Cerita Silat | Bidadari Penakluk | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Bidadari Penakluk | Cersil Sakti | Bidadari Penakluk pdf
Pendekar Kembar ~ Goa Mulut Naga Si Teratai Merah (Ang-lian Li-hiap) - Asmaraman S. Kho Ping Hoo Pendekar Pedang Siluman Darah ~ Cinta Memendam Dendam Cersil Shugyosa ~ Samurai Pengembara 1 Mahesa Kelud ~ Menggebrak Kotaraja
7
Apa yang dikatakan Sari Dewi memang tidak salah. Semua orang tahu siapa orang terkaya di Kadipaten Welirang. Sehingga dengan sekali bertanya, Pendekar Rajawali Sakti sudah mendapat penjelasan yang diinginkan. Yang harus dituju adalah rumah Juragan Jelorejo.
“Hm.... Itu dia...!” gumam Rangga ketika dari kejauhan melihat sebuah rumah yang cukup besar dan memiliki halaman luas.
Tanpa buang waktu lagi Pendekar Rajawali Sakti langsung menggebah kudanya ke sana. Begitu cepat lari Dewa Bayu, sehingga sebentar saja telah sampai di luar halaman.
“Heaaa...!”
Pendekar Rajawali Sakti memandang terkejut ke arah dalam halaman. Dia tidak buru-buru masuk, sebab di halaman depan rumah besar itu terlihat ramai oleh pertarungan. Di antara mereka tampak wanita yang tengah dicari-carinya itu tengah bertarung melawan seorang laki-laki tua bertubuh pendek besar. Perutnya agak buncit. Gaya bertarungnya persis seperti katak, melompat ke sana kemari.
“Hm... si Katak Penggempur Jagad agaknya telah mendahuluiku,” gumam Pendekar Rajawali Sakti, seraya turun dari kudanya.
Sementara di dekatnya terlihat dua orang yang juga dikenalnya. Mereka adalah Karmapala murid Ki Laron Nunggal alias Katak Penggempur Jagad, dan Kembang Harum, putri Ki Jagad Lor. Keduanya tengah berhadapan dengan para tukang pukul Juragan Jelorejo yang berjumlah cukup banyak.
“Dewa Bayu, menyingkirlah dulu ke tempat tersembunyi. Biar aku akan memasuki pekarangan ini,” ujar Rangga, seraya menepuk pantat kudanya yang langsung melesat cepat.
Tepat ketika Rangga bersembunyi dekat pintu gerbang, dia melihat Sari Dewi telah tiba di tempat ini. Tak lama kemudian Ki Janggasana dan cucunya. Berbeda dengan kakek dan cucu yang langsung membaurkan diri dalam pertarungan, Sari Dewi tampak tertegun beberapa saat.
“Ada apa sebenarnya? Orang-orang berkumpul dan mengejar wanita jalang itu? Dia menyeret kami ke dalam kancah pertikaian ini,” gumam gadis itu tidak mengerti.
Sari Dewi tidak habis pikir. Ternyata ibu tirinya bukan orang sembarangan. Dia bisa melihat gerakan-gerakan Suti Raswati begitu ringan bagai seekor kupu-kupu.
“Tupai Katai! Jangan campuri urusanku! Wanita jalang ini berhutang pada majikan muridku!” bentak Ki Laron Nunggal, ketika melihat Ki Janggasana ikut-ikutan menyerang.
“Apa kau kira dia tidak berurusan denganku?! Keparat ini telah membunuh putraku. Dia mesti menebus dengan nyawanya!” sahut si Tupai Katai, tak mempedulikan kata-kata Ki Laron Nunggal.
“Aku yang lebih dulu menemukannya. Kau boleh menunggu, setelah dia menjadi bangkai!”
“Tidak bisa! Dia mesti mati di tanganku!” tukas Ki Janggasana.
“Hi hi hi...! Tua bangka tidak tahu diri! Kenapa kalian mempersoalkan pepesan kosong? Tidak seorang pun dari kalian yang bisa mendapatkan aku. Aku bisa pergi ke mana saja kusuka. Dan tidak seorang pun dari kalian bisa menghalangiku!” sahut wanita yang tengah dikeroyok, yang tak lain Suti Raswati alias istri muda Juragan Jelorejo.
“Ingin kulihat sampai di mana kehebatannya!” desis Ki Laron Nunggal seraya menyiapkan pukulan ‘Baji Dengkung’.
Pada saat yang sama, Ki Janggasana pun telah siap mengeluarkan jurus ‘Tupai Merusak Buah Kelapa’ yang merupakan jurus terhebat dan dijadikan andalan.
“Heaaa...!”
“Yeaaa...!”
Disertai bentakan nyaring Ki Laron Nungga l menghentakkan kedua tangannya. Maka saat itu juga dari kedua telapaknya mendesir angin kencang. Pada saat yang sama, tubuh Ki Janggasana mencelat ringan untuk mengincar titik kelemahan wanita berjuluk Bidadari Penakluk.
“Hup!”
Tubuh Suti Raswati melejit ke atas dengan indah. Dari atas, sebelah telapak tangannya menampar pukulan ‘Baji Dengkung’. Sementara telapak tangan kiri menangkis pukulan si Tupai Katai.
Plak! Plak!
“Uhh...!”
Katak Penggempur Jagad dan si Tupai Katai sama-sama terkejut. Pukulan ‘Baji Dengkung’ yang dikeluarkan Ki Laron Nunggal, sama sekali tidak berguna. Sepertinya amblas dihantam telapak tangan wanita itu. Begitu juga halnya serangan Ki Janggasana.
Dan kini si Bidadari Penakluk balas menyerang. Yang diincarnya adalah Ki Laron Nunggal, yang dianggap kurang lincah dibanding Ki Janggasana.
“Yeaaa...!”
“Hei?!”
Si Katak Penggempur Jagad terkejut. Saat itu, keadaannya masih lemah setelah pukulannya terpapaki. Untuk menghindar pun rasanya akan berakibat parah, mengingat gerakan si Bidadari Penakluk begitu cepat. Bahkan mampu mengeluarkan beberapa pukulan dalam setiap gerakan.
“Sial! Terpaksa aku mesti menangkisnya!” dengus Ki Laron Nunggal yang tidak punya pilihan.
Seketika si Katak Penggempur Jagad mengerahkan pukulan ‘Baji Dengkung’ sekuat batas kemampuannya disertai tenaga dalam penuh.
“Yeaaa...!”
Plakk...!
“Aaakh...!”
***
Ketika dua pukulan yang sama-sama berisi tenaga dalam tinggi bertemu, Ki Laron Nunggal merasakan suatu tenaga dahsyat meliuk-liuk laksana seekor ular besar yang membelit pukulannya. Bahkan kontan menabraknya dengan sekuat tenaga. Orang tua itu memekik kesakitan. Tubuhnya terhempas ke belakang sejauh beberapa langkah. Dari mulutnya menyembur darah segar.
“Yeaaa...!”
Namun si Bidadari Penakluk tidak bisa tinggal diam. Sebab saat itu juga, Ki Janggasana telah melompat m
Pendekar Kembar ~ Goa Mulut Naga Si Teratai Merah (Ang-lian Li-hiap) - Asmaraman S. Kho Ping Hoo Pendekar Pedang Siluman Darah ~ Cinta Memendam Dendam Cersil Shugyosa ~ Samurai Pengembara 1 Mahesa Kelud ~ Menggebrak Kotaraja
7
Apa yang dikatakan Sari Dewi memang tidak salah. Semua orang tahu siapa orang terkaya di Kadipaten Welirang. Sehingga dengan sekali bertanya, Pendekar Rajawali Sakti sudah mendapat penjelasan yang diinginkan. Yang harus dituju adalah rumah Juragan Jelorejo.
“Hm.... Itu dia...!” gumam Rangga ketika dari kejauhan melihat sebuah rumah yang cukup besar dan memiliki halaman luas.
Tanpa buang waktu lagi Pendekar Rajawali Sakti langsung menggebah kudanya ke sana. Begitu cepat lari Dewa Bayu, sehingga sebentar saja telah sampai di luar halaman.
“Heaaa...!”
Pendekar Rajawali Sakti memandang terkejut ke arah dalam halaman. Dia tidak buru-buru masuk, sebab di halaman depan rumah besar itu terlihat ramai oleh pertarungan. Di antara mereka tampak wanita yang tengah dicari-carinya itu tengah bertarung melawan seorang laki-laki tua bertubuh pendek besar. Perutnya agak buncit. Gaya bertarungnya persis seperti katak, melompat ke sana kemari.
“Hm... si Katak Penggempur Jagad agaknya telah mendahuluiku,” gumam Pendekar Rajawali Sakti, seraya turun dari kudanya.
Sementara di dekatnya terlihat dua orang yang juga dikenalnya. Mereka adalah Karmapala murid Ki Laron Nunggal alias Katak Penggempur Jagad, dan Kembang Harum, putri Ki Jagad Lor. Keduanya tengah berhadapan dengan para tukang pukul Juragan Jelorejo yang berjumlah cukup banyak.
“Dewa Bayu, menyingkirlah dulu ke tempat tersembunyi. Biar aku akan memasuki pekarangan ini,” ujar Rangga, seraya menepuk pantat kudanya yang langsung melesat cepat.
Tepat ketika Rangga bersembunyi dekat pintu gerbang, dia melihat Sari Dewi telah tiba di tempat ini. Tak lama kemudian Ki Janggasana dan cucunya. Berbeda dengan kakek dan cucu yang langsung membaurkan diri dalam pertarungan, Sari Dewi tampak tertegun beberapa saat.
“Ada apa sebenarnya? Orang-orang berkumpul dan mengejar wanita jalang itu? Dia menyeret kami ke dalam kancah pertikaian ini,” gumam gadis itu tidak mengerti.
Sari Dewi tidak habis pikir. Ternyata ibu tirinya bukan orang sembarangan. Dia bisa melihat gerakan-gerakan Suti Raswati begitu ringan bagai seekor kupu-kupu.
“Tupai Katai! Jangan campuri urusanku! Wanita jalang ini berhutang pada majikan muridku!” bentak Ki Laron Nunggal, ketika melihat Ki Janggasana ikut-ikutan menyerang.
“Apa kau kira dia tidak berurusan denganku?! Keparat ini telah membunuh putraku. Dia mesti menebus dengan nyawanya!” sahut si Tupai Katai, tak mempedulikan kata-kata Ki Laron Nunggal.
“Aku yang lebih dulu menemukannya. Kau boleh menunggu, setelah dia menjadi bangkai!”
“Tidak bisa! Dia mesti mati di tanganku!” tukas Ki Janggasana.
“Hi hi hi...! Tua bangka tidak tahu diri! Kenapa kalian mempersoalkan pepesan kosong? Tidak seorang pun dari kalian yang bisa mendapatkan aku. Aku bisa pergi ke mana saja kusuka. Dan tidak seorang pun dari kalian bisa menghalangiku!” sahut wanita yang tengah dikeroyok, yang tak lain Suti Raswati alias istri muda Juragan Jelorejo.
“Ingin kulihat sampai di mana kehebatannya!” desis Ki Laron Nunggal seraya menyiapkan pukulan ‘Baji Dengkung’.
Pada saat yang sama, Ki Janggasana pun telah siap mengeluarkan jurus ‘Tupai Merusak Buah Kelapa’ yang merupakan jurus terhebat dan dijadikan andalan.
“Heaaa...!”
“Yeaaa...!”
Disertai bentakan nyaring Ki Laron Nungga l menghentakkan kedua tangannya. Maka saat itu juga dari kedua telapaknya mendesir angin kencang. Pada saat yang sama, tubuh Ki Janggasana mencelat ringan untuk mengincar titik kelemahan wanita berjuluk Bidadari Penakluk.
“Hup!”
Tubuh Suti Raswati melejit ke atas dengan indah. Dari atas, sebelah telapak tangannya menampar pukulan ‘Baji Dengkung’. Sementara telapak tangan kiri menangkis pukulan si Tupai Katai.
Plak! Plak!
“Uhh...!”
Katak Penggempur Jagad dan si Tupai Katai sama-sama terkejut. Pukulan ‘Baji Dengkung’ yang dikeluarkan Ki Laron Nunggal, sama sekali tidak berguna. Sepertinya amblas dihantam telapak tangan wanita itu. Begitu juga halnya serangan Ki Janggasana.
Dan kini si Bidadari Penakluk balas menyerang. Yang diincarnya adalah Ki Laron Nunggal, yang dianggap kurang lincah dibanding Ki Janggasana.
“Yeaaa...!”
“Hei?!”
Si Katak Penggempur Jagad terkejut. Saat itu, keadaannya masih lemah setelah pukulannya terpapaki. Untuk menghindar pun rasanya akan berakibat parah, mengingat gerakan si Bidadari Penakluk begitu cepat. Bahkan mampu mengeluarkan beberapa pukulan dalam setiap gerakan.
“Sial! Terpaksa aku mesti menangkisnya!” dengus Ki Laron Nunggal yang tidak punya pilihan.
Seketika si Katak Penggempur Jagad mengerahkan pukulan ‘Baji Dengkung’ sekuat batas kemampuannya disertai tenaga dalam penuh.
“Yeaaa...!”
Plakk...!
“Aaakh...!”
***
Ketika dua pukulan yang sama-sama berisi tenaga dalam tinggi bertemu, Ki Laron Nunggal merasakan suatu tenaga dahsyat meliuk-liuk laksana seekor ular besar yang membelit pukulannya. Bahkan kontan menabraknya dengan sekuat tenaga. Orang tua itu memekik kesakitan. Tubuhnya terhempas ke belakang sejauh beberapa langkah. Dari mulutnya menyembur darah segar.
“Yeaaa...!”
Namun si Bidadari Penakluk tidak bisa tinggal diam. Sebab saat itu juga, Ki Janggasana telah melompat m