Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Keris Iblis - 2

$
0
0
Cerita Silat | Keris Iblis | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Keris Iblis | Cersil Sakti | Keris Iblis pdf

Cersil Wiro Sableng 85 - Wasiat Sang Ratu Pendekar Rajawali Sakti - 157. Dendam Pendekar-Pendekar Gila Cersil Wiro Sableng 89 - Geger di Pangandaran Pendekar Rajawali Sakti - 158. Pasukan Alis Kuning Pendekar Rajawali Sakti - Penyair Maut

“Sebaiknya kaujaga ibumu di rumah....”
  “Tidak, aku ikut bapak. Pulangnya biar sekalian mencari kayu bakar di hutan. Kebetulan kayu bakar kita sudah hampir habis,” bantah pemuda itu.
  “Baiklah. Kalau begitu kau boleh ikut. Kebetulan nanti bapak akan memperbaiki tanggul yang jebol....”
  “Jangan lupa makan siangnya diantar tepat waktu, Bu!” teriak Badar.
  Istrinya tersenyum sambil memandangi bapak dan anak yang berjalan beriringan.
  Keduanya berjalan pelan. Layang Seta masih mendekap tubuh sambil memakai sarung. Badar tersenyum kecil memperhatikan tingkah laku putranya itu.
  “Masih dingin?”
  “Dingin sekali. Rasanya orang-orang pun enggan keluar rumah pagi ini. Pak,” sahut pemuda itu dengan suara bergetar menahan dingin.
  “Udara dingin harus dilawan sebab kalau tidak akan membuat orang menjadi pemalas....”
  Layang Seta menganggukkan kepala. Pandangannya berputar ke sekeliling tempat. Rumah-rumah yang mereka lewati masih sepi dan baru satu dua orang yang terlihat. Sesekali mereka bertegur sapa.
  “Hiyaa...!”
 
  ***
 
  “Hei?!”
  Keduanya tersentak kaget. Begitu juga dengan beberapa orang yang berada di dekat mereka. Tiba-tiba saja terlihat api menyala di salah satu rumah. Disusul dengan teriakan-teriakan yang gegap gempita.
  “Toloooong...! Toloooong...!”
  “Ada apa?” tanya Layang Seta.
  “Cepat kita kembali ke rumah!” teriak bapaknya sambil berlari kecil.
  Layang Seta mengikuti dari belakang. Namun baru mereka berlari kira-kira sepuluh langkah, terdengar bentakan-bentakan nyaring.
  “Ayo, hancur-leburkan tempat ini!”
  “Sikaaat...!”
  “Aaa...!”
  “Hei?!”
  Langkah keduanya menjadi bimbang. Teriak kematian beberapa orang penduduk begitu menyayat hati. Jantung Badar berdegup kencang. Begitu juga dengan Layang Seta. Sejenak mereka saling pandang sebelum kembali berlari pulang.
  “Siapa mereka. Pak?”
  “Mana bapak tahu. Tapi mungkin para perampok yang biasa berkeliaran di desa-desa.”
  “Perampok?” Dahi Layang Seta berkernyit.
  “Belakangan ini banyak desa yang dibakar dan harta benda mereka dirampok oleh sekumpulan begal yang bernama Golok Setan. Orang-orang itu khabarnya kejam dan tak berperikemanusiaan,” jelas bapaknya.
  Wajah Layang Seta tampak pucat. Dia jadi mengerti akan kekhawatiran yang terbayang di wajah bapaknya itu. Tanpa sadar langkah mereka semakin cepat. Dan begitu tiba di pintu pagar. Badar telah berteriak pada istrinya.
  “Ningsih, cepat kemasi barang-barang!”
  Perempuan berusia setengah baya itu gelagapan menyambut mereka di luar.
  “Ada apa. Pak?” tanyanya dengan wajah cemas.
  “Tak ada waktu untuk menjelaskannya. Cepat kemasi barang-barang dan kita pergi dari sini!”
  Pada mulanya perempuan itu terlihat semakin tak mengerti. Tapi begitu melihat nyala api yang merambat cepat dari rumah ke rumah dan teriakan-teriakan yang gegap gempita bercampur pekik kematian, wajahnya berubah ketakutan.
  “Pak...!”
  “Jangan diam! Ayo, cepat kemasi barang-barang!” bentak Badar sambil membungkus semua garang yang bisa mereka bawa.
  Namun belum lagi mereka selesai mengemasi barang-barang, sebuah suara ketawa keras terdengar dari arah luar.
  “Ha-ha-ha...! Mau lari ke mana kalian?! Serahkan barang-barang itu berikut kepala kalian semua!”
  “Heh?!”
  Badar tersentak kaget. Dengan cepat dia mencabut golok dan bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara istri dan anaknya saling berpandangan dengan wajah semakin ketakutan.
  Di luar terlihat dua orang bertubuh besar dengan baju di bagian dada terbuka. Keduanya menunggang kuda berwarna coklat. Dari wajah mereka yang seram agaknya dua orang ini bukanlah orang baik-baik. Dengan hati-hati Badar menyambut mereka.
  “Siapa kalian, dan apa yang kalian inginkan dari kami?!” bentaknya.
  “Ha-ha-ha...! Kau lihat Cangklong, tikus ini agaknya bernyali macan juga. Rupanya dia belum tahu siapa kita!” kata salah seorang yang memakai ikat kepala hijau pada kawannya.
  “Sudahlah, Kimun. Jangan banyak bicara. Lekas kita bereskan mereka!” sahut Cangklong sambil mendengus sinis.
  “Hmm... rupanya kalian sebangsa perampok picisan! Jangan harap kalian bisa berbuat seenaknya di sini. Langkahi mayatku lebih dulu baru kalian bisa leluasa!” dengus Badar.
  “Huh! Segala tikus kampung ingin berlagak di depan orang-orang Golok Setan! Mampuslah bagianmu!”
  Setelah berkata begitu Kimun langsung turun dari kudanya dan menerjang ke arah Badar.
  “Hiyaaat...!”
  Badar langsung bergerak menghindar sambil menyabetkan goloknya. Tapi dengan gerakan yang gesit orang itu berkelit dan mengayunkan kaki kanannya.
  “Des!”
  “Akh...!”
  Badar terjungkal beberapa tindak dengan tubuh terjerembab.
  “Pak...!”
  “Ningsih, jangan ke mari! Cepat tinggalkan tempat ini! Bawa Layang Seta bersamamu!” teriak Badar cemas ketika melihat istrinya keluar dan tergopoh-gopoh menghampirinya.
  Tapi malang, sebelum perempuan itu berhasil mendekati suaminya, salah seorang dari dua penunggang kuda itu telah mencekal pergelangan tangannya.
  “He-he- he...! Perempuan ini manis juga. Kau uruslah laki-laki itu biar perempuan ini bagianku!” kata Cangklong.
  “Tapi sisakan sedikit untukku!” sahut Kimun sambil terkekeh.
  Sementara perempuan bernama Ningsih itu berusaha berontak dengan sekuat tenaga.
  “Bajingan keparat! Lepaskan aku! Lepaskan...!”
  “Bedebah laknat! Lepaskan istriku!” teriak Badar marah.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>