Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Cakar Maut - 17

$
0
0
Cerita Silat | Cakar Maut | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Cakar Maut | Cersil Sakti | Cakar Maut pdf

Pendekar Rajawali Sakti - 158. Pasukan Alis Kuning Pendekar Rajawali Sakti - Penyair Maut Pendekar Rajawali Sakti - 161. Siluman Tengkorak Gantung Wiro Sableng - Roh Dalam Keraton Pendekar Rajawali Sakti 60 - Badai Di Lembah Tangkar

an dariku?”
  “Aku ingin agar kau mencari pembunuh adik dan ayahku itu. Dan, membalaskan dendam kami...!” pinta gadis itu dengan suara bergetar.
  Imas Pandini menatap penuh harap pada pemuda di depannya. Bola matanya tampak berair, seperti ingin memastikan jawaban pemuda itu sekarang juga.
  “Kau harus membantu kami! Aku tidak mau dengar bila kau menolaknya. Hanya kau satu-satunya harapanku untuk menuntut balas atas kematian mereka berdua!” desak gadis itu dengan suara sedikit lantang.
  “Tapi, Imas! Aku....”
  “Tidak! Aku tidak mau dengar penolakanmu! Apa pun yang kau inginkan, akan kupenuhi. Asal, kau memenuhi keinginanku!” tukas Imas Pandini cepat.
  “Tenanglah, Imas....”
  “Aku tidak akan tenang, sebelum kau mengabulkan permintaanku!” potong gadis ini cepat.
  Suara Imas Pandini terdengar mulai keras. Sehingga, Rangga jadi tidak enak hati, khawatir bila ada yang mencurigai mereka berdua dalam satu kamar.
  Dan benar saja! Pendengaran Pendekar Rajawali Sakti yang demikian tajam mendengar suara mencurigakan di balik dinding depan kamarnya. Tanpa banyak bicara lagi, Rangga beranjak disertai ilmu meringankan tubuhnya ke dinding. Lalu....
  Salah satu telapak tangan Pendekar Rajawali Sakti cepat menampar dinding yang dicurigai.
  Plak!
  “Adooouw!”
  Tiba-tiba terdengar seseorang menjerit dari arah luar. Dan Imas Pandini yang semula tak mengerti maksud Rangga, jadi kaget. Isak tangisnya mendadak berhenti, berganti dengan perasaan terkejut.
  “Ayo kita keluar!” ajak Rangga.
  “Ke mana?”
  Pendekar Rajawali Sakti tidak menjawab, melainkan bergegas keluar. Sementara Imas Pandini mengikutinya dari belakang. Mereka masih sempat melihat si pengintip tadi lari tunggang-langgang, tapi Rangga tidak mempedulikannya.
  Begitu berada di luar, Pendekar Rajawali Sakti bersuit nyaring. Sebentar saja, tampak kuda hitam bernama Dewa Bayu menghampiri.
  “Kau berkuda?” tanya Rangga, begitu Dewa Bayu di sisinya mendengus-dengus kecil.
  “Eh, ya...!” sahut Imas Pandini.
  “Ambillah. Kita akan melakukan perjalanan malam ini juga!”
  “Ke mana?”
  “Kenapa bertanya lagi? Tentu saja ke tempatmu.”
  “Oh, sungguhkah? Kau bersedia menolong kami?!” seru gadis itu dengan wajah gembira.
  Rangga mengangguk.
  Gadis itu setengah berlari mengambil kudanya. Sementara, Rangga kembali menemui pelayan kedai pemilik rumah sewaan itu. Setelah membayar secukupnya, dia menunggu Imas Pandini.
  “Kenapa buru-buru, Kisanak? Kamar belum lagi dipakai?” tanya si pemilik kedai, yang ternyata mengikuti Rangga dari belakang.
  Rangga tidak menjawab. Tapi begitu melihat Imas Pandini menghampiri, pemilik kedai merasa maklum.
  “Kalau cuma untuk itu, ada kamar tertutup yang bisa kusediakan, Kisanak,” ujar si pelayan kedai sambil mesem-mesem.
  “Apa maksudmu?” tanya Rangga sinis.
  “Eh, bukankah kalian akan mencari tempat yang aman agar tidak terganggu...?” kata si pelayan kedai.
  Sring!
  Imas Pandini langsung mencabut pedang. Dan, cepat sekali ujungnya menempel ke tenggorokan pemilik kedai itu.
  “Sekali lagi bicara kotor, akan kutebas lehermu!” dengus gadis itu geram.
  “Eh! Ampun..., ampun, Nisanak! Aku tidak bermaksud begitu. Ampunkan kelancanganku...!” ratap si pemilik kedai, langsung mengkeret hatinya.
  “Huh!”
  Gadis itu masih mendengus, meski pedangnya telah disarungkan kembali.
  “Kisanak! Sebaiknya kau jangan sering-sering berpikir buruk begitu. Jagalah mulutmu, dan jangan asal bicara!”
  “Eh, ba... baik.”
  “Ayo, Imas. Kita bergegas!”
  Gadis itu mengangguk. Dan segera melompat ke punggung kudanya. Dan dia segera menggebah tunggangannya, ketika Pendekar Rajawali Sakti telah berjalan cukup jauh.
 
  ***
  Imas Pandini masih merasa takjub mendengar dan melihat kesediaan pemuda itu membantunya. Apakah karena terharu melihatnya? Atau, barangkali memang telah berniat sejak semula? Ingin rasanya hal itu ditanyakannya. Namun, dia khawatir kalau pemuda itu mengurungkan niat gara-gara itu.
  Hari telah malam, ketika kedua anak muda itu telah jauh dari desa yang disinggahi tadi. Dan sejak tadi Pendekar Rajawali Sakti diam saja. Tidak ada yang dibicarakan, sehingga membuat gadis itu jadi salah tingkah.
  “Kau lelah?” tanya Pendekar Rajawali Sakti, memecah keheningan.
  “Eh, apa?!” Imas Pandini terkesiap.
  Rangga tersenyum.
  “Kau lelah?” ulang Rangga.
  “Tidak,” sahut gadis itu singkat.
  “Sebentar lagi malam semakin larut, hawa dingin akan bertambah.”
  “Kalau kita berkuda cepat, maka sebelum tengah malam akan sampai,” jelas Imas Pandini.
  “Kau yakin tidak lelah?” tanya Rangga lagi, ingin memastikan.
  “Tidak. Aku masih kuat...!” sahut gadis itu cepat.
  Tiba- tiba gadis itu menoleh. Langsung dipandangnya pemuda itu dengan muka kasihan.
  “Atau barangkali kau yang lelah?” tanya Imas Pandini.
  Rangga kembali tersenyum seraya menggeleng.
  “Tidak.”
  “Maaf, aku amat merepotkanmu,” ucap gadis ini lirih sambil menunduk.
  “Tidak.”
  “Aku ingin agar persoalan ini cepat selesai.”
  “Menurutmu, siapa kira-kira yang melakukan pembunuhan terhadap mereka?”
  “Aku tidak bisa menduga. Tapi mungkin saja pihak Perguruan Pedang Kilat.”
  “Bagaimana luka mereka? Apakah akibat senjata tajam. Atau....”
  “Tidak! Mereka luka akibat cakaran. Mengerikan sekali...! Seperti cakar seekor harimau besar,” potong Imas Pandini cepat, me

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>