Cerita Silat | Misteri Tabib Siluman | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Misteri Tabib Siluman | Cersil Sakti | Misteri Tabib Siluman pdf
Pendekar Naga Geni ~ Misteri Kapal Hantu Pendekar Mata Keranjang ~ Bara Di Jurang Guringring Pendekar Rajawali Sakti - 171. Sayembara Maut Pendekar Cambuk Naga ~ Seruling Kematian Raja Naga ~ Misteri Menara Berkabut
“Oh, Gusti Yang Maha Agung! Setelah sekian lama kau tak mau makan, kini berkat tabib itu kau mau makan, Sentanu...!” desah Nyi Sakaweni dengan mata berbinar-binar penuh rasa syukur. Kemudian dia berbalik, menatap suaminya. “Kang, cepat toh! Carikan makanan buat anak kita...!”
“Eh, iya..., iya!”
Ki Jaladra belingsatan merogoh persediaan uangnya. Lalu mereka buru-buru mencari kedai makanan di sekitar tempat itu.
***
Perubahan yang terjadi pada Sentanu berlangsung cepat. Semula nafsu makannya hilang, kini amat rakus. Lalu kedua kakinya yang lumpuh, perlahan-lahan bisa digerakkan. Bahkan dalam waktu seharian saja, dia mampu berjalan. Tentu saja hal ini amat menggembirakan hati orangtuanya.
“Tapi dia jadi pemurung, Kang...!” kata Nyi Sakaweni pada suaminya, setelah dua hari Sentanu berubah.
Ki Jaladra terdiam. Lalu dia menyeruput kopinya.
“Aku khawatir.... Jangan-jangan....”
“Jangan-jangan apa?! Tidak usah berpikir macam-macam!” potong Ki Jaladra cepat.
“Entahlah.... Dia hanya menyahut sepatah atau dua patah kata kalau ditanya...,” desah Nyi Sakaweni.
“Sentanu sembuh dari penyakitnya. Dan sekarang punya penyakit baru? Begitu menurutmu?” cibir kepala desa ini.
Nyi Sakaweni tidak menyahut. Wajahnya masih kelihatan cemas.
“Sudah, tidak usah terlalu dipikirkan. Toh, kau sendiri yang menyarankan berobat ke tabib itu!” ujar laki-laki setengah baya ini agak kesal.
“Mau menyalahkanku?”
“Bukan begitu. Tapi tidak usah disesali yang terjadi. Kalau sudah sepakat membawanya ke sana, ya harus terima apa adanya!” tegas Ki Jaladra.
“Huh! Kakang juga senang kalau kita ke sana, bukan?” sindir Nyi Sakaweni mangkel.
“Tidak usah mengalihkan persoalan!” tukas Ki Jaladra.
“Ya, sudah. Kalau begitu kau bujuk anakmu itu. Tanya dia. Apa maunya. Kenapa terus-menerus mengurung diri dan malas bicara!”
Tanpa menyahut lagi, Ki Jaladra bangkit dan beranjak ke kamar anaknya. Tapi sebentar kemudian dengan tergopoh-gopoh dia telah kembali ke depan. Wajahnya kelihatan kaget.
“Sentanu tidak ada di kamarnya...!” kata Ki Jaladra.
“Mungkin ke belakang buang air, atau....”
“Tidak ada! Sudah kucari-cari!” potong Ki Jaladra.
Tanpa banyak bicara lagi Nyi Sakaweni langsung ke dalam dengan setengah berlari. Tiap kamar dimasukinya. Sampai akhirnya perempuan setengah baya ini berkeliling rumahnya sambil memanggil-manggil Sentanu. Tapi sampai suaranya serak, tak juga ada sahutan.
“Ke mana anak itu? Cari to. Kang. Jangan diam saja!” sentak Nyi Sakaweni pada suaminya yang ikut mengiringi mencari.
“Mau cari ke mana malam-malam begini?”
“Ya cari, ke mana saja! Masa’ harus didiamkan saja?!”
“Iya, iya.... Sebentar!”
Ki Jaladra bergegas melangkah diikuti istrinya ke belakang rumah. Kemudian mereka sama-sama masuk ke dalam. Diambilnya sebatang obor. Laki-laki itu lantas mengambil goloknya dan menyelipkannya di pinggang. Setelah menyalakan obor, Ki Jaladra melangkah ke luar rumah. Tapi baru beberapa langkah meninggalkan rumah, dia berpapasan dengan dua orang pembantunya yang baru saja keluar rumah untuk suatu keperluan.
“Mau ke mana, Ki?” tanya salah seorang pembantu.
“Kalian melihat Sentanu? Dia tidak ada di rumah!”
“Sentanu? Baru saja tadi kami berpapasan di sebelah sana!” tunjuk pembantu yang bertubuh kurus.
“Aneh anak itu. Ditanya diam saja seperti orang tidak kenal!” timpal seorang pembantu lagi dengan wajah bingung.
“Ke sana? Mau apa dia?” tanya Ki Jaladra bingung. “Hm.... Ayo, kalian ikut aku!”
Tanpa membantah, kedua orang pembantu itu bergegas mengikuti langkah lebar-lebar Ki Jaladra.
***
Setiba di tempat yang dituju, Ki Jaladra dan kedua pembantunya hanya menemukan suasana gelap dan sepi. Tak seorang pun yang ditemui. Bahkan mereka mencari agak jauh ke depan yang diperkirakan sebagai jalan yang ditempuh Sentanu.
“Mana dia, Gombloh, Rawit? Kalian bilang menuju arah sini...?” gerutu Ki Jaladra.
“Wah! Tadi ke sini, Ki...!” tangkis Rawit, yang bertubuh kurus.
“Belum lama dia kami temui. Langkahnya pelan, seperti orang tidur sambil berjalan...,” sambung yang bernama Gombloh.
Ki Jaladra mendesah pelan. Wajahnya tampak kesal. Diajaknya kedua pembantu setianya itu untuk mencari ke sekitar tempat ini.
“Kalau benar jalan yang ditempuh lewat tempat ini, berarti dia ke.... Desa Galuh!” duga Gombloh kepada Rawit yang berjalan di sampingnya.
“Desa Galuh? Mau apa dia ke sana?” tanya Ki Jaladra, langsung berhenti melangkah. Tubuhnya berbalik, seraya menatap tajam kedua pembantunya yang juga sudah berhenti.
“Siapa tahu ke rumah pacarnya...,” sahut Rawit, berkelakar.
“Huh, edan kau! Tengah malam begini ke rumah pacar. Lagi pula, anakku belum punya pacar!” semprot Ki Jaladra.
“Tapi mau apa dia ke Desa Galuh?” tanya Gombloh dengan kening berkerut.
Ketiganya terdiam. Namun pandangan mata mereka menyapu ke sekeliling tempat. Kalau-kalau saja menemukan orang yang tengah dicari.
“Jangan-jangan...,” kata Rawit lirih dan tiba-tiba.
“Jangan-jangan apa?!” desak Ki Jaladra.
“Anu, Ki. Nasib Sentanu sama dengan si Kajar!”
“Huh! Jangan ngawur kau!”
“Eh! Maksudk
Pendekar Naga Geni ~ Misteri Kapal Hantu Pendekar Mata Keranjang ~ Bara Di Jurang Guringring Pendekar Rajawali Sakti - 171. Sayembara Maut Pendekar Cambuk Naga ~ Seruling Kematian Raja Naga ~ Misteri Menara Berkabut
“Oh, Gusti Yang Maha Agung! Setelah sekian lama kau tak mau makan, kini berkat tabib itu kau mau makan, Sentanu...!” desah Nyi Sakaweni dengan mata berbinar-binar penuh rasa syukur. Kemudian dia berbalik, menatap suaminya. “Kang, cepat toh! Carikan makanan buat anak kita...!”
“Eh, iya..., iya!”
Ki Jaladra belingsatan merogoh persediaan uangnya. Lalu mereka buru-buru mencari kedai makanan di sekitar tempat itu.
***
Perubahan yang terjadi pada Sentanu berlangsung cepat. Semula nafsu makannya hilang, kini amat rakus. Lalu kedua kakinya yang lumpuh, perlahan-lahan bisa digerakkan. Bahkan dalam waktu seharian saja, dia mampu berjalan. Tentu saja hal ini amat menggembirakan hati orangtuanya.
“Tapi dia jadi pemurung, Kang...!” kata Nyi Sakaweni pada suaminya, setelah dua hari Sentanu berubah.
Ki Jaladra terdiam. Lalu dia menyeruput kopinya.
“Aku khawatir.... Jangan-jangan....”
“Jangan-jangan apa?! Tidak usah berpikir macam-macam!” potong Ki Jaladra cepat.
“Entahlah.... Dia hanya menyahut sepatah atau dua patah kata kalau ditanya...,” desah Nyi Sakaweni.
“Sentanu sembuh dari penyakitnya. Dan sekarang punya penyakit baru? Begitu menurutmu?” cibir kepala desa ini.
Nyi Sakaweni tidak menyahut. Wajahnya masih kelihatan cemas.
“Sudah, tidak usah terlalu dipikirkan. Toh, kau sendiri yang menyarankan berobat ke tabib itu!” ujar laki-laki setengah baya ini agak kesal.
“Mau menyalahkanku?”
“Bukan begitu. Tapi tidak usah disesali yang terjadi. Kalau sudah sepakat membawanya ke sana, ya harus terima apa adanya!” tegas Ki Jaladra.
“Huh! Kakang juga senang kalau kita ke sana, bukan?” sindir Nyi Sakaweni mangkel.
“Tidak usah mengalihkan persoalan!” tukas Ki Jaladra.
“Ya, sudah. Kalau begitu kau bujuk anakmu itu. Tanya dia. Apa maunya. Kenapa terus-menerus mengurung diri dan malas bicara!”
Tanpa menyahut lagi, Ki Jaladra bangkit dan beranjak ke kamar anaknya. Tapi sebentar kemudian dengan tergopoh-gopoh dia telah kembali ke depan. Wajahnya kelihatan kaget.
“Sentanu tidak ada di kamarnya...!” kata Ki Jaladra.
“Mungkin ke belakang buang air, atau....”
“Tidak ada! Sudah kucari-cari!” potong Ki Jaladra.
Tanpa banyak bicara lagi Nyi Sakaweni langsung ke dalam dengan setengah berlari. Tiap kamar dimasukinya. Sampai akhirnya perempuan setengah baya ini berkeliling rumahnya sambil memanggil-manggil Sentanu. Tapi sampai suaranya serak, tak juga ada sahutan.
“Ke mana anak itu? Cari to. Kang. Jangan diam saja!” sentak Nyi Sakaweni pada suaminya yang ikut mengiringi mencari.
“Mau cari ke mana malam-malam begini?”
“Ya cari, ke mana saja! Masa’ harus didiamkan saja?!”
“Iya, iya.... Sebentar!”
Ki Jaladra bergegas melangkah diikuti istrinya ke belakang rumah. Kemudian mereka sama-sama masuk ke dalam. Diambilnya sebatang obor. Laki-laki itu lantas mengambil goloknya dan menyelipkannya di pinggang. Setelah menyalakan obor, Ki Jaladra melangkah ke luar rumah. Tapi baru beberapa langkah meninggalkan rumah, dia berpapasan dengan dua orang pembantunya yang baru saja keluar rumah untuk suatu keperluan.
“Mau ke mana, Ki?” tanya salah seorang pembantu.
“Kalian melihat Sentanu? Dia tidak ada di rumah!”
“Sentanu? Baru saja tadi kami berpapasan di sebelah sana!” tunjuk pembantu yang bertubuh kurus.
“Aneh anak itu. Ditanya diam saja seperti orang tidak kenal!” timpal seorang pembantu lagi dengan wajah bingung.
“Ke sana? Mau apa dia?” tanya Ki Jaladra bingung. “Hm.... Ayo, kalian ikut aku!”
Tanpa membantah, kedua orang pembantu itu bergegas mengikuti langkah lebar-lebar Ki Jaladra.
***
Setiba di tempat yang dituju, Ki Jaladra dan kedua pembantunya hanya menemukan suasana gelap dan sepi. Tak seorang pun yang ditemui. Bahkan mereka mencari agak jauh ke depan yang diperkirakan sebagai jalan yang ditempuh Sentanu.
“Mana dia, Gombloh, Rawit? Kalian bilang menuju arah sini...?” gerutu Ki Jaladra.
“Wah! Tadi ke sini, Ki...!” tangkis Rawit, yang bertubuh kurus.
“Belum lama dia kami temui. Langkahnya pelan, seperti orang tidur sambil berjalan...,” sambung yang bernama Gombloh.
Ki Jaladra mendesah pelan. Wajahnya tampak kesal. Diajaknya kedua pembantu setianya itu untuk mencari ke sekitar tempat ini.
“Kalau benar jalan yang ditempuh lewat tempat ini, berarti dia ke.... Desa Galuh!” duga Gombloh kepada Rawit yang berjalan di sampingnya.
“Desa Galuh? Mau apa dia ke sana?” tanya Ki Jaladra, langsung berhenti melangkah. Tubuhnya berbalik, seraya menatap tajam kedua pembantunya yang juga sudah berhenti.
“Siapa tahu ke rumah pacarnya...,” sahut Rawit, berkelakar.
“Huh, edan kau! Tengah malam begini ke rumah pacar. Lagi pula, anakku belum punya pacar!” semprot Ki Jaladra.
“Tapi mau apa dia ke Desa Galuh?” tanya Gombloh dengan kening berkerut.
Ketiganya terdiam. Namun pandangan mata mereka menyapu ke sekeliling tempat. Kalau-kalau saja menemukan orang yang tengah dicari.
“Jangan-jangan...,” kata Rawit lirih dan tiba-tiba.
“Jangan-jangan apa?!” desak Ki Jaladra.
“Anu, Ki. Nasib Sentanu sama dengan si Kajar!”
“Huh! Jangan ngawur kau!”
“Eh! Maksudk