Cerita Silat | Pendekar Seratus Hari | by S.D Liong | Pendekar 100 Hari | Cersil Sakti | Pendekar Seratus Hari pdf
Pendekar Rajawali Sakti - 168. Kitab Naga Jonggrang Pendekar Hina Kelana ~ Satria Terkutuk Berkaki Tunggal Pendekar Bloon ~ Anak Langit & Pendekar Lugu Pendekar Rajawali Sakti - 170. Siluman Bukit Tengger Pendekar Bayangan Sukma ~ Sumpah Jago-Jago Bayaran
05.24. Saudara Angkat Sang Ayah
Tiba-tiba tangan kanan si Bungkuk pun pelahan-lahan
didorongkan ke muka. Melihat itu Siau Lo-seng pun
tak berani berayal lagi. Ia mengatupkan kedua tangan
ke dada, tangan kanan menjulur ke muka, dua buah
jari tengah dan jari telunjuk segera menutuk ke
muka.
Terdengar suara mendesis pelahan ketika pukulan
beradu dengan jari.
Seketika berobahlah wajah si Bungkuk. Cepat-cepat
ia loncat muncur. Sedang Siau Lo-seng tetap tegak
berdiri ditempatnya.
Beberapa saat kemudian, kedengaran orang bungkuk
itu berseru: “Engkau murid perguruan mana?”
Siau Lo-seng tertawa dingin.
“Menilik kepandaian anda begitu hebat, tentulah anda
ini bukan tokoh yang tak ternama,” sahut Siau Lo-
seng.
“Hm,” dengus si Bungkuk, “walaupun engkau tak mau
mengatakan tetapi akupun tahu bahwa ilmu jari yang
engkau gunakan tadi berpuluh-puluh tahun dari dunia
persilatan, disebut ilmu jari Han-sim-ci......”
Han-sim-ci artinya Jari hati dingin.
Siau Lo-seng tersenyum.
“Kalau sudah tahu hebatnya ilmu jari itu, apakah
engkau hendak mencobanya?” serunya.
Si Bungkuk meraung keras: “Apakah engkau kira lo-
siu takut walaupun engkau mempunyai ilmu jari yang
hebat itu?”
Karena orang bungkuk itu menyebut dirinya sebagai
lo-siu maka Siau Lo-seng menduga kalau orang itu
tentu seorang tua.
Sekonyong-konyong dari arah belakang tanah
kuburan, terdengar sebuah jeritan nyaring bernada
ketakutan: “Engkoh Lo-seng……”
Seruan itu amat nyaring sekali dan terdengar jelas
oleh Siau Lo-seng. Ia terkejut karena tahu bahwa
suara itu adalah suara nona Hun-ing. Siau Lo-seng
terkejut. Ia dapat menduga tentu Hun-ing dan Bok-
yang Kang telah ditawan oleh kawanan manusia
setan.
“Nona Ui……,” cepat ia berseru. Aneh, setelah berteriak
satu kali tadi, Hun-ing tak kedengaran lagi.
Saat itu hari sudah terang tanah tetapi tanah kuburan
masih remang-remang tertutup kabut.
Dengan dua tiga kali loncatan, Siau Lo-seng pun sudah
menuju ke tempat ketigabelas orang aneh tadi
berkerumun, tetapi ternyata mereka sudah tak
tampak bayangannya. Yang tampak hanyalah
gunduk-gunduk makam.
Siau Lo-seng terkejut.
“Nona Ui....... Bokyong-te....... ,” ia berteriak sekeras-
kerasnya. Namun sampai diulang beberapa kali tetap
tiada penyahutan kecuali angin pagi yang bertebaran
menyiak rumput di sepanjang tanah kuburan.
Siau Lo-seng seorang pemuda yang cerdas tangkas.
Tetapi menghadapi keadaan yang begitu
mengherankan iapun terlongong-longong seperti
kehilangan paham.
Aneh, benar-benar aneh. Baru sekejap mata teriakan
Hun-ing melengking mengapa tahu-tahu sudah lenyap
tak berbekas. Apakah musuh dapat bergerak
sedemikian cepatnya untuk membawa lari kedua
orang itu.
Siau Lo-seng benar-benar seperti tenggelam dalam
kabut teka teki aneh.
Segera ia gunakan ilmu lari cepat untuk menjelajah
seluruh penjuru tanah kuburan itu, Dan hampir lima lie
jauhnya ia menyusur tanah kuburan itu namun tetap
tak melihat apa-apa.
Dari nada teriakannya tadi, Siau Lo-seng dapat
menduga tentulah Hun-ing menderita kegoncangan
hati yang hebat sehingga ia sampai berteriak minta
pertolongan. Tetapi kemanakah gerangan nona itu?
Adakah nona itu ditawan oleh anak buah si Bungkuk?
Tiba-tiba ia teringat akan si Bungkuk. Cepat ia
berputar tubuh dan lari ke tempat orang itu. Tetapi,
ah, ternyata orang bungkuk itupun sudah lenyap.
Siau Lo-seng makin bingung. Ia tegak terlongong-
longong seperti orang kehilangan semangat.
Entah berselang berapa lama, tiba-tiba dari arah
belakang terdengar suara orang menyebut doa,
“Omitohud.”
Suaranya mengandung kekuatan gaib seperti genta
pagi yang bertalu-talu membangkitkan hati insan
untuk menunaikan ibadahnya.
Dan Siau Lo-seng pun terkejut. Ia berpaling ke
belakang.
Tiga tombak di sebelah belakang, entah kapan
munculnya, tiba-tiba tampak seorang paderi tua yang
mengenakan jubah putih.
“Siapa engkau?” tegur Siau Lo-seng.
Sambil rangkapkan kedua tangan, paderi tua itu
menjawab: “Lo-ni, Pek Wan dari gereja S iau-lim-si di
gunung Ko-san.”
“Apa maksudmu datang kemari?” seru Siau Lo-seng
pula.
Mendengar pertanyaan itu Pek Wan agak
menyalangkan mata dan memandang pemuda itu
dengan tajam.
“Lo-ni melihat sicu tegak mematung, tentulah karena
sicu telah menderita sesuatu yang menggoncangkan
hati. Orang yang berlatih silat, pantang untuk
terlongong-longong kehilangan semangat. Maka Lo-ni
memberanikan diri untuk menjagakan sicu,” kata
paderi tua itu.
Siau Lo-seng mendesah: “Hai, kalau begitu lo-siansu
hanya kebetulan lewat di sini.”
Mendengar ucapan Siau Lo-seng yang tak keruan
arahnya itu, Pek Wan Taysu pun heran.
“Omitohud,” serunya pelahan, “kalau Lo-ni tak salah
lihat, sicu ini tentu seorang tokoh silat yang sakti.
Maukah sicu memberitahukan nama sicu yang mulia?”
Siau Lo-seng menghela napas kecil, sahutnya: “Harap
taysu jangan menanyakan hal itu.”
Habis berkata Siau Lo-seng terus ayunkan kaki
melangkah pergi.
“Sicu, harap tunggu sebentar.......,” teriak Pek Wan
Taysu, “apakah sicu hendak mencari orang?”
Mendengar kata-kata itu, Siau Lo-seng cepa
Pendekar Rajawali Sakti - 168. Kitab Naga Jonggrang Pendekar Hina Kelana ~ Satria Terkutuk Berkaki Tunggal Pendekar Bloon ~ Anak Langit & Pendekar Lugu Pendekar Rajawali Sakti - 170. Siluman Bukit Tengger Pendekar Bayangan Sukma ~ Sumpah Jago-Jago Bayaran
05.24. Saudara Angkat Sang Ayah
Tiba-tiba tangan kanan si Bungkuk pun pelahan-lahan
didorongkan ke muka. Melihat itu Siau Lo-seng pun
tak berani berayal lagi. Ia mengatupkan kedua tangan
ke dada, tangan kanan menjulur ke muka, dua buah
jari tengah dan jari telunjuk segera menutuk ke
muka.
Terdengar suara mendesis pelahan ketika pukulan
beradu dengan jari.
Seketika berobahlah wajah si Bungkuk. Cepat-cepat
ia loncat muncur. Sedang Siau Lo-seng tetap tegak
berdiri ditempatnya.
Beberapa saat kemudian, kedengaran orang bungkuk
itu berseru: “Engkau murid perguruan mana?”
Siau Lo-seng tertawa dingin.
“Menilik kepandaian anda begitu hebat, tentulah anda
ini bukan tokoh yang tak ternama,” sahut Siau Lo-
seng.
“Hm,” dengus si Bungkuk, “walaupun engkau tak mau
mengatakan tetapi akupun tahu bahwa ilmu jari yang
engkau gunakan tadi berpuluh-puluh tahun dari dunia
persilatan, disebut ilmu jari Han-sim-ci......”
Han-sim-ci artinya Jari hati dingin.
Siau Lo-seng tersenyum.
“Kalau sudah tahu hebatnya ilmu jari itu, apakah
engkau hendak mencobanya?” serunya.
Si Bungkuk meraung keras: “Apakah engkau kira lo-
siu takut walaupun engkau mempunyai ilmu jari yang
hebat itu?”
Karena orang bungkuk itu menyebut dirinya sebagai
lo-siu maka Siau Lo-seng menduga kalau orang itu
tentu seorang tua.
Sekonyong-konyong dari arah belakang tanah
kuburan, terdengar sebuah jeritan nyaring bernada
ketakutan: “Engkoh Lo-seng……”
Seruan itu amat nyaring sekali dan terdengar jelas
oleh Siau Lo-seng. Ia terkejut karena tahu bahwa
suara itu adalah suara nona Hun-ing. Siau Lo-seng
terkejut. Ia dapat menduga tentu Hun-ing dan Bok-
yang Kang telah ditawan oleh kawanan manusia
setan.
“Nona Ui……,” cepat ia berseru. Aneh, setelah berteriak
satu kali tadi, Hun-ing tak kedengaran lagi.
Saat itu hari sudah terang tanah tetapi tanah kuburan
masih remang-remang tertutup kabut.
Dengan dua tiga kali loncatan, Siau Lo-seng pun sudah
menuju ke tempat ketigabelas orang aneh tadi
berkerumun, tetapi ternyata mereka sudah tak
tampak bayangannya. Yang tampak hanyalah
gunduk-gunduk makam.
Siau Lo-seng terkejut.
“Nona Ui....... Bokyong-te....... ,” ia berteriak sekeras-
kerasnya. Namun sampai diulang beberapa kali tetap
tiada penyahutan kecuali angin pagi yang bertebaran
menyiak rumput di sepanjang tanah kuburan.
Siau Lo-seng seorang pemuda yang cerdas tangkas.
Tetapi menghadapi keadaan yang begitu
mengherankan iapun terlongong-longong seperti
kehilangan paham.
Aneh, benar-benar aneh. Baru sekejap mata teriakan
Hun-ing melengking mengapa tahu-tahu sudah lenyap
tak berbekas. Apakah musuh dapat bergerak
sedemikian cepatnya untuk membawa lari kedua
orang itu.
Siau Lo-seng benar-benar seperti tenggelam dalam
kabut teka teki aneh.
Segera ia gunakan ilmu lari cepat untuk menjelajah
seluruh penjuru tanah kuburan itu, Dan hampir lima lie
jauhnya ia menyusur tanah kuburan itu namun tetap
tak melihat apa-apa.
Dari nada teriakannya tadi, Siau Lo-seng dapat
menduga tentulah Hun-ing menderita kegoncangan
hati yang hebat sehingga ia sampai berteriak minta
pertolongan. Tetapi kemanakah gerangan nona itu?
Adakah nona itu ditawan oleh anak buah si Bungkuk?
Tiba-tiba ia teringat akan si Bungkuk. Cepat ia
berputar tubuh dan lari ke tempat orang itu. Tetapi,
ah, ternyata orang bungkuk itupun sudah lenyap.
Siau Lo-seng makin bingung. Ia tegak terlongong-
longong seperti orang kehilangan semangat.
Entah berselang berapa lama, tiba-tiba dari arah
belakang terdengar suara orang menyebut doa,
“Omitohud.”
Suaranya mengandung kekuatan gaib seperti genta
pagi yang bertalu-talu membangkitkan hati insan
untuk menunaikan ibadahnya.
Dan Siau Lo-seng pun terkejut. Ia berpaling ke
belakang.
Tiga tombak di sebelah belakang, entah kapan
munculnya, tiba-tiba tampak seorang paderi tua yang
mengenakan jubah putih.
“Siapa engkau?” tegur Siau Lo-seng.
Sambil rangkapkan kedua tangan, paderi tua itu
menjawab: “Lo-ni, Pek Wan dari gereja S iau-lim-si di
gunung Ko-san.”
“Apa maksudmu datang kemari?” seru Siau Lo-seng
pula.
Mendengar pertanyaan itu Pek Wan agak
menyalangkan mata dan memandang pemuda itu
dengan tajam.
“Lo-ni melihat sicu tegak mematung, tentulah karena
sicu telah menderita sesuatu yang menggoncangkan
hati. Orang yang berlatih silat, pantang untuk
terlongong-longong kehilangan semangat. Maka Lo-ni
memberanikan diri untuk menjagakan sicu,” kata
paderi tua itu.
Siau Lo-seng mendesah: “Hai, kalau begitu lo-siansu
hanya kebetulan lewat di sini.”
Mendengar ucapan Siau Lo-seng yang tak keruan
arahnya itu, Pek Wan Taysu pun heran.
“Omitohud,” serunya pelahan, “kalau Lo-ni tak salah
lihat, sicu ini tentu seorang tokoh silat yang sakti.
Maukah sicu memberitahukan nama sicu yang mulia?”
Siau Lo-seng menghela napas kecil, sahutnya: “Harap
taysu jangan menanyakan hal itu.”
Habis berkata Siau Lo-seng terus ayunkan kaki
melangkah pergi.
“Sicu, harap tunggu sebentar.......,” teriak Pek Wan
Taysu, “apakah sicu hendak mencari orang?”
Mendengar kata-kata itu, Siau Lo-seng cepa