkan istrinya.
Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun lebih itu kemudian meraih cangkulnya dan mulai melangkah ke depan. Tapi baru berjalan beberapa tindak dia balik lagi dan masuk ke dalam sambil meraih golok yang tergantung di dinding kamarnya. Kemudian dia mematung beberapa saat lamanya di depan pintu.
“Jangan dipaksakan kalau kau sedang tidak enak badan. Pak. Nanti kau sakit!” larang istrinya.
“Hoaaaah...!”
Layang Seta menguap beberapa kali sambil duduk bersandar pada dinding, kemudian memandang pada kedua orangtuanya.
“Ya sudah... biar aku saja yang ke sawah kalau bapak sedang tak enak badan,” katanya sambil berlalu ke belakang.
Badar cuma diam dan kembali duduk di bale-bale. Istrinya mendampingi di sebelahnya. Dipandanginya laki-laki itu beberapa lama saatnya, kemudian bertanya dengan suara hati- hati.
“Apa yang sedang kau pikirkan. Pak?”
“Tak ada....”
“Hmm... jangan berbohong. Apakah kau tidak percaya lagi pada istrimu?”
Badar menoleh dan memandang wajah perempuan itu agak lama. Kemudian terdengar hela nafasnya yang berat sambil kembali memandang lurus ke depan.
“Sudah tiga hari ini aku mimpi aneh....”
“Mimpi?”
Badar mengangguk.
“Mimpi apa?”
“Mimpi inilah yang sangat mengganggu pikiranku. Sampai- sampai aku beranggapan bahwa itu bukan sekedar mimpi tapi akan menjadi kenyataan....”
Perempuan itu memegang tangan suaminya.
“Pak, mimpi kata orang-orang adalah bunga tidur. Kita tak musti mempercayainya. Lagipula mimpi apa yang membuat kau merasa yakin bahwa itu akan menjadi kenyataan?”
“Tapi mimpiku sekali ini sangat aneh. Aku melihat desa kita ini dilalap api, kemudian puluhan orang berlari-lari menyelamatkan diri sambil berteriak-teriak ketakutan. Kemudian juga kulihat anak kita Layang Seta menangis sambil berlari ke suatu tempat....” Perempuan itu terperangah beberapa saat begitu mendengar suaminya menceritakan perihal mimpi yang dialaminya.
“Itulah yang mengganggu pikiranku. Kalau saja mimpi itu datangnya hanya sekali barangkali aku beranggapan sama denganmu. Mimpi cuma sekedar bunga tidur, tapi yang ini sangat lain!” lanjut Badar kembali.
“Kau yakin bahwa ini suatu pertanda buat kita?” tanya istrinya hati- hati.
Badar melingkarkan tangan ke punggung istrinya. Kemudian katanya dengan suara menghibur.
“Aku berharap bahwa itu bukan pertanda buruk, tapi entah kenapa hatiku jadi tak tenang....”
“Hhhh... kita berdoa saja pada Gusti Allah, mudah-mudahan tak terjadi apa-apa,” sahut istrinya sambil menghela nafas.
“Aku akan berangkat ke sawah!” kata Badar kembali berdiri.
“Biar Layang Seta menyertaimu....”
“Aku ikut. Pak!”.seru Layang Seta yang tiba-tiba muncul.
Pendekar Rajawali Sakti - 156. Ratu Wajah Maya Pendekar Gila 29 - Syair Maut Lelaki Buntung Wiro Sableng 72 - Purnama Berdarah Pendekar Rajawali Sakti - 159. Neraka Kematian Suro Bodong - Menembus Kabut Berdarah
Pendekar Rajawali Sakti
episode:
Keris Iblis
Oleh Teguh S.
Penerbit Cintamedia, Jakarta
1
Desa Kahuripan terletak persis di bawah kaki Gunung Tambur, dengan sebuah sungai lebar di sebelah selatannya. Tempat itu memiliki suasana yang damai dan tentram, hingga tak heran bila selama ini tak pernah ada kekacauan sedikit pun. Konon itu berkat kepala desanya yang cakap dan trampil bernama Suteja. Sebagian besar penduduk mengetahui bahwa beberapa belas tahun silam kepala desa itu adalah seorang tokoh terkenal di dunia persilatan. Ilmu olah kanuragannya cukup lumayan. Sampai akhirnya beliau mengundurkan diri setelah mempersunting seorang gadis penduduk asli desa ini dan memilih menetap di Kahuripan sampai sekarang.
Pagi ini suasana desa tampak mendung. Ayam jantan telah berkokok bersahutan. Biasanya fajar telah merekah di ufuk timur, namun kabut seperti tak tersibak sehingga membuat malam terasa lebih panjang.
Badar tampak duduk di bale-bale depan rumah sambil memandang jauh ke depan. Cangkulnya masih juga tetap dibiarkan berada di dekatnya tanpa disentuh. Kopinya telah habis dihirup, namun tampaknya dia masih enggan untuk buru- buru berangkat ke sawah.
“Kenapa belum berangkat juga, Pak?” tanya istrinya sambil duduk mendekat.
Badar cuma menoleh sekilas pada perempuan setengah baya yang selama ini telah mendampingi hidupnya dengan setia, kemudian kembali memandang jauh ke depan sambil berkata pelan.
“Entahlah... hari ini rasanya malas sekali pergi ke sawah. Layang Seta sudah bangun?”
Perempuan itu bangkit dan menuju ke dalam sambil berkata dengan setengah kesal.
“Biar kubangunkan. Anak itu memang pemalas sekali. Kalau memang Bapak sedang tak enak badan, si Layang Seta saja yang ke sawah.”
“Hhhh....”
Badar menghela nafas. Sesaat kemudian terdengar istrinya mengomel-ngomel tak karuan yang disusul oleh suara gerutuan anak satu- satunya yang berjalan ke depan sambil menutupi sebagian tubuhnya dengan kain sarung.
Tubuh pemuda itu kurus dan rambutnya agak gondrong. Usianya sekitar enam belas tahun. Badar melihatnya sekilas, dan pemuda bernama Layang Seta itu tampak tak acuh sambil membaringkan tubuhnya di atas bale depan bapaknya itu.
“Dasar pemalas! Apa kerjamu tiap hari. Layang Seta?! Ayo bangun dan cuci mukamu, kemudian berangkat ke sawah. Hari ini bapakmu sedang tak enak badan!” teriak perempuan setengah baya tadi sambil mengomel dan menarik tangan anaknya.
“Sebentar... masih mengantuk....”
“Eeee, apa tak puas kau tidur semalaman?! Mau jadi apa kau kelak kalau kerjamu cuma tidur saja?!”
“Sudahlah, Bu. Aku bukan tak enak badan, cuma sedang tak tenang,” ujar Badar menyabarkan istrinya.
Laki-laki berusia sekitar empat puluh tahun lebih itu kemudian meraih cangkulnya dan mulai melangkah ke depan. Tapi baru berjalan beberapa tindak dia balik lagi dan masuk ke dalam sambil meraih golok yang tergantung di dinding kamarnya. Kemudian dia mematung beberapa saat lamanya di depan pintu.
“Jangan dipaksakan kalau kau sedang tidak enak badan. Pak. Nanti kau sakit!” larang istrinya.
“Hoaaaah...!”
Layang Seta menguap beberapa kali sambil duduk bersandar pada dinding, kemudian memandang pada kedua orangtuanya.
“Ya sudah... biar aku saja yang ke sawah kalau bapak sedang tak enak badan,” katanya sambil berlalu ke belakang.
Badar cuma diam dan kembali duduk di bale-bale. Istrinya mendampingi di sebelahnya. Dipandanginya laki-laki itu beberapa lama saatnya, kemudian bertanya dengan suara hati- hati.
“Apa yang sedang kau pikirkan. Pak?”
“Tak ada....”
“Hmm... jangan berbohong. Apakah kau tidak percaya lagi pada istrimu?”
Badar menoleh dan memandang wajah perempuan itu agak lama. Kemudian terdengar hela nafasnya yang berat sambil kembali memandang lurus ke depan.
“Sudah tiga hari ini aku mimpi aneh....”
“Mimpi?”
Badar mengangguk.
“Mimpi apa?”
“Mimpi inilah yang sangat mengganggu pikiranku. Sampai- sampai aku beranggapan bahwa itu bukan sekedar mimpi tapi akan menjadi kenyataan....”
Perempuan itu memegang tangan suaminya.
“Pak, mimpi kata orang-orang adalah bunga tidur. Kita tak musti mempercayainya. Lagipula mimpi apa yang membuat kau merasa yakin bahwa itu akan menjadi kenyataan?”
“Tapi mimpiku sekali ini sangat aneh. Aku melihat desa kita ini dilalap api, kemudian puluhan orang berlari-lari menyelamatkan diri sambil berteriak-teriak ketakutan. Kemudian juga kulihat anak kita Layang Seta menangis sambil berlari ke suatu tempat....” Perempuan itu terperangah beberapa saat begitu mendengar suaminya menceritakan perihal mimpi yang dialaminya.
“Itulah yang mengganggu pikiranku. Kalau saja mimpi itu datangnya hanya sekali barangkali aku beranggapan sama denganmu. Mimpi cuma sekedar bunga tidur, tapi yang ini sangat lain!” lanjut Badar kembali.
“Kau yakin bahwa ini suatu pertanda buat kita?” tanya istrinya hati- hati.
Badar melingkarkan tangan ke punggung istrinya. Kemudian katanya dengan suara menghibur.
“Aku berharap bahwa itu bukan pertanda buruk, tapi entah kenapa hatiku jadi tak tenang....”
“Hhhh... kita berdoa saja pada Gusti Allah, mudah-mudahan tak terjadi apa-apa,” sahut istrinya sambil menghela nafas.
“Aku akan berangkat ke sawah!” kata Badar kembali berdiri.
“Biar Layang Seta menyertaimu....”
“Aku ikut. Pak!”.seru Layang Seta yang tiba-tiba muncul.