Cerita Silat | Sayembara Maut | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Sayembara Maut | Cersil Sakti | Sayembara Maut pdf
Pendekar Rajawali Sakti - 168. Kitab Naga Jonggrang Pendekar Hina Kelana ~ Satria Terkutuk Berkaki Tunggal Pendekar Bloon ~ Anak Langit & Pendekar Lugu Pendekar Rajawali Sakti - 170. Siluman Bukit Tengger Pendekar Bayangan Sukma ~ Sumpah Jago-Jago Bayaran
"Sekar Arum anakku...," sambut laki-laki setengah baya ini.
"Sudahlah. Ayah jangan terlalu merisaukan soal ini," hibur gadis cantik bernama Sekar Arum.
"Bagaimana aku tidak risau? Pamanmu telah menangkap dan menjebloskan sekian banyak prajurit ke dalam penjara. Bahkan dia telah menangkap Ki Jiwandana...," keluh Prabu Kuntadewa. "Ini betul-betul hal buruk dan kelewatan! Sementara itu, aku tidak mampu berbuat apa-apa untuk mencegahnya.
"Aku mengerti perasaan Ayah. Tapi, apakah selama ini Ayah telah cukup berusaha?" tanya Se-kar Arum.
"Apa maksudmu? Tentu saja aku telah berusaha. Bahkan sayembara ini kau kira untuk apa? Tapi, semuanya nihil. Utusan-utusan yang kukirim untuk meminta bantuan kepada kawan-kawanku, tidak pernah kembali. Mereka raib seperti ditelan bumi. Bahkan para peserta sayembara semua tewas tak tersisa. Apalagi yang bisa Ayah lakukan untuk menghentikan niat keji pamanmu?"
"Apakah Ayah lupa, saat ini kita masih mempunyai seorang peserta lagi?" tanya gadis itu, ter-senyum penuh arti.
"Pemuda itukah yang kau maksudkan?"
039;Tentu saja!"
"Dia hanya sendiri. Tidak ada yang bisa dian-dalkan...," sahut Prabu Kuntadewa.
"Memang dia hanya sendiri. Namun kehebat-annya telah terbukti, Ayah. Kenapa Ayah tidak berusaha bicara lebih mendalam lagi?"
"Dan kau ingin agar pamanmu mengetahuinya?"
"Ayah bisa menggunakan cara lain, agar pa-man Puntalaksana tidak mengetahuinya!"
"Cara bagaimana?"
"Entahlah. Tapi Ayah kan pintar. Maka, carilah jalan untuk bisa bertemu dan bicara dengan leluasa padanya. Itu salah satu usaha dan tidak hanya pasrah menerima keadaan!" ujar Sekar Arum dengan suara meninggi.
Prabu Kuntadewa merenung sebentar.
"Kalau Ayah tak mau, biar aku yang menghubunginya! " lanjut gadis itu.
"Itu bukan sikap bijaksana. Seorang gadis semestinya tidak menghampiri laki-laki. Apalagi, gadis terhormat sepertimu. Biar Ayah yang mendekatinya dan membicarakan hal ini kepadanya."
Wajah Sekar Arum tampak berseri mendengar jawaban ayahnya.
"Nah! Ini baru ayahku yang bijaksana dan tidak mudah menyerah! "
Prabu Kuntadewa ikut tersenyum seraya mengelus-elus rambut putrinya.
***
Pendekar Rajawali Sakti keluar dari kamarnya. Dan dia pura- pura heran melihat keributan yang terjadi. Dihampirinya seorang prajurit.
"Apa yang terjadi? Kenapa kalian menangkap sesama kawan sendiri?" tanya Rangga.
"Mereka berusaha mencelakakan Prabu Puntalaksana," jelas prajurit itu.
"Mencelakakan bagaimana?"
"Kebakaran tadi malam. Itu adalah ulah mereka."
"O, begitu?"
"Orang-orang itu sudah sepatutnya mendapat ganjaran setimpal!" sahut prajurit itu, sinis.
"Ya! Orang-orang seperti mereka memang sudah sepatutnya mendapat hukuman! " timpal Rangga. "Lalu, bagaimana dengan sayembara itu? Bukankah menurut rencananya akan dilaksanakan pagi ini?"
"Aku tidak tahu menahu soal itu. Dengan adanya keadaan seperti ini, maka kemungkinan pengujian ketiga diundur."
"Benarkah? Lalu, siapa yang bertanggung jawab dalam soal sayembara ini?"
"Semula Ki Jiwandana. Namun karena beliau terlibat dalam persekutuan ini, maka mungkin di-alihkan kepada Prabu Puntalaksana."
"Kalau begitu, aku harus menemui Prabu Puntalaksana sekarang juga!"
"Tidak bisa! Kau harus berurusan dengan Panglima Jumeneng, sebagai wakil beliau. Begitu biasanya ketentuan yang berlaku," sergah prajurit ini.
"Hm.... Kalau begitu, di mana bisa kutemui Panglima Jumeneng?"
"Bangunan di sebelah timur sana, nomor tiga dari kiri. Tapi kurasa beliau tidak ada di sana...," sahut prajurit itu.
"Ke mana?"
"Beliau tengah sibuk mengurusi para tawanan itu."
"Hm.... Jadi kepada siapa aku mesti bicara mengenai sayembara itu?"
"Tunggu saja sebentar lagi. Mungkin Panglima Jumeneng akan ke sini membicarakannya padamu, " sahut prajurit itu.
"Yah.... Kalau begitu, baiklah. Biar kutunggu saja keputusan beliau...."
Pendekar Rajawali Sakti kembali ke kamarnya.
Panglima Jumeneng telah muncul di kamar Pendekar Rajawali Sakti. Wajahnya tidak sedap dipandang. Dan lagaknya angkuh sekali.
"Kau boleh kembali sekarang juga!" kata Panglima Jumeneng tanpa banyak bicara.
"Kembali? Apa maksudnya?" tanya Rangga.
"Sayembara ini dibatalkan! " jelas panglima itu.
"Dibatalkan? Mana mungkin! Aku telah melewati dua tahap. Dan kalian tidak bisa membatalkannya begitu saja tanpa alasan jelas!"
"Sebaiknya jangan susahkan dirimu!" desis panglima itu seraya menyeringai kecil. Wajahnya didekatkan pada pemuda itu. "Prabu Puntalaksana telah memutuskan begitu, maka tak seorang pun yang boleh membantah. Pergilah sebelum aku berubah pendirian. Kalau kau tetap bersikeras, maka kau akan kujebloskan ke penjara karena melawan perintah!"
"Tidak! Walau bagaimanapun, aku akan tetap bertahan. Sayembara itu telah berlangsung. Dan kalian tidak boleh membatal
Pendekar Rajawali Sakti - 168. Kitab Naga Jonggrang Pendekar Hina Kelana ~ Satria Terkutuk Berkaki Tunggal Pendekar Bloon ~ Anak Langit & Pendekar Lugu Pendekar Rajawali Sakti - 170. Siluman Bukit Tengger Pendekar Bayangan Sukma ~ Sumpah Jago-Jago Bayaran
"Sekar Arum anakku...," sambut laki-laki setengah baya ini.
"Sudahlah. Ayah jangan terlalu merisaukan soal ini," hibur gadis cantik bernama Sekar Arum.
"Bagaimana aku tidak risau? Pamanmu telah menangkap dan menjebloskan sekian banyak prajurit ke dalam penjara. Bahkan dia telah menangkap Ki Jiwandana...," keluh Prabu Kuntadewa. "Ini betul-betul hal buruk dan kelewatan! Sementara itu, aku tidak mampu berbuat apa-apa untuk mencegahnya.
"Aku mengerti perasaan Ayah. Tapi, apakah selama ini Ayah telah cukup berusaha?" tanya Se-kar Arum.
"Apa maksudmu? Tentu saja aku telah berusaha. Bahkan sayembara ini kau kira untuk apa? Tapi, semuanya nihil. Utusan-utusan yang kukirim untuk meminta bantuan kepada kawan-kawanku, tidak pernah kembali. Mereka raib seperti ditelan bumi. Bahkan para peserta sayembara semua tewas tak tersisa. Apalagi yang bisa Ayah lakukan untuk menghentikan niat keji pamanmu?"
"Apakah Ayah lupa, saat ini kita masih mempunyai seorang peserta lagi?" tanya gadis itu, ter-senyum penuh arti.
"Pemuda itukah yang kau maksudkan?"
039;Tentu saja!"
"Dia hanya sendiri. Tidak ada yang bisa dian-dalkan...," sahut Prabu Kuntadewa.
"Memang dia hanya sendiri. Namun kehebat-annya telah terbukti, Ayah. Kenapa Ayah tidak berusaha bicara lebih mendalam lagi?"
"Dan kau ingin agar pamanmu mengetahuinya?"
"Ayah bisa menggunakan cara lain, agar pa-man Puntalaksana tidak mengetahuinya!"
"Cara bagaimana?"
"Entahlah. Tapi Ayah kan pintar. Maka, carilah jalan untuk bisa bertemu dan bicara dengan leluasa padanya. Itu salah satu usaha dan tidak hanya pasrah menerima keadaan!" ujar Sekar Arum dengan suara meninggi.
Prabu Kuntadewa merenung sebentar.
"Kalau Ayah tak mau, biar aku yang menghubunginya! " lanjut gadis itu.
"Itu bukan sikap bijaksana. Seorang gadis semestinya tidak menghampiri laki-laki. Apalagi, gadis terhormat sepertimu. Biar Ayah yang mendekatinya dan membicarakan hal ini kepadanya."
Wajah Sekar Arum tampak berseri mendengar jawaban ayahnya.
"Nah! Ini baru ayahku yang bijaksana dan tidak mudah menyerah! "
Prabu Kuntadewa ikut tersenyum seraya mengelus-elus rambut putrinya.
***
Pendekar Rajawali Sakti keluar dari kamarnya. Dan dia pura- pura heran melihat keributan yang terjadi. Dihampirinya seorang prajurit.
"Apa yang terjadi? Kenapa kalian menangkap sesama kawan sendiri?" tanya Rangga.
"Mereka berusaha mencelakakan Prabu Puntalaksana," jelas prajurit itu.
"Mencelakakan bagaimana?"
"Kebakaran tadi malam. Itu adalah ulah mereka."
"O, begitu?"
"Orang-orang itu sudah sepatutnya mendapat ganjaran setimpal!" sahut prajurit itu, sinis.
"Ya! Orang-orang seperti mereka memang sudah sepatutnya mendapat hukuman! " timpal Rangga. "Lalu, bagaimana dengan sayembara itu? Bukankah menurut rencananya akan dilaksanakan pagi ini?"
"Aku tidak tahu menahu soal itu. Dengan adanya keadaan seperti ini, maka kemungkinan pengujian ketiga diundur."
"Benarkah? Lalu, siapa yang bertanggung jawab dalam soal sayembara ini?"
"Semula Ki Jiwandana. Namun karena beliau terlibat dalam persekutuan ini, maka mungkin di-alihkan kepada Prabu Puntalaksana."
"Kalau begitu, aku harus menemui Prabu Puntalaksana sekarang juga!"
"Tidak bisa! Kau harus berurusan dengan Panglima Jumeneng, sebagai wakil beliau. Begitu biasanya ketentuan yang berlaku," sergah prajurit ini.
"Hm.... Kalau begitu, di mana bisa kutemui Panglima Jumeneng?"
"Bangunan di sebelah timur sana, nomor tiga dari kiri. Tapi kurasa beliau tidak ada di sana...," sahut prajurit itu.
"Ke mana?"
"Beliau tengah sibuk mengurusi para tawanan itu."
"Hm.... Jadi kepada siapa aku mesti bicara mengenai sayembara itu?"
"Tunggu saja sebentar lagi. Mungkin Panglima Jumeneng akan ke sini membicarakannya padamu, " sahut prajurit itu.
"Yah.... Kalau begitu, baiklah. Biar kutunggu saja keputusan beliau...."
Pendekar Rajawali Sakti kembali ke kamarnya.
Panglima Jumeneng telah muncul di kamar Pendekar Rajawali Sakti. Wajahnya tidak sedap dipandang. Dan lagaknya angkuh sekali.
"Kau boleh kembali sekarang juga!" kata Panglima Jumeneng tanpa banyak bicara.
"Kembali? Apa maksudnya?" tanya Rangga.
"Sayembara ini dibatalkan! " jelas panglima itu.
"Dibatalkan? Mana mungkin! Aku telah melewati dua tahap. Dan kalian tidak bisa membatalkannya begitu saja tanpa alasan jelas!"
"Sebaiknya jangan susahkan dirimu!" desis panglima itu seraya menyeringai kecil. Wajahnya didekatkan pada pemuda itu. "Prabu Puntalaksana telah memutuskan begitu, maka tak seorang pun yang boleh membantah. Pergilah sebelum aku berubah pendirian. Kalau kau tetap bersikeras, maka kau akan kujebloskan ke penjara karena melawan perintah!"
"Tidak! Walau bagaimanapun, aku akan tetap bertahan. Sayembara itu telah berlangsung. Dan kalian tidak boleh membatal