Cerita Silat | Cakar Maut | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Cakar Maut | Cersil Sakti | Cakar Maut pdf
Pendekar Rajawali Sakti - 158. Pasukan Alis Kuning Pendekar Rajawali Sakti - Penyair Maut Pendekar Rajawali Sakti - 161. Siluman Tengkorak Gantung Wiro Sableng - Roh Dalam Keraton Pendekar Rajawali Sakti 60 - Badai Di Lembah Tangkar
***
“Apakah dia yakin bisa mengalahkan orang bertopeng hitam itu?” tanya salah seorang murid Perguruan Rebung Koneng.
“Ya! Apakah Pendekar Rajawali Sakti mampu mengalahkan iblis bertopeng hitam itu?” tanya yang lain mengikuti.
“Aku telah melihat sendiri. Dan dia mampu mengalahkannya! Sebelum tiba di sini, kami dihadang orang bertopeng hitam itu. Dan dia terlibat pertarungan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Orang itu kemudian kabur, setelah Pendekar Rajawali Sakti menghajarnya!” sahut Imas Pandini, mantap.
“Oh, maaf!” tukas Rangga cepat, “Apa yang dikatakan Imas memang benar. Tapi, itu bukan berarti aku menjanjikan mampu mengalahkannya. Aku hanya berusaha. Dan itu harus dibantu kalian semua. Karena seperti kalian juga, aku adalah manusia biasa yang punya kelebihan dan kekurangan. Bila tidak ada kerja sama di antara kita, maka aku akan sulit bekerja sendiri. Tapi bila kalian membantu, segalanya akan terasa ringan dan mudah!”
“Apa yang kau katakan benar! Kami akan mendukungmu!” sahut satu suara.
“Ya! Kita akan mendukungnya! Lagi pula ini adalah persoalan kita. Kita harus mendukungnya!” sambut yang lain.
Kemudian serentak semua murid Perguruan Rebung Koneng memberi dukungan satu- persatu.
Imas Pandini tersenyum haru. Diajaknya dua orang murid Perguruan Rebung Koneng serta Pendekar Rajawali Sakti ke dalam ruangan utama. Sedang, yang lain membereskan mayat-mayat kawannya yang tadi masih berserakan.
“Kakang Wiriaraja telah gugur secara ksatria. Maka, kalian berdua kuanggap sebagai murid utama. Oleh sebab itu yakinkan sekali lagi pada murid-murid lainnya agar mereka bersatu. Kita tidak boleh berpecah-belah. Orang-orang Pedang Kilat memang menginginkan hal itu!” ujar Imas Pandini, begitu berada di dalam ruangan utama.
“Akan kami usahakan, Den!” sahut salah seorang murid utama.
“Bagus, Setiaki dan Darmaja! Ingat! Mereka tidak boleh mati sia-sia!” Imas Pandini kembali menegaskan.
Dan kedua murid utama itu mengangguk cepat.
“Lalu langkah apa yang akan kita lakukan sekarang, Den?” tanya murid yang dipanggil Darmaja.
Imas Pandini menoleh kepada Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga pun agaknya cepat tanggap.
“Begini, Darmaja,” kata Pendekar Rajawali Sakti. “Seperti yang tadi dikatakan Imas, aku memang telah berhadapan dengan orang bertopeng itu. Kurasa setelah mengacau di sini, dia menghadang kami berdua. Jarak kami dengan tempat ini sedikit jauh. Mestinya dia harus kabur ke tempat utara. Tapi hal itu tidak dilakukannya. Orang bertopeng itu berlari ke selatan!” tuding Rangga.
Kedua orang itu berpikir sebentar. Demikian pula halnya Imas Pandini.
“Tahukah kalian, apa yang ada di selatan sana?”
“Itu tempat Perguruan Pedang Kilat...!” seru Imas Pandini.
“Nah! Aku pun berpikir begitu.”
“Apa maksudmu?”
“Kurasa bukan hanya aku yang berpikir, bahwa semua ini ada kaitannya dengan permusuhan kalian berdua. Sebab yang menjadi sasaran hanya perguruan ini....”
“Ya! Aku tidak mendengar kehebohan penduduk di sekitar desa ini akibat ulah orang bertopeng itu!” sahut murid utama yang bernama Setiaki.
“Nah! Berarti kecurigaan pertama kita tujukan pada mereka!”
“Lalu tindakan kita?” tanya Imas Pandini.
“Apakah pertandingan yang pernah disebutkan Baladewa padaku kini menjadi batal?”
“Tidak jelas. Tapi dengan adanya kejadian yang menimpa kami, agaknya mereka tidak pernah mempersoalkan itu lagi,” sahut Setiaki.
“Kalau begitu pergilah besok pagi-pagi sekali ke tempat mereka. Katakan, pertandingan itu kita laksanakan esok hari!”
“Tapi....”
“Jangan memotong dulu, Imas!” sahut Rangga cepat “Aku tahu, mungkin kau khawatir siapa yang akan menghadapi mereka. Aku yang akan menggantikan Ki Sanjaya melawan Ki Mugeni. Aku juga yang akan menggantikan Baladewa, serta aku juga yang akan menggantikanmu untuk menghadapi lawanmu!”
“Itu tidak bisa! Aku harus menghadapi lawanku sendiri!” tukas Imas Pandini.
“Imas! Jangan salah menilai. Aku tidak bermaksud merendahkan kemampuanmu. Dengan cara seperti itu, aku ingin memancing kemarahan mereka. Bukan tidak mungkin si Cakar Maut pun akan turun tangan. Saat itu akan kulihat, apakah memang dia orang bertopeng itu atau bukan!” jelas Rangga.
“Bagaimana cara mengenalinya?”
“Aku mengenali dari jurus-jurusnya. Juga, pancaran matanya. Dan yang lebih penting, aku telah membuat ciri khusus padanya.”
“Apa itu?”
“Goresan luka di lehernya. Itu kulakukan dengan kuku. Dan luka seperti itu tidak mudah hilang meski kecil dan kelihatan tak berarti!”
Imas Pandini mengangguk. Dan diam-diam dia merasa bersalah, karena tadi tidak percaya terhadap rencana Rangga yang melepaskan orang bertopeng itu. Tapi tiba-tiba dia teringat sesuatu.
“Ini urusan antara kami dan mereka. Ki Mugeni tentu tidak suka orang lain ikut campur tangan,” kata Imas Pandini.
“Kenapa tidak kau katakan kalau aku pamanmu?”
“Ki Mugeni tahu semua saudara ayahku.”
“Kalau begitu, katakan saja aku saudara ibumu!”
“Itu lebih tidak mungkin. Sesungguhnya, antara almarhumah Ibu dan Ki Mugeni masih ada pertalian saudara meski jauh. Tapi, itu tidak membuat Ki Mugeni tak mengenal saudara- saudara almarhumah ibuku. Dia mengenalnya dengan baik.”
“Kalau begitu, katakan saja aku calon suamimu!” sahut Rangga enteng.
Wajah gadis itu seketika bersemu merah mendengar jawaban Pendekar Rajawali Sakti. Dan tanpa sadar, dia jengah sendiri sambil menundukkan kepala.
“Benar! Aku setuju!” sahut Setiaki.
“Ya. Aku pun setuju. Brajadenta pasti akan geram bukan main mendengar ini!” timpal Darmaja.
“Nah! Bagaimana, Imas?” tanya Rangga.
“Ya, terserah saja,” sahut gadis itu, pelan.
***
Pendekar Rajawali Sakti - 158. Pasukan Alis Kuning Pendekar Rajawali Sakti - Penyair Maut Pendekar Rajawali Sakti - 161. Siluman Tengkorak Gantung Wiro Sableng - Roh Dalam Keraton Pendekar Rajawali Sakti 60 - Badai Di Lembah Tangkar
***
“Apakah dia yakin bisa mengalahkan orang bertopeng hitam itu?” tanya salah seorang murid Perguruan Rebung Koneng.
“Ya! Apakah Pendekar Rajawali Sakti mampu mengalahkan iblis bertopeng hitam itu?” tanya yang lain mengikuti.
“Aku telah melihat sendiri. Dan dia mampu mengalahkannya! Sebelum tiba di sini, kami dihadang orang bertopeng hitam itu. Dan dia terlibat pertarungan dengan Pendekar Rajawali Sakti. Orang itu kemudian kabur, setelah Pendekar Rajawali Sakti menghajarnya!” sahut Imas Pandini, mantap.
“Oh, maaf!” tukas Rangga cepat, “Apa yang dikatakan Imas memang benar. Tapi, itu bukan berarti aku menjanjikan mampu mengalahkannya. Aku hanya berusaha. Dan itu harus dibantu kalian semua. Karena seperti kalian juga, aku adalah manusia biasa yang punya kelebihan dan kekurangan. Bila tidak ada kerja sama di antara kita, maka aku akan sulit bekerja sendiri. Tapi bila kalian membantu, segalanya akan terasa ringan dan mudah!”
“Apa yang kau katakan benar! Kami akan mendukungmu!” sahut satu suara.
“Ya! Kita akan mendukungnya! Lagi pula ini adalah persoalan kita. Kita harus mendukungnya!” sambut yang lain.
Kemudian serentak semua murid Perguruan Rebung Koneng memberi dukungan satu- persatu.
Imas Pandini tersenyum haru. Diajaknya dua orang murid Perguruan Rebung Koneng serta Pendekar Rajawali Sakti ke dalam ruangan utama. Sedang, yang lain membereskan mayat-mayat kawannya yang tadi masih berserakan.
“Kakang Wiriaraja telah gugur secara ksatria. Maka, kalian berdua kuanggap sebagai murid utama. Oleh sebab itu yakinkan sekali lagi pada murid-murid lainnya agar mereka bersatu. Kita tidak boleh berpecah-belah. Orang-orang Pedang Kilat memang menginginkan hal itu!” ujar Imas Pandini, begitu berada di dalam ruangan utama.
“Akan kami usahakan, Den!” sahut salah seorang murid utama.
“Bagus, Setiaki dan Darmaja! Ingat! Mereka tidak boleh mati sia-sia!” Imas Pandini kembali menegaskan.
Dan kedua murid utama itu mengangguk cepat.
“Lalu langkah apa yang akan kita lakukan sekarang, Den?” tanya murid yang dipanggil Darmaja.
Imas Pandini menoleh kepada Pendekar Rajawali Sakti.
Rangga pun agaknya cepat tanggap.
“Begini, Darmaja,” kata Pendekar Rajawali Sakti. “Seperti yang tadi dikatakan Imas, aku memang telah berhadapan dengan orang bertopeng itu. Kurasa setelah mengacau di sini, dia menghadang kami berdua. Jarak kami dengan tempat ini sedikit jauh. Mestinya dia harus kabur ke tempat utara. Tapi hal itu tidak dilakukannya. Orang bertopeng itu berlari ke selatan!” tuding Rangga.
Kedua orang itu berpikir sebentar. Demikian pula halnya Imas Pandini.
“Tahukah kalian, apa yang ada di selatan sana?”
“Itu tempat Perguruan Pedang Kilat...!” seru Imas Pandini.
“Nah! Aku pun berpikir begitu.”
“Apa maksudmu?”
“Kurasa bukan hanya aku yang berpikir, bahwa semua ini ada kaitannya dengan permusuhan kalian berdua. Sebab yang menjadi sasaran hanya perguruan ini....”
“Ya! Aku tidak mendengar kehebohan penduduk di sekitar desa ini akibat ulah orang bertopeng itu!” sahut murid utama yang bernama Setiaki.
“Nah! Berarti kecurigaan pertama kita tujukan pada mereka!”
“Lalu tindakan kita?” tanya Imas Pandini.
“Apakah pertandingan yang pernah disebutkan Baladewa padaku kini menjadi batal?”
“Tidak jelas. Tapi dengan adanya kejadian yang menimpa kami, agaknya mereka tidak pernah mempersoalkan itu lagi,” sahut Setiaki.
“Kalau begitu pergilah besok pagi-pagi sekali ke tempat mereka. Katakan, pertandingan itu kita laksanakan esok hari!”
“Tapi....”
“Jangan memotong dulu, Imas!” sahut Rangga cepat “Aku tahu, mungkin kau khawatir siapa yang akan menghadapi mereka. Aku yang akan menggantikan Ki Sanjaya melawan Ki Mugeni. Aku juga yang akan menggantikan Baladewa, serta aku juga yang akan menggantikanmu untuk menghadapi lawanmu!”
“Itu tidak bisa! Aku harus menghadapi lawanku sendiri!” tukas Imas Pandini.
“Imas! Jangan salah menilai. Aku tidak bermaksud merendahkan kemampuanmu. Dengan cara seperti itu, aku ingin memancing kemarahan mereka. Bukan tidak mungkin si Cakar Maut pun akan turun tangan. Saat itu akan kulihat, apakah memang dia orang bertopeng itu atau bukan!” jelas Rangga.
“Bagaimana cara mengenalinya?”
“Aku mengenali dari jurus-jurusnya. Juga, pancaran matanya. Dan yang lebih penting, aku telah membuat ciri khusus padanya.”
“Apa itu?”
“Goresan luka di lehernya. Itu kulakukan dengan kuku. Dan luka seperti itu tidak mudah hilang meski kecil dan kelihatan tak berarti!”
Imas Pandini mengangguk. Dan diam-diam dia merasa bersalah, karena tadi tidak percaya terhadap rencana Rangga yang melepaskan orang bertopeng itu. Tapi tiba-tiba dia teringat sesuatu.
“Ini urusan antara kami dan mereka. Ki Mugeni tentu tidak suka orang lain ikut campur tangan,” kata Imas Pandini.
“Kenapa tidak kau katakan kalau aku pamanmu?”
“Ki Mugeni tahu semua saudara ayahku.”
“Kalau begitu, katakan saja aku saudara ibumu!”
“Itu lebih tidak mungkin. Sesungguhnya, antara almarhumah Ibu dan Ki Mugeni masih ada pertalian saudara meski jauh. Tapi, itu tidak membuat Ki Mugeni tak mengenal saudara- saudara almarhumah ibuku. Dia mengenalnya dengan baik.”
“Kalau begitu, katakan saja aku calon suamimu!” sahut Rangga enteng.
Wajah gadis itu seketika bersemu merah mendengar jawaban Pendekar Rajawali Sakti. Dan tanpa sadar, dia jengah sendiri sambil menundukkan kepala.
“Benar! Aku setuju!” sahut Setiaki.
“Ya. Aku pun setuju. Brajadenta pasti akan geram bukan main mendengar ini!” timpal Darmaja.
“Nah! Bagaimana, Imas?” tanya Rangga.
“Ya, terserah saja,” sahut gadis itu, pelan.
***