Cerita Silat | Kisah Si Naga Langit | Oleh Kho Ping Hoo | Kisah Si Naga Langit | Sakti Cersil | Kisah Si Naga Langit pdf
Kisah Si Naga Langit 14 Kisah Si Naga Langit 15 Kisah Si Naga Langit 16 Kisah Si Naga Langit 17 Kisah Si Naga Langit 18 Pendekar Seribu Diri 3 Pendekar Seribu Diri 4 Pendekar Seribu Diri 5 Pendekar Seribu Diri - Aone Kisah Si Naga Langit 13
Tiong Lee Cin-jin memandang muridnya dengan sinar mata penuh sayang dan tersenyum. Ada kebanggaan sedikit memancar dari sinar matanya. Bagaimanapun juga, tentu saja kebanggaan dalam hati kakek itu. Selama sepuluh tahun dia menggembleng murid tunggalnya ini dan dia melihat kemajuan yang luar biasa pada diri muridnya ini. Harus dia akui bahwa dia sendiri di waktu muda tidak memiliki bakat sehebat muridnya ini. Dalam sepuluh tahun, Thian Liong hampir dapat menguasal semua ilmu yang diajarkannya dengan baik. Bukan hanya ilmu silat lahiriah, melainkan juga batiniah. Pemuda itu dapat menghimpun tenaga sakti yang amat kuat. Selain itu, juga batinnya kuat, pengetahuannya men-dalam mengenai soal kerohanian. Bagaimanapun juga, kebanggaan ini hanya terdorong oleh kepuasan hatinya melihat kemajuan muridnya, sama sekali tidak membuat dia menjadi sombong atau tinggi hati, lebih tepat sebagai perasaan bangga dan puas dari seseorang yang melihat hasil pekerjaannya berbuah baik dan memuaskan. "Thian Liong, engkau tentu sudah dapat menduga apa maksudku memanggilmu. Kalau engkau lupa menghitung, aku ingatkan engkau bahwa telah sepuluh tahun engkau mempelajari ilmu dariku." Thian Liong menelan ludah untuk menenangkan hatinya yang berdebar. Tentu saja dia mengerti dan masih ingat akan ucapan gurunya dahulu bahwa gurunya akan membimbingnya mempelajari ilmu selama sepuluh tahun. "Apakah suhu maksudkan bahwa waktunya telah tiba bagi teecu untuk berpisah dari suhu?" tanyanya dengan suara tenang dan sikap biasa saja. Gurunya mengangguk-angguk. "Benar, Thian Liong. Seperti pepatah dahulu mengatakan bahwa ada waktu berkumpul pasti akan tiba waktu berpisah. Tiada yang abadi di dunia ini dan perubahan memang perlu bagi kehidupan ini. Sekarang tiba saatnya bagi kita untuk saling berpisah, Thian Liong. Erigkau perlu untuk turun gunung dan mempraktekkan semua teori pelajaran yang pernah engkau terima dariku. Tanpa diamalkan, apa gunanya semua ilmu yang kaukuasai itu? Dan tanpa diamalkan, sia-sia sajalah engkau bersusah payah selama sepuluh tahun mempelajarinya, Selain itu, aku juga akan memberi beberapa tugas untuk itu." "Teecu akan senantiasa menaati semua perintah suhu dan teecu akati selalu ingat akan semua nasehat suhu dan akan melaksanakannya dalam langkah kehidupan teecu. Tugas apakah yang hendak suhu berikan kepada teecu?" "Tentu engkau masih ingat akan tugas hidupmu setelah engkau menguasai ilmu yang seiama sepuluh tahun ini kau pelajari dengan tekun di sini. Tugas seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, membela mereka yang lemah tertindas dan menentang mereka yang kuat kuasa dan sewenang- wenang. Terutama sekali engkau jangan lupa untuk berbakti kepada bangsa dan kerajaan Sung, membantu kerajaan menghadapi kemurkaan bangsa Kin. Itu merupakan tugas umum bagimu yang dapat kaulaku-kan sepanjang hidupmu. Aku masih mem- punyai dua buah tugas untukmu. Pertama, ada beberapa bingkisan kitab yang harus kauserahkan kepada Ketua Kuil Siauw-lim-pai, Ketua Partai Kun-lun- pai, dan ketua partai Bu-tong-pai. Kitab-kitab itu ada hubungannya dengan ilmu silat mereka, untuk memperdalam dan mematangkan ilmu mereka. Kemudian, sisa kitab-kitab agama dan filsafat agar kau haturkan kepada Sribaginda Kaisar Sung Kao Tsu. Dan yang terakhir, dan ini penting sekali, engkau harus berusaha untuk menyelamatkan Kerajaan Sung dari pengaruh buruk Perdana Menteri Chin Kui”. "Apakah kesalahan Perdana Menterl Chin Kui maka teecu harus menentangnya, suhu?" "Aku belum menceritakan kepadamu tentang Jenderal Gak Hui, patriot dan pahlawan sejati itu, Thian Liong. Ketahuilah, Jenderal Gak Hui berhasil membujuk Sribaginda Kaisar untuk memberi ijin kepadanya melakukan penyerbuan ke utara untuk merampas kembali daerah Sung yang telah dikuasai bangsa Kin. Sribaginda telah memberi ijinnya, dan Jenderal Gak Hui telah berhasil menyerbu ke utara dan menang dalam banyak pertempuran. Akan tetapi apa yang terjadi? Perdana Menteri Chin Kui membujuk Kaisar untuk memerintahkan Jenderal Gak Hui agar menghentikan serbuan ke utara dan menarik mundur pasukannya!" "Akan tetapi mengapa begitu, suhu?" "Menurut berita rahasia yang sempat kudengar, agaknya antara Perdana Menteri Chin Kui dan Kerajaan Kin terdapat persekutuan rahasia. Karena itulah maka perdana menteri yang khianat itu membujuk kaisar dan karena dia memiliki pengaruh yang amat besar maka kaisar berhasil dibujuknya. "Akan tetapi apakah Jenderal Gak Hui mau menarik mundur pasukannya?" tanya Thian Liong penasaran. "Jenderal Gak Hui adalah seorang pang lima yang amat setia dan jujur, maka apapun yang diperintahkan kaisar dia pasti tidak mau menolaknya. Dia mematuhi perintah kaisar dan menarik mundur pasukannya walaupun ditangisi rakyat yang tadinya daerahnya dibebaskan dari cengkeraman bangsa Kin. Tentu saja hal itu menghancurkan hati Jenderal Gak Hui sehingga dia tidak segera membawa kembali sebagian dari barisannya ke selatan, melainkan membuat perkemahan di perbatasan." "Kasihan sekali rakyat yang ditinggalkan dan kasihan Jenderal Gak Hui." kata Thian Liong sambil menarik napas panjang. "Kemudian apa yang terjadi selanjutnya, suhu?" "Kisah selanjutnya sungguh membuat hati menjadi terharu, Thian Liong. Setelah pasukan Jenderal Gak Hui ditarik mundur, pasukan kerajaan Kin melampiaskan dendamnya kepada rakyat yang tadinya menyambut pasukan Sung dengan gembira. Mereka dianggap membantu pasukan Sung dan setelah mereka ditinggalkan, pasukan Kin menghukum rakyat daerah yang telah dibebaskan kemudian ditinggalkan itu dengan kejam dan sewenang-wenang. Banyak rakyat tidak berdosa dibunuh. Para serdadu Kin mendapat kesempatan untuk melampiaskan nafsu mereka dengan alasan mereka menghajar musuh. Mereka merampok, memperkosa dan tidak ada kekejaman yang pantang mereka lakukan." "Hemm, begitukah kiranya kalau nafsu sudah menguasai manusia, mengubah manusia menjadi lebih kejam daripada binatang buas yang tidak mempunyai akal pikiran." "Benar, Thlan Liong. Ketika Jenderal Gak Hui mendengar laporan ini dia tidak dapat menahan kemarahan hatinya. ia lupa diri bahkan berani melupakan perintah kaisar yang melarangnya menyerbu ke utara. Dia sendiri memimpin pasukannya dan mengamuk, membasmi dan membunuh banyak sekali pasukan Kerajaan Kin." "Sungguh seorang panglima yang mencinta bangsanya dan gagah perkasa." Thian Liong memuji dengan kagum. "Memang begitulah. Akan tetapi akibatnya menyedihkan sekali, Thian Liong. Perdana Menteri Chin Kui menjadl marah sekali dan siap menghasut kaisar, mengatakan bahwa Jenderal Gak Hui telah menentang perintah kaisar, berarti telah memberontak dan pantas dihukum mati." "Ah, suhu! Akan tetapi Jenderal Gak Hui yang gagah perkasa itu tentu tidak mudah ditangkap. Selain gagah perkasa, diapun memiliki pasukan yang amat kuat dan setia, Juga didukung rakyat yang mencintanya." kata Thian Liong penuh harapan, Gurunya menggeleng kepala dan meng hela napas panjang. "Kenyataannya tidak demikian, Thlan Liong. Jenderal Gak Hui di waktu mudanya pernah disumpah oleh ibunya untuk bersetia sampai mati, kalau perlu berkorban nyawa. Karena itu, ketika Kaisar menjatuhkan hukuman mati kepada Jenderal Gak Hui, dia menerinianya dengan hati-rela dan menyerahkan diri walaupun para pendukungnya berusaha keras untuk mencegahnya. Bahkan kawan-kawannya terdekat yang bertekad hendak menyelamatkannya dari hukuman mati, bahkan dibentak dan dimarahi oleh Jenderal Gak Hui sebagai orang- orang yang tidak setia kepada kaisar! Demikianlah, panglima besar yang setia dan patriotik itu, panglima yang benar-benar seorang pahlawan, telah menemui kematiannya secara menyedihkan, menjadi korban kelicikan Perdana Menteri Chin Kui." Thian Liong menghela napas panjang. "Ahh, sekarang teecu mengerti mengapa suhu menugaskan teecu untuk menentang pembesar lalim itu dan menyelamatkan kerajaan dari tangannya yang kotor. Teecu akan berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakan tugas yang suhu berikan kepada teecu." "Sekarang kauambillah peti dari kolong pembaringanku dan bawa peti itu ke sini." kata Tiong Lee Cin-jin. Thian Liong mengangguk lalu memasuki kamar gurunya dan membawa sebuah peti hitam diletakkan peti itu di depan gurunya. Tiong Lee Cin-jin membuka peti kayu hitam itu. Ternyata peti itu berisi banyak kitab yang sudah tua. Dia mengeluarkan tiga buah kitab. "Ini adalah sebuah kitab Sam-jong Cin keng berisi pelajaran dari Ji-lai-hud. Kitab ini harus kauserahkan kepada Ketua Siauw-lim-pai karena Kuil Siauw-lim yang berhak memiliki dan merawatnya, juga mempelajari isinya. Yang ke dua ini kitab Kiauw-ta Sin-na dan pelajaran ini sealiran dengan ilmu cengkeraman dari Bu-tong-pai, maka harus kauserahkan Ketua Bu-tong-pai. Yang ke tiga ini adalah kitab inti ilmu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, agar kauserahkan Ketua Kun-lun-pai. Dan ini," kakek itu mengeluarkan sebatang pedang dan belasan buah kltab. "Belasan kitab agama dan fllsafat ini harap kau haturkan kepada Sribaginda Kaisar untuk menambah pelajaran akhlak para pejabat, sedangkan pedang ini, lihat nama pedang itu yang terukir di pangkalnya." Thian Liong mencabut pedang itu. Pedang itu ternyata tumpul, tidak tajam dan tidak runcing! Terbuat dari baja yang berwarna putih gelap seperti kapur. Dia melihat tiga huruf yang terukir pada pangkal pedang itu dan memba-ca tiga huruf itu, mata Thian Liong terbelalak lebar karena keheranan. Dia membaca namanya sendiri di situ. Thian-liong-kiam (Pedang Naga Langit)! Mengapa pedang itu bernama presis seperti namanya? Dia menyarungkan pedang itu kembali dan memandang kepada gurunya dengan sinar mata mengandung pertanyaan. Tiong Lee Cin-jin tersenyum, "Begitulah aku dahulu ketika untuk pertama kali mendengar engkau menyebutkan namamu. Seperti juga engkau sekarang ini, aku terheran-heran. Apalagl ketika itu, ketika kita pertama kali bertemu, aku memandang ke angkasa mellhat awan-awan membentuk seekor naga yang sedang melayang di angkasa. Sungguh sua-tu kebetuian yang menakjubkan. Aku telah menemukan pedang yang namanya Thian-liong-kiam, kemudian aku mendengar namamu juga Thian Liong dan melihat Thian-liong (Naga Langit) terbang di angkasa. Karena itu, maka aku mengambil keputusan untuk memberikan pedang ini kepadamu." "Akan tetapi, untuk apakah pedang ini, suhu? Suhu selalu mengajarkan bah-wa semua anggauta tubuh kita dapat dimanfaatkan untuk melindungi diri, dan benda apapun juga yang tampak dapat kita pergunakan untuk rnembantu dan menjadi senjata kita." "Benar sekali dan kenyataannya memang masih seperti itu, Thian Liong. Akan tetapi, pedang ini sudah kutemukan dan benda ini buatan orang sakti, merupakan benda pusaka yang langka. Juga, melihat pedang ini tumpul, tidak taJam dan tidak runcing, aku yakin pembuatnya dahulu tidak mempunyai maksud agar pedang ini dipergunakan untuk melukai atau membunuh orang. Ambillah dan engkau dapat mernanfaatkamiya bila perlu. Ketahuilah, bahwa selain pedang ini terbuat dari batu bintang yang lebih kuat daripada baja, juga air rendamannya dapat menawarkan segala macam racun." "Terima kasih, suhu. Kapah teecu ha-rus berangkat, suhu?" Dalam pertanyaan ini terkandung keharuan karena mengi-ngatkan dia bahwa sebentar lagi dia akan berpisah dari orang yang selarna ini bukan saja menjadi gurunya, akan tetapi Juga menjadi pengganti orang tuanya, menjadi satu-satunya orang yang menyayang dan disayangnya di dunia ini. Selain merasa berat untuk berpisah dari orang yang dihormati dan disayangnya itu, dengan siapa selama sepuluh tahun dan hidup bersama, juga ada perasaan iba mepyelubungi hatinya mengingat bah-wa gurunya yang sudah tua itu akan dia tinggalkan dan hidup seorang diri, tidak akan ada yang membantu bekerja di kebun, tidak ada yang melayaninya lagl. Akan tetapi dengan batinnya yang telah menjadi kokoh kuat Thlan Liong dapat menguasai perasaannya sehingga perasaan haru itu tidak tampak pada wajahnya dan tidak terdengar pada suaranya. "Berkemaslah karena engkau harus berangkat hari ini juga. Hari ini cerah, indah dan baik sekali untuk memulai perjalananmu. Bungkus semua kitab ini dalam buntalan kain agar mudah kau gendong. Jangan lupa bawa semua pakaianmu, juga semua uang hasil penjualan hasil kebun dan sumbangan orang-orang yang berobat itu boleh kaubawa sebagai bekal dalam perjalanan." "Baik, suhu." Thian Liong segera ber-kemas, mengumpulkan semua kitab dan pakaiannya menjadi satu buntalan kain kuning. Juga pedang Thian-liong- kiam yang bergagang dan bersarung sederhana itu dia masukkan dalam buntalan, demi-kian pula uang pemberian suhunya. Sete-lah selesai, dia menggendong buntalan kain kuning di pungungnya dan menjatuhkan dirinya berlutut lagi di depan kaki suhunya. "Suhu, haruskah teecu berangkat sekarang?" "Berangkatlah sekarang juga, Thian Liong." "Suhu, teecu mohon pamit." "Mendekatlah, Thian Liong. Blarkan aku memelukmu." Pemuda itu mendekat dan Tiong Lee Cin-Jin lalu merangkulnya. Thian Liong balas merangkul. Dalam rangkulan itu guru dan murid ini merasakan betapa kasih sayang mereka menggetar menjalar dl seluruh tubuh mereka, membuat tubuh mereka gemetar. "Berhati-hatilah dalam perantauanmu, Thian Liong. Ingatlah selalu kepada Tuhan dan dasari semua tindakanmu dengan penyerahan sepenuhnya atas Kekuasaan Tuhan, waspadalah selalu gerak-gerik la- hir batinmu sendiri." "Akan teecu Ingat semua itu, suhu. Harap suhu menjaga diri baik-baik. Selamat tinggal, suhu." "Selamat jalan, muridku." Thian Liong bangkit dan melangkah keluar, diikuti pandang mata gurunya. Dia melangkah terus, keluar dari pekarangan, beberapa kali menengok dan melihat gurunya berdiri di ambang plntu depan. Thian Liong melihat gurunya tersenyum. Diapun tersenyum dan seketika rasa sedih dari haru karena perpisahan itu larut dalam senyum. Dla melangkah lebar dan dengan cepat meninggalkan Puncak Pelangi.
Kisah Si Naga Langit 14 Kisah Si Naga Langit 15 Kisah Si Naga Langit 16 Kisah Si Naga Langit 17 Kisah Si Naga Langit 18 Pendekar Seribu Diri 3 Pendekar Seribu Diri 4 Pendekar Seribu Diri 5 Pendekar Seribu Diri - Aone Kisah Si Naga Langit 13
Tiong Lee Cin-jin memandang muridnya dengan sinar mata penuh sayang dan tersenyum. Ada kebanggaan sedikit memancar dari sinar matanya. Bagaimanapun juga, tentu saja kebanggaan dalam hati kakek itu. Selama sepuluh tahun dia menggembleng murid tunggalnya ini dan dia melihat kemajuan yang luar biasa pada diri muridnya ini. Harus dia akui bahwa dia sendiri di waktu muda tidak memiliki bakat sehebat muridnya ini. Dalam sepuluh tahun, Thian Liong hampir dapat menguasal semua ilmu yang diajarkannya dengan baik. Bukan hanya ilmu silat lahiriah, melainkan juga batiniah. Pemuda itu dapat menghimpun tenaga sakti yang amat kuat. Selain itu, juga batinnya kuat, pengetahuannya men-dalam mengenai soal kerohanian. Bagaimanapun juga, kebanggaan ini hanya terdorong oleh kepuasan hatinya melihat kemajuan muridnya, sama sekali tidak membuat dia menjadi sombong atau tinggi hati, lebih tepat sebagai perasaan bangga dan puas dari seseorang yang melihat hasil pekerjaannya berbuah baik dan memuaskan. "Thian Liong, engkau tentu sudah dapat menduga apa maksudku memanggilmu. Kalau engkau lupa menghitung, aku ingatkan engkau bahwa telah sepuluh tahun engkau mempelajari ilmu dariku." Thian Liong menelan ludah untuk menenangkan hatinya yang berdebar. Tentu saja dia mengerti dan masih ingat akan ucapan gurunya dahulu bahwa gurunya akan membimbingnya mempelajari ilmu selama sepuluh tahun. "Apakah suhu maksudkan bahwa waktunya telah tiba bagi teecu untuk berpisah dari suhu?" tanyanya dengan suara tenang dan sikap biasa saja. Gurunya mengangguk-angguk. "Benar, Thian Liong. Seperti pepatah dahulu mengatakan bahwa ada waktu berkumpul pasti akan tiba waktu berpisah. Tiada yang abadi di dunia ini dan perubahan memang perlu bagi kehidupan ini. Sekarang tiba saatnya bagi kita untuk saling berpisah, Thian Liong. Erigkau perlu untuk turun gunung dan mempraktekkan semua teori pelajaran yang pernah engkau terima dariku. Tanpa diamalkan, apa gunanya semua ilmu yang kaukuasai itu? Dan tanpa diamalkan, sia-sia sajalah engkau bersusah payah selama sepuluh tahun mempelajarinya, Selain itu, aku juga akan memberi beberapa tugas untuk itu." "Teecu akan senantiasa menaati semua perintah suhu dan teecu akati selalu ingat akan semua nasehat suhu dan akan melaksanakannya dalam langkah kehidupan teecu. Tugas apakah yang hendak suhu berikan kepada teecu?" "Tentu engkau masih ingat akan tugas hidupmu setelah engkau menguasai ilmu yang seiama sepuluh tahun ini kau pelajari dengan tekun di sini. Tugas seorang pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, membela mereka yang lemah tertindas dan menentang mereka yang kuat kuasa dan sewenang- wenang. Terutama sekali engkau jangan lupa untuk berbakti kepada bangsa dan kerajaan Sung, membantu kerajaan menghadapi kemurkaan bangsa Kin. Itu merupakan tugas umum bagimu yang dapat kaulaku-kan sepanjang hidupmu. Aku masih mem- punyai dua buah tugas untukmu. Pertama, ada beberapa bingkisan kitab yang harus kauserahkan kepada Ketua Kuil Siauw-lim-pai, Ketua Partai Kun-lun- pai, dan ketua partai Bu-tong-pai. Kitab-kitab itu ada hubungannya dengan ilmu silat mereka, untuk memperdalam dan mematangkan ilmu mereka. Kemudian, sisa kitab-kitab agama dan filsafat agar kau haturkan kepada Sribaginda Kaisar Sung Kao Tsu. Dan yang terakhir, dan ini penting sekali, engkau harus berusaha untuk menyelamatkan Kerajaan Sung dari pengaruh buruk Perdana Menteri Chin Kui”. "Apakah kesalahan Perdana Menterl Chin Kui maka teecu harus menentangnya, suhu?" "Aku belum menceritakan kepadamu tentang Jenderal Gak Hui, patriot dan pahlawan sejati itu, Thian Liong. Ketahuilah, Jenderal Gak Hui berhasil membujuk Sribaginda Kaisar untuk memberi ijin kepadanya melakukan penyerbuan ke utara untuk merampas kembali daerah Sung yang telah dikuasai bangsa Kin. Sribaginda telah memberi ijinnya, dan Jenderal Gak Hui telah berhasil menyerbu ke utara dan menang dalam banyak pertempuran. Akan tetapi apa yang terjadi? Perdana Menteri Chin Kui membujuk Kaisar untuk memerintahkan Jenderal Gak Hui agar menghentikan serbuan ke utara dan menarik mundur pasukannya!" "Akan tetapi mengapa begitu, suhu?" "Menurut berita rahasia yang sempat kudengar, agaknya antara Perdana Menteri Chin Kui dan Kerajaan Kin terdapat persekutuan rahasia. Karena itulah maka perdana menteri yang khianat itu membujuk kaisar dan karena dia memiliki pengaruh yang amat besar maka kaisar berhasil dibujuknya. "Akan tetapi apakah Jenderal Gak Hui mau menarik mundur pasukannya?" tanya Thian Liong penasaran. "Jenderal Gak Hui adalah seorang pang lima yang amat setia dan jujur, maka apapun yang diperintahkan kaisar dia pasti tidak mau menolaknya. Dia mematuhi perintah kaisar dan menarik mundur pasukannya walaupun ditangisi rakyat yang tadinya daerahnya dibebaskan dari cengkeraman bangsa Kin. Tentu saja hal itu menghancurkan hati Jenderal Gak Hui sehingga dia tidak segera membawa kembali sebagian dari barisannya ke selatan, melainkan membuat perkemahan di perbatasan." "Kasihan sekali rakyat yang ditinggalkan dan kasihan Jenderal Gak Hui." kata Thian Liong sambil menarik napas panjang. "Kemudian apa yang terjadi selanjutnya, suhu?" "Kisah selanjutnya sungguh membuat hati menjadi terharu, Thian Liong. Setelah pasukan Jenderal Gak Hui ditarik mundur, pasukan kerajaan Kin melampiaskan dendamnya kepada rakyat yang tadinya menyambut pasukan Sung dengan gembira. Mereka dianggap membantu pasukan Sung dan setelah mereka ditinggalkan, pasukan Kin menghukum rakyat daerah yang telah dibebaskan kemudian ditinggalkan itu dengan kejam dan sewenang-wenang. Banyak rakyat tidak berdosa dibunuh. Para serdadu Kin mendapat kesempatan untuk melampiaskan nafsu mereka dengan alasan mereka menghajar musuh. Mereka merampok, memperkosa dan tidak ada kekejaman yang pantang mereka lakukan." "Hemm, begitukah kiranya kalau nafsu sudah menguasai manusia, mengubah manusia menjadi lebih kejam daripada binatang buas yang tidak mempunyai akal pikiran." "Benar, Thlan Liong. Ketika Jenderal Gak Hui mendengar laporan ini dia tidak dapat menahan kemarahan hatinya. ia lupa diri bahkan berani melupakan perintah kaisar yang melarangnya menyerbu ke utara. Dia sendiri memimpin pasukannya dan mengamuk, membasmi dan membunuh banyak sekali pasukan Kerajaan Kin." "Sungguh seorang panglima yang mencinta bangsanya dan gagah perkasa." Thian Liong memuji dengan kagum. "Memang begitulah. Akan tetapi akibatnya menyedihkan sekali, Thian Liong. Perdana Menteri Chin Kui menjadl marah sekali dan siap menghasut kaisar, mengatakan bahwa Jenderal Gak Hui telah menentang perintah kaisar, berarti telah memberontak dan pantas dihukum mati." "Ah, suhu! Akan tetapi Jenderal Gak Hui yang gagah perkasa itu tentu tidak mudah ditangkap. Selain gagah perkasa, diapun memiliki pasukan yang amat kuat dan setia, Juga didukung rakyat yang mencintanya." kata Thian Liong penuh harapan, Gurunya menggeleng kepala dan meng hela napas panjang. "Kenyataannya tidak demikian, Thlan Liong. Jenderal Gak Hui di waktu mudanya pernah disumpah oleh ibunya untuk bersetia sampai mati, kalau perlu berkorban nyawa. Karena itu, ketika Kaisar menjatuhkan hukuman mati kepada Jenderal Gak Hui, dia menerinianya dengan hati-rela dan menyerahkan diri walaupun para pendukungnya berusaha keras untuk mencegahnya. Bahkan kawan-kawannya terdekat yang bertekad hendak menyelamatkannya dari hukuman mati, bahkan dibentak dan dimarahi oleh Jenderal Gak Hui sebagai orang- orang yang tidak setia kepada kaisar! Demikianlah, panglima besar yang setia dan patriotik itu, panglima yang benar-benar seorang pahlawan, telah menemui kematiannya secara menyedihkan, menjadi korban kelicikan Perdana Menteri Chin Kui." Thian Liong menghela napas panjang. "Ahh, sekarang teecu mengerti mengapa suhu menugaskan teecu untuk menentang pembesar lalim itu dan menyelamatkan kerajaan dari tangannya yang kotor. Teecu akan berusaha sekuat tenaga untuk melaksanakan tugas yang suhu berikan kepada teecu." "Sekarang kauambillah peti dari kolong pembaringanku dan bawa peti itu ke sini." kata Tiong Lee Cin-jin. Thian Liong mengangguk lalu memasuki kamar gurunya dan membawa sebuah peti hitam diletakkan peti itu di depan gurunya. Tiong Lee Cin-jin membuka peti kayu hitam itu. Ternyata peti itu berisi banyak kitab yang sudah tua. Dia mengeluarkan tiga buah kitab. "Ini adalah sebuah kitab Sam-jong Cin keng berisi pelajaran dari Ji-lai-hud. Kitab ini harus kauserahkan kepada Ketua Siauw-lim-pai karena Kuil Siauw-lim yang berhak memiliki dan merawatnya, juga mempelajari isinya. Yang ke dua ini kitab Kiauw-ta Sin-na dan pelajaran ini sealiran dengan ilmu cengkeraman dari Bu-tong-pai, maka harus kauserahkan Ketua Bu-tong-pai. Yang ke tiga ini adalah kitab inti ilmu Ngo-heng Lian-hoan Kun-hoat, agar kauserahkan Ketua Kun-lun-pai. Dan ini," kakek itu mengeluarkan sebatang pedang dan belasan buah kltab. "Belasan kitab agama dan fllsafat ini harap kau haturkan kepada Sribaginda Kaisar untuk menambah pelajaran akhlak para pejabat, sedangkan pedang ini, lihat nama pedang itu yang terukir di pangkalnya." Thian Liong mencabut pedang itu. Pedang itu ternyata tumpul, tidak tajam dan tidak runcing! Terbuat dari baja yang berwarna putih gelap seperti kapur. Dia melihat tiga huruf yang terukir pada pangkal pedang itu dan memba-ca tiga huruf itu, mata Thian Liong terbelalak lebar karena keheranan. Dia membaca namanya sendiri di situ. Thian-liong-kiam (Pedang Naga Langit)! Mengapa pedang itu bernama presis seperti namanya? Dia menyarungkan pedang itu kembali dan memandang kepada gurunya dengan sinar mata mengandung pertanyaan. Tiong Lee Cin-jin tersenyum, "Begitulah aku dahulu ketika untuk pertama kali mendengar engkau menyebutkan namamu. Seperti juga engkau sekarang ini, aku terheran-heran. Apalagl ketika itu, ketika kita pertama kali bertemu, aku memandang ke angkasa mellhat awan-awan membentuk seekor naga yang sedang melayang di angkasa. Sungguh sua-tu kebetuian yang menakjubkan. Aku telah menemukan pedang yang namanya Thian-liong-kiam, kemudian aku mendengar namamu juga Thian Liong dan melihat Thian-liong (Naga Langit) terbang di angkasa. Karena itu, maka aku mengambil keputusan untuk memberikan pedang ini kepadamu." "Akan tetapi, untuk apakah pedang ini, suhu? Suhu selalu mengajarkan bah-wa semua anggauta tubuh kita dapat dimanfaatkan untuk melindungi diri, dan benda apapun juga yang tampak dapat kita pergunakan untuk rnembantu dan menjadi senjata kita." "Benar sekali dan kenyataannya memang masih seperti itu, Thian Liong. Akan tetapi, pedang ini sudah kutemukan dan benda ini buatan orang sakti, merupakan benda pusaka yang langka. Juga, melihat pedang ini tumpul, tidak taJam dan tidak runcing, aku yakin pembuatnya dahulu tidak mempunyai maksud agar pedang ini dipergunakan untuk melukai atau membunuh orang. Ambillah dan engkau dapat mernanfaatkamiya bila perlu. Ketahuilah, bahwa selain pedang ini terbuat dari batu bintang yang lebih kuat daripada baja, juga air rendamannya dapat menawarkan segala macam racun." "Terima kasih, suhu. Kapah teecu ha-rus berangkat, suhu?" Dalam pertanyaan ini terkandung keharuan karena mengi-ngatkan dia bahwa sebentar lagi dia akan berpisah dari orang yang selarna ini bukan saja menjadi gurunya, akan tetapi Juga menjadi pengganti orang tuanya, menjadi satu-satunya orang yang menyayang dan disayangnya di dunia ini. Selain merasa berat untuk berpisah dari orang yang dihormati dan disayangnya itu, dengan siapa selama sepuluh tahun dan hidup bersama, juga ada perasaan iba mepyelubungi hatinya mengingat bah-wa gurunya yang sudah tua itu akan dia tinggalkan dan hidup seorang diri, tidak akan ada yang membantu bekerja di kebun, tidak ada yang melayaninya lagl. Akan tetapi dengan batinnya yang telah menjadi kokoh kuat Thlan Liong dapat menguasai perasaannya sehingga perasaan haru itu tidak tampak pada wajahnya dan tidak terdengar pada suaranya. "Berkemaslah karena engkau harus berangkat hari ini juga. Hari ini cerah, indah dan baik sekali untuk memulai perjalananmu. Bungkus semua kitab ini dalam buntalan kain agar mudah kau gendong. Jangan lupa bawa semua pakaianmu, juga semua uang hasil penjualan hasil kebun dan sumbangan orang-orang yang berobat itu boleh kaubawa sebagai bekal dalam perjalanan." "Baik, suhu." Thian Liong segera ber-kemas, mengumpulkan semua kitab dan pakaiannya menjadi satu buntalan kain kuning. Juga pedang Thian-liong- kiam yang bergagang dan bersarung sederhana itu dia masukkan dalam buntalan, demi-kian pula uang pemberian suhunya. Sete-lah selesai, dia menggendong buntalan kain kuning di pungungnya dan menjatuhkan dirinya berlutut lagi di depan kaki suhunya. "Suhu, haruskah teecu berangkat sekarang?" "Berangkatlah sekarang juga, Thian Liong." "Suhu, teecu mohon pamit." "Mendekatlah, Thian Liong. Blarkan aku memelukmu." Pemuda itu mendekat dan Tiong Lee Cin-Jin lalu merangkulnya. Thian Liong balas merangkul. Dalam rangkulan itu guru dan murid ini merasakan betapa kasih sayang mereka menggetar menjalar dl seluruh tubuh mereka, membuat tubuh mereka gemetar. "Berhati-hatilah dalam perantauanmu, Thian Liong. Ingatlah selalu kepada Tuhan dan dasari semua tindakanmu dengan penyerahan sepenuhnya atas Kekuasaan Tuhan, waspadalah selalu gerak-gerik la- hir batinmu sendiri." "Akan teecu Ingat semua itu, suhu. Harap suhu menjaga diri baik-baik. Selamat tinggal, suhu." "Selamat jalan, muridku." Thian Liong bangkit dan melangkah keluar, diikuti pandang mata gurunya. Dia melangkah terus, keluar dari pekarangan, beberapa kali menengok dan melihat gurunya berdiri di ambang plntu depan. Thian Liong melihat gurunya tersenyum. Diapun tersenyum dan seketika rasa sedih dari haru karena perpisahan itu larut dalam senyum. Dla melangkah lebar dan dengan cepat meninggalkan Puncak Pelangi.