Cerita Silat | Geger Di Telaga Warna | Serial Pendekar Rajawali Sakti | Geger Di Telaga Warna | Cersil Sakti | Geger Di Telaga Warna pdf
Pendekar Rajawali Sakti - 184. Kembang Lembah Darah Siluman Ular Putih ~ Manusia Rambut Merah Walet Emas ~ Manusia Beracun Cheng Hoa Kiam Bag II - Kho Ping Hoo Walet Emas ~ Danyang Delapan Neraka
terus melibat kaki orang yang ditempeli. Bahkan menyedot serta menarik tubuhnya ke dalam telaga.
"Wuaaakh..."
Byuuurrr...
Tanpa dapat ditahan lagi, orang itu jatuh ke dalam air dan terseret masuk ke dalam telaga yang tampak bergolak hebat seperti sedang terjadi perkelahian di dalamnya.
Sesaat kemudian, kepala orang yang tercebur tampak menyembul. Namun, keadaan benar-benar menyeramkan Wajahnya tampak pucat dan penuh darah, seolah-olah tersedot air yang kental tadi.
Blup
Kembali orang yang tampaknya telah tewas itu terseret ke dalam air. Dan kali ini, dia tak muncul lagi. Hanya riak dari dalam telaga itu saja yang bertambah besar.
Kejadian itu hanya berlangsung sekejap. Yang lain tidak dapat berbuat apa-apa untuk meno-longnya dari kematian.
"Keparat... Pertanda apa pula ini...?" desis Rumongso.
"Sepertinya dalam telaga yang tenang ini ada sesuatu yang menakutkan. Dan maut tengah mengancam kita semua...," gumam Ceger dengan jantung berdetak keras.
"Shet... Diamlah, lihat itu... Air kental yang berwarna merah sedang menuju kemari lagi..." teriak Barep gugup.
Weeerst...
Cepyaaarrr...
"Aaa..."
Kembali air telaga masuk ke dalam sampan. Dan kali ini Barep dan Ceger yang terseret masuk ke dalam air. Mereka kontan berteriak-teriak dan menggelepar bagai ayam disembelih, kemudian terseret ke dalam telaga.
Begitu kedua orang itu timbul lagi yang tersisa hanya tulang-belulang saja. Lalu, tulang-belulang itu tenggelam kembali.
"Gila... Ini tidak masuk akal Kini kita tinggal berdua. Apakah kita juga harus mati di sini, Ja- latunda? Sia-sia saja kita datang kemari" desis Rumongso.
"Kakang Rumongso Apa yang harus kita lakukan sekarang...?" tanya Jalatunda.
"Kepalang basah Kita mandi saja sekalian..." ujar Rumongso.
Dengan cepat keduanya mendayung sampan menuju tepian. Tetapi, kembali air berwarna merah dan kental itu bergerak mengelilingi sampan. Karena marahnya, Rumongso memukul air dengan pendayung yang ada di tangannya.
Plarrr
"Waaa..."
Bagai memukul karet yang kenyal dan lengket pendayung itu tidak dapat ditarik kembali. Bahkan secara tiba-tiba, air itu menarik Rumongso.
"Hup"
Tap'
Dengan cepat Jalatunda menyambar tangan Rumongso. Dia berusaha mempertahankan, agar kawannya tidak terseret ke dalam air yang menakutkan itu.
"Aaa..."
"Wuaaa..."
Tetapi, lebih celaka lagi. Mereka bagaikan tersentak deh tenaga raksasa, jatuh ke dalam air....
Byurrr...
"Tolong... Aku tidak mau mati seperti ini.... Tolooong..." teriak Rumongso setinggi langit.
Tetapi, teriakan laki-laki itu tidak ada gunanya sama sekali. Mereka tenggelam dan menggelepar- gelepar dalam air yang menarik sampai ke dasar.
Ketika muncul kembali, mereka tinggal tulang- belulang saja, dan tenggelam kembali untuk selamanya.
Kini hanya tinggal sampan yang terguncang ke sana kemari, karena para penumpangnya mengalami nasib naas di Telaga Warna. Anehnya, sampan itu terhempas kembali ke tepian sana.
Karena mendengar teriakan- teriakan keras tadi, orang-orang yang berada di tepi telaga jadi terbangun. Mereka keluar sambil membawa obor untuk melihat apa yang tengah terjadi. Sehingga dalam waktu singkat saja, tempat itu telah terang-benderang bagaikan siang hari.
Betapa terkejutnya mereka ketika melihat sebuah sampan kosong yang dipenuhi cipratan darah terdampar di pinggir telaga. Tetapi, tidak terlihat seorang korban pun dalam sampan.
Dalam keramaian orang itu tampak Pendekar Rajawali Sakti sedang memandang ke tengah telaga. Dia sendiri merasa heran atas kejadian ini.
***
Waktu terus berlalu. Sang Mentari mulai menunaikan tugasnya. Suara burung di atas dahan menimbulkan suasana yang damai dan indah di bumi persada. Suara kokok ayam jantan saling bersahutan.
Tetapi semua itu tidak ada artinya bagi kaum persilatan yang berada di tepi Telaga Warna. Mereka tengah diliputi keheranan dan tanda tanya, apa yang terjadi di tengah telaga tadi malam? Dan siapa yang berteriak-teriak sehingga mengejutkan semua orang yang berada di tepian ini?
"Ada apa, ya...?" tanya seseorang dengan wajah kebingungan.
"Entahlah.... Mungkin mereka telah melihat setan...," jawab seorang secara seenaknya.
"Sialan... Kalau bicara pikir dulu Jangan asal buka mulut saja.... Kutampar tahu rasa kau..."
"Jangan galak-galak, ah..."
Didasari rasa penasaran, dua orang tokoh persilatan menaiki sampan itu dan mendayungnya ke tengah telaga. Gerakan mereka sangat cepat dan terlatih pertanda memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna. Yang lain tidak sempat mencegah. Bahkan ada pula yang menyusul dengan perahu.
Maka ramailah Telaga Warna yang berada di sebelah Bukit Ungaran itu. Tampak bebe
Pendekar Rajawali Sakti - 184. Kembang Lembah Darah Siluman Ular Putih ~ Manusia Rambut Merah Walet Emas ~ Manusia Beracun Cheng Hoa Kiam Bag II - Kho Ping Hoo Walet Emas ~ Danyang Delapan Neraka
terus melibat kaki orang yang ditempeli. Bahkan menyedot serta menarik tubuhnya ke dalam telaga.
"Wuaaakh..."
Byuuurrr...
Tanpa dapat ditahan lagi, orang itu jatuh ke dalam air dan terseret masuk ke dalam telaga yang tampak bergolak hebat seperti sedang terjadi perkelahian di dalamnya.
Sesaat kemudian, kepala orang yang tercebur tampak menyembul. Namun, keadaan benar-benar menyeramkan Wajahnya tampak pucat dan penuh darah, seolah-olah tersedot air yang kental tadi.
Blup
Kembali orang yang tampaknya telah tewas itu terseret ke dalam air. Dan kali ini, dia tak muncul lagi. Hanya riak dari dalam telaga itu saja yang bertambah besar.
Kejadian itu hanya berlangsung sekejap. Yang lain tidak dapat berbuat apa-apa untuk meno-longnya dari kematian.
"Keparat... Pertanda apa pula ini...?" desis Rumongso.
"Sepertinya dalam telaga yang tenang ini ada sesuatu yang menakutkan. Dan maut tengah mengancam kita semua...," gumam Ceger dengan jantung berdetak keras.
"Shet... Diamlah, lihat itu... Air kental yang berwarna merah sedang menuju kemari lagi..." teriak Barep gugup.
Weeerst...
Cepyaaarrr...
"Aaa..."
Kembali air telaga masuk ke dalam sampan. Dan kali ini Barep dan Ceger yang terseret masuk ke dalam air. Mereka kontan berteriak-teriak dan menggelepar bagai ayam disembelih, kemudian terseret ke dalam telaga.
Begitu kedua orang itu timbul lagi yang tersisa hanya tulang-belulang saja. Lalu, tulang-belulang itu tenggelam kembali.
"Gila... Ini tidak masuk akal Kini kita tinggal berdua. Apakah kita juga harus mati di sini, Ja- latunda? Sia-sia saja kita datang kemari" desis Rumongso.
"Kakang Rumongso Apa yang harus kita lakukan sekarang...?" tanya Jalatunda.
"Kepalang basah Kita mandi saja sekalian..." ujar Rumongso.
Dengan cepat keduanya mendayung sampan menuju tepian. Tetapi, kembali air berwarna merah dan kental itu bergerak mengelilingi sampan. Karena marahnya, Rumongso memukul air dengan pendayung yang ada di tangannya.
Plarrr
"Waaa..."
Bagai memukul karet yang kenyal dan lengket pendayung itu tidak dapat ditarik kembali. Bahkan secara tiba-tiba, air itu menarik Rumongso.
"Hup"
Tap'
Dengan cepat Jalatunda menyambar tangan Rumongso. Dia berusaha mempertahankan, agar kawannya tidak terseret ke dalam air yang menakutkan itu.
"Aaa..."
"Wuaaa..."
Tetapi, lebih celaka lagi. Mereka bagaikan tersentak deh tenaga raksasa, jatuh ke dalam air....
Byurrr...
"Tolong... Aku tidak mau mati seperti ini.... Tolooong..." teriak Rumongso setinggi langit.
Tetapi, teriakan laki-laki itu tidak ada gunanya sama sekali. Mereka tenggelam dan menggelepar- gelepar dalam air yang menarik sampai ke dasar.
Ketika muncul kembali, mereka tinggal tulang- belulang saja, dan tenggelam kembali untuk selamanya.
Kini hanya tinggal sampan yang terguncang ke sana kemari, karena para penumpangnya mengalami nasib naas di Telaga Warna. Anehnya, sampan itu terhempas kembali ke tepian sana.
Karena mendengar teriakan- teriakan keras tadi, orang-orang yang berada di tepi telaga jadi terbangun. Mereka keluar sambil membawa obor untuk melihat apa yang tengah terjadi. Sehingga dalam waktu singkat saja, tempat itu telah terang-benderang bagaikan siang hari.
Betapa terkejutnya mereka ketika melihat sebuah sampan kosong yang dipenuhi cipratan darah terdampar di pinggir telaga. Tetapi, tidak terlihat seorang korban pun dalam sampan.
Dalam keramaian orang itu tampak Pendekar Rajawali Sakti sedang memandang ke tengah telaga. Dia sendiri merasa heran atas kejadian ini.
***
Waktu terus berlalu. Sang Mentari mulai menunaikan tugasnya. Suara burung di atas dahan menimbulkan suasana yang damai dan indah di bumi persada. Suara kokok ayam jantan saling bersahutan.
Tetapi semua itu tidak ada artinya bagi kaum persilatan yang berada di tepi Telaga Warna. Mereka tengah diliputi keheranan dan tanda tanya, apa yang terjadi di tengah telaga tadi malam? Dan siapa yang berteriak-teriak sehingga mengejutkan semua orang yang berada di tepian ini?
"Ada apa, ya...?" tanya seseorang dengan wajah kebingungan.
"Entahlah.... Mungkin mereka telah melihat setan...," jawab seorang secara seenaknya.
"Sialan... Kalau bicara pikir dulu Jangan asal buka mulut saja.... Kutampar tahu rasa kau..."
"Jangan galak-galak, ah..."
Didasari rasa penasaran, dua orang tokoh persilatan menaiki sampan itu dan mendayungnya ke tengah telaga. Gerakan mereka sangat cepat dan terlatih pertanda memiliki ilmu meringankan tubuh yang sempurna. Yang lain tidak sempat mencegah. Bahkan ada pula yang menyusul dengan perahu.
Maka ramailah Telaga Warna yang berada di sebelah Bukit Ungaran itu. Tampak bebe