Cerita Silat | Misteri Tabib Siluman | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Misteri Tabib Siluman | Cersil Sakti | Misteri Tabib Siluman pdf
Pendekar Rajawali Sakti - 168. Kitab Naga Jonggrang Pendekar Hina Kelana ~ Satria Terkutuk Berkaki Tunggal Pendekar Bloon ~ Anak Langit & Pendekar Lugu Pendekar Rajawali Sakti - 170. Siluman Bukit Tengger Pendekar Bayangan Sukma ~ Sumpah Jago-Jago Bayaran
u bukan begitu, Ki. Buktinya Kajar berobat pada tabib yang sama dengan Sentanu, yaitu di Desa Galuh. Eh.... Tidak berapa lama, si Kajar sering bengong. Dan besoknya, dia mati di telaga. Telaga itu merupakan perbatasan desa kita dengan Desa Galuh,” jelas Rawit.
“Lalu, apa maksudmu...?” kejar Ki Jaladra semakin waswas.
“Coba kita cari ke telaga itu. Siapa tahu dia di sana!” ajak Rawit.
Ki Jaladra berpikir sesaat. Demikian juga Gombloh. Tapi akhirnya mereka setuju.
***
2
Telaga Air Mata Dewa memang menjadi pembatas antara kedua desa yang bertetangga. Desa Karang Welas dengan Desa Galuh. Namun bila hendak ke sana, maka jalan termudah harus melintasi Desa Galuh lebih dulu. Sebab bila dari Desa Karang Welas harus melewati punggung Bukit Lonjor. Suasana di Telaga Air Mata Dewa selalu senyap dan menggiriskan. Sesekali terdengar suara unggas malam. Sebelum mayat Kajar ditemukan di sini, telaga itu sendiri memang sudah terkenal angker. Bermacam-macam cerita seram sering didengar penduduk kedua desa itu. Jangankan pada malam hari. Bahkan siang hari pun orang-orang akan takut mendekati tempat itu.
Kini Ki Jaladra yang memegang obor, telah tiba di tempat ini bersama dua pembantu setianya. Melihat keadaan tempat ini, Rawit yang dikenal pemberani sempat pula bergidik. Namun perasaan itu cepat ditepisnya. Sementara bagi Ki Jaladra, keberaniannya timbul terpaksa saja.
“Tidak ada apa-apa...,” ucap Gombloh lirih.
Pelan sekali dan nyaris tidak terdengar. Ki Jaladra memberi isyarat dengan telunjuk ke bibirnya. Dan Gombloh pun terdiam, lalu melangkah terburu-buru di antara mereka berdua. Dia tidak mau berada paling belakang!
Sementara Rawit mendadak menghentikan langkahnya. Diperhatikannya dengan seksama ke seluruh permukaan telaga. Sejauh mata memandang, rasanya hanya tempat mereka saja yang terang oleh ketiga obor yang dibawa.
“Betul kata Gombloh, Wit. Tidak ada apa-apa di sini...,” kata Ki Jaladra.
“Ssst, jangan ribut!” ujar Rawit menempelkan telunjuknya ke bibir.
Mereka seketika terdiam.
“Matikan obor!” lanjut Rawit.
“Tapi....”
“Matikan!” bisik Rawit lebih keras, memotong keberatan Gombloh.
Tanpa banyak tanya lagi mereka segera mematikan obor masing-masing, sedang Gombloh sudah merapatkan diri, tidak mau terpisah jauh.
Krosak!
“Heh...?!”
***
Mereka terkesiap begitu mendengar suara halus dari arah depan. Secepat kilat Rawit memberi isyarat agar menunduk, lalu bersembunyi di balik rerimbunan semak-semak. Sementara jantung Gombloh dan Ki Jaladra jadi berdetak lebih kencang. Sebaliknya Rawit berusaha menajamkan penglihatannya untuk bisa melihat, apa yang terjadi di depan sana.
Benar saja. Tak lama satu sosok bertubuh ramping muncul berjalan pelan mendekati tepi telaga dari arah seberang. Sosok yang jelas adalah wanita ini sambil membopong sesuatu.
“Siapa dia...?” tanya Ki Jaladra lirih.
“Kuntilanak barangkali,” sahut Gombloh sekenanya.
Rawit tidak mempedulikan ocehan mereka. Laki-laki berusia sekitar dua puluh delapan tahun ini beringsut ke depan.
“Mau ke mana, Wit?! Jangan tinggalkan kami di sini!” bisik Gombloh ketakutan.
“Jangan ribut!” sentak Rawit berbisik. Diberinya isyarat dengan tangan agar mereka mengikuti dari belakang.
“Mau ke mana?” Ki Jaladra mengulang pertanyaan Gombloh.
“Mau lihat apa yang akan dilakukannya...,” sahut Rawit.
“Sepertinya dia membopong orang, Wit?” lanjut Ki Jaladra.
Rawit mengangguk.
Jarak mereka semakin dekat. Kendati demikian, karena suasana yang gelap, mereka tidak bisa mengenali siapa sosok tubuh itu.
“Nekat betul! Tengah malam begini seorang diri ke telaga. Mana perempuan lagi! Pasti bukan manusia. Dia kuntilanak, Wit!” seru Gombloh dengan suara ditekan sedemikian rupa.
“Jangan ribut!” larang Rawit semakin kesal.
Gombloh kembali diam. Kini mereka melihat wanita itu mengangkat orang yang dibopongnya.
“Mau apa dia...?” bisik Ki Jaladra.
Suara laki-laki ini pelan sekali. Tapi, tetap saja membuat Rawit jengkel. Kalau saja Ki Jaladra bukan tuannya, tentu akan disentaknya seperti yang dilakukannya terhadap Gombloh.
Rawit tidak perlu menjawab pertanyaan tuannya. Sebab, Ki Jaladra sendiri segera menemukan jawabannya. Tampak wanita itu mencampakkan orang yang dibopongnya ke dalam telaga.
Byurrr...!
“Heh?!”
Kepala Desa Karang Welas ini terkejut. Jantungnya mendadak berdetak kencang. Ada sesuatu firasat yang menyelinap cepat ke dalam sanubarinya.
“Sentanu...,” sahut laki-laki setengah baya ini tanpa sadar.
Rawit dan Gombloh memandang Ki Jaladra. Bukan keheranan, tetapi seperti ikut berduka cita karena mungkin saja apa yang ada di benak mereka sama dengan pikiran majikannya. Bisa saja sosok yang dibuang ke dalam telaga memang Sentanu.
“Mungkin bukan Sentanu, Ki...,” hibur Rawit meski hatinya tetap menduga bahwa yang dilemparkan wanita itu ke telaga adalah Sentanu.
“Benar, Ki...!” tambah Gombloh.
Ki Jaladra diam saja, tanpa menjawab sepatah kata pun. Wajahnya tampak kelam. Dan hawa dingin yang tadi perlahan-lahan mulai menyerang, kini seperti tidak dirasakannya.
Dan sebelum juga ada yang bicara lagi, mendadak...
Pendekar Rajawali Sakti - 168. Kitab Naga Jonggrang Pendekar Hina Kelana ~ Satria Terkutuk Berkaki Tunggal Pendekar Bloon ~ Anak Langit & Pendekar Lugu Pendekar Rajawali Sakti - 170. Siluman Bukit Tengger Pendekar Bayangan Sukma ~ Sumpah Jago-Jago Bayaran
u bukan begitu, Ki. Buktinya Kajar berobat pada tabib yang sama dengan Sentanu, yaitu di Desa Galuh. Eh.... Tidak berapa lama, si Kajar sering bengong. Dan besoknya, dia mati di telaga. Telaga itu merupakan perbatasan desa kita dengan Desa Galuh,” jelas Rawit.
“Lalu, apa maksudmu...?” kejar Ki Jaladra semakin waswas.
“Coba kita cari ke telaga itu. Siapa tahu dia di sana!” ajak Rawit.
Ki Jaladra berpikir sesaat. Demikian juga Gombloh. Tapi akhirnya mereka setuju.
***
2
Telaga Air Mata Dewa memang menjadi pembatas antara kedua desa yang bertetangga. Desa Karang Welas dengan Desa Galuh. Namun bila hendak ke sana, maka jalan termudah harus melintasi Desa Galuh lebih dulu. Sebab bila dari Desa Karang Welas harus melewati punggung Bukit Lonjor. Suasana di Telaga Air Mata Dewa selalu senyap dan menggiriskan. Sesekali terdengar suara unggas malam. Sebelum mayat Kajar ditemukan di sini, telaga itu sendiri memang sudah terkenal angker. Bermacam-macam cerita seram sering didengar penduduk kedua desa itu. Jangankan pada malam hari. Bahkan siang hari pun orang-orang akan takut mendekati tempat itu.
Kini Ki Jaladra yang memegang obor, telah tiba di tempat ini bersama dua pembantu setianya. Melihat keadaan tempat ini, Rawit yang dikenal pemberani sempat pula bergidik. Namun perasaan itu cepat ditepisnya. Sementara bagi Ki Jaladra, keberaniannya timbul terpaksa saja.
“Tidak ada apa-apa...,” ucap Gombloh lirih.
Pelan sekali dan nyaris tidak terdengar. Ki Jaladra memberi isyarat dengan telunjuk ke bibirnya. Dan Gombloh pun terdiam, lalu melangkah terburu-buru di antara mereka berdua. Dia tidak mau berada paling belakang!
Sementara Rawit mendadak menghentikan langkahnya. Diperhatikannya dengan seksama ke seluruh permukaan telaga. Sejauh mata memandang, rasanya hanya tempat mereka saja yang terang oleh ketiga obor yang dibawa.
“Betul kata Gombloh, Wit. Tidak ada apa-apa di sini...,” kata Ki Jaladra.
“Ssst, jangan ribut!” ujar Rawit menempelkan telunjuknya ke bibir.
Mereka seketika terdiam.
“Matikan obor!” lanjut Rawit.
“Tapi....”
“Matikan!” bisik Rawit lebih keras, memotong keberatan Gombloh.
Tanpa banyak tanya lagi mereka segera mematikan obor masing-masing, sedang Gombloh sudah merapatkan diri, tidak mau terpisah jauh.
Krosak!
“Heh...?!”
***
Mereka terkesiap begitu mendengar suara halus dari arah depan. Secepat kilat Rawit memberi isyarat agar menunduk, lalu bersembunyi di balik rerimbunan semak-semak. Sementara jantung Gombloh dan Ki Jaladra jadi berdetak lebih kencang. Sebaliknya Rawit berusaha menajamkan penglihatannya untuk bisa melihat, apa yang terjadi di depan sana.
Benar saja. Tak lama satu sosok bertubuh ramping muncul berjalan pelan mendekati tepi telaga dari arah seberang. Sosok yang jelas adalah wanita ini sambil membopong sesuatu.
“Siapa dia...?” tanya Ki Jaladra lirih.
“Kuntilanak barangkali,” sahut Gombloh sekenanya.
Rawit tidak mempedulikan ocehan mereka. Laki-laki berusia sekitar dua puluh delapan tahun ini beringsut ke depan.
“Mau ke mana, Wit?! Jangan tinggalkan kami di sini!” bisik Gombloh ketakutan.
“Jangan ribut!” sentak Rawit berbisik. Diberinya isyarat dengan tangan agar mereka mengikuti dari belakang.
“Mau ke mana?” Ki Jaladra mengulang pertanyaan Gombloh.
“Mau lihat apa yang akan dilakukannya...,” sahut Rawit.
“Sepertinya dia membopong orang, Wit?” lanjut Ki Jaladra.
Rawit mengangguk.
Jarak mereka semakin dekat. Kendati demikian, karena suasana yang gelap, mereka tidak bisa mengenali siapa sosok tubuh itu.
“Nekat betul! Tengah malam begini seorang diri ke telaga. Mana perempuan lagi! Pasti bukan manusia. Dia kuntilanak, Wit!” seru Gombloh dengan suara ditekan sedemikian rupa.
“Jangan ribut!” larang Rawit semakin kesal.
Gombloh kembali diam. Kini mereka melihat wanita itu mengangkat orang yang dibopongnya.
“Mau apa dia...?” bisik Ki Jaladra.
Suara laki-laki ini pelan sekali. Tapi, tetap saja membuat Rawit jengkel. Kalau saja Ki Jaladra bukan tuannya, tentu akan disentaknya seperti yang dilakukannya terhadap Gombloh.
Rawit tidak perlu menjawab pertanyaan tuannya. Sebab, Ki Jaladra sendiri segera menemukan jawabannya. Tampak wanita itu mencampakkan orang yang dibopongnya ke dalam telaga.
Byurrr...!
“Heh?!”
Kepala Desa Karang Welas ini terkejut. Jantungnya mendadak berdetak kencang. Ada sesuatu firasat yang menyelinap cepat ke dalam sanubarinya.
“Sentanu...,” sahut laki-laki setengah baya ini tanpa sadar.
Rawit dan Gombloh memandang Ki Jaladra. Bukan keheranan, tetapi seperti ikut berduka cita karena mungkin saja apa yang ada di benak mereka sama dengan pikiran majikannya. Bisa saja sosok yang dibuang ke dalam telaga memang Sentanu.
“Mungkin bukan Sentanu, Ki...,” hibur Rawit meski hatinya tetap menduga bahwa yang dilemparkan wanita itu ke telaga adalah Sentanu.
“Benar, Ki...!” tambah Gombloh.
Ki Jaladra diam saja, tanpa menjawab sepatah kata pun. Wajahnya tampak kelam. Dan hawa dingin yang tadi perlahan-lahan mulai menyerang, kini seperti tidak dirasakannya.
Dan sebelum juga ada yang bicara lagi, mendadak...