Cerita Silat | Pukulan Hitam | SD Liong | Pukulan Hitam | Sakti Cersil | Pukulan Hitam pdf
Darah di Wilwatikta 15 Darah di Wilwatikta 16 Darah di Wilwatikta 17 Darah di Wilwatikta 18 Pukulan Hitam 12 Kisah Si Naga Langit 19 Kisah Si Naga Langit 20 Darah di Wilwatikta 12 Darah di Wilwatikta 13 Darah di Wilwatikta 14
Tjian hong termangu. Ia tak pertjaja. Namun ditjobanja djuga untuk mendorong tutup peti. Ah, peti terbuka seketika. Tetapi ketika memandang kesekeliling, ia terkedjut lagi, serunja: "Nona Djiu-kiok, kau berada dimana?" Terdengar suara tertawa mengikik dari seorang anak perempuan: "Aku berada dibelakangmu!" Tjian hong berpaling. Saking kagetnja hampir sadja ia djatuh kedalam peti lagi. Ia mengusap dahinja jang penuh keringat dingin. Kira2 setombak djauhnja, tampak sesosok tubuh langsing. Tetapi jang tampak itu bukan berwudjud seorang melainkan hanja seperti bajangan jang ber- gojang2 dalam permukaan air. Jang djelas hanjalah nona itu berpakaian warna hitam, rambutnja terurai memandjang sampai kebahu. Bagaimana air mukanja sama sekali tak djelas... "Bagaimana? Apakah kau masih tak pertjaja keteranganku?" seru Djiu-kiok. Tjian hong tabahkan njalinja. Ia lontjat keluar dari peti. Dipandangnja dengan seksama, amboi... kaki nona itu benar2 tak mengindjak tanah. Serasa terbang semangat Tjian hong menjaksikan pemandangan itu. Ia tegak seperti patung sampai beberapa saat. "Ah, tak perlu takut," Djiu-kiok tertawa, "bangsa setanpun bukan machluk jang djahat. Bukankah didunia banjak terdapat manusia2 jang berhati djahat melebihi bangsa setan?" Utjapan budjang itu banjak membantu memulihkan semangat Tjian hong. Ia membulatkan tekad: "Untung tak dapat diraih, tjelaka tak dapat dihindari. Asal aku selalu waspada, tak nanti dia begitu mudah hendak mantjelakai diriku." "Apakah namanja tempat ini?" serunja memberanikan diri. "Lihatlah sendiri, apakah disini mirip dengan tempat setan atau tidak?" Djiu-kiok balas bertanja. Tjian hong memandang kesekeliling. Dilihatnja empat pendjuru berdinding batu karang jang berwarna hidjau ke-hitam2an. Dipuntjak karang tergantung dua buah lentera warna kuning. Entah bagaimana tjaranja lentera itu dipasang. Kesan jang didapat Tjian hong tjukup menjeramkan. Namun tak mau ia mengundjuk kelemahan. Dengan menggarangkan semangat, ia melangkah madju dua langkah dan berseru. "Memang tempat ini tjukup menjeramkan dan aneh. Tetapi menurut penilaian tetap seperti suasana didunia." "Benarkah?" "Aku mempunjai perasaan begini. Djika tempat ini disebut tempat bangsa setan maka djarak perbedaannja hanja sedikit. Ja, hampir sama!" Walaupun mulut mengatakan begitu namun dalam hati Tjian hong gemetar tak keruan. "Tetapi kukira hatimu tak mengatakan begitu!" "Ah, tak peduli bagaimana tolonglah kau beritahukan tempat apa ini namanja?" "Nanti kau tentu tahu sendiri!" sahut Djiu-kiok. Tiba2 ia ulurkan tangan mengambil lentera kuning. "Ikutlah aku, Nona hendak melihatmu!" "Nona...?" "Sudahlah, djangan banjak tanja. Ikut aku sadja," tukas Djiu-kiok. Mereka menjusur sebuah lorong ketjil jang gelap dan pandjang. Tjian hong tetap mengikuti dibelakang budjang itu. Diperhatikannja setiap tempat jang dilalui. Lebih2 perhentiannja tertumpah pada tumit nona itu. Benarkah tumit nona itu tak mengindjak tanah seperti bangsa setan? Atau apakah nona itu hanja menggunakan ilmu kesaktian sadja. Tetapi apa jang didapatinja, membuatnja putus asa. Selama berdjalan itu benar2 tumit Djiu-kiok tak mengindjak tanah. Tumitnja mengapung diatas terpisah kira2 tiga dim dari tanah. Hati pemuda itu makin gemetar. "Sudah sampai, masuklah sendiri!" tiba2 Djiu-kiok berkata. Tjian hong berhadapan dengan sebuah goha batu jang gelap. Diluar goha itu penuh ditempeli mutiara2 gemerlapan. Indah dan menjilaukan, mirip dengan kamar seorang gadis orang kaja. Tjian hong tertegun, serunja. "Tempat apakah ini?" Tiba2 Djiu-kiok meniup padam lenteranja dan berkata dengan dingin : "Apakah kau tak dapat masuk dan melihat sendiri?" Utjapan budjang itu mengandung pengaruh adjaib. Diluar kehendaknja, Tjian hongpun melangkah masuk. Tetapi baru sadja sang kaki madju setengah langkah hampir ia menjurut kembali..... Mengapa? Apakah ia melihat momok atau setan belang jang menjeramkan? Tidak! Tetapi karena hidungnja terbaur oleh serangkum hawa harum. Hawa harum jang biasanja dibaurkan oleh gadis2 remadja Ia memandang lagi dengan seksama. Ah, tak salah. Memang jang dimasukinja itu benar2 sebuah kamar seorang gadis. Tiba2 tubuh Tjian hong serasa didorong dari belakang. Ia terhujung-hujung kedalam kamar. Segera matanja tertumbuk akan sebuah pemandangan jang mengedjutkan! Dalam tebaran sehelai sutera putih, berdirilah bajang2 seorang gadis tjantik. Ia tampak ber-gerak2 dengan gaja lemab gemulai. Tjian hong ter-longong2 seperti patung. Tiba2 dari sekuntum bibir merah gadis itu merekah keta2: "Apakah kau jang bernama Ko Tjian hong?" Merdu djuga nada pertanjaan itu. Namun wadjah Tjian hong malah putjat, keringat dingin menghambur keluar, ia tak pertjaja tentang bangsa setan. Tetapi apa jang disaksikan saat itu, benar2 tak dapat disangkalnja. "Mengapa kau tak mendjawab pertanjaanku?" gadis tjantik itu mengulangi kata2nja. Adalah saking kedjutnja maka Tjian hong sampai lupa memberi djawaban. Dia benar2 tak berani mempertjajai mata dan telinganja sendiri. "Kau... kau... kau ini insan manusia atau... setan?" serunja tergugu. "Seharusnja kau mendjawab pertanjaanku dulu!" sahut sigadis. "Baik. Aku memang Ko Tjian hong dan siapakah kau? Apakah kau benar bangsa setan?" Gadis berselubung sutera putih itu tiba2 tertawa gemerintjing. Nadanja matjam bunga2 mekar menjambut embun pagi. Merdu, meraju, menjengsamkan sekali... "Kau benar, memang aku bangsa setan!" serunja. Seketika menggigillah Tjian hong. Tetapi ia berusaha se-keras2nja untuk menindas perasaan takutnja. "Kau berada dimana, mengapa tak mau menampakkan diri?" serunja. "Aku? Aku berada seribu li dari sini." "Aku tak pertjaja," dengus Tjian hong, "kalau berada pada djarak seribu li djauhnja mengapa bajanganmu tampak dalam sutera putih? Apakah kau bukannja mengolok aku?" "Ingatlah, bangsa setan itu mempunjai kepandaian jang adjaib!" "Lalu apakah nama tempat ini?" "Neraka!" tiba2 suara gadis itu berobah sedingin es. "Neraka?" Tjian hong terkedjut. "Ja, neraka!" sahut gadis dalam bajangan itu dengan tegas. "Kalau begitu aku sudah mati?" "Tidak! Kau belum mati, kau masih hidup!" Tjian hong termangu. Sekilas bajangan jang ngeri mentjengkam sanubarinja. Dipandangaja gulungan sutera putih jang membungkus bajangan tubuh langsing itu. "Apa kau takut?" seru gadis itu. "Takut? Aku seorang anak laki. Tiada barang didunia jang dapat menakutkan hatiku!" sahut Tjian hong. "Djuga terhadap bangsa setan?" "Setan? Aku tak pertjaja didunia terdapat setan!" "Akulah bangsa setan. Kalau kau tak pertjaja. silah membuktikan!" Gemetar hati Tjian hong mendengar utjapan jang ber- sungguh2 dari gadis bajangan itu. Tetapi karena ia hendak membuktikan apakah benar2 didunia ini ada setan atau tidak, iapun melangkah madju tiga tindak. "Madjulah lagi!" gadis bajangan itu tertawa dingin. Tjian hong tertegun beberapa djenak. Tiba2 ia madju dua langkah lagi dan dengan gerakan setjepat kilat, ia menerkam gulungan sutera putih itu. Sret, sret.... Tjian hong terkedjut. Ia dapat menerkam sutera, tetapi hanja sutera kosong melompong. Bajangan gadis itu lenjap. "Aku dibelakangmu!" tiba2 terdengar suara sigadis mengedjeknja. Tubus Tjian hong menggigil makin keras. Keringat dinginpun mengutjur makin deras. Dengan lemas ia berputar diri. Ia ter-hujung2 gemetar hampir djatuh. "Eh, bukankah kau mengatakan tak takut pada setan?" seru sigadis. Memang bukan tak ada alasan Tjian hong hampir semaput itu. Ia kaget, ja kaget sekali ketika menjaksikan pemandangan jang serupa dengan jang dilihatnja tadi. Gadis itu seperti terbungkus dalam segulung sutera putih. "Kau.... kau ini apa benar2.... setan?" serunja tergagap. "Hm....." dengus gadis itu. Suaranja seperti menghambur dari arah utara. "Tempat apakah ini?" tanja Tjian hong pula. Sebuah kata2 bernada dingin tiba2 meluntjur dari gadis bajangan: "Neraka!" "Neraka?" seru Tjian hong lemah lemas. Tiba2 ia teringat sesuatu dan serentak berseru tegang: "Neraka? Apakah bukan Neraka-19-lapis?" Pertanjaan itu membuat gadis bajangan tergetar. "Kau siapa?" serunja dengan gugup. "Aku orang she Ko, Ko Tjian hong. Mengapa?" Ketegangan gadis bajangan itu rupanja agak reda. Serunja: "Disini bukan Neraka-19 lapis tetapi Neraka lapis kesatu!" "Neraka-satu-lapis?" "Benar."
Darah di Wilwatikta 15 Darah di Wilwatikta 16 Darah di Wilwatikta 17 Darah di Wilwatikta 18 Pukulan Hitam 12 Kisah Si Naga Langit 19 Kisah Si Naga Langit 20 Darah di Wilwatikta 12 Darah di Wilwatikta 13 Darah di Wilwatikta 14
Tjian hong termangu. Ia tak pertjaja. Namun ditjobanja djuga untuk mendorong tutup peti. Ah, peti terbuka seketika. Tetapi ketika memandang kesekeliling, ia terkedjut lagi, serunja: "Nona Djiu-kiok, kau berada dimana?" Terdengar suara tertawa mengikik dari seorang anak perempuan: "Aku berada dibelakangmu!" Tjian hong berpaling. Saking kagetnja hampir sadja ia djatuh kedalam peti lagi. Ia mengusap dahinja jang penuh keringat dingin. Kira2 setombak djauhnja, tampak sesosok tubuh langsing. Tetapi jang tampak itu bukan berwudjud seorang melainkan hanja seperti bajangan jang ber- gojang2 dalam permukaan air. Jang djelas hanjalah nona itu berpakaian warna hitam, rambutnja terurai memandjang sampai kebahu. Bagaimana air mukanja sama sekali tak djelas... "Bagaimana? Apakah kau masih tak pertjaja keteranganku?" seru Djiu-kiok. Tjian hong tabahkan njalinja. Ia lontjat keluar dari peti. Dipandangnja dengan seksama, amboi... kaki nona itu benar2 tak mengindjak tanah. Serasa terbang semangat Tjian hong menjaksikan pemandangan itu. Ia tegak seperti patung sampai beberapa saat. "Ah, tak perlu takut," Djiu-kiok tertawa, "bangsa setanpun bukan machluk jang djahat. Bukankah didunia banjak terdapat manusia2 jang berhati djahat melebihi bangsa setan?" Utjapan budjang itu banjak membantu memulihkan semangat Tjian hong. Ia membulatkan tekad: "Untung tak dapat diraih, tjelaka tak dapat dihindari. Asal aku selalu waspada, tak nanti dia begitu mudah hendak mantjelakai diriku." "Apakah namanja tempat ini?" serunja memberanikan diri. "Lihatlah sendiri, apakah disini mirip dengan tempat setan atau tidak?" Djiu-kiok balas bertanja. Tjian hong memandang kesekeliling. Dilihatnja empat pendjuru berdinding batu karang jang berwarna hidjau ke-hitam2an. Dipuntjak karang tergantung dua buah lentera warna kuning. Entah bagaimana tjaranja lentera itu dipasang. Kesan jang didapat Tjian hong tjukup menjeramkan. Namun tak mau ia mengundjuk kelemahan. Dengan menggarangkan semangat, ia melangkah madju dua langkah dan berseru. "Memang tempat ini tjukup menjeramkan dan aneh. Tetapi menurut penilaian tetap seperti suasana didunia." "Benarkah?" "Aku mempunjai perasaan begini. Djika tempat ini disebut tempat bangsa setan maka djarak perbedaannja hanja sedikit. Ja, hampir sama!" Walaupun mulut mengatakan begitu namun dalam hati Tjian hong gemetar tak keruan. "Tetapi kukira hatimu tak mengatakan begitu!" "Ah, tak peduli bagaimana tolonglah kau beritahukan tempat apa ini namanja?" "Nanti kau tentu tahu sendiri!" sahut Djiu-kiok. Tiba2 ia ulurkan tangan mengambil lentera kuning. "Ikutlah aku, Nona hendak melihatmu!" "Nona...?" "Sudahlah, djangan banjak tanja. Ikut aku sadja," tukas Djiu-kiok. Mereka menjusur sebuah lorong ketjil jang gelap dan pandjang. Tjian hong tetap mengikuti dibelakang budjang itu. Diperhatikannja setiap tempat jang dilalui. Lebih2 perhentiannja tertumpah pada tumit nona itu. Benarkah tumit nona itu tak mengindjak tanah seperti bangsa setan? Atau apakah nona itu hanja menggunakan ilmu kesaktian sadja. Tetapi apa jang didapatinja, membuatnja putus asa. Selama berdjalan itu benar2 tumit Djiu-kiok tak mengindjak tanah. Tumitnja mengapung diatas terpisah kira2 tiga dim dari tanah. Hati pemuda itu makin gemetar. "Sudah sampai, masuklah sendiri!" tiba2 Djiu-kiok berkata. Tjian hong berhadapan dengan sebuah goha batu jang gelap. Diluar goha itu penuh ditempeli mutiara2 gemerlapan. Indah dan menjilaukan, mirip dengan kamar seorang gadis orang kaja. Tjian hong tertegun, serunja. "Tempat apakah ini?" Tiba2 Djiu-kiok meniup padam lenteranja dan berkata dengan dingin : "Apakah kau tak dapat masuk dan melihat sendiri?" Utjapan budjang itu mengandung pengaruh adjaib. Diluar kehendaknja, Tjian hongpun melangkah masuk. Tetapi baru sadja sang kaki madju setengah langkah hampir ia menjurut kembali..... Mengapa? Apakah ia melihat momok atau setan belang jang menjeramkan? Tidak! Tetapi karena hidungnja terbaur oleh serangkum hawa harum. Hawa harum jang biasanja dibaurkan oleh gadis2 remadja Ia memandang lagi dengan seksama. Ah, tak salah. Memang jang dimasukinja itu benar2 sebuah kamar seorang gadis. Tiba2 tubuh Tjian hong serasa didorong dari belakang. Ia terhujung-hujung kedalam kamar. Segera matanja tertumbuk akan sebuah pemandangan jang mengedjutkan! Dalam tebaran sehelai sutera putih, berdirilah bajang2 seorang gadis tjantik. Ia tampak ber-gerak2 dengan gaja lemab gemulai. Tjian hong ter-longong2 seperti patung. Tiba2 dari sekuntum bibir merah gadis itu merekah keta2: "Apakah kau jang bernama Ko Tjian hong?" Merdu djuga nada pertanjaan itu. Namun wadjah Tjian hong malah putjat, keringat dingin menghambur keluar, ia tak pertjaja tentang bangsa setan. Tetapi apa jang disaksikan saat itu, benar2 tak dapat disangkalnja. "Mengapa kau tak mendjawab pertanjaanku?" gadis tjantik itu mengulangi kata2nja. Adalah saking kedjutnja maka Tjian hong sampai lupa memberi djawaban. Dia benar2 tak berani mempertjajai mata dan telinganja sendiri. "Kau... kau... kau ini insan manusia atau... setan?" serunja tergugu. "Seharusnja kau mendjawab pertanjaanku dulu!" sahut sigadis. "Baik. Aku memang Ko Tjian hong dan siapakah kau? Apakah kau benar bangsa setan?" Gadis berselubung sutera putih itu tiba2 tertawa gemerintjing. Nadanja matjam bunga2 mekar menjambut embun pagi. Merdu, meraju, menjengsamkan sekali... "Kau benar, memang aku bangsa setan!" serunja. Seketika menggigillah Tjian hong. Tetapi ia berusaha se-keras2nja untuk menindas perasaan takutnja. "Kau berada dimana, mengapa tak mau menampakkan diri?" serunja. "Aku? Aku berada seribu li dari sini." "Aku tak pertjaja," dengus Tjian hong, "kalau berada pada djarak seribu li djauhnja mengapa bajanganmu tampak dalam sutera putih? Apakah kau bukannja mengolok aku?" "Ingatlah, bangsa setan itu mempunjai kepandaian jang adjaib!" "Lalu apakah nama tempat ini?" "Neraka!" tiba2 suara gadis itu berobah sedingin es. "Neraka?" Tjian hong terkedjut. "Ja, neraka!" sahut gadis dalam bajangan itu dengan tegas. "Kalau begitu aku sudah mati?" "Tidak! Kau belum mati, kau masih hidup!" Tjian hong termangu. Sekilas bajangan jang ngeri mentjengkam sanubarinja. Dipandangaja gulungan sutera putih jang membungkus bajangan tubuh langsing itu. "Apa kau takut?" seru gadis itu. "Takut? Aku seorang anak laki. Tiada barang didunia jang dapat menakutkan hatiku!" sahut Tjian hong. "Djuga terhadap bangsa setan?" "Setan? Aku tak pertjaja didunia terdapat setan!" "Akulah bangsa setan. Kalau kau tak pertjaja. silah membuktikan!" Gemetar hati Tjian hong mendengar utjapan jang ber- sungguh2 dari gadis bajangan itu. Tetapi karena ia hendak membuktikan apakah benar2 didunia ini ada setan atau tidak, iapun melangkah madju tiga tindak. "Madjulah lagi!" gadis bajangan itu tertawa dingin. Tjian hong tertegun beberapa djenak. Tiba2 ia madju dua langkah lagi dan dengan gerakan setjepat kilat, ia menerkam gulungan sutera putih itu. Sret, sret.... Tjian hong terkedjut. Ia dapat menerkam sutera, tetapi hanja sutera kosong melompong. Bajangan gadis itu lenjap. "Aku dibelakangmu!" tiba2 terdengar suara sigadis mengedjeknja. Tubus Tjian hong menggigil makin keras. Keringat dinginpun mengutjur makin deras. Dengan lemas ia berputar diri. Ia ter-hujung2 gemetar hampir djatuh. "Eh, bukankah kau mengatakan tak takut pada setan?" seru sigadis. Memang bukan tak ada alasan Tjian hong hampir semaput itu. Ia kaget, ja kaget sekali ketika menjaksikan pemandangan jang serupa dengan jang dilihatnja tadi. Gadis itu seperti terbungkus dalam segulung sutera putih. "Kau.... kau ini apa benar2.... setan?" serunja tergagap. "Hm....." dengus gadis itu. Suaranja seperti menghambur dari arah utara. "Tempat apakah ini?" tanja Tjian hong pula. Sebuah kata2 bernada dingin tiba2 meluntjur dari gadis bajangan: "Neraka!" "Neraka?" seru Tjian hong lemah lemas. Tiba2 ia teringat sesuatu dan serentak berseru tegang: "Neraka? Apakah bukan Neraka-19-lapis?" Pertanjaan itu membuat gadis bajangan tergetar. "Kau siapa?" serunja dengan gugup. "Aku orang she Ko, Ko Tjian hong. Mengapa?" Ketegangan gadis bajangan itu rupanja agak reda. Serunja: "Disini bukan Neraka-19 lapis tetapi Neraka lapis kesatu!" "Neraka-satu-lapis?" "Benar."