Cerita Silat | Dendam Sepasang Gembel | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Dendam Sepasang Gembel | Cersil Sakti | Dendam Sepasang Gembel pdf
Pendekar Rajawali Sakti - 179. Patung Dewi Ratih Boma Gendeng ~ Bonek Candi Sewu Dewi Ular ~ Gadis Penyelamat Bumi Pendekar Slebor - Pembunuh Dari Jepang
Dewi Sri Tanjung ~ Si Tangan Iblis
t desa. Dari tapal batas, dia yakin kalau desa inilah yang ditujunya.
"Desa Kedal..." sebut Rangga pelan, lalu mempercepat lari Dewa Bayu.
***
Tidak sulit mencari rumah yang paling besar di tempat ini, karena semua penduduk mengenal baik pada keluarga itu. Keluarga Ardisoma.
"Selamat sore..." sapa Rangga ketika tiba di halaman rumah besar yang ditujunya.
Seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang tengah merawat tanamannya di pekarangan dengan segera menghentikan pekerjaannya. Kepalanya mendongak. Matanya memandang tajam sebentar, lalu kembali sibuk dengan tanamannya.
"Mau cari siapa?" tanya gadis itu, acuh tak acuh.
"Ki Ardisoma," sahut Rangga datar.
"Apa keperluanmu?"
Rangga menarik napas kesal. Hatinya mulai merasa jengkel melihat sikap gadis itu. Meski wa- jahnya cantik, namun wataknya sombong. Bahkan sama sekali tidak bisa berlaku hormat kepada tamu.
"Aku yang hendak bertanya begitu kepada beliau," sahut Rangga, enteng.
"Huh Orang- orang sepertimu paling-paling hanya pura-pura mengaku kenal, lalu buntutnya minta uang" cibir gadis itu, menyebalkan.
"Wajahmu cantik, Nisanak. Tapi mulutmu kotor. Jangan sembarangan menuduh kalau belum tahu duduk persoalan yang sebenarnya" sahut Rangga keras.
"Aku banyak kenal orang- orang sepertimu. Dan semuanya sama saja. Meski kelihatannya berbeda, tapi ujung-ujungnya akan sama" bentak gadis itu.
"Baiklah. Sebaiknya tidak kita bicarakan soal itu. Nah Katakan pada beliau, undangannya telah kuterima."
"Beliau tidak ada di rumah?"
"Ke mana?"
"Apakah kau kira aku penjaganya?"
Rangga semakin sebal melihat tingkah gadis ini yang kelewat angkuh. Namun baru saja membalikkan arah kudanya yang hendak pergi meninggalkan rumah itu, tapi tiba-tiba saja dari dalam rumah, besar ini muncul seseorang.
"Kisanak, ada urusan apa? Dan siapakah kau ini sebenarnya?" sapa orang itu dengan suara lebih ramah.
"Angkoro Apa-apaan kau ini? Dia sudah mau pergi Biarkan saja dia pergi" bentak gadis itu.
"Tapi...."
"Tidak ada tapi-tapian Biarkan dia pergi" sentak gadis itu, memotong.
Laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun yang dipanggil Angkoro kelihatan serba salah menghadapi gadis galak itu.
"Kisanak Eh..., maaf. Aku tidak bermaksud kasar. Tapi kalau benar tidak punya urusan penting, maka kau diperbolehkan meninggalkan tempat ini," ujar Angkoro.
"Sebenarnya bukan aku yang punya persoalan, tapi Ki Ardisoma yang telah mengundangku. Tapi kalau memang beliau berubah pikiran, tidak masalah. Aku pergi sekarang juga...," jelas Rangga, seraya memutar arah kudanya kembali.
"Eh, tunggu dulu Maksudmu..., Ki Ardisoma sendiri yang mengundangmu ke sini?" cegah Ang-koro.
"Benar" sahut Rangga, tanpa menoleh.
"Siapakah kau sebenarnya, Kisanak?" tanya Angkoro, bernada lebih sopan.
"Angkoro Tidak perlu tanya-tanya namanya segala Dan kau, Kisanak Kenapa tidak lekas angkat kaki?" bentak gadis itu dengan mata melotot lebar.
Dan laki-lagi Angkoro dibuat tidak berkutik oleh gadis itu. Dia memandang Rangga dengan sikap serba salah.
"Tidak apa. Aku akan segera pergi. Maaf, telah mengganggu ketenteraman tempat ini."
Rangga baru saja akan menggebah kudanya, tiba-tiba....
"Kisanak, tunggu dulu"
Pendekar Rajawali Sakti menghentikan laju kudanya ketika terdengar seruan lantang dari belakangnya.
"Hmm...."
Terpaksa Rangga membalikkan kudanya kembali. Dan dia langsung melihat ke arah datangnya seruan tadi.
Kini di dekat gadis itu berdiri seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih. Berbaju surjan putih, memakai blangkon coklat serta kain panjang berwarna coklat pula.
Dahi Rangga berkerut, ketika melihat laki-laki itu mendatanginya dengan tergopoh-gopoh. Meski belum pernah bertemu sebelumnya, namun bisa diduga kalau laki-laki itu adalah tuan rumah ini.
***
"Aku Ardisoma Selamat datang di tempatku, Kisanak" sambut laki-laki bersurjan itu, ramah.
Rangga melompat dari punggung kudanya. Dibalasnya salam penghormatan itu.
"Ayah Kenapa mesti repot-repot? Pemuda ini sudah hendak pergi karena ada urusan penting" celetuk gadis sombong itu.
"Mahadewi, bicara apa kau? Dia tamu Ayah Tamu penting yang memang telah Ayah tunggu-tunggu" bentak laki-laki bernama Ki Ardisoma itu.
"Huh Paling-paling sama seperti yang lain Hendak menggerogoti harta kita" dengus gadis yang dipanggil Mahadewi.
"Mahadewi jaga mulutmu Tahukah kau tengah berhadapan dengan siapa?'' hardik Ki Ardisoma berang.
"Huh Kenapa tidak?"
"Anak tidak tahu diri" umpat Ki Ardisoma semakin geram. "Kau tengah berhadapan dengan seorang pendekar besar yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Dia tidak butuh harta karena dia memiliki harta yang lebih banyak ketimbang kita. Cobala
Pendekar Rajawali Sakti - 179. Patung Dewi Ratih Boma Gendeng ~ Bonek Candi Sewu Dewi Ular ~ Gadis Penyelamat Bumi Pendekar Slebor - Pembunuh Dari Jepang
Dewi Sri Tanjung ~ Si Tangan Iblis
t desa. Dari tapal batas, dia yakin kalau desa inilah yang ditujunya.
"Desa Kedal..." sebut Rangga pelan, lalu mempercepat lari Dewa Bayu.
***
Tidak sulit mencari rumah yang paling besar di tempat ini, karena semua penduduk mengenal baik pada keluarga itu. Keluarga Ardisoma.
"Selamat sore..." sapa Rangga ketika tiba di halaman rumah besar yang ditujunya.
Seorang gadis berusia tujuh belas tahun yang tengah merawat tanamannya di pekarangan dengan segera menghentikan pekerjaannya. Kepalanya mendongak. Matanya memandang tajam sebentar, lalu kembali sibuk dengan tanamannya.
"Mau cari siapa?" tanya gadis itu, acuh tak acuh.
"Ki Ardisoma," sahut Rangga datar.
"Apa keperluanmu?"
Rangga menarik napas kesal. Hatinya mulai merasa jengkel melihat sikap gadis itu. Meski wa- jahnya cantik, namun wataknya sombong. Bahkan sama sekali tidak bisa berlaku hormat kepada tamu.
"Aku yang hendak bertanya begitu kepada beliau," sahut Rangga, enteng.
"Huh Orang- orang sepertimu paling-paling hanya pura-pura mengaku kenal, lalu buntutnya minta uang" cibir gadis itu, menyebalkan.
"Wajahmu cantik, Nisanak. Tapi mulutmu kotor. Jangan sembarangan menuduh kalau belum tahu duduk persoalan yang sebenarnya" sahut Rangga keras.
"Aku banyak kenal orang- orang sepertimu. Dan semuanya sama saja. Meski kelihatannya berbeda, tapi ujung-ujungnya akan sama" bentak gadis itu.
"Baiklah. Sebaiknya tidak kita bicarakan soal itu. Nah Katakan pada beliau, undangannya telah kuterima."
"Beliau tidak ada di rumah?"
"Ke mana?"
"Apakah kau kira aku penjaganya?"
Rangga semakin sebal melihat tingkah gadis ini yang kelewat angkuh. Namun baru saja membalikkan arah kudanya yang hendak pergi meninggalkan rumah itu, tapi tiba-tiba saja dari dalam rumah, besar ini muncul seseorang.
"Kisanak, ada urusan apa? Dan siapakah kau ini sebenarnya?" sapa orang itu dengan suara lebih ramah.
"Angkoro Apa-apaan kau ini? Dia sudah mau pergi Biarkan saja dia pergi" bentak gadis itu.
"Tapi...."
"Tidak ada tapi-tapian Biarkan dia pergi" sentak gadis itu, memotong.
Laki-laki berusia sekitar tiga puluh tahun yang dipanggil Angkoro kelihatan serba salah menghadapi gadis galak itu.
"Kisanak Eh..., maaf. Aku tidak bermaksud kasar. Tapi kalau benar tidak punya urusan penting, maka kau diperbolehkan meninggalkan tempat ini," ujar Angkoro.
"Sebenarnya bukan aku yang punya persoalan, tapi Ki Ardisoma yang telah mengundangku. Tapi kalau memang beliau berubah pikiran, tidak masalah. Aku pergi sekarang juga...," jelas Rangga, seraya memutar arah kudanya kembali.
"Eh, tunggu dulu Maksudmu..., Ki Ardisoma sendiri yang mengundangmu ke sini?" cegah Ang-koro.
"Benar" sahut Rangga, tanpa menoleh.
"Siapakah kau sebenarnya, Kisanak?" tanya Angkoro, bernada lebih sopan.
"Angkoro Tidak perlu tanya-tanya namanya segala Dan kau, Kisanak Kenapa tidak lekas angkat kaki?" bentak gadis itu dengan mata melotot lebar.
Dan laki-lagi Angkoro dibuat tidak berkutik oleh gadis itu. Dia memandang Rangga dengan sikap serba salah.
"Tidak apa. Aku akan segera pergi. Maaf, telah mengganggu ketenteraman tempat ini."
Rangga baru saja akan menggebah kudanya, tiba-tiba....
"Kisanak, tunggu dulu"
Pendekar Rajawali Sakti menghentikan laju kudanya ketika terdengar seruan lantang dari belakangnya.
"Hmm...."
Terpaksa Rangga membalikkan kudanya kembali. Dan dia langsung melihat ke arah datangnya seruan tadi.
Kini di dekat gadis itu berdiri seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih. Berbaju surjan putih, memakai blangkon coklat serta kain panjang berwarna coklat pula.
Dahi Rangga berkerut, ketika melihat laki-laki itu mendatanginya dengan tergopoh-gopoh. Meski belum pernah bertemu sebelumnya, namun bisa diduga kalau laki-laki itu adalah tuan rumah ini.
***
"Aku Ardisoma Selamat datang di tempatku, Kisanak" sambut laki-laki bersurjan itu, ramah.
Rangga melompat dari punggung kudanya. Dibalasnya salam penghormatan itu.
"Ayah Kenapa mesti repot-repot? Pemuda ini sudah hendak pergi karena ada urusan penting" celetuk gadis sombong itu.
"Mahadewi, bicara apa kau? Dia tamu Ayah Tamu penting yang memang telah Ayah tunggu-tunggu" bentak laki-laki bernama Ki Ardisoma itu.
"Huh Paling-paling sama seperti yang lain Hendak menggerogoti harta kita" dengus gadis yang dipanggil Mahadewi.
"Mahadewi jaga mulutmu Tahukah kau tengah berhadapan dengan siapa?'' hardik Ki Ardisoma berang.
"Huh Kenapa tidak?"
"Anak tidak tahu diri" umpat Ki Ardisoma semakin geram. "Kau tengah berhadapan dengan seorang pendekar besar yang berjuluk Pendekar Rajawali Sakti. Dia tidak butuh harta karena dia memiliki harta yang lebih banyak ketimbang kita. Cobala