Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Pendekar 100 Hari - 62

$
0
0
Cerita Silat | Pendekar Seratus Hari | by S.D Liong | Pendekar 100 Hari | Cersil Sakti | Pendekar Seratus Hari pdf

Pendekar Rajawali Sakti - 168. Kitab Naga Jonggrang Pendekar Hina Kelana ~ Satria Terkutuk Berkaki Tunggal Pendekar Bloon ~ Anak Langit & Pendekar Lugu Pendekar Rajawali Sakti - 170. Siluman Bukit Tengger Pendekar Bayangan Sukma ~ Sumpah Jago-Jago Bayaran

05.24. Saudara Angkat Sang Ayah
  Tiba-tiba tangan kanan si Bungkuk pun pelahan-lahan
  didorongkan ke muka. Melihat itu Siau Lo-seng pun
  tak berani berayal lagi. Ia mengatupkan kedua tangan
  ke dada, tangan kanan menjulur ke muka, dua buah
  jari tengah dan jari telunjuk segera menutuk ke
  muka.
  Terdengar suara mendesis pelahan ketika pukulan
  beradu dengan jari.
  Seketika berobahlah wajah si Bungkuk. Cepat-cepat
  ia loncat muncur. Sedang Siau Lo-seng tetap tegak
  berdiri ditempatnya.
  Beberapa saat kemudian, kedengaran orang bungkuk
  itu berseru: “Engkau murid perguruan mana?”
  Siau Lo-seng tertawa dingin.
  “Menilik kepandaian anda begitu hebat, tentulah anda
  ini bukan tokoh yang tak ternama,” sahut Siau Lo-
  seng.
  “Hm,” dengus si Bungkuk, “walaupun engkau tak mau
  mengatakan tetapi akupun tahu bahwa ilmu jari yang
  engkau gunakan tadi berpuluh-puluh tahun dari dunia
  persilatan, disebut ilmu jari Han-sim-ci......”
  Han-sim-ci artinya Jari hati dingin.
  Siau Lo-seng tersenyum.
  “Kalau sudah tahu hebatnya ilmu jari itu, apakah
  engkau hendak mencobanya?” serunya.
  Si Bungkuk meraung keras: “Apakah engkau kira lo-
  siu takut walaupun engkau mempunyai ilmu jari yang
  hebat itu?”
  Karena orang bungkuk itu menyebut dirinya sebagai
  lo-siu maka Siau Lo-seng menduga kalau orang itu
  tentu seorang tua.
  Sekonyong-konyong dari arah belakang tanah
  kuburan, terdengar sebuah jeritan nyaring bernada
  ketakutan: “Engkoh Lo-seng……”
  Seruan itu amat nyaring sekali dan terdengar jelas
  oleh Siau Lo-seng. Ia terkejut karena tahu bahwa
  suara itu adalah suara nona Hun-ing. Siau Lo-seng
  terkejut. Ia dapat menduga tentu Hun-ing dan Bok-
  yang Kang telah ditawan oleh kawanan manusia
  setan.
  “Nona Ui……,” cepat ia berseru. Aneh, setelah berteriak
  satu kali tadi, Hun-ing tak kedengaran lagi.
  Saat itu hari sudah terang tanah tetapi tanah kuburan
  masih remang-remang tertutup kabut.
  Dengan dua tiga kali loncatan, Siau Lo-seng pun sudah
  menuju ke tempat ketigabelas orang aneh tadi
  berkerumun, tetapi ternyata mereka sudah tak
  tampak bayangannya. Yang tampak hanyalah
  gunduk-gunduk makam.
  Siau Lo-seng terkejut.
  “Nona Ui....... Bokyong-te....... ,” ia berteriak sekeras-
  kerasnya. Namun sampai diulang beberapa kali tetap
  tiada penyahutan kecuali angin pagi yang bertebaran
  menyiak rumput di sepanjang tanah kuburan.
  Siau Lo-seng seorang pemuda yang cerdas tangkas.
  Tetapi menghadapi keadaan yang begitu
  mengherankan iapun terlongong-longong seperti
  kehilangan paham.
  Aneh, benar-benar aneh. Baru sekejap mata teriakan
  Hun-ing melengking mengapa tahu-tahu sudah lenyap
  tak berbekas. Apakah musuh dapat bergerak
  sedemikian cepatnya untuk membawa lari kedua
  orang itu.
  Siau Lo-seng benar-benar seperti tenggelam dalam
  kabut teka teki aneh.
  Segera ia gunakan ilmu lari cepat untuk menjelajah
  seluruh penjuru tanah kuburan itu, Dan hampir lima lie
  jauhnya ia menyusur tanah kuburan itu namun tetap
  tak melihat apa-apa.
  Dari nada teriakannya tadi, Siau Lo-seng dapat
  menduga tentulah Hun-ing menderita kegoncangan
  hati yang hebat sehingga ia sampai berteriak minta
  pertolongan. Tetapi kemanakah gerangan nona itu?
  Adakah nona itu ditawan oleh anak buah si Bungkuk?
  Tiba-tiba ia teringat akan si Bungkuk. Cepat ia
  berputar tubuh dan lari ke tempat orang itu. Tetapi,
  ah, ternyata orang bungkuk itupun sudah lenyap.
  Siau Lo-seng makin bingung. Ia tegak terlongong-
  longong seperti orang kehilangan semangat.
  Entah berselang berapa lama, tiba-tiba dari arah
  belakang terdengar suara orang menyebut doa,
  “Omitohud.”
  Suaranya mengandung kekuatan gaib seperti genta
  pagi yang bertalu-talu membangkitkan hati insan
  untuk menunaikan ibadahnya.
  Dan Siau Lo-seng pun terkejut. Ia berpaling ke
  belakang.
  Tiga tombak di sebelah belakang, entah kapan
  munculnya, tiba-tiba tampak seorang paderi tua yang
  mengenakan jubah putih.
  “Siapa engkau?” tegur Siau Lo-seng.
  Sambil rangkapkan kedua tangan, paderi tua itu
  menjawab: “Lo-ni, Pek Wan dari gereja S iau-lim-si di
  gunung Ko-san.”
  “Apa maksudmu datang kemari?” seru Siau Lo-seng
  pula.
  Mendengar pertanyaan itu Pek Wan agak
  menyalangkan mata dan memandang pemuda itu
  dengan tajam.
  “Lo-ni melihat sicu tegak mematung, tentulah karena
  sicu telah menderita sesuatu yang menggoncangkan
  hati. Orang yang berlatih silat, pantang untuk
  terlongong-longong kehilangan semangat. Maka Lo-ni
  memberanikan diri untuk menjagakan sicu,” kata
  paderi tua itu.
  Siau Lo-seng mendesah: “Hai, kalau begitu lo-siansu
  hanya kebetulan lewat di sini.”
  Mendengar ucapan Siau Lo-seng yang tak keruan
  arahnya itu, Pek Wan Taysu pun heran.
  “Omitohud,” serunya pelahan, “kalau Lo-ni tak salah
  lihat, sicu ini tentu seorang tokoh silat yang sakti.
  Maukah sicu memberitahukan nama sicu yang mulia?”
  Siau Lo-seng menghela napas kecil, sahutnya: “Harap
  taysu jangan menanyakan hal itu.”
  Habis berkata Siau Lo-seng terus ayunkan kaki
  melangkah pergi.
  “Sicu, harap tunggu sebentar.......,” teriak Pek Wan
  Taysu, “apakah sicu hendak mencari orang?”
  Mendengar kata-kata itu, Siau Lo-seng cepa

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>