Cerita Silat | Cheng Hoa Kiam | By Kho Ping Hoo | Cheng Hoa Kiam | Cersil Sakti | Cheng Hoa Kiam pdf
Joko Sableng ~ Rahasia Kampung Setan Joko Sableng ~ Misteri Tengkorak Berdarah Pendekar Rajawali Sakti - 184. Kembang Lembah Darah Siluman Ular Putih ~ Manusia Rambut Merah Walet Emas ~ Manusia Beracun
n kiri. melepaskan tangan
kanan dan begitu tangan kanannya bergerak, ia sudah menotok jalan darah Siok Lan sehingga gadis ini tak dapat bergerak lagi.
"Kwa-lo-enghiong. awas, terimalah puterimu.........!" seru Wi Liong yang mengerahkan seluruh tenaga kepada dua lengannya, kemudian melemparkan tubuh Siok Lan ke atas sepenuh tenaga. Tubuh itu melayang
ke atas melampaui mulut jurang. Kwa Cun Ek cepat menyambar tubuh puterinya yang lalu dipeluk dan ditangisi Tung-hai Sian-li. Akan tetapi ketika Kwa Cun Ek menengok ke bawah, ia meramkan matanya
melihat betapa berbareng dengan terlemparnya tubuh Siok Lan ke atas, kaitan kaki Wi Liong pada akar itu terlepas dan tubuh pemuda itu meluncur ke bawah sampai lenyap dari pandangan mata!
Kwa Cun Ek menahan napas dan membuka lagi matanya yang menjadi basah. Ia tidak mengerti apakah sebetulnya yang sudah terjadi maka demikian aneh sikap Wi Liong dan Siok Lan. Betapapun juga, Wi
Liong telah merenggut nyawa Siok Lan dari maut dengan pengorbanan nyawa sendiri, agaknya. Karena, bagaimana orang masih dapat hidup setelah terjatuh ke dalam jurang sedemikian dalamnya?
Akan tetapi ia tak dapat berbuat sesuatu, malah hendak menjaga agar Siok Lan jangan sampai tahu lebih dulu akan kengerian yang terjadi pada diri pemuda aneh itu. Ketika ia memandang puterinya, gadis itu
sudah dibebaskan pengaruh totokannya oleh ibunya, akan tetapi Siok Lan telah roboh pingsan. Dengan hati tidak karuan rasa, suami isteri itu lalu membawa pulang Siok Lan, kemudian setelah gadis itu
direbahkan di dalam kamarnya dan dirawat oleh ibunya. Kwa Cun Ek lalu pergi ke hutan itu, untuk mencari mayat Wi Liong agar ia dapat mengurus penguburannya secara baik-baik. Tung-hai Sian-li, biarpun
biasanya berhati baja. kali ini menyetujui kehendak suaminya, malah mendesak suaminya berangkat cepat-cepat agar jenazah pemuda itu tidak menjadi korban binatang buas. Pesanan ini ia ucapkan dengan air
mata berlinang.
Akan tetapi, menjelang senja, Kwa Cun Ek pulang dengan muka lesu dan tangan kosong.
Isterinya menyambut di ruangan depan. "Lan-ji sudah siuman, menangis saja lalu sekarang sudah tertidur. Bagaimana usahamu mencarinya.......?" berkata Tung-hai Sian-li perlahan.
Kwa Cun Ek menggeleng kepalanya dengan sedih."Agaknya kekhawatiranmu telah terbukti. Aku hanya melihat bekas-bekas darah...... dan robekan-robekan pakaian...... tapi tidak menemukan j enazahnya.......
agaknya....... kutakut....... jenazahnya digondol binatang buas............" Kwa Cun Ek tak dapat melanjutkan kata-katanya karena keharuan membuat kerongkongannya tersumbat.
Tung-hai Sian-li mendekap mulut sendiri agar jangan mengeluarkan suara tangisan. Akan tetapi dari celah-celah jari dan ujung lengan baju yang dipakai menutupi mulut dan mata. mengalir butiran-butiran air
mata.
Keharuan suami isteri ini diakhiri dengan tidur karena lelah. Baru menjelang subuh mereka dapat tidur. Tekanan-tekanan batin membuat mereka lelah. Setelah mereka bangun, keharuan itu berganti dengan panik
dan gelisah karena kamar Siok Lan telah kosong! Gadis itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas!
"Siok Lan.........!" Tung-haa Sian-li menjerit dan di lain saat wanita ini sudah berlari cepat meninggalkan rumahnya.
"Hui Goat.........!!" Suaminya memanggil sambil mengejair keluar.
"Aku takkan pulang sebelum bertemu dengan Siok Lan!" kata Tung-hai Sian-li sambil mempercepat larinya. Kwa Cun Ek menarik napas panjang berkali-kali sambil berdiri mematung di depan rumahnya.
Kemudian, beberapa orang tetangganya melihat orang gagah ini pergi meninggalkan rumahnya, menggendong sebuah bungkusan kuning terisi bekal perjalanan. Setelah Siok Lan dan Tung-hai Sian-li pergi, untuk
apa dia tinggal di rumah? Ia harus menemukan mereka, kalau tidak, biar dia tak usah pulang, sampai mati.........! Memang, peruntungan manusia tidak tentu, terputar seperti roda, sebentar di atas sebentar di
bawah. Ini mengingatkan orang agar jangan menjadi congkak sombong di waktu jaya dan jangan putus asa dan kecil hati di waktu menderita.
"Pak tua, tolong kau urus baik-baik kudaku ini. aku hendak mendaki ke puncak. Ini uang untuk biayanya, kalau nanti aku turun dan mendapatkan kudaku terawat baik-baik akan kuberi hadiah lagi. Dan sekalian
aku titip sekantong uang ini, awas jangan hilang" Demikian pesan Kun Hong kepada seoramg petani miskin yang tinggal di kaki Bukit Wuyi-san.
Tentu saja petani tua yang miskin itu girang menerima hadiah uang perak hanya untuk meiawat kuda beberapa hari saja. Akan tetapi kegirangannya menjadi ketakutan dan kekhawatiran ketika ia melihat
sekantong uang perak dan emas itu dititipkan kepadanya. Selama ia hidup, sampai lima puluh tahun lebih, jangankan melihat, mimpipun belum pernah ia melihat uang sebanyak itu!
Setelah Kun Hong pergi, petani itu dengan badan menggigil menyimpan uang sekantong nu ke dalam biliknya di dalami pondok yang butut. Memang aneh orang begitu miskin dalam pondok begitu butut
menyimpan uang emas dan perak yang kiranya kalau dibelikan pondok seperti itu. bisa dapat beberapa ratus buah berikut tanahnya! Padahal untuk makan setiap harinya saja kadang-kadang kakek ini dipaksa
berpuasa karena tidak ada yang dimakan!
Kun Hong sengaja meninggalkan kudanya kepada petani itu. Ia tidak mau memaksa kuda yang haik itu kehabisan tenaga mendaki bukit Dengan jalan kaki, mempergunakan ginkangnya ia akan dapat mencapai
puncak lebih cepat lagi Kuda itu merupakan binatang tunggangan yang amat baik, laginya ia merasa mempunyai kawan dalam perjalanan Juga uang itu ia tinggalkan, karena untuk apa sih membekal uang
mendaki puncak Wuyi-san? Paling-paling hanya akan menimbulkan kecurigaan kepada Kwee Sun Tek atau Wi Liong, terutama sekali Thian Te Cu.
Dengan ginkangnya yang istimewa, cepat sekali Kun Hong sudah mendaki puncak Wuyi-san. Sambil berlari naik, ia mengatur siasat. Saat ini, tidak perlu ia bersikap kasar dan tidak perlu menantang Wi Liong.
Kedatangannya ini terutama sekali hendak mencari keterangan perihal Beng Kun Cinjin yang menurut keterangan ayah angkatnya pada saat kematiannya ad
Joko Sableng ~ Rahasia Kampung Setan Joko Sableng ~ Misteri Tengkorak Berdarah Pendekar Rajawali Sakti - 184. Kembang Lembah Darah Siluman Ular Putih ~ Manusia Rambut Merah Walet Emas ~ Manusia Beracun
n kiri. melepaskan tangan
kanan dan begitu tangan kanannya bergerak, ia sudah menotok jalan darah Siok Lan sehingga gadis ini tak dapat bergerak lagi.
"Kwa-lo-enghiong. awas, terimalah puterimu.........!" seru Wi Liong yang mengerahkan seluruh tenaga kepada dua lengannya, kemudian melemparkan tubuh Siok Lan ke atas sepenuh tenaga. Tubuh itu melayang
ke atas melampaui mulut jurang. Kwa Cun Ek cepat menyambar tubuh puterinya yang lalu dipeluk dan ditangisi Tung-hai Sian-li. Akan tetapi ketika Kwa Cun Ek menengok ke bawah, ia meramkan matanya
melihat betapa berbareng dengan terlemparnya tubuh Siok Lan ke atas, kaitan kaki Wi Liong pada akar itu terlepas dan tubuh pemuda itu meluncur ke bawah sampai lenyap dari pandangan mata!
Kwa Cun Ek menahan napas dan membuka lagi matanya yang menjadi basah. Ia tidak mengerti apakah sebetulnya yang sudah terjadi maka demikian aneh sikap Wi Liong dan Siok Lan. Betapapun juga, Wi
Liong telah merenggut nyawa Siok Lan dari maut dengan pengorbanan nyawa sendiri, agaknya. Karena, bagaimana orang masih dapat hidup setelah terjatuh ke dalam jurang sedemikian dalamnya?
Akan tetapi ia tak dapat berbuat sesuatu, malah hendak menjaga agar Siok Lan jangan sampai tahu lebih dulu akan kengerian yang terjadi pada diri pemuda aneh itu. Ketika ia memandang puterinya, gadis itu
sudah dibebaskan pengaruh totokannya oleh ibunya, akan tetapi Siok Lan telah roboh pingsan. Dengan hati tidak karuan rasa, suami isteri itu lalu membawa pulang Siok Lan, kemudian setelah gadis itu
direbahkan di dalam kamarnya dan dirawat oleh ibunya. Kwa Cun Ek lalu pergi ke hutan itu, untuk mencari mayat Wi Liong agar ia dapat mengurus penguburannya secara baik-baik. Tung-hai Sian-li, biarpun
biasanya berhati baja. kali ini menyetujui kehendak suaminya, malah mendesak suaminya berangkat cepat-cepat agar jenazah pemuda itu tidak menjadi korban binatang buas. Pesanan ini ia ucapkan dengan air
mata berlinang.
Akan tetapi, menjelang senja, Kwa Cun Ek pulang dengan muka lesu dan tangan kosong.
Isterinya menyambut di ruangan depan. "Lan-ji sudah siuman, menangis saja lalu sekarang sudah tertidur. Bagaimana usahamu mencarinya.......?" berkata Tung-hai Sian-li perlahan.
Kwa Cun Ek menggeleng kepalanya dengan sedih."Agaknya kekhawatiranmu telah terbukti. Aku hanya melihat bekas-bekas darah...... dan robekan-robekan pakaian...... tapi tidak menemukan j enazahnya.......
agaknya....... kutakut....... jenazahnya digondol binatang buas............" Kwa Cun Ek tak dapat melanjutkan kata-katanya karena keharuan membuat kerongkongannya tersumbat.
Tung-hai Sian-li mendekap mulut sendiri agar jangan mengeluarkan suara tangisan. Akan tetapi dari celah-celah jari dan ujung lengan baju yang dipakai menutupi mulut dan mata. mengalir butiran-butiran air
mata.
Keharuan suami isteri ini diakhiri dengan tidur karena lelah. Baru menjelang subuh mereka dapat tidur. Tekanan-tekanan batin membuat mereka lelah. Setelah mereka bangun, keharuan itu berganti dengan panik
dan gelisah karena kamar Siok Lan telah kosong! Gadis itu telah lenyap tanpa meninggalkan bekas!
"Siok Lan.........!" Tung-haa Sian-li menjerit dan di lain saat wanita ini sudah berlari cepat meninggalkan rumahnya.
"Hui Goat.........!!" Suaminya memanggil sambil mengejair keluar.
"Aku takkan pulang sebelum bertemu dengan Siok Lan!" kata Tung-hai Sian-li sambil mempercepat larinya. Kwa Cun Ek menarik napas panjang berkali-kali sambil berdiri mematung di depan rumahnya.
Kemudian, beberapa orang tetangganya melihat orang gagah ini pergi meninggalkan rumahnya, menggendong sebuah bungkusan kuning terisi bekal perjalanan. Setelah Siok Lan dan Tung-hai Sian-li pergi, untuk
apa dia tinggal di rumah? Ia harus menemukan mereka, kalau tidak, biar dia tak usah pulang, sampai mati.........! Memang, peruntungan manusia tidak tentu, terputar seperti roda, sebentar di atas sebentar di
bawah. Ini mengingatkan orang agar jangan menjadi congkak sombong di waktu jaya dan jangan putus asa dan kecil hati di waktu menderita.
"Pak tua, tolong kau urus baik-baik kudaku ini. aku hendak mendaki ke puncak. Ini uang untuk biayanya, kalau nanti aku turun dan mendapatkan kudaku terawat baik-baik akan kuberi hadiah lagi. Dan sekalian
aku titip sekantong uang ini, awas jangan hilang" Demikian pesan Kun Hong kepada seoramg petani miskin yang tinggal di kaki Bukit Wuyi-san.
Tentu saja petani tua yang miskin itu girang menerima hadiah uang perak hanya untuk meiawat kuda beberapa hari saja. Akan tetapi kegirangannya menjadi ketakutan dan kekhawatiran ketika ia melihat
sekantong uang perak dan emas itu dititipkan kepadanya. Selama ia hidup, sampai lima puluh tahun lebih, jangankan melihat, mimpipun belum pernah ia melihat uang sebanyak itu!
Setelah Kun Hong pergi, petani itu dengan badan menggigil menyimpan uang sekantong nu ke dalam biliknya di dalami pondok yang butut. Memang aneh orang begitu miskin dalam pondok begitu butut
menyimpan uang emas dan perak yang kiranya kalau dibelikan pondok seperti itu. bisa dapat beberapa ratus buah berikut tanahnya! Padahal untuk makan setiap harinya saja kadang-kadang kakek ini dipaksa
berpuasa karena tidak ada yang dimakan!
Kun Hong sengaja meninggalkan kudanya kepada petani itu. Ia tidak mau memaksa kuda yang haik itu kehabisan tenaga mendaki bukit Dengan jalan kaki, mempergunakan ginkangnya ia akan dapat mencapai
puncak lebih cepat lagi Kuda itu merupakan binatang tunggangan yang amat baik, laginya ia merasa mempunyai kawan dalam perjalanan Juga uang itu ia tinggalkan, karena untuk apa sih membekal uang
mendaki puncak Wuyi-san? Paling-paling hanya akan menimbulkan kecurigaan kepada Kwee Sun Tek atau Wi Liong, terutama sekali Thian Te Cu.
Dengan ginkangnya yang istimewa, cepat sekali Kun Hong sudah mendaki puncak Wuyi-san. Sambil berlari naik, ia mengatur siasat. Saat ini, tidak perlu ia bersikap kasar dan tidak perlu menantang Wi Liong.
Kedatangannya ini terutama sekali hendak mencari keterangan perihal Beng Kun Cinjin yang menurut keterangan ayah angkatnya pada saat kematiannya ad