Cerita Silat | Dendam Sepasang Gembel | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Dendam Sepasang Gembel | Cersil Sakti | Dendam Sepasang Gembel pdf
Si Teratai Merah Bag II - Asmaraman S. Kho Ping Hoo Pendekar Rajawali Sakti - 180. Penghianatan di Bukit Kera Tara Zagita ~ Ratu Peri Dari Selat Sunda Pendekar Rajawali Sakti - 181. Lima Golok Setan Cheng Hoa Kiam - Kho Ping Hoo
sepasang pengemis.
Dan rasanya, Rangga tak mau melibatkan diri. Itulah sebabnya, dia terang-terangan menolak memberi bantuan pada Ki Ardisoma.
Desss...
"Aaakh..."
Pada saat yang bersamaan, Retno berhasil mendaratkan hantaman kaki ke dada Bratasena. Pemuda itu terjungkal roboh. Dari mulutnya muncrat darah segar. Ketika berusaha bangkit, wanita pengemis itu telah berada di dekatnya. Langsung dijeratnya leher Bratasena dengan seutas tambang yang selalu dibawa.
"Eekh..."
'Tahan" teriak Ki Ardisoma melihat anaknya menjerit pendek.
"Huh Apa kau ingin ikut campur dalam urusart ini, Juragan Ardisoma yang terhomat?" dengus Retno.
"Retno Persoalan ini belum jelas betul. Dan tiba-tiba saja, kalian datang mengamuk...," sergah Ki Ardisoma.
"Kenapa tidak kau tanyakan padanya?" dengus wanita itu seraya menghadapkan wajah Bratasena yang masih dijerat ke hadapan ayahnya.
"Dia hanya mengatakan, bahwa kalian mela-rikan barang-barang berharga milik keluarga ka-mi...," kata Ki Ardisoma.
"Apa? Begitukah? Coba dengar, Kakang Beta-pa hebatnya laporan majikan muda kita pada ayahnya" kata Retno seraya menoleh pada suaminya.
"Ha ha ha... Hebat sekali" sahut Barata sam-bil tertawa keras. "Bagus, Juragan Ardisoma Kau mempunyai anak hebat. Setelah menggilir istriku bersama kawan- kawannya, lalu menyiksaku dan membuang kami ke dalam jurang, enak saja dia melaporkan kalau kami mencuri barang-barang milikmu. Meski miskin, kami tidak pernah mencuri sedikit pun dari kalian"
Suara Barata melengking nyaring penuh den- dam.
"Apa? Benarkah begitu?" sentak Ki Ardisoma, seperti tidak percaya dengan apa yang telah dide-ngarnya.
"Tanyakan saja padanya" dengus Retno, seraya menginjak punggung Bratasena.
Buk
"Aaakh..."
Pemuda itu menjerit kesakitan, ketika Retno menekan punggungnya.
"Katakan pada ayahmu, Bangsat Katakan apa yang telah kau perbuat kepadaku bersama kawan-kawanmu" bentak Retno, sambiil menghantamkan punggung Bratasena.
"Tidak Kau tidak boleh berbuat begitu padanya" bentak Ki Ardisoma, merasakan pilu mendengar jerit kesakitan Bratasena.
"He, kau ingin ikut campur dalam urusan ini, Juragan Ardisoma?" dengus Retno. Pandangan matanya tajam dengan sikap mengancam.
"Aku tidak bersalah, Ayah Apa yang mereka katakan dusta belaka Aku..., eekh..." teriak Bra-tasena terhenti, ketika tali yang menjerat lehemya semakin kuat.
Sepasang mata pemuda ini mendelik garang. Mulutnya terbuka lebar. Urat di sekujur wajahnya menegang menahan rasa sakit hebat
"Hup"
Ki Ardisoma yang semula terdiam mendengar teguran Retno, tergugah juga hatinya melihat putranya mendapat siksaan begitu rupa di depan batang hidungnya sendiri. Maka semangatnya segera dikempos hendak membantu. Namun sebelum tubuhnya sampai....
"He he he..."
Mendadak terdengar suara tawa nyaring yang diikuti sesosok tubuh kurus berkelebat cepat memapaki serangannya.
Plak
Ki Ardisoma terkesiap. Gerakan sosok itu cepat bukan main. Bahkan tahu-tahu kaki sosok itu telah lebih menghantam dadanya.
Duk
"Aaakh..."
Ki Ardisoma mengeluh tertahan dan terjajar ke belakang. Masih untung dia mampu menguasai diri, sehingga bisa menjejakkan kakinya dengan mulus di permukaan tanah di belakangnya sejauh kurang lebih lima langkah.
"He, Pengemis Sinting Ini urusan pribadi kami. Untuk apa kau ikut campur?" seru Ki Ardisoma, ketika mengetahui siapa penghadangnya.
***
"Kalau sudah menyangkut mereka, maka menjadi urusanku pula" sahut Pengemis Sinting se- enaknya.
Sementara itu ketika melihat kehadiran Pengemis Sinting, Barata langsung memberi hormat. Demikian pula Retno, tanpa melepaskan tawanya.
"Hormat kami, Paman Guru" ucap Barata dan Retno hampir berbareng.
"Hm, pantas Rupanya mereka murid kepona-kanmu. Tapi meski begitu, kau tidak tahu-menahu persoalan ini. Dan kuharap jangan membela secara membabi-buta," desis Ki Ardisoma.
"Kata siapa aku tidak tahu? Ketika aku menggunjungi saudara seperguruanku yang berjuluk Naga Langit, Barata dan Retno kutemukan di sana. Suadaraku bercerita, kalau kedua muridnya ini diselamatkannya dari kematian, ketika mereka terjatuh dari jurang. Kemudian aku mendengar lebih lanjut pengalaman mereka yang menyeramkan. Khususnya, apa yang dialami Retno. Maka, kujaga mereka dari siapa saja yang hendak mencelakai, agar bisa menuntut balas kepada siapa saja yang telah menganiaya," jelas Pengemis Sinting.
Ki Ardisoma terdiam. Dipandanginya wajah putranya yang kelihatan amat memelas menahan rasa sakit hebat.
"Katakan padaku, Bratasena Apakah benar kau telah berbuat demikian keji kepada Retno dan suaminya?" bentak laki-laki ini garang.
Kali ini Bratasena tidak berusaha membantah. Tapi, tidak juga menjawab.
"Ayo katakan, Bratasena Kalau kau tidak bersalah, maka mesti nyawaku melayang, tidak akan kubia
Si Teratai Merah Bag II - Asmaraman S. Kho Ping Hoo Pendekar Rajawali Sakti - 180. Penghianatan di Bukit Kera Tara Zagita ~ Ratu Peri Dari Selat Sunda Pendekar Rajawali Sakti - 181. Lima Golok Setan Cheng Hoa Kiam - Kho Ping Hoo
sepasang pengemis.
Dan rasanya, Rangga tak mau melibatkan diri. Itulah sebabnya, dia terang-terangan menolak memberi bantuan pada Ki Ardisoma.
Desss...
"Aaakh..."
Pada saat yang bersamaan, Retno berhasil mendaratkan hantaman kaki ke dada Bratasena. Pemuda itu terjungkal roboh. Dari mulutnya muncrat darah segar. Ketika berusaha bangkit, wanita pengemis itu telah berada di dekatnya. Langsung dijeratnya leher Bratasena dengan seutas tambang yang selalu dibawa.
"Eekh..."
'Tahan" teriak Ki Ardisoma melihat anaknya menjerit pendek.
"Huh Apa kau ingin ikut campur dalam urusart ini, Juragan Ardisoma yang terhomat?" dengus Retno.
"Retno Persoalan ini belum jelas betul. Dan tiba-tiba saja, kalian datang mengamuk...," sergah Ki Ardisoma.
"Kenapa tidak kau tanyakan padanya?" dengus wanita itu seraya menghadapkan wajah Bratasena yang masih dijerat ke hadapan ayahnya.
"Dia hanya mengatakan, bahwa kalian mela-rikan barang-barang berharga milik keluarga ka-mi...," kata Ki Ardisoma.
"Apa? Begitukah? Coba dengar, Kakang Beta-pa hebatnya laporan majikan muda kita pada ayahnya" kata Retno seraya menoleh pada suaminya.
"Ha ha ha... Hebat sekali" sahut Barata sam-bil tertawa keras. "Bagus, Juragan Ardisoma Kau mempunyai anak hebat. Setelah menggilir istriku bersama kawan- kawannya, lalu menyiksaku dan membuang kami ke dalam jurang, enak saja dia melaporkan kalau kami mencuri barang-barang milikmu. Meski miskin, kami tidak pernah mencuri sedikit pun dari kalian"
Suara Barata melengking nyaring penuh den- dam.
"Apa? Benarkah begitu?" sentak Ki Ardisoma, seperti tidak percaya dengan apa yang telah dide-ngarnya.
"Tanyakan saja padanya" dengus Retno, seraya menginjak punggung Bratasena.
Buk
"Aaakh..."
Pemuda itu menjerit kesakitan, ketika Retno menekan punggungnya.
"Katakan pada ayahmu, Bangsat Katakan apa yang telah kau perbuat kepadaku bersama kawan-kawanmu" bentak Retno, sambiil menghantamkan punggung Bratasena.
"Tidak Kau tidak boleh berbuat begitu padanya" bentak Ki Ardisoma, merasakan pilu mendengar jerit kesakitan Bratasena.
"He, kau ingin ikut campur dalam urusan ini, Juragan Ardisoma?" dengus Retno. Pandangan matanya tajam dengan sikap mengancam.
"Aku tidak bersalah, Ayah Apa yang mereka katakan dusta belaka Aku..., eekh..." teriak Bra-tasena terhenti, ketika tali yang menjerat lehemya semakin kuat.
Sepasang mata pemuda ini mendelik garang. Mulutnya terbuka lebar. Urat di sekujur wajahnya menegang menahan rasa sakit hebat
"Hup"
Ki Ardisoma yang semula terdiam mendengar teguran Retno, tergugah juga hatinya melihat putranya mendapat siksaan begitu rupa di depan batang hidungnya sendiri. Maka semangatnya segera dikempos hendak membantu. Namun sebelum tubuhnya sampai....
"He he he..."
Mendadak terdengar suara tawa nyaring yang diikuti sesosok tubuh kurus berkelebat cepat memapaki serangannya.
Plak
Ki Ardisoma terkesiap. Gerakan sosok itu cepat bukan main. Bahkan tahu-tahu kaki sosok itu telah lebih menghantam dadanya.
Duk
"Aaakh..."
Ki Ardisoma mengeluh tertahan dan terjajar ke belakang. Masih untung dia mampu menguasai diri, sehingga bisa menjejakkan kakinya dengan mulus di permukaan tanah di belakangnya sejauh kurang lebih lima langkah.
"He, Pengemis Sinting Ini urusan pribadi kami. Untuk apa kau ikut campur?" seru Ki Ardisoma, ketika mengetahui siapa penghadangnya.
***
"Kalau sudah menyangkut mereka, maka menjadi urusanku pula" sahut Pengemis Sinting se- enaknya.
Sementara itu ketika melihat kehadiran Pengemis Sinting, Barata langsung memberi hormat. Demikian pula Retno, tanpa melepaskan tawanya.
"Hormat kami, Paman Guru" ucap Barata dan Retno hampir berbareng.
"Hm, pantas Rupanya mereka murid kepona-kanmu. Tapi meski begitu, kau tidak tahu-menahu persoalan ini. Dan kuharap jangan membela secara membabi-buta," desis Ki Ardisoma.
"Kata siapa aku tidak tahu? Ketika aku menggunjungi saudara seperguruanku yang berjuluk Naga Langit, Barata dan Retno kutemukan di sana. Suadaraku bercerita, kalau kedua muridnya ini diselamatkannya dari kematian, ketika mereka terjatuh dari jurang. Kemudian aku mendengar lebih lanjut pengalaman mereka yang menyeramkan. Khususnya, apa yang dialami Retno. Maka, kujaga mereka dari siapa saja yang hendak mencelakai, agar bisa menuntut balas kepada siapa saja yang telah menganiaya," jelas Pengemis Sinting.
Ki Ardisoma terdiam. Dipandanginya wajah putranya yang kelihatan amat memelas menahan rasa sakit hebat.
"Katakan padaku, Bratasena Apakah benar kau telah berbuat demikian keji kepada Retno dan suaminya?" bentak laki-laki ini garang.
Kali ini Bratasena tidak berusaha membantah. Tapi, tidak juga menjawab.
"Ayo katakan, Bratasena Kalau kau tidak bersalah, maka mesti nyawaku melayang, tidak akan kubia