Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Pendekar 100 Hari - 48

$
0
0
Cerita Silat | Pendekar Seratus Hari | by S.D Liong | Pendekar 100 Hari | Cersil Sakti | Pendekar Seratus Hari pdf

Cersil Wiro Sableng 85 - Wasiat Sang Ratu Pendekar Rajawali Sakti - 157. Dendam Pendekar-Pendekar Gila Cersil Wiro Sableng 89 - Geger di Pangandaran Pendekar Rajawali Sakti - 158. Pasukan Alis Kuning Pendekar Rajawali Sakti - Penyair Maut

Entah
  siapa lawan siapa kawan.
  Sekonyong-konyong terdengar lengking tertawa:
  “Kukira dari golongan mana, ternyata orang-orang
  Naga Hijau. Mengapa kalian kemari?”
  Mendengar nada suara perempuan itu seketika
  berobahlah wajah Mo-seng-li.
  “Ah, sumoayku datang, celaka!” ia mengeluh pelahan.
  Dan saat itu di luar kuil terdengar pula jeritan ngeri.
  Bok-yong Kang menduga tentu ada orang Naga Hijau
  yang rubuh di tangan sumoay dari Mo-seng-li. Tetapi
  diam-diam iapun heran mengapa Wanita Suara Iblis
  tampak begitu gelisah mendengar sumoaynya datang.
  Bukankah seharusnya ia bergembira?
  Tiba-tiba si nona berpaling dan membisikinya,
  “Lekas engkau rebah di samping Siau Mo dan pura-
  pura seperti telah kututuk jalan darahmu. Karena
  sumoayku datang tentulah toa-suciku juga sudah tak
  jauh dari sini.”
  Tanpa menunggu jawaban Bok-yong Kang, nona itu
  terus melesat ke samping pintu.
  Sekonyong-konyong terdengar suara tertawa
  melengking tinggi dan dari luar terdengar suara orang
  berseru: “Hai, siapakah yang bersembunyi di dalam
  kuil itu?”
  “Wut!” setiup angin segera menghambur ke arah Mo-
  seng-li. Sudah tentu nona itu terkejut. Ia cepat
  menghindar keluar dan berteriak: “Hai, sam-sumoay,
  akulah!”
  Mendengar pesan Mo-seng-li tadi Bok-yong Kang tak
  segera menurut melainkan termangu menimang-
  nimang, adakah ia akan melakukan perintah itu. Dan
  sebelum ia sempat mengambil keputusan, pendatang
  itupun sudah melayang di mulut ruang. Bok-yong
  Kang terpaksa memandang ke muka.
  Tampak diambang pintu ruang kuil tegak seorang
  dara berumur tujuhbelas tahun. Belakang bahunya
  memanggul dua batang pedang. Dadanya bertabur
  jamrud mutiara cemerlang dan wajahnya cantik jelita.
  Sepasang bibirnya yang merekah merah
  menyungging senyum itu, benar-benar memikat hati
  setiap orang yang memandangnya. Pun dara itu
  mengenakan pakaian warna merah sehingga makin
  menonjolkan kecantikannya.
  Melihat Mo-seng-li, dara baju merah itu tertawa
  mengikik: “Ai, ji-suci bagaimana kabarmu?”
  Mo-seng-li agak membungkukkan tubuh sebagai
  tanda memberi salam.
  “Sam-sumoay, aku sungguh girang karena sumoay
  telah menyelesaikan pelajaran dan diperkenankan
  turun gunung. Lalu bagaimana dengan toa-suci?”
  Belum habis ucapan Mo-seng-li, tiba-tiba dua sosok
  tubuh melayang turun dari tengah gerumbul pohon.
  Dara baju merah itu tertawa, “Toa-suci, juga datang.
  Kudengar ji-suci telah ditawan orang, mengapa
  sekarang tak kurang suatu apa?”
  Saat itu cepat sekali kedua sosok tubuh itu sudah tiba
  dan berhenti di pintu.
  Bok-yong Kang tertegun. Dilihatnya yang datang itu
  seorang tua pendek berpakaian warna kelabu dan
  seorang gadis baju biru yang mencekal sebatang hud-
  tim atau kebut pertapa.
  Orang tua pendek itu yalah Lam-thian-ong atau Raja
  Langit Selatan. Demi melihat Mo-seng-li, ia terus maju
  dua langkah.
  “Selamat kuhaturkan kepada Mo-seng-li karena sudah
  terlepas dari bahaya,” serunya.
  Nona baju biru itu kira-kira berumur duapuluh lima
  tahun. Rambutnya terurai lepas ke bahu. Wajahnya
  serius dan alisnya menampil hawa pembunuhan.
  Memang menyeramkan sekali. Tetapi sebenarnya, dia
  seorang nona yang berwajah cantik dan usianya pun
  sudah masak.
  Melihat nona baju biru itu Mo-seng-li seg era memberi
  hormat.
  “Maafkan siaumoay yang tak menyambut
  kedatangan toa-suci,” katanya.
  Nona baju biru itu tersenyum.
  “Kudengar keterangan dari Lam-thian-ong bahwa
  engkau telah ditawan orang. Sudah tentu hatiku
  cemas sekali dan segera mengajak beberapa
  pengawal berangkat kemari. Ah, ternyata engkau
  sudah bebas, hatiku pun lega.”
  Kiranya nona baju biru itu adalah toa-suci atau taci
  seperguruan yang pertama dari Mo-seng-li.
  Sebutannya Hiat Sat Mo-li atau Wanita Iblis Darah.
  Habis berkata Hiat Sat Mo-li memandang ke dalam
  ruangan. Tiba-tiba wajahnya berseri, serunya,
  “Siapakah pemuda itu?”
  Lam-thian-ong tertawa, “Salah seorang yang telah
  menawan Mo-seng-li.”
  Melihat kedatangan mereka, kejut Bok-yong Kang
  bukan kepalang. Ia menyesal karena tak lekas
  menurut pesan Mo-seng-li. Tetapi karena sudah
  terlanjur ia harus cari akal.
  “Menilik omongan Lam-thian-ong, mereka agaknya
  belum tahu kalau toako berada di sini. Asal Mo-seng-li
  tidak mengatakan, merekapun tentu tak tahu toako di
  sini,” pikirnya.
  Tiba-tiba ia mendapat akal. Serentak ia terus ayunkan
  langkah menuju ke pintu.
  Kemunculan pemuda itu tak mengejutkan Hiat Sat
  Mo-li. Dingin-dingin saja nona itu berseru:
  “Ah, dia bukan Siau Mo!”
  Bok-yong Kang tertawa keras.
  “Kalau toako ku di sini, tak mungkin Mo-seng-li
  mampu bebas,” serunya.
 

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>