Cerita Silat | Kembang Lembah Darah | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Kembang Lembah Darah | Cersil Sakti | Kembang Lembah Darah pdf
Mahesa Kelud ~ Mencari Mati Di Banten Cersil Mustika Lidah Naga 1 Pendekar Rajawali Sakti - 183. Jahanam Bermuka Dua Candika - Dewi Penyebar Maut 12 Candika - Dewi Penyebar Maut 2
yang hendak mengingkari janjimu padaku?"
Rangga diam membisu.
Pada saat itu, pemuka agama yang akan me-nyatukan mereka berdua dalam mahligai rumah tangga telah siap di depan sebuah altar yang dipenuhi sesajian. Kedua pasangan calon pengantin mengikuti, lalu duduk bersimpuh di depan di pemuka agama.
Namun sebelum segala sesuatunya dimulai....
"Hiaaat..."
"Aaakh..."
Mendadak terdengar keributan dari arah luar.
Dan sesaat kemudian disusul jerit kesakitan yang saling sambung-menyambung.
"Hei?"
Mereka yang berada di ruangan ini terkejut. Demikian pula halnya Anjarasih.
"Kurang ajar Apa itu?"
"Seseorang mengacau di tempat ini, Tuanku" lapor seorang pengawal.
"Brengsek Apakah kalian tidak bisa mem-bereskan seorang pengacau?" hardik Penguasa Istana Lembah Darah geram.
"Biar kami bantu, Tuanku" sahut salah seorang pengawal.
Saat itu juga beberapa pengawal melompat menghadapi si pengacau. Tapi, ternyata hal itu tak merubah keadaan. Tetap saja terdengar jerit kesakitan yang saling sambung-menyambung. Dan korban di pihak penghuni Istana Lembah Darah semakin bertambah.
Dengan terpaksa, Anjarasih meninggalkan ruangan ini, menuju keluar. Dia diikuti beberapa pengawalnya.
"Hm, si Pemabuk Dari Gunung Kidul rupa-nya..." gumam Anjarasih geram begitu mengenali siapa orang yang mengacau. "Pantas mereka tak mampu menghadapinya."
Ki Demong alias si Pemabuk Dari Gunung Kidul tampak berkelit-kelit lincah menghadapi keroyokan. Sesekali dia melepas serangan.
"Heaaat..."
Bahkan Ki Demong membarengi dengan sem-protan tuaknya.
"Prufhhh..."
Wusss
***
Cairan tuak Ki Demong bergerak cepat menyambar para pengeroyok. Sebagian terlihat me-mercikkan api.
Pada saat itu juga, berkelebat satu sosok ba- yangan yang langsung memapak serangan tuak Pemabuk Dari Gunung Kidul dengan pukulan jarak jauh.
Wusss...
"Uts Brengsek" umpat Ki Demong seraya melompat ke samping, ketika tuaknya berbalik menyambarnya. Tubuhnya terus bergulingan, lalu melenting menjauhi sosok bayangan yang tak lain Anjarasih.
Tapi Penguasa Istana Lembah Darah terus mengejar dengan gesit. Agaknya wanita itu tidak mau melepaskan lawannya begitu saja, sebelum berhasil meringkus atau membunuhnya.
Sementara itu, perkembangan yang terjadi di tempat ini membuat Rangga cepat bertindak untuk meloloskan diri. Namun perbuatannya itu diketahui beberapa orang anak buah Anjarasih.
"Berhenti Jangan coba-coba bertingkah. Atau kami terpaksa membunuhmu" ancam salah se-orang seraya menyodorkan ujung pedang ke leher.
Rangga berpikir cepat. Ini adalah kesempatan baik baginya untuk kabur. Dan kalau tidak bertindak, mungkin saja kesempatan itu tak akan pernah datang lagi. Maka seketika dia menjatuhkan diri ke belakang.
"Hei?"
Tiga anak buah Anjarasih terkejut. Mereka langsung melompat mengejar sambil membabatkan pedang.
Wut
Pada saat yang gawat ini mendadak satu sosok lain berkelebat, langsung membabatkan pedang ke arah para pengeroyok.
Bret
"Aaa..."
Tiga orang gadis kontan terjungkal disertai jeritan kesakitan. Mereka ambruk tak bangun-ba-ngun lagi.
Rangga yang telah bangkit berdiri melihat seorang gadis tegak berdiri di depannya dengan pe-dang di tangan kanan. Pedang itulah yang agaknya menghabisi nyawa ketiga gadis tadi. Tapi, agaknya pedang itu pula yang membuat Rangga tersenyum lega. Apalagi ketika gadis itu mengangsurkan pedang di tangannya itu. Lengkap berikut warangkanya.
"Kakang Rangga Ini pedangmu. Terimalah"
"Oh, terima kasih Kau baik sekali. Rasanya aku pernah mengenalmu...."
"Aku Ningsih. Kita tak punya banyak waktu. Sebaiknya, lekas kita keluar dari tempat ini" ajak gadis yang tak lain Ningsih seraya menggamit lengan Rangga.
"Eh, tapi...."
"Ayo cepat Kita tak punya banyak waktu. Aku dan Wulandari akan menuntunmu mencari tempat keluar. Cepat"
"Wulandari?"
Tapi Rangga tidak mendapat jawaban, karenagadis itu keburu mengajaknya keluar dari balairung itu. Mereka lari sekencang-kencangnya menuju sebuah terowongan panjang. Di belakang mereka pada jarak beberapa langkah, Wulandari menyusul setelah membereskan beberapa orang anak buah Anjarasih.
"Cepat, Ningsih Mereka mengejar kita" teriak Wulandari.
"Iya, iya"
"Cepat ke sini" teriak Ningsih memasuki sebuah terowongan lain.
"Hup"
Brug
Begitu Rangga dan Wulandari melompat, maka saat itu juga pintu tertutup rapat oleh jeruji besi.
"Untuk sesaat kita aman. Tapi siapa tahu, ada yang mengejar. Kita mesti cepat" seru Ningsih.
"He, di sini banyak sekali terowongan?" ujar Rangga bingung.
"Jangan khawatir Ikuti aku" seru Ningsih, seraya terus berlari menuju terowongan yang ada di sebelah kanan.
Di dalam terowongan itu pun terdapat beberapa cabang terowongan lain yang berjumlah sekitar tujuh. Sangat membingungkan bagi mereka yang tidak tahu. Tapi, Ningsih telah hafal semuanya sehingga tanpa ragu-ragu lagi mengambil jalan yang aman.
"Fuuuhh... Kita harus terjun ke telaga itu" ujar Ningsih ketika mereka tiba di ujung terowongan, dan di bawahnya terhampar sebuah telaga.
Tanpa menunggu lama lagi mereka sudah langsung melompat ke dalam telaga.
***
8
Telaga tempat Rangga, Wulandari, dan Ningsih menceburkan diri bukanlah tempat pemandian atau sebuah tempat yang berair sejuk dan bening. Melainkan, sebuah telaga yang amat jorok dan kotor. Baunya sangat menusuk hidung. Karena, ujung terowongan yang tadi dilalui adalah tempat pembuangan limbah yang berasal dari istana. Dan telaga ini sendiri merupakan tempat penampungan limbah-limbah itu.
"Maafkan kami, Kakang Rangga. Tapi itu adalah jalan satu-satunya bagi kita untuk selamat...," ucap Ningsih lirih, ketika mereka telah jauh dari istana.
Rangga terdiam. Dibersihkannya kotoran-ko-toran yang melekat di tubuhnya.
"Ningsih benar. Kalau kita melalui jalan
Mahesa Kelud ~ Mencari Mati Di Banten Cersil Mustika Lidah Naga 1 Pendekar Rajawali Sakti - 183. Jahanam Bermuka Dua Candika - Dewi Penyebar Maut 12 Candika - Dewi Penyebar Maut 2
yang hendak mengingkari janjimu padaku?"
Rangga diam membisu.
Pada saat itu, pemuka agama yang akan me-nyatukan mereka berdua dalam mahligai rumah tangga telah siap di depan sebuah altar yang dipenuhi sesajian. Kedua pasangan calon pengantin mengikuti, lalu duduk bersimpuh di depan di pemuka agama.
Namun sebelum segala sesuatunya dimulai....
"Hiaaat..."
"Aaakh..."
Mendadak terdengar keributan dari arah luar.
Dan sesaat kemudian disusul jerit kesakitan yang saling sambung-menyambung.
"Hei?"
Mereka yang berada di ruangan ini terkejut. Demikian pula halnya Anjarasih.
"Kurang ajar Apa itu?"
"Seseorang mengacau di tempat ini, Tuanku" lapor seorang pengawal.
"Brengsek Apakah kalian tidak bisa mem-bereskan seorang pengacau?" hardik Penguasa Istana Lembah Darah geram.
"Biar kami bantu, Tuanku" sahut salah seorang pengawal.
Saat itu juga beberapa pengawal melompat menghadapi si pengacau. Tapi, ternyata hal itu tak merubah keadaan. Tetap saja terdengar jerit kesakitan yang saling sambung-menyambung. Dan korban di pihak penghuni Istana Lembah Darah semakin bertambah.
Dengan terpaksa, Anjarasih meninggalkan ruangan ini, menuju keluar. Dia diikuti beberapa pengawalnya.
"Hm, si Pemabuk Dari Gunung Kidul rupa-nya..." gumam Anjarasih geram begitu mengenali siapa orang yang mengacau. "Pantas mereka tak mampu menghadapinya."
Ki Demong alias si Pemabuk Dari Gunung Kidul tampak berkelit-kelit lincah menghadapi keroyokan. Sesekali dia melepas serangan.
"Heaaat..."
Bahkan Ki Demong membarengi dengan sem-protan tuaknya.
"Prufhhh..."
Wusss
***
Cairan tuak Ki Demong bergerak cepat menyambar para pengeroyok. Sebagian terlihat me-mercikkan api.
Pada saat itu juga, berkelebat satu sosok ba- yangan yang langsung memapak serangan tuak Pemabuk Dari Gunung Kidul dengan pukulan jarak jauh.
Wusss...
"Uts Brengsek" umpat Ki Demong seraya melompat ke samping, ketika tuaknya berbalik menyambarnya. Tubuhnya terus bergulingan, lalu melenting menjauhi sosok bayangan yang tak lain Anjarasih.
Tapi Penguasa Istana Lembah Darah terus mengejar dengan gesit. Agaknya wanita itu tidak mau melepaskan lawannya begitu saja, sebelum berhasil meringkus atau membunuhnya.
Sementara itu, perkembangan yang terjadi di tempat ini membuat Rangga cepat bertindak untuk meloloskan diri. Namun perbuatannya itu diketahui beberapa orang anak buah Anjarasih.
"Berhenti Jangan coba-coba bertingkah. Atau kami terpaksa membunuhmu" ancam salah se-orang seraya menyodorkan ujung pedang ke leher.
Rangga berpikir cepat. Ini adalah kesempatan baik baginya untuk kabur. Dan kalau tidak bertindak, mungkin saja kesempatan itu tak akan pernah datang lagi. Maka seketika dia menjatuhkan diri ke belakang.
"Hei?"
Tiga anak buah Anjarasih terkejut. Mereka langsung melompat mengejar sambil membabatkan pedang.
Wut
Pada saat yang gawat ini mendadak satu sosok lain berkelebat, langsung membabatkan pedang ke arah para pengeroyok.
Bret
"Aaa..."
Tiga orang gadis kontan terjungkal disertai jeritan kesakitan. Mereka ambruk tak bangun-ba-ngun lagi.
Rangga yang telah bangkit berdiri melihat seorang gadis tegak berdiri di depannya dengan pe-dang di tangan kanan. Pedang itulah yang agaknya menghabisi nyawa ketiga gadis tadi. Tapi, agaknya pedang itu pula yang membuat Rangga tersenyum lega. Apalagi ketika gadis itu mengangsurkan pedang di tangannya itu. Lengkap berikut warangkanya.
"Kakang Rangga Ini pedangmu. Terimalah"
"Oh, terima kasih Kau baik sekali. Rasanya aku pernah mengenalmu...."
"Aku Ningsih. Kita tak punya banyak waktu. Sebaiknya, lekas kita keluar dari tempat ini" ajak gadis yang tak lain Ningsih seraya menggamit lengan Rangga.
"Eh, tapi...."
"Ayo cepat Kita tak punya banyak waktu. Aku dan Wulandari akan menuntunmu mencari tempat keluar. Cepat"
"Wulandari?"
Tapi Rangga tidak mendapat jawaban, karenagadis itu keburu mengajaknya keluar dari balairung itu. Mereka lari sekencang-kencangnya menuju sebuah terowongan panjang. Di belakang mereka pada jarak beberapa langkah, Wulandari menyusul setelah membereskan beberapa orang anak buah Anjarasih.
"Cepat, Ningsih Mereka mengejar kita" teriak Wulandari.
"Iya, iya"
"Cepat ke sini" teriak Ningsih memasuki sebuah terowongan lain.
"Hup"
Brug
Begitu Rangga dan Wulandari melompat, maka saat itu juga pintu tertutup rapat oleh jeruji besi.
"Untuk sesaat kita aman. Tapi siapa tahu, ada yang mengejar. Kita mesti cepat" seru Ningsih.
"He, di sini banyak sekali terowongan?" ujar Rangga bingung.
"Jangan khawatir Ikuti aku" seru Ningsih, seraya terus berlari menuju terowongan yang ada di sebelah kanan.
Di dalam terowongan itu pun terdapat beberapa cabang terowongan lain yang berjumlah sekitar tujuh. Sangat membingungkan bagi mereka yang tidak tahu. Tapi, Ningsih telah hafal semuanya sehingga tanpa ragu-ragu lagi mengambil jalan yang aman.
"Fuuuhh... Kita harus terjun ke telaga itu" ujar Ningsih ketika mereka tiba di ujung terowongan, dan di bawahnya terhampar sebuah telaga.
Tanpa menunggu lama lagi mereka sudah langsung melompat ke dalam telaga.
***
8
Telaga tempat Rangga, Wulandari, dan Ningsih menceburkan diri bukanlah tempat pemandian atau sebuah tempat yang berair sejuk dan bening. Melainkan, sebuah telaga yang amat jorok dan kotor. Baunya sangat menusuk hidung. Karena, ujung terowongan yang tadi dilalui adalah tempat pembuangan limbah yang berasal dari istana. Dan telaga ini sendiri merupakan tempat penampungan limbah-limbah itu.
"Maafkan kami, Kakang Rangga. Tapi itu adalah jalan satu-satunya bagi kita untuk selamat...," ucap Ningsih lirih, ketika mereka telah jauh dari istana.
Rangga terdiam. Dibersihkannya kotoran-ko-toran yang melekat di tubuhnya.
"Ningsih benar. Kalau kita melalui jalan