Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Pukulan Hitam - 16

$
0
0
Cerita Silat | Pukulan Hitam | SD Liong | Pukulan Hitam | Sakti Cersil | Pukulan Hitam pdf

Darah di Wilwatikta 15 Darah di Wilwatikta 16 Darah di Wilwatikta 17 Darah di Wilwatikta 18 Pukulan Hitam 12 Kisah Si Naga Langit 19 Kisah Si Naga Langit 20 Darah di Wilwatikta 12 Darah di Wilwatikta 13 Darah di Wilwatikta 14

Angin menderu hebat. Serangkum tenaga dahsjat menghambur. Tetapi barisan setan lidah pandjang itu tak kurang suatu apa. Mereka tetap melangkah madju. Lidah mereka jang pandjang bergeliatan kian kemari. Benar2 menjeramkan sekali. Melihat itu Tjian hong ter-hujung2 mundur beberapa langkah. Keringat dingin membasahi tubuhnja. Dia mundur sampai kesebatang pohon besar. "Hai. djangan ber-pura2 djadi setan. Kalau djantan, tundjukkan mukamu!" setelah pulih dari kedjutnja Tjian hong berseru njaring. Kawanan setan itu ber-tjuit2 riuh. Mereka ulurkan tulang2 tangannja matjam tjakar, mengarah Tjian hong. Mau tak mau ngeri djuga Tjian hong. Ia tak tahu apakah setan2 itu benar setan atau hanja setan djedjadian. Kawanan setan itu berhamburan mentjengkeram. Terpaksa Tjian hong menghindar kesampiag lalu menghantam lagi. Pukulan kali ini dilantjarkan dengan tenaga penuh. Dahsjatnja dapat menumbangkan pohon. Tetapi anehnja, kawanan setan lidah pandjang itu bandel sekali. Se-olah2 tak merasakan apa-apa. Pukulan Tjian hong tak membawa akibat suatu apa. Tjian hong benar2 terkedjut sekali. Kaki tangannja serasa lentur tak bertenaga lagi. Se-konjong2 setan lidah pandjang itu lontjat menerkam, Tjian hong masih dapat menghindar. Saat itu bajangan2 putih berkelebatan. Debu dan pasir2 berhamburan. Setan2 me-ringkik2 gempar. Tiba2 terdengar Tjian hong mendjerit ngeri. Tubuhnja melambung bagai sebuah bola. Terlempar sampai 10- an tombak dan djatuh kedalam semak. Matanja berkunang-kunang, kepala pusing tudjuh keliling. Dia segera hendak bangun tetapi gagal. Ia menggeletak lagi. Saat itu ia benar2 putus asa. Mata sukar dibuka. Tiba2 telinganja terngiang derai tertawa. Nadanja bergemerintjing bagai mutiara ditumpahkan dalam tampi. "Hi, ketawa itu seperti tak asing bagiku," ia gelagapan dan dipusatkan seluruh pikirannja untuk mendengarkannja. Aneh, suara tertawa itu djauh2 dekat, seperti ber-alun2 diudara sukar diduga arahnja. Pada saat ia tjurahkan perhatian mendengari, suara tertawa itu terdengar djauh. Tetapi apabila ia lepaskan pendengarannja, suara tertawa itupun dekat sekali dengan telinganja. Tjian hong diam2 mengadakan penilaian. "Nadanja seperti seorang wanita, tetapi siapakah gerangan dia?" sekilas benaknja terisi oleh bajang- bajang sesosok tubuh langsing, tetapi ia tak berani memastikan, benar atau bukan. Lalu lain sosok bajangan langsing melintas pula. Ah, ia tetap bersangsi. Djelas sebagai tertawa wanita. Djauh tetapi dekat. Dekat tetapi djauh. Ingin ia hendak meretang mata melihat siapakah jang menertawakannja. Tetapi matanja terasa berat sekali. Betapapun ia rentang se- kuat2nja namun tak dapat mata dibuka. Se-konjong2 serangkum bau wangi membaur kehidung terus menjusup kedalam uluhati. Seketika kesadaran pikirannja melajang lenjap. Dan tak tahulah ia apa jang terdjadi selandjutnja. Ketika tersadar, ia dapatkan sekelilingnja gelap gelita. Tiba2 terdengar suara mendengung-dengung. Tjepat2 ia lontjat bangun, auh.....dahinja membendjul dan djatuhlah ia lagi. Ia heran dan memeriksa apa jang menjebabkan. Hai, ternjata ia dikurung dalam sebuah peti besi! Tetapi mengapa ia seperti dikotjok kian kemari dan suara bergerodakan tak henti2nja mengiang. Dengan tenang ia memperhatikan apa jang terdjadi sebenarnja. Wahai, ternjata ia berada dalam sebuah peti besi jang dibawa sebuah gerobak. Karena djalanan tak rata maka peti bergontjangan kian kemari. Terpaksa Tjian hong hanja dapat menghela napas dan membaringkan diri lagi. Tiba2 diluar didengarnja suara orang bertjakap-tjakap dengan berbisik : "Djun-lan, tahukah kau apa sebab nona menangkap budak lelaki itu?" Tjian hong tergetar. Dia tahu jang dimaksudkan sebagai budak lelaki itu tentulah dirinja. Ia marah tetapi apa daja. Orang jang dipanggil"Djun-lan" itu menjahut: "Djiu- kiok, masakan kau tak tahu?" "Kalau tahu masakan bertanja. "Kau tahu berapa umur nona tahun ini?" tanja jang dipanggil Djun-lan. "Apa hubungannja dengan hal itu?" Djiu-kiok balas bertanja, Djun-lan tertawa mengikik, serunja: "Erat sekali hubungannja." "Bukankah nona baru berusia 18 tahun?" kata Djiu kiok. "Apakah umur 18 tahun masih ketjil?" lengking Djun- lan. Kini baru Djiu-kiok seperti disadarkan, serunja : "Uh, usia 18 tahun memang tidak ketjil lagi!" "Benar!" Dari lubang ketjil jang terdapat pada dinding peti besi, dapatlah Tjian hong mendengarkan pertjakapan itu. Seketika keringat hangat mengutjur ditubuhnja. Samar2 ia dapat menangkap maksud pambitjaraan kedua anak perempuan itu. "Loya baru beberapa hari meninggal, mengapa nona malah berbuat jang tidak2?" tanja Djun-lan pula. "Eh, apakah kau pertjaja loya (majikan tua) benar2 meninggal?" balas Djiu-kiok. Djun-lan terkedjut: "Apa? Apakah loya belum meninggal? Apakah ada orang mati jang pura-pura?" "Sungguh2 dan pura2, pura2 dan sungguh..." Djiu-kiok berhenti sedjenak, katanja pula: "Hal itu, kita hanja sebagai budjang tak perlu mengurusi agar djangan bikin katjau. Setiap saat mungkin keadaan berobah. Hai, sampai dimanakah kita sekarang?" Kembali Tjian hong merenungkan pembitjaraan itu. Diam2 ia makin memperhatikan mereka. "Sudab lewat gunung Mo-san, segera kita akan sampai!" sahut Djun-lan. "Mo-san? Sebelum matahari terbenam kita akan sampai!" seru Djiu-kiok. "Ja, mudah2an." "Tetapi gerobak harus kita larikan lebih tjepat. Kalau tidak, tentu takkan tertjapai. Sekali nona marah2, siapa jang berani mentjegahnja?" Tjian hong heran. Selama ini tak pernah ia mendengar tentang gunung Mo-san. Tak tahu ia sudah berapa lama berada dalam gerobak dan hendak dibawa kemana. Kedua budjang perempuan itupun diam. Tjian hong merasa sesak dadanja. Kalau dapat ia hendak mendjebol kurungan besi itu untuk menghirup udara segar. Keinginan itu makin membesar dan serentak ia ajunkan tindjunja menghantam dinding peti. Bunnng.... peti ber-guntjang2 keras, tetapi tak apa2. Tjian hong terperandjat. Pada lain saat ia geram, putus asa. Kedua matanja ber-linang2.... Ternjata ia sudah kerahkan seluruh tenaganja memukul, tetapi apa jang didapatinja ternjata ia tak memiliki tenaga-dalam lagi. Pukulannja kini seperti pukulan orang biasa jang tak memiliki ilmu silat. Pukulan dalam peti besi itu, membuat kedua budjang terkedjut. "Eh, apakah budak dalam peti ini sudah tersadar?" seru Djiu-kiok. Kata2 budjang itu benar2 kasar. Ia mempersamakan seorang pemuda gagah matjam Tjian hong hanja seperti seorang katjung sadja. "Hai, budak dalam peti, apa kau sudah mampus?" seru Djiu-kiok kepada Tjian hong. Tjian hong diam sadja. "Hai, apakah kau tuli?" Djiu-kiok ulangi seruannja lagi. "Tidak! Aku masih hidup!" sahut Tjian hong dengan geram. "Mengapa kau tak mendjawab panggilanku?" "Perlu apa aku harus mendjawab?" "Baik, kalau kau tak mau mendjawab, tjobalah siapa jang lebih tahan," habis berkata itu Djiu-kiok tak mau mengganggunja lagi. Entah apa jang dikatakan. Jang kedengarannja ia hanja menggerutu pandjang pendek.... "Hai, apakah masih ada orang diluar?" beberapa saat kemudian karena kesesakan, Tjian hong berseru. Tetapi tiada penjahutan sama sekali. "Apakah kalian mampus semua...," Tjian hong berseru sekuat-kuatnja. Se-konjong2 terasa gontjangan berat sehingga kepala pening mata berkunang-kunang dan terdengarlah sibudjang Djiu-kiok berseru: " Budak, berbaringlah sadja. Kalau ribut2 terus, awas, tahu rasa sendiri nanti!" "Nona, tolong tanja. Kemanakah kau hendak membawa aku?" menggunakan kesempatan itu Tjian hongpun segera berseru dengan bisik2. "Tak perlu kau tahu. Nanti pada waktunja kau tentu tahu sendiri," sahut sibudjang. "Siapakah namamu?" "Aku Djiu-kiok." Siapakah jang kau maksudkan dengan 'nona' itu? Maukah kau memberiiahu?" kata Tjian hong. Djiu-kiok tertegun. Beberapa djenak baru ia menjahut: "Tak usah kau banjak tanja. Tanjapun tak ada gunanja. Tidur sadja nanti tentu tahu sendiri!" "Nona, nona..." Tjian hong makin gugup. Tetapi hanja mendapat sambutan tertawa dari kedua budjang itu. Mereka tak mau mengatjuhkan. Tjian hong hampir meledak dadanja. Ia marah dan geram sekali. Tetapi tak dapat berbuat suatu apa. Entah berapa lama gerobak itu melandjutkan perdjalanan. Tiba2 berhenti. Tjian hong tegang. Dengan penuh perhatian ia pasang telinga. Terdengar suara musik menggema, mengiang-ngiang ditelinga Tjian hong. Hatinja gelisah tak keruan, dan entah bagaimana ia merasa lemas. Terpaksa ia berbaring. Beberapa saat kemudian terdengar derap kaki hilir mudik. Tjian hong rasakan peti seperti diangkat, digotong menjusur sebuah lorong pandjang. Lalu diletakkan ditanah lagi. Berbagai perasaan mentjengkam hati Tjian hong. Marah, geram, sedih dan putus asa. Apa jang dialami benar2 membingungkan. Tengkorak2 djedjadian jang menerkamnja, peti besi jang mengurungnja dan gerobak jang mengangkutnja. Ah, siapakah gerangan jang merentjanakan penangkapan dirinja itu. Kalau nanti berhadapan dengan manusia djahat itu, ingin ia meremuk-remuk kepalanja. Apabila membajangkan pada orang jang menjiksanja, seketika menjalalah kemarahannja dan dengan kedua tangannjn segera ia menghantam peti kurungannja. Bung, bung, bung.... "Apakah kau bosan hidup?" beberapa saat kemudian terdengar orang menegurnja. Sebenarnja Tjian hong kuatir kalau tiada orang jang mengurusnja. Demi mendengar suara orang, ia malah girang. "Siapakah kau?" serunja dari lubang hawa. "Mengapa kau pelupa benar?" "O, kau Djiu-kiok." "Ja, benar. Djangan bikin ribut, akan kutinggal dulu sebentar!" "Hai, djangan, djangan... keluarkan aku dululah!" Tjian hong terkedjut dan me-mekik2 gugup. Tetapi Djiu- kiok tak mempedulikan. Pendengaran Tjian hong tadjam sekail. Ia tak mendengar derap kaki sinona. "Hm, apa dia besembunji disamping sengadja mau menggoda aku?" pikirnja. Dengan se-kuat2nja ia berseru lagi: "Nona Djiu kiok, Djiu... kiok..." Tetapi sampai tenggorokan serasa petjah, tiada terdengar penjahutan apa2. Huh.... karena mengkalnja ia djatuhkan diri dengan lemas. Beberapa saat kemudian, terdengar pula suara budjang Djiu-kiok mengiang: "Heh, mengapa kau berubah djinak?" Tjian hong tertegun, serunja: "Apakah kau tadi pergi?" "Mengapa?" "Kukira kau tidak pergi." "Mengapa? Aku tadi mengurus sedikit pekerdjaan. Kau tak pertjaja padaku?" "Ja, aku agak sangsi." "Mengapa?" "Kau tentu tak pergi. Aku tak mendengar derap kakimu sama sekali. Aku lebih pertjaja telingaku dari keteranganmu!" Tjian hong ngotot tetapi Djiu-kiok hanja tertawa mengikik. "Huh, mengapa kau tertawa? Apakah telingaku rusuk?" Tjian hong terkedjut. "Tidak, telingamu memang tadjam." "Ho, djadi kau membohong?" "Tidak." "Lalu..." tak tahu Tjian hong hendak mengatakan apa lagi. "Pernahkah kau melihat setan?" tiba2 Djiu kiok bertanja. Tersirap darah Tjian hong ketika mendengar kata2 tentang setan. Walaupun ia telah ditangkap oleh kawanan jang menjerupai bangsa setan, tetapi seumur hidup tak pernah ia melihat setan. Dan memang ia tak pertjaja didunia terdapat bangsa iblis dan setan. "Setan? Ja, memang aku pernah mendengar tetapi aku tak pertjaja tentang hal itu," sahutnja setelah berpikir sedjenak. "Bagus, tjukuplah kalau sudah pernah mendengar tjeritanja. Dan apakah pernah djuga kau mendengar tjerita bahwa bangsa setan itu kalau berdjalan kakinja tak mengindjak tanah?" tanja Djiu-kiok. "Ja, memang tjeritanja begitu. Tetapi apa perlunja kau menanjakan hal itu?" Tjian hong heran. "Tentu ada keperluannja, "Djiu kiok merenung sedjenak, katanja pula: "karena aku ini djuga bangsa setan perempuan!" Keterangan budjang itu daripada menggetarkan njali Tjian hong kebalikannja malah menimbulkan sambutan jang tak terduga. Tjian hong tertawa ter- bahak2 sampai lama sekali. Djiu-kiok terkesiap, serunja: "Kenapa....?" "Aku tak pertjaja....." sahut Tjian hong, "eh, siapakah namamu?" "Djiu-kiok. Bukankah tadi telah kukatakan?" "Ja. Namamu Djiu kiok jang berarti bunga Seruni dimusim rontok itu tjukup mengatakan bagaimana orangnja. Aku tak pertjaja bahwa kau bangsa machluk halus!" "Oh, kau bersangsi hanja karena namaku itu? Sebenarnja Djiu kiok itu nama jang kupakai sewaktu aku masih djadi manusia biasa. Setelah meninggal dunia karena dalam Neraka sini banjak djumlahnja setan2 perempuan maka untuk tanda pengenal diri, aku tetap memakai nama itu!" Agak menggigil hati Tjian hong mendengar keterangan itu. Udjarnja: "Kalau begitu, apakah kau ini benar2 bangsa setan?" "Perlu apa aku harus membohongimu?" balas Djiu- kiok, "dan lagi aku pun segera akan membebaskan kau. Kau nanti dapat membuktikan benar tidaknja keteranganku itu." Mendengar akan dibebaskan, bukan kepalang girang Tjian hong, serunja: "Lekaslah bebaskan aku!" "Djangan terburu nafsu," kata Djiu-kiok. Tjian hong tak mau ber-kata2 lagi. Ia duduk menunggu Djiu-kiok membuka peti kurungan. Tetapi sampai sekian lama belum djuga terdengar suatu gerakan apa2. "Nona Djiu-kiok, lekaslah buka peti ini!" seruuja tak sabar. "Keluarlah, aku toh sudah membukakan!" Apa? Aku tak mendengar suara apa2!" Tjian hong berseru heran. "Ingat aku ini setan perempuan. Bangsa setan mempunjai kesaktian jang luar biasa!" ***

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423


<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>