Cerita Silat | Cakar Maut | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Cakar Maut | Cersil Sakti | Cakar Maut pdf
Pendekar Rajawali Sakti - 159. Neraka Kematian Suro Bodong - Menembus Kabut Berdarah Pendekar Rajawali Sakti - 160. Keris Iblis Pendekar Rajawali Sakti - Seruling Perak Pendekar Pulau Neraka - Hantu Rimba Larangan
a adiknya. Dan, bukankah untuk urusan itu pemuda ini datang ke tempatnya?
“Dia terluka dalam akibat pukulanku. Akan kita selidiki, siapa orang di balik topeng itu. Kalau dalam sehari atau dua hari tidak muncul, maka berarti memang dia pembunuh Ayah dan adikmu. Tapi kalau dia muncul pada malam berikutnya, berarti bukan dia pembunuh yang kita cari,” jelas Pendekar Rajawali Sakti seraya melompat ke punggung kudanya.
Imas Pandini mengikuti, dan tidak banyak bicara.
“Maaf, mungkin kau sangat kecewa padaku. Tapi kita tidak boleh salah membunuh orang,” lanjut Rangga menjelaskan jalan pikirannya.
Imas Pandini masih diam membisu. Dan itu membuat Rangga jadi tidak enak hati.
“Kedatanganku kali ini atas undanganmu. Kalau saja Baladewa masih ada, aku mungkin masih bisa menekan rasa sungkan. Tapi kali ini, kaulah tuan rumahnya. Biarlah kuselesaikan ini dengan caraku sendiri. Dan rasanya, tidak perlu kau menjadi tuan rumah bagiku.”
Gadis itu menoleh. Dan wajahnya tampak murung.
“Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu merasa asing.”
Imas Pandini tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan tertunduk lesu.
“Aku tahu, kau sedih dan juga kesal melihat sikapku tadi. Tapi selain alasan yang telah kukatakan tadi, kita pun harus mempertimbangkan akibat-akibat lain. Mungkin dia menjebak, atau memancing. Dan kalau itu benar, maka sia-sialah kedatanganku ke sini...,” kata Pendekar Rajawali Sakti.
“Sudahlah.... Soal itu aku tidak marah. Maafkan sikapku kalau tidak menyenangkanmu.”
“Tidak apa....”
Mereka kembali terdiam untuk beberapa saat.
“Sebentar lagi kita sampai,” ujar gadis itu membuka pembicaraan kembali.
“Di depan itu?” tunjuk Rangga ke arah sebuah bangunan bertingkat yang seluruhnya dipagar rapat oleh kayu-kayu setinggi dua tombak. “Ya.”
Wajah Imas Pandini berkerut heran begitu memasuki halaman perguruan. Saat ini, malam sudah larut. Tapi, murid-murid Perguruan Rebung Koneng kelihatan sibuk. Sementara cahaya obor dari halaman begitu banyak. Gadis itu buru-buru ke dalam. Beberapa murid terkejut, namun segera menarik napas lega begitu mengetahui siapa yang muncul.
“Ada apa? Kenapa kalian berkumpul tengah malam begini?” tanya Imas Pandini.
Pertanyaan gadis itu sedikit terjawab, ketika melihat beberapa sosok mayat bergelimpangan yang dikumpulkan di satu tempat. Buru-buru menghampirinya. Dan wajahnya pun kembali terkejut.
“Siapa? Siapa yang melakukan perbuatan keji ini?!” desis Imas Pandini seraya memandang murid-murid Perguruan Rebung Koneng yang berada di dekatnya.
“Orang bertopeng itu, Den,” sahut salah seorang dari mereka.
“Bangsat terkutuk itu?! Dia datang lagi? Jahanam...!” desis Imas Pandini memaki.
Wajah gadis itu berubah kelam. Hawa amarah telah menguasai isi dadanya. Napasnya terasa sesak. Namun begitu, dia masih berusaha untuk menahan diri.
“Den Imas...,” sapa salah seorang murid.
“Hm, ya. Ada apa?”
“Banyak murid yang merasa takut. Mereka..., mereka bermaksud pergi esok hari,” lapor murid itu.
“Pergi? Kalian akan meninggalkanku seorang diri, setelah peristiwa ini?!” seru gadis itu dengan suara nyaring.
Murid-murid Perguruan Rebung Koneng menunduk ketika Imas Pandini memandangi satu- persatu.
“Di mana kesetiaan kalian? Apakah nyali kalian telah ciut menghadapi tantangan seperti ini?!” lanjut gadis itu.
Tidak ada seorang pun yang berani angkat kepala dan buka mulut. Semuanya tertunduk, membisu. Sementara gadis itu masih bersungut-sungut kesal.
“Biar aku bicara pada mereka,” kata Rangga pelan.
“Terserah kamu saja....”
“Kisanak semua.” Pendekar Rajawali Sakti mulai bicara pada mereka. “Kehadiranku di sini adalah atas kehendak Imas Pandini. Adapun tujuannya, agar aku membantu mengatasi petaka yang menimpa orang- orang di sini. Untuk itu, aku berharap kalian mau bekerja sama. Jika kalian ketakutan, maka mungkin saja keinginan orang itu berhasil. Yaitu, memang sengaja menakut-nakuti murid Perguruan Rebung Koneng. Dan, akhirnya kalian berpecah-belah. Itukah yang diinginkan Ki Sanjaya? Tentu tidak, bukan? Telah banyak yang menjadi korban. Dan kita harus membalasnya. Agar mereka yang telah mendahului tidak mati sia-sia.”
Rangga mengakhiri kata- katanya, kemudian memandang mereka satu- persatu. Sepertinya, dia hendak meyakinkan bahwa kata-katanya tadi bisa menyadarkan semangat mereka yang kendor untuk berkobar kembali.
“Orang bertopeng itu memiliki ilmu tinggi. Dan kami tidak ada harapan untuk bisa meringkusnya. Apalagi membunuhnya,” sahut salah seorang murid bernada lesu.
“Hanya satu orang. Sedangkan jumlah kita banyak. Lantas, apakah tidak mungkin bisa meringkusnya?”
“Itu telah dicoba. Dan hasilnya, malah Ki Sanjaya dan Baladewa tewas, ditambah beberapa murid lainnya. Lalu belum lama orang itu muncul, dan menewaskan beberapa murid lainnya. Apakah ini berarti kita akan menyediakan diri sebagai korbannya secara percuma?”
“Tidak! Kita akan melawannya. Dan aku akan membantu kalian!”
“Apa yang bisa kau bantu? Guru kami saja tewas di tangannya.”
“Tidakkah kalian tahu, siapa pemuda ini?!” teriak Imas Pandini dengan suara nyaring.
Semua murid Perguruan Rebung Koneng terdiam. Dan memang sebenarnya tak seorang pun yang tahu siapa pemuda yang bersama putri almarhum Ki Sanjaya itu.
“Dia adalah Pendekar Rajawali Sakti! Pernahkah kalian mendengar nama itu?”
“Pendekar Rajawali Sakti? Benarkah...?!”
Murid-murid Perguruan Rebung Koneng itu terkejut. Dan di antaranya saling bergumam dengan suara ribut seperti kawanan lebah.
“Bagaimana keputusan kalian sekarang?” tanya Imas Pandini.
Pendekar Rajawali Sakti - 159. Neraka Kematian Suro Bodong - Menembus Kabut Berdarah Pendekar Rajawali Sakti - 160. Keris Iblis Pendekar Rajawali Sakti - Seruling Perak Pendekar Pulau Neraka - Hantu Rimba Larangan
a adiknya. Dan, bukankah untuk urusan itu pemuda ini datang ke tempatnya?
“Dia terluka dalam akibat pukulanku. Akan kita selidiki, siapa orang di balik topeng itu. Kalau dalam sehari atau dua hari tidak muncul, maka berarti memang dia pembunuh Ayah dan adikmu. Tapi kalau dia muncul pada malam berikutnya, berarti bukan dia pembunuh yang kita cari,” jelas Pendekar Rajawali Sakti seraya melompat ke punggung kudanya.
Imas Pandini mengikuti, dan tidak banyak bicara.
“Maaf, mungkin kau sangat kecewa padaku. Tapi kita tidak boleh salah membunuh orang,” lanjut Rangga menjelaskan jalan pikirannya.
Imas Pandini masih diam membisu. Dan itu membuat Rangga jadi tidak enak hati.
“Kedatanganku kali ini atas undanganmu. Kalau saja Baladewa masih ada, aku mungkin masih bisa menekan rasa sungkan. Tapi kali ini, kaulah tuan rumahnya. Biarlah kuselesaikan ini dengan caraku sendiri. Dan rasanya, tidak perlu kau menjadi tuan rumah bagiku.”
Gadis itu menoleh. Dan wajahnya tampak murung.
“Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu merasa asing.”
Imas Pandini tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan tertunduk lesu.
“Aku tahu, kau sedih dan juga kesal melihat sikapku tadi. Tapi selain alasan yang telah kukatakan tadi, kita pun harus mempertimbangkan akibat-akibat lain. Mungkin dia menjebak, atau memancing. Dan kalau itu benar, maka sia-sialah kedatanganku ke sini...,” kata Pendekar Rajawali Sakti.
“Sudahlah.... Soal itu aku tidak marah. Maafkan sikapku kalau tidak menyenangkanmu.”
“Tidak apa....”
Mereka kembali terdiam untuk beberapa saat.
“Sebentar lagi kita sampai,” ujar gadis itu membuka pembicaraan kembali.
“Di depan itu?” tunjuk Rangga ke arah sebuah bangunan bertingkat yang seluruhnya dipagar rapat oleh kayu-kayu setinggi dua tombak. “Ya.”
Wajah Imas Pandini berkerut heran begitu memasuki halaman perguruan. Saat ini, malam sudah larut. Tapi, murid-murid Perguruan Rebung Koneng kelihatan sibuk. Sementara cahaya obor dari halaman begitu banyak. Gadis itu buru-buru ke dalam. Beberapa murid terkejut, namun segera menarik napas lega begitu mengetahui siapa yang muncul.
“Ada apa? Kenapa kalian berkumpul tengah malam begini?” tanya Imas Pandini.
Pertanyaan gadis itu sedikit terjawab, ketika melihat beberapa sosok mayat bergelimpangan yang dikumpulkan di satu tempat. Buru-buru menghampirinya. Dan wajahnya pun kembali terkejut.
“Siapa? Siapa yang melakukan perbuatan keji ini?!” desis Imas Pandini seraya memandang murid-murid Perguruan Rebung Koneng yang berada di dekatnya.
“Orang bertopeng itu, Den,” sahut salah seorang dari mereka.
“Bangsat terkutuk itu?! Dia datang lagi? Jahanam...!” desis Imas Pandini memaki.
Wajah gadis itu berubah kelam. Hawa amarah telah menguasai isi dadanya. Napasnya terasa sesak. Namun begitu, dia masih berusaha untuk menahan diri.
“Den Imas...,” sapa salah seorang murid.
“Hm, ya. Ada apa?”
“Banyak murid yang merasa takut. Mereka..., mereka bermaksud pergi esok hari,” lapor murid itu.
“Pergi? Kalian akan meninggalkanku seorang diri, setelah peristiwa ini?!” seru gadis itu dengan suara nyaring.
Murid-murid Perguruan Rebung Koneng menunduk ketika Imas Pandini memandangi satu- persatu.
“Di mana kesetiaan kalian? Apakah nyali kalian telah ciut menghadapi tantangan seperti ini?!” lanjut gadis itu.
Tidak ada seorang pun yang berani angkat kepala dan buka mulut. Semuanya tertunduk, membisu. Sementara gadis itu masih bersungut-sungut kesal.
“Biar aku bicara pada mereka,” kata Rangga pelan.
“Terserah kamu saja....”
“Kisanak semua.” Pendekar Rajawali Sakti mulai bicara pada mereka. “Kehadiranku di sini adalah atas kehendak Imas Pandini. Adapun tujuannya, agar aku membantu mengatasi petaka yang menimpa orang- orang di sini. Untuk itu, aku berharap kalian mau bekerja sama. Jika kalian ketakutan, maka mungkin saja keinginan orang itu berhasil. Yaitu, memang sengaja menakut-nakuti murid Perguruan Rebung Koneng. Dan, akhirnya kalian berpecah-belah. Itukah yang diinginkan Ki Sanjaya? Tentu tidak, bukan? Telah banyak yang menjadi korban. Dan kita harus membalasnya. Agar mereka yang telah mendahului tidak mati sia-sia.”
Rangga mengakhiri kata- katanya, kemudian memandang mereka satu- persatu. Sepertinya, dia hendak meyakinkan bahwa kata-katanya tadi bisa menyadarkan semangat mereka yang kendor untuk berkobar kembali.
“Orang bertopeng itu memiliki ilmu tinggi. Dan kami tidak ada harapan untuk bisa meringkusnya. Apalagi membunuhnya,” sahut salah seorang murid bernada lesu.
“Hanya satu orang. Sedangkan jumlah kita banyak. Lantas, apakah tidak mungkin bisa meringkusnya?”
“Itu telah dicoba. Dan hasilnya, malah Ki Sanjaya dan Baladewa tewas, ditambah beberapa murid lainnya. Lalu belum lama orang itu muncul, dan menewaskan beberapa murid lainnya. Apakah ini berarti kita akan menyediakan diri sebagai korbannya secara percuma?”
“Tidak! Kita akan melawannya. Dan aku akan membantu kalian!”
“Apa yang bisa kau bantu? Guru kami saja tewas di tangannya.”
“Tidakkah kalian tahu, siapa pemuda ini?!” teriak Imas Pandini dengan suara nyaring.
Semua murid Perguruan Rebung Koneng terdiam. Dan memang sebenarnya tak seorang pun yang tahu siapa pemuda yang bersama putri almarhum Ki Sanjaya itu.
“Dia adalah Pendekar Rajawali Sakti! Pernahkah kalian mendengar nama itu?”
“Pendekar Rajawali Sakti? Benarkah...?!”
Murid-murid Perguruan Rebung Koneng itu terkejut. Dan di antaranya saling bergumam dengan suara ribut seperti kawanan lebah.
“Bagaimana keputusan kalian sekarang?” tanya Imas Pandini.