Cerita Silat | Cakar Maut | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Cakar Maut | Cersil Sakti | Cakar Maut pdf
Pendekar Rajawali Sakti - 159. Neraka Kematian Suro Bodong - Menembus Kabut Berdarah Pendekar Rajawali Sakti - 160. Keris Iblis Pendekar Rajawali Sakti - Seruling Perak Pendekar Pulau Neraka - Hantu Rimba Larangan
mberi penjelasan.
“Hm....” Rangga mulai menduga-duga.
“Kenapa? Apakah kau bisa mengenali luka seperti itu?”
“Belum.”
“Apakah tidak mungkin orang yang memiliki serangan khas seperti itu adalah si Cakar Maut?”
“Cakar Maut? Dia telah berada di sana?”
“Ya! Almarhum ayahku telah mengatakan kalau dia memiliki ilmu silat hebat dan tak tertandingi...!”
“Aku pernah dengar itu.”
Imas Pandini melirik Pendekar Rajawali Sakti.
“Ayahku juga mengatakan, bahwa kau hebat.”
Rangga tersenyum.
“Itu bohong. Aku hanya manusia biasa yang juga bisa mati seperti yang lainnya,” sahut Rangga merendah.
“Apakah itu berarti kau tidak yakin bisa mengalahkan si Cakar Maut?”
“Kenapa kau menanyakannya?”
“Entahlah. Pada malam terbunuhnya Ayah, kami tengah bercakap-cakap. Ayah kelihatan gelisah. Sudah tiga malam beliau bermimpi buruk. Banyak hal yang kami bicarakan. Tentang si Cakar Maut, juga tentangmu. Sebelum akhirnya, orang bertopeng itu muncul dan mengacaukan segalanya,” jelas Imas Pandini.
“Dia menggunakan jurus cakar...?”
“Kelihatannya begitu. Dia mampu menahan pedang ayahku dengan jari-jarinya,” lanjut Imas Pandini.
“Orang itu pasti memiliki tenaga dalam hebat...,” gumam Pendekar Rajawali Sakti.
“Kelihatannya begitu,” tambah Imas Pandini, pelan.
Kedua anak muda itu terdiam beberapa saat.
“Kalau boleh kutahu, apa penyebab pertikaian perguruanmu dengan orang- orang Pedang Kilat itu?” tanya Rangga.
“Entahlah, kami tidak tahu pasti. Hanya saja, ketika pada suatu malam di desa ada keramaian, murid-murid Perguruan Pedang Kilat yang saat itu ada di sana, menyalahkan murid-murid Perguruan Rebung Koneng. Mereka mengatakan, salah seorang dari pihak kami memukul murid Perguruan Pedang Kilat. Tapi ketika ayahku mendesak muridnya untuk berkata jujur, ternyata murid itu berani bersumpah kalau tidak pernah mengusik siapa pun. Sejak itu, pertikaian kecil-kecilan sering terjadi,” jelas Imas Pandini.
“Sebelum itu apakah ada suatu peristiwa yang penting antara kedua belah pihak?” desak Rangga, semakin tertarik.
“Memang ada.”
“Apa itu?”
“Beberapa bulan sebelumnya, Ki Mugeni datang dan bermaksud melamarku untuk putra tertuanya. Tapi, Ayah menolaknya.”
“Dan kau?”
“Semula aku tidak tahu apa alasan Ayah. Tapi setelah beliau mengatakannya, aku baru mengerti dan bisa menerima keputusan beliau.”
“Kalau boleh kutahu, apa alasan ayahmu?”
“Ayah mengatakan, mereka bukan keturunan baik-baik. Terlebih lagi, putra Ki Mugeni yang hendak dijodohkan padaku. Yaitu, Brajadenta yang tengah berguru pada tokoh sesat, si Cakar Maut. Ayah tahu, si Cakar Maut dengan ilmu iblisnya itu bisa menimbulkan malapetaka bagi siapa saja,” jelas Imas Pandini.
“Ayahmu benar. Dia punya alasan kuat.”
“Dari mana kau bisa tahu?”
“Aku bertemu seseorang yang menjadi korban ilmu si Cakar Maut. Dia cerita banyak tentang tokoh sesat itu. Itulah sebabnya aku memutuskan untuk memenuhi permintaan Baladewa.”
“Dia tentu akan gembira kalau mengetahui kau memenuhi permintaannya.”
“Sayang.... Anak itu telah tiada...,” ucap Rangga, getir.
Imas Pandini terdiam. Dan perasaan sedih itu kembali menyelinap ke hatinya. Rangga bukannya tidak menyadarinya, ketika melihat bola mata Imas Pandini yang berkaca- kaca diterangi sinar rembulan.
“Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu sedih,” ucap Rangga, lirih.
“Tidak apa,” sahut Imas Pandini.
Mereka kembali terdiam. Dan yang terdengar hanya derap langkah kuda yang berjalan pelan. Namun ketika salah satu ada yang hendak bicara....
“Awaaas!” Tiba-tiba Rangga berteriak sambil mendorong tubuh Imas Pandini di sebelahnya.
“Ohhh...!”
Imas Pandini terjungkal dari punggung kudanya. Sedang Pendekar Rajawali Sakti sendiri menjatuhkan diri ketika satu sosok bayangan menyambar ke arah mereka dengan cepat.
Siuuut!
Begitu sambarannya gagal, sesosok bayangan tadi berbalik cepat. Dan kali ini sasarannya semakin jelas. Pendekar Rajawali Sakti.
“Heaaat...!”
***
Pendekar Rajawali Sakti - 159. Neraka Kematian Suro Bodong - Menembus Kabut Berdarah Pendekar Rajawali Sakti - 160. Keris Iblis Pendekar Rajawali Sakti - Seruling Perak Pendekar Pulau Neraka - Hantu Rimba Larangan
mberi penjelasan.
“Hm....” Rangga mulai menduga-duga.
“Kenapa? Apakah kau bisa mengenali luka seperti itu?”
“Belum.”
“Apakah tidak mungkin orang yang memiliki serangan khas seperti itu adalah si Cakar Maut?”
“Cakar Maut? Dia telah berada di sana?”
“Ya! Almarhum ayahku telah mengatakan kalau dia memiliki ilmu silat hebat dan tak tertandingi...!”
“Aku pernah dengar itu.”
Imas Pandini melirik Pendekar Rajawali Sakti.
“Ayahku juga mengatakan, bahwa kau hebat.”
Rangga tersenyum.
“Itu bohong. Aku hanya manusia biasa yang juga bisa mati seperti yang lainnya,” sahut Rangga merendah.
“Apakah itu berarti kau tidak yakin bisa mengalahkan si Cakar Maut?”
“Kenapa kau menanyakannya?”
“Entahlah. Pada malam terbunuhnya Ayah, kami tengah bercakap-cakap. Ayah kelihatan gelisah. Sudah tiga malam beliau bermimpi buruk. Banyak hal yang kami bicarakan. Tentang si Cakar Maut, juga tentangmu. Sebelum akhirnya, orang bertopeng itu muncul dan mengacaukan segalanya,” jelas Imas Pandini.
“Dia menggunakan jurus cakar...?”
“Kelihatannya begitu. Dia mampu menahan pedang ayahku dengan jari-jarinya,” lanjut Imas Pandini.
“Orang itu pasti memiliki tenaga dalam hebat...,” gumam Pendekar Rajawali Sakti.
“Kelihatannya begitu,” tambah Imas Pandini, pelan.
Kedua anak muda itu terdiam beberapa saat.
“Kalau boleh kutahu, apa penyebab pertikaian perguruanmu dengan orang- orang Pedang Kilat itu?” tanya Rangga.
“Entahlah, kami tidak tahu pasti. Hanya saja, ketika pada suatu malam di desa ada keramaian, murid-murid Perguruan Pedang Kilat yang saat itu ada di sana, menyalahkan murid-murid Perguruan Rebung Koneng. Mereka mengatakan, salah seorang dari pihak kami memukul murid Perguruan Pedang Kilat. Tapi ketika ayahku mendesak muridnya untuk berkata jujur, ternyata murid itu berani bersumpah kalau tidak pernah mengusik siapa pun. Sejak itu, pertikaian kecil-kecilan sering terjadi,” jelas Imas Pandini.
“Sebelum itu apakah ada suatu peristiwa yang penting antara kedua belah pihak?” desak Rangga, semakin tertarik.
“Memang ada.”
“Apa itu?”
“Beberapa bulan sebelumnya, Ki Mugeni datang dan bermaksud melamarku untuk putra tertuanya. Tapi, Ayah menolaknya.”
“Dan kau?”
“Semula aku tidak tahu apa alasan Ayah. Tapi setelah beliau mengatakannya, aku baru mengerti dan bisa menerima keputusan beliau.”
“Kalau boleh kutahu, apa alasan ayahmu?”
“Ayah mengatakan, mereka bukan keturunan baik-baik. Terlebih lagi, putra Ki Mugeni yang hendak dijodohkan padaku. Yaitu, Brajadenta yang tengah berguru pada tokoh sesat, si Cakar Maut. Ayah tahu, si Cakar Maut dengan ilmu iblisnya itu bisa menimbulkan malapetaka bagi siapa saja,” jelas Imas Pandini.
“Ayahmu benar. Dia punya alasan kuat.”
“Dari mana kau bisa tahu?”
“Aku bertemu seseorang yang menjadi korban ilmu si Cakar Maut. Dia cerita banyak tentang tokoh sesat itu. Itulah sebabnya aku memutuskan untuk memenuhi permintaan Baladewa.”
“Dia tentu akan gembira kalau mengetahui kau memenuhi permintaannya.”
“Sayang.... Anak itu telah tiada...,” ucap Rangga, getir.
Imas Pandini terdiam. Dan perasaan sedih itu kembali menyelinap ke hatinya. Rangga bukannya tidak menyadarinya, ketika melihat bola mata Imas Pandini yang berkaca- kaca diterangi sinar rembulan.
“Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu sedih,” ucap Rangga, lirih.
“Tidak apa,” sahut Imas Pandini.
Mereka kembali terdiam. Dan yang terdengar hanya derap langkah kuda yang berjalan pelan. Namun ketika salah satu ada yang hendak bicara....
“Awaaas!” Tiba-tiba Rangga berteriak sambil mendorong tubuh Imas Pandini di sebelahnya.
“Ohhh...!”
Imas Pandini terjungkal dari punggung kudanya. Sedang Pendekar Rajawali Sakti sendiri menjatuhkan diri ketika satu sosok bayangan menyambar ke arah mereka dengan cepat.
Siuuut!
Begitu sambarannya gagal, sesosok bayangan tadi berbalik cepat. Dan kali ini sasarannya semakin jelas. Pendekar Rajawali Sakti.
“Heaaat...!”
***