Cerita Silat | Siluman Pemburu Perawan | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Siluman Pemburu Perawan | Cersil Sakti | Siluman Pemburu Perawan pdf
Cersil Shugyosa ~ Samurai Pengembara 1 Mahesa Kelud ~ Menggebrak Kotaraja Pendekar Rajawali Sakti - 176. Bidadari Penakluk Joko Sableng ~ Tumbal Pusar Merah kindo - Pedang Darah Biru
Pakaianmu sudah bersih kucuci. Dan ini ada sedikit obat untuk melancarkan peredaran darahmu serta merangsang tenaga dalammu untuk kembali. Jangan khawatir, ini bukan racun. Kalau aku berniat membunuh, tentu sudah sejak semula kulakukan.
Rangga membaca surat ini perlahan-lahan. Surat itu tidak meninggalkan nama penulisnya. Dan ini membuat dahinya berkerut.
"Dia betul-betul hendak merahasiakan dirinya...," gumam Rangga.
Sesaat Rangga sadar kalau pelayan itu masih ada di kamar ini. Cepat kantong uangnya dirogoh. Dikeluarkannya dua keping uang perak untuk diberikan kepada wanita itu.
"Terima kasih, Tuan," ucap pelayan ini.
"Sebentar!" cegah Rangga ketika pelayan itu hendak berlalu.
"Ada lagi yang bisa kubantu, Tuan?"
"Tahukah kau, ke arah mana wanita bertopeng itu pergi?"
"Sepertinya ke selatan...."
"Ya, sudah. Terima kasih."
'Tuan...," panggil pelayan itu, sebelum melangkah.
"Hm, ada apa?" tanya Rangga, sedikit bergumam.
"Maaf, bukan bermaksud mencampuri urusan Tuan dengannya...," lanjut pelayan itu agak ragu.
"Ada apa?" ulang Rangga dengan kening berkerut.
'Tadi sepertinya wanita itu menangis setelah keluar dari kamar ini...," jelas pelayan itu.
"Kapan?" tanya Rangga, makin tajam kerutan di keningnya.
"Sebelum Tuan Bangun, dia sempat menje-nguk sebentar. Lalu terus keluar lagi."
"Dia memakai topeng. Bagaimana kau tahu kalau dia menangis? " tukas Rangga.
"Dia membuka topengnya sebentar, untuk me-nyeka airmatanya...," jawab pelayan itu.
"Kau melihat wajahnya?!" tanya Rangga bersemangat.
'Tidak. Dia membelakangiku. Tapi..., kenapa Tuan tanyakan hal itu? Apakah kekasih Tuan itu memiliki wajah buruk? "
"Tidak. Wajahnya cantik.... Tapi, dia bukan kekasihku." Entah kenapa Rangga bicara seperti itu. "Ah, lupakan saja!"
"Tapi sepertinya dia menaruh perhatian besar pada Tuan."
"Sudahlah. Bila nanti kuperlukan, kau kupanggil."
"Baiklah...," sahut pelayan ini, lantas bergegas melangkah keluar kamar ini.
Sepeninggal pelayan itu. Rangga termenung beberapa saat. Pandanganny tertuju pada obat- obatan dalam guci kecil yang diberikan wanita bertopeng itu.
"Dia mesti meyakiniku, bahwa obat-obatannya ini bukan racun? Ya, dia pasti menduga hal itu karena takt kucurigai," gumam Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti mengambil beberapa butir ramuan obat yang dibentuk seperti tahi kambing. Baunya sangit, namun sepertinya memang tidak mengandung racun. Ditimang-timang, sebentar sebelum memutuskan.
"Sebenarnya dia baik. Atau paling tidak, berusaha bersikap baik kepadaku. Hanya saja aku tidak mengerti, apakah di balik semua kebaikannya tersembunyi niat terpendam? Tapi, niat apa? Kalau hendak mengakali hartaku, tentu pundi uang itu tidak dikembalikannya. Jadi apa maksud sebenarnya? Apakah dia hendak memasang perangkap seperti dulu lagi? Ah, entahlah...," desah Rangga, tak habis pikir.
Rangga kini menenggak obat-obatan itu satu persatu. Tidak sulit baginya untuk memilih obat pertama yang mesti ditelan, sebab wanita itu telah membubuhkan angka pada setiap guci kecil. Dari angka satu sampai lima.
Setiap obat yang ditelan, membutuhkan waktu beberapa saat untuk melihat pengaruh apa yang ditimbulkannya. Pada obat pertama terasa perutnya mual dan bergolak seperti hendak muntah.
"Hoeeekh...!"
Laksana letusan gunung api, dari dada Pendekar Rajawali Sakti bergerak ke atas dan menyembur lewat mulut gumpalan darah kental yang telah membeku sebesar lebih kurang kelingking anak kecil. Tiga kali Rangga memuntahkan darah beku dari perut dan dada. Kini tubuhnya terasa lebih enak. Rangga menarik napas panjang dan memenuhi isi dadanya dengan udara segar.
Kembali Rangga menenggak obat kedua. Dan pengaruh yang ditimbulkan adalah hawa hangat di sekitar dada. Kembali Rangga menarik napas panjang, dan mengeluarkannya perlahan- lahan. Setelah merasakan isi dadanya semakin lega setelah melakukan pernapasan beberapa saat, Rangga melanjutkan dengan menenggak obat ketiga. Dan begitu seterusnya, sampai keadaannya semakin baik.
***
7
Sepak terjang Siluman Pemburu Perawan makin menggemaskan orang-orang persilatan golongan putih. Tidak hanya mereka yang anak gadisnya menjadi korban, tapi juga karena tersentuh sifat kependekaran mereka untuk membasmi kelaliman.
Seperti tak kenal kata menyerah, tokoh-tokoh persilatan golongan putih terus memburu Siluman Pemburu Perawan. Pucuk dicinta ulam tiba. Ketika berusaha menjarah seorang gadis di Desa Kaliwungu pada petang hari ini Siluman Pemburu Perawan kepergok oleh beberapa tokoh persilatan yang sudah mengepungnya.
Lelaki berusia sekitar empat puluh tahun lebih itu memandang tiga orang tokoh persilatan ini dengan sorot mata tajam dan senyum mengejek. Di de
Cersil Shugyosa ~ Samurai Pengembara 1 Mahesa Kelud ~ Menggebrak Kotaraja Pendekar Rajawali Sakti - 176. Bidadari Penakluk Joko Sableng ~ Tumbal Pusar Merah kindo - Pedang Darah Biru
Pakaianmu sudah bersih kucuci. Dan ini ada sedikit obat untuk melancarkan peredaran darahmu serta merangsang tenaga dalammu untuk kembali. Jangan khawatir, ini bukan racun. Kalau aku berniat membunuh, tentu sudah sejak semula kulakukan.
Rangga membaca surat ini perlahan-lahan. Surat itu tidak meninggalkan nama penulisnya. Dan ini membuat dahinya berkerut.
"Dia betul-betul hendak merahasiakan dirinya...," gumam Rangga.
Sesaat Rangga sadar kalau pelayan itu masih ada di kamar ini. Cepat kantong uangnya dirogoh. Dikeluarkannya dua keping uang perak untuk diberikan kepada wanita itu.
"Terima kasih, Tuan," ucap pelayan ini.
"Sebentar!" cegah Rangga ketika pelayan itu hendak berlalu.
"Ada lagi yang bisa kubantu, Tuan?"
"Tahukah kau, ke arah mana wanita bertopeng itu pergi?"
"Sepertinya ke selatan...."
"Ya, sudah. Terima kasih."
'Tuan...," panggil pelayan itu, sebelum melangkah.
"Hm, ada apa?" tanya Rangga, sedikit bergumam.
"Maaf, bukan bermaksud mencampuri urusan Tuan dengannya...," lanjut pelayan itu agak ragu.
"Ada apa?" ulang Rangga dengan kening berkerut.
'Tadi sepertinya wanita itu menangis setelah keluar dari kamar ini...," jelas pelayan itu.
"Kapan?" tanya Rangga, makin tajam kerutan di keningnya.
"Sebelum Tuan Bangun, dia sempat menje-nguk sebentar. Lalu terus keluar lagi."
"Dia memakai topeng. Bagaimana kau tahu kalau dia menangis? " tukas Rangga.
"Dia membuka topengnya sebentar, untuk me-nyeka airmatanya...," jawab pelayan itu.
"Kau melihat wajahnya?!" tanya Rangga bersemangat.
'Tidak. Dia membelakangiku. Tapi..., kenapa Tuan tanyakan hal itu? Apakah kekasih Tuan itu memiliki wajah buruk? "
"Tidak. Wajahnya cantik.... Tapi, dia bukan kekasihku." Entah kenapa Rangga bicara seperti itu. "Ah, lupakan saja!"
"Tapi sepertinya dia menaruh perhatian besar pada Tuan."
"Sudahlah. Bila nanti kuperlukan, kau kupanggil."
"Baiklah...," sahut pelayan ini, lantas bergegas melangkah keluar kamar ini.
Sepeninggal pelayan itu. Rangga termenung beberapa saat. Pandanganny tertuju pada obat- obatan dalam guci kecil yang diberikan wanita bertopeng itu.
"Dia mesti meyakiniku, bahwa obat-obatannya ini bukan racun? Ya, dia pasti menduga hal itu karena takt kucurigai," gumam Rangga.
Pendekar Rajawali Sakti mengambil beberapa butir ramuan obat yang dibentuk seperti tahi kambing. Baunya sangit, namun sepertinya memang tidak mengandung racun. Ditimang-timang, sebentar sebelum memutuskan.
"Sebenarnya dia baik. Atau paling tidak, berusaha bersikap baik kepadaku. Hanya saja aku tidak mengerti, apakah di balik semua kebaikannya tersembunyi niat terpendam? Tapi, niat apa? Kalau hendak mengakali hartaku, tentu pundi uang itu tidak dikembalikannya. Jadi apa maksud sebenarnya? Apakah dia hendak memasang perangkap seperti dulu lagi? Ah, entahlah...," desah Rangga, tak habis pikir.
Rangga kini menenggak obat-obatan itu satu persatu. Tidak sulit baginya untuk memilih obat pertama yang mesti ditelan, sebab wanita itu telah membubuhkan angka pada setiap guci kecil. Dari angka satu sampai lima.
Setiap obat yang ditelan, membutuhkan waktu beberapa saat untuk melihat pengaruh apa yang ditimbulkannya. Pada obat pertama terasa perutnya mual dan bergolak seperti hendak muntah.
"Hoeeekh...!"
Laksana letusan gunung api, dari dada Pendekar Rajawali Sakti bergerak ke atas dan menyembur lewat mulut gumpalan darah kental yang telah membeku sebesar lebih kurang kelingking anak kecil. Tiga kali Rangga memuntahkan darah beku dari perut dan dada. Kini tubuhnya terasa lebih enak. Rangga menarik napas panjang dan memenuhi isi dadanya dengan udara segar.
Kembali Rangga menenggak obat kedua. Dan pengaruh yang ditimbulkan adalah hawa hangat di sekitar dada. Kembali Rangga menarik napas panjang, dan mengeluarkannya perlahan- lahan. Setelah merasakan isi dadanya semakin lega setelah melakukan pernapasan beberapa saat, Rangga melanjutkan dengan menenggak obat ketiga. Dan begitu seterusnya, sampai keadaannya semakin baik.
***
7
Sepak terjang Siluman Pemburu Perawan makin menggemaskan orang-orang persilatan golongan putih. Tidak hanya mereka yang anak gadisnya menjadi korban, tapi juga karena tersentuh sifat kependekaran mereka untuk membasmi kelaliman.
Seperti tak kenal kata menyerah, tokoh-tokoh persilatan golongan putih terus memburu Siluman Pemburu Perawan. Pucuk dicinta ulam tiba. Ketika berusaha menjarah seorang gadis di Desa Kaliwungu pada petang hari ini Siluman Pemburu Perawan kepergok oleh beberapa tokoh persilatan yang sudah mengepungnya.
Lelaki berusia sekitar empat puluh tahun lebih itu memandang tiga orang tokoh persilatan ini dengan sorot mata tajam dan senyum mengejek. Di de