Cerita Silat | Pendekar Yang Berbudi | Oleh OKT | Pendekar Yang Berbudi | Sakti Cersil | Pendekar Yang Berbudi pdf
Pukulan Hitam 13 Pukulan Hitam 14 Pukulan Hitam 15 Pukulan Hitam 16 Pukulan Hitam 17 Darah di Wilwatikta 15 Darah di Wilwatikta 16 Darah di Wilwatikta 17 Darah di Wilwatikta 18 Pukulan Hitam 12
Beng Sin kaget tetapi dia penasaran, walau pun dia merasa jeri, dia toh maju juga. "Bocah, jangan terlalu takabur!" teriaknya. "Kau lihat tongcumu she Beng mengambil jiwa semutmu!" Beng Sin jauh lebih lihay dari pada Koh Piauw, toh ia berlaku hati hati. Begitu ia maju sambil memutar goloknya, lantas ia menggunakan tipu golok istimewa. Goloknya itu lantas berkilauan dan anginnya seperti menderu-deru. Menghadapi Pek Ngo Houw, hatinya Pek Kong panas. Ia ingat bagaimana waktu di Tong bok cee ia telah disiksa tongcu itu hingga ia sangat menderita, tetapi lewat sejenak ia ingat bahwa diantara mereka berdua tidak ada dendam hebat, tidak selayaknya ia menghajar orang hingga mati. Pikiran ini ternyata merugikan padanya. Lawan yang galak itu sudah lantas menyerang, membuatnya repot sebab ia terus terdesak. "Dukk!" demikian satu suara terdengar. Itulah suara kepalan kirinya Beng Sin meninju perutnya Pek Kong, hingga si anak muda mundur tiga langkah serta perutnya terasa sakit. Ia repot menjaga golok, tak disangka kepalanlah yang menghajarnya ! "Sungguh berbahaya!" katanya didalam hati. Syukur ia masih mencoba mundur juga. Akan tetapi Beng Sin juga bukannya tidak terhajar, bahkan ia menderita lebih hebat. Selagi mengundurkan diri, Pek Kong meluncurkan tangannya dan membuat dia terpental lima langkah. Untung dia masih dapat berdiri terus. Selagi merasakan nyeri, dia heran melihat lawannya tak kurang suatu apa apa. Dia tahu, pukulannya barusan keras hingga seolah—olah dapat membinasakan seekor gajah. Hanya sedetik dia heran. Dia lantas menyadari akan ketangguhan lawannya yang telah makan buah cutengko. Tapi karena penasaran, dia maju lagi. Kembali dia menyerang ! Hampir berbareng dengan itu, Koh Piauw pun maju pula untuk mengepung. Setelah bisa bangun berdiri, terdorong oleh kemarahan dan sakit hati, dia menggunakan lagi ruyung lunaknya buat membantu kawannya. Sesudah mendapatkan dua macam pengalaman itu, Pek Kong berkelahi dengan hati—hati. Mula—mula ia terdesak. perlahan—lahan ia merubah keadaan menjadi sebaliknya. Baik golok maupun joanpoan, kedua—duanya dapat dihalau dengan baik. Koh Piauw dan Beng Sin sudah berpengalaman. Mereka segera insyaf akan lihaynya anak muda ini. Disamping itu, ada hal yang mengherankan mereka. Disaat—saat berbahaya, anak muda itu tidak meneruskan merobohkan mereka. Mereka seperti dikasihani. Tapi mereka insyaf, 1ama—lama mereka akan dibuatnya menjadi letih dan akan roboh dengan sendirinya .... Beng Sin segera memberikan isyarat kepada kawannya dengan kedipan mata, kemudian ia membentak lawannya, seakan akan mengancam dengan serangannya, tetapi sebenarnya ia lantas memutar tubuh dan terus mengambil langkah seribu disusul oleh kawannya itu. Justeru waktu itu hati Pek Kong sedang sangat tertarik. Pertempuran semacam itu baginya menjadi seperti latihan dan main—main. Maka itu, melihat lawannya kabur, ia tidak mau membicarakannya. Ia tertawa nyaring, lantas ia menguber. Ia lari menuruti "Coa Kun", ilmu silat "Ular," "Niauw Kui" ilmu silat "Burung", dan lainnya bergantian. Sebentar saja ia sudah dapat menyandak dan mulai menyerang lagi. Mau atau tidak, kedua tongcu dari Thian Liong Pang itu mesti melayani jua. Lebih benar mereka membela diri. Kalau tidak, mereka bisa celaka. Karenanya kembali mereka lantas menjadi repot. Sangat sulit mereka menghindarkan diri dari pelbagai macam serangan si anak muda. Mereka merasakan kepalanya pening dan penglihatannya kabur, walaupun demikian, malu mereka untuk bertekuk lutut dan mengaku kalah .... Beng Sin berlaku nekad. Dengan golok di tangan kanan untuk membela diri, tangan kirinya merogoh senjata rahasianya "Toan tiang—piauw, atau piauw "Memutus usus". sudah lama tak pernah ia menggunakan senjatanya yang lihay itu. Setelah menyiapkan tiga biji sambil berseru keras ia menyerang tiga kali beruntun, hingga tiga buah sinar kuning emas kelihatan meluncur ke arah lawannya. Pek Kong tidak tahu bagaimana lihaynya senjata musuh itu. Ia tidak menangkis hanya lompat berkelit. Kemudian Koh Piauw menyerangnya dengan dua belas biji Kimrchie—piauw, senjata rahasia yang berupa seperti uang logam. Karena itu, ia mesti berlompatan lagi. "Kurang ajar!" teriaknya. Kedua lawannya adalah orang—orang kenamaan tetapi mereka lancang menggunakan senjata rahasia. Hal itu membuatnya mendongkol. Koh Piauw, dan juga kawannya kaget sekali. Kedua macam senjata mereka tidak mendapatkan hasil. Dengan mudah Pek Kong dapat menghindarkan diri dari ancaman maut. Mereka itu menjadi jeri. Serempak mereka berlari pergi ! Dengan satu gerakan dari Niauw Keng, kitab ilmu "Burung", tubuh Pek Kong melesat menyusul. Sebentar saja ia sudah melewati kedua orang itu, lalu ia berdiri menghadang. Ia memutar tubuh dan berkata sambil tertawa. "Kenapa kalian tidak mau melayani aku dahulu untuk main—main beberapa jurus lagi? Habis kemanakah kalian hendak pergi?" Dua orang itu terkejut. Si anak muda bagaikan bisa terbang ! Cit Seng bong Koh Piauw menjadi nekad. Mendadak ujung senjatanya yang aneh itu yang bermulut ular terbuka mulutnya dan dari situ lantas menyembur keluar asap tebal bagaikan halimun, menyambar kemuka si anak muda ! Senjata rahasia itu istimewa dan tidak diketahui oleh Pek Kong. Ia jadi sangat kaget, bahkan berkelitpun tidak keburu. Begitu hidungnya mencium asap itu, kepalanya menjadi pusing, kedua kakinya menjadi lemas, lantas tubuhnya terhuyung hampir jatuh segera ! Melihat demikian, Koh Piauw tertawa. Ia tahu lawannya telah menyedot hawa beracunnya itu, maka puaslah hatinya. "Bocah yang baik." katanya, berjumawa. "Biarpun kau lebih gagah, tidak bakal kau dapat bertahan dari obat bubuk Cit Seng San ini. Tadi kau tidak berlaku kejam terhadap kami, maka kami juga tidak mau berlaku keterlaluan. Aku mau memberi kelonggaran kepadamu supaya kau mati dengan tubuh utuh! Hanya hendak aku peringatkan kepadamu, kalau nanti kau menjelma lagi dan kembali belajar silat, andaikata kau tidak membunuh orang, lain orang akan membunuhmu." Bukan main puasnya orang she Koh ini. Dia merasa pasti Pek Kong akan bakal binasa. Maka lantas dia berkata kepada sahabatnya. "saudara Beng, mari kita pergi," kembali dia tertawa dan terus melangkah pergi. Pek Kong sadar, ia mendengar semua kata—kata itu. Bukan main ia menyesal dan mendongkol. Kenapa ia berlaku alpa? Ingin ia menghajar orang itu hingga mampus. Ia mencoba mengerahkan tenaganya, tapi tak berhasil. Terpaksa ia menjatuhkan diri berduduk di tanah untuk menyalurkan pernapasannya. Berselang sekian lama, ia merasa otaknya jernih kembali. Lantas ia menengadah dan berkata sambil menghela napas. "Mungkinkah apabila orang belajar silat mesti membunuh orang? Benarkah kalau dia tidak membunuh orang, dia bakal dibinasakan orang lain?" Lantas Pek Kong ingat akan ayahnya dan juga pamannya. Mereka itu telah dibunuh orang. Kalau ia tidak membunuh orang, mana dapat sakit hati mereka itu dibalaskan? Ia pun ingat Honghu In Liong dan Pek Bwee Nio semua orang—orang golongan lurus, toh mereka itu mati kecewa... Memikirkan semna itu, terbangunlah semangat anak muda ini. Hanya, kalau orang saling balas membalas tak hentin ya, kapankah permusuhan akan berakhir? Sia sia anak muda itu menggunakan otaknya sampai ia merasa otaknya letih, belum juga ia memperoleh pemecahannya yang memuaskan. Bagaimana cara atau jalannya agar balas dendam tak usah membunuh orang? Sekarang baru saja ia alami bahwa ia yang tidak berniat membinasakan kedua tongcu tadi, malah ia sendiri yang dibikin celaka oleh uap beracun mereka itu! Maka ia menyesal dan mendongkol, pikirannya kacau. Berulangkali ia menghela napas panjang pendek. Segera setelah fajar datang, berniat ia menuju ke jalan umum, supaya bisa pulang ke Sip hong tin, kerumahnya, guna berunding dengan Couw Kun dan Ho Tong tentang niat membuat pembalasan itu tanpa ia membinasakan orang. Akan tetapi untuk pulang itu, ia harus melewati lagi tempat kecil dimana ia pernah bermalam. Melewati Cit Ceng Kee dan tanah pegunungan. Pek Kong tidak mendapat rintangan apa—apa, cuma ia merasakan dadanya sesak. Itulah tanda bahwa racun masih belum lenyap seluruhnya dari tubuhnya. Karena ini, ia tidak berani semberono berlari—1ari dengan ilmu ringan tubuh atau lari keras, la pun bingung sebab tidak tahu dimana letaknya jalan besar umum sedangkan untuk bertanya tanya, di situ tidak ada seorang juga.... Kali Cit seng Kee kering, disana cuma nampak batu yang berserakan, ruput tidak tumbuh disitu. Ia turun ke kali itu dan berjalan didasarnya yang kering. Sengaja Pek Kong berjalan sangat perlahan, supaya sambil berjalan ia bisa melancarkan napasnya, agar racun uap dapat diusir keluar seluruhnya. Setelah berjalan kira—kira setengah jam, ia mulai mendaki sebuah jalan pegunungan, lalu jauh disebelah depannya tampak sebuah perkampungan. Disana terlihat sebuah bangunan dengan genteng hijau serta tembok merah, kelihatannya bukan sembarang bangunan. Ia berjalan terus hingga tanpa terasa ia telah mendekati perkampungan. Tiba-tiba dari dalam pintu gerbang lari bermunculan tujuh atau delapan orang, mereka itu lantas menghampiri dan menghadang! Pek Kong mengawasi. Ia melihat mereka tidak berseragam seperti orang—orang Thian Liong Pang. Ia pun menerka mereka bukannya begal atau berandal. Maka ia menjadi heran. "Siapakah kalian, tuan—tuan ?" tanyanya. "Kenapa kalian mencegat aku?" orang yang menjadi kepala rombongan tertawa. "Jangan khawatir!" katanya. Kami tidak bermaksud jahat!" Masih Pek Kong tidak mengerti. Ia hendak bertanya lagi, tiba-tiba ia lihat seorang lain lagi keluar dan lari mendatangi. Atas datangnya orang itu, rombongan itu memecah diri kekiri dan kanan, sikapnya sangat menghormat. orang yang baru datang itu mengawasi Pek Kong sekian lama, lantas ia memberi hormat sambil berkata: "Benar—benar tuan datang tepat menurut janji! Ayahku sudah menantikan lama diruang depan! Silahkan masuk!” Pek Kong pun mengawasi orang itu, seorang muda usia duapuluh enam atau duapuluh lima tahun, alisnya panjang, romannya tampan, hidungnya mancung, mukanya lebar. Dia mengenakan baju hijau serta kopiah kecil, toh dia beroman bukan seperti sembarang orang. Ia heran juga atas kata-kata orang itu. Tapi lekas lekas ia membalas hormat dan berkata: "Aku yang muda tak berhubungan dengan pihakmu, kakak, tetapi mendengar kata—katamu ini kita seperti telah mengadakan perjanjian satu dengan yang lain, hal ini membuatku tak mengerti. Aku minta sukalah tuan lebih dahulu menjelaskannya!" Mulanya nampak air muka orang itu menjadi muram, tapi hanya sejenak dia kembali seperti biasa dan tertawa. Kata dia: "saudara pulang habis merantau jauh, mungkin saudara belum jelas tentang janji itu janji apa, maka silahkan saja masuk dahulu kedalam supaya kita dapat bicara sendiri dengan ayah, kau tahu dengan jelas bahwa Liu sie San chung bukannya kedung naga atau gua harimau, karenanya baiklah kau jangan curiga!" Dia lantas bergerak kesisi, tangannya diangkat mempersilahkan tamunya berjalan. Kata dia pula: '"Si1ahkan!" Liu sie San chung itu berarti dusun Liu. Liu sie ialah Keluarga Liu, dan "san chung" ialah rumah atau kampung. (Baca "chung" dengan suara hidung seperti suara "ceng" dari cengkeh cengkram). Mendengar kata kata orang itu, mau atau tidak Pek Kong menjadi tertawa sendirinya. “Jikalau demikian, aku turut perintah!" katanya merendah. Dan ia mengangkat kepalanya bertindak dengan sikap gagah. Setelah melintasi halaman besar itu Pek Kong tiba didepan sebuah rumah besar. Ia melihat orang keluar masuk dan mereka itu rata rata memakai semacam selendang merah didadanya. Sedangkan dimuka peseban tergantung sebuah teng loleng yang besar, bertulisan huruf "Hie" yang menjadi pertanda sukaria tanda pesta pernikahan. Ditiang tiang juga ditempelkan kertas yang bertulisan empat huruf besar "Kiut Jit Liang Sin", artinya "hari baik". Pada kedua daun pintu yang lebar ditempel "Lian" atau syair bunyinya "Kian kun teng ie, cian kouw lok cie," maksudnya, pernikahan sudah ditetapkan dan disambut dengan musik meriah. Mengetahui bahwa orang mengadakan pesta pernikahan, Pek Kong heran hingga lantas menghentikan langkahnya. "Adakah ini ruah kalian?" tanyanya menegaskan. orang itu tertawa nyengir. “Benar!" sahutnya. “Silahkan tuan masuk!” "Aneh!" kata Pek Kong didalam hati. Apakah sudah kebiasaan penduduk sini, kalau merayakan orang asingpun diundang turut berjamu. Tapi orang berlaku hormat. Heran atau tidak, ia berjalan juga. Sudah terlanjur ! Dimuka pendopo tampak seorang tua yang romannya agung, pakaiannya rapi, sepatunya tinggi. Dia menyambut dengan hormat, sembari tertawa girang dan alis terbangun dia berkata: “Sungguh seorang muda yang memegang kepercayaan. Matanya anak Lim benar-benar tidaklah lemah! Silahkan masuk untuk minum teh dahulu!" Pek Kong membalas hormat, lalu melangkah masuk. Ia tetap heran, tetapi karena orang ramah tamah, tak dapat ia segera menanyakan sesuatu. Ia cuma memanggil paman dan berjalan terus. Segera tibalah mereka diruang dalam. Si orang tua mengundang duduk, lalu ia sendiri pun duduk menemani. Seorang pelayan lantas menyuguhkan teh. orang tua itu tertawa dan menyapa: "Menantuku....." Pek Kong terperanjat. Lantas ia menerka bahwa orang telah keliru melihat. Maka lekas lekas ia berkata: "Paman benar-benar aku orang asing disini! Kebetulan saja aku lewat ditempatmu ini. Pasti paman keliru melihat orangm..” Belum lagi ia habis bicara, sikapnya orang tua itu sudah lantas berubah menjadi lain. Dari ramah tamah menjadi kasar. Dia berkata dalam: "Bocah, jangan tidak tahu diri! Aku Liu Kun San bukannya orang yang mudah diperdayakan!"
Pukulan Hitam 13 Pukulan Hitam 14 Pukulan Hitam 15 Pukulan Hitam 16 Pukulan Hitam 17 Darah di Wilwatikta 15 Darah di Wilwatikta 16 Darah di Wilwatikta 17 Darah di Wilwatikta 18 Pukulan Hitam 12
Beng Sin kaget tetapi dia penasaran, walau pun dia merasa jeri, dia toh maju juga. "Bocah, jangan terlalu takabur!" teriaknya. "Kau lihat tongcumu she Beng mengambil jiwa semutmu!" Beng Sin jauh lebih lihay dari pada Koh Piauw, toh ia berlaku hati hati. Begitu ia maju sambil memutar goloknya, lantas ia menggunakan tipu golok istimewa. Goloknya itu lantas berkilauan dan anginnya seperti menderu-deru. Menghadapi Pek Ngo Houw, hatinya Pek Kong panas. Ia ingat bagaimana waktu di Tong bok cee ia telah disiksa tongcu itu hingga ia sangat menderita, tetapi lewat sejenak ia ingat bahwa diantara mereka berdua tidak ada dendam hebat, tidak selayaknya ia menghajar orang hingga mati. Pikiran ini ternyata merugikan padanya. Lawan yang galak itu sudah lantas menyerang, membuatnya repot sebab ia terus terdesak. "Dukk!" demikian satu suara terdengar. Itulah suara kepalan kirinya Beng Sin meninju perutnya Pek Kong, hingga si anak muda mundur tiga langkah serta perutnya terasa sakit. Ia repot menjaga golok, tak disangka kepalanlah yang menghajarnya ! "Sungguh berbahaya!" katanya didalam hati. Syukur ia masih mencoba mundur juga. Akan tetapi Beng Sin juga bukannya tidak terhajar, bahkan ia menderita lebih hebat. Selagi mengundurkan diri, Pek Kong meluncurkan tangannya dan membuat dia terpental lima langkah. Untung dia masih dapat berdiri terus. Selagi merasakan nyeri, dia heran melihat lawannya tak kurang suatu apa apa. Dia tahu, pukulannya barusan keras hingga seolah—olah dapat membinasakan seekor gajah. Hanya sedetik dia heran. Dia lantas menyadari akan ketangguhan lawannya yang telah makan buah cutengko. Tapi karena penasaran, dia maju lagi. Kembali dia menyerang ! Hampir berbareng dengan itu, Koh Piauw pun maju pula untuk mengepung. Setelah bisa bangun berdiri, terdorong oleh kemarahan dan sakit hati, dia menggunakan lagi ruyung lunaknya buat membantu kawannya. Sesudah mendapatkan dua macam pengalaman itu, Pek Kong berkelahi dengan hati—hati. Mula—mula ia terdesak. perlahan—lahan ia merubah keadaan menjadi sebaliknya. Baik golok maupun joanpoan, kedua—duanya dapat dihalau dengan baik. Koh Piauw dan Beng Sin sudah berpengalaman. Mereka segera insyaf akan lihaynya anak muda ini. Disamping itu, ada hal yang mengherankan mereka. Disaat—saat berbahaya, anak muda itu tidak meneruskan merobohkan mereka. Mereka seperti dikasihani. Tapi mereka insyaf, 1ama—lama mereka akan dibuatnya menjadi letih dan akan roboh dengan sendirinya .... Beng Sin segera memberikan isyarat kepada kawannya dengan kedipan mata, kemudian ia membentak lawannya, seakan akan mengancam dengan serangannya, tetapi sebenarnya ia lantas memutar tubuh dan terus mengambil langkah seribu disusul oleh kawannya itu. Justeru waktu itu hati Pek Kong sedang sangat tertarik. Pertempuran semacam itu baginya menjadi seperti latihan dan main—main. Maka itu, melihat lawannya kabur, ia tidak mau membicarakannya. Ia tertawa nyaring, lantas ia menguber. Ia lari menuruti "Coa Kun", ilmu silat "Ular," "Niauw Kui" ilmu silat "Burung", dan lainnya bergantian. Sebentar saja ia sudah dapat menyandak dan mulai menyerang lagi. Mau atau tidak, kedua tongcu dari Thian Liong Pang itu mesti melayani jua. Lebih benar mereka membela diri. Kalau tidak, mereka bisa celaka. Karenanya kembali mereka lantas menjadi repot. Sangat sulit mereka menghindarkan diri dari pelbagai macam serangan si anak muda. Mereka merasakan kepalanya pening dan penglihatannya kabur, walaupun demikian, malu mereka untuk bertekuk lutut dan mengaku kalah .... Beng Sin berlaku nekad. Dengan golok di tangan kanan untuk membela diri, tangan kirinya merogoh senjata rahasianya "Toan tiang—piauw, atau piauw "Memutus usus". sudah lama tak pernah ia menggunakan senjatanya yang lihay itu. Setelah menyiapkan tiga biji sambil berseru keras ia menyerang tiga kali beruntun, hingga tiga buah sinar kuning emas kelihatan meluncur ke arah lawannya. Pek Kong tidak tahu bagaimana lihaynya senjata musuh itu. Ia tidak menangkis hanya lompat berkelit. Kemudian Koh Piauw menyerangnya dengan dua belas biji Kimrchie—piauw, senjata rahasia yang berupa seperti uang logam. Karena itu, ia mesti berlompatan lagi. "Kurang ajar!" teriaknya. Kedua lawannya adalah orang—orang kenamaan tetapi mereka lancang menggunakan senjata rahasia. Hal itu membuatnya mendongkol. Koh Piauw, dan juga kawannya kaget sekali. Kedua macam senjata mereka tidak mendapatkan hasil. Dengan mudah Pek Kong dapat menghindarkan diri dari ancaman maut. Mereka itu menjadi jeri. Serempak mereka berlari pergi ! Dengan satu gerakan dari Niauw Keng, kitab ilmu "Burung", tubuh Pek Kong melesat menyusul. Sebentar saja ia sudah melewati kedua orang itu, lalu ia berdiri menghadang. Ia memutar tubuh dan berkata sambil tertawa. "Kenapa kalian tidak mau melayani aku dahulu untuk main—main beberapa jurus lagi? Habis kemanakah kalian hendak pergi?" Dua orang itu terkejut. Si anak muda bagaikan bisa terbang ! Cit Seng bong Koh Piauw menjadi nekad. Mendadak ujung senjatanya yang aneh itu yang bermulut ular terbuka mulutnya dan dari situ lantas menyembur keluar asap tebal bagaikan halimun, menyambar kemuka si anak muda ! Senjata rahasia itu istimewa dan tidak diketahui oleh Pek Kong. Ia jadi sangat kaget, bahkan berkelitpun tidak keburu. Begitu hidungnya mencium asap itu, kepalanya menjadi pusing, kedua kakinya menjadi lemas, lantas tubuhnya terhuyung hampir jatuh segera ! Melihat demikian, Koh Piauw tertawa. Ia tahu lawannya telah menyedot hawa beracunnya itu, maka puaslah hatinya. "Bocah yang baik." katanya, berjumawa. "Biarpun kau lebih gagah, tidak bakal kau dapat bertahan dari obat bubuk Cit Seng San ini. Tadi kau tidak berlaku kejam terhadap kami, maka kami juga tidak mau berlaku keterlaluan. Aku mau memberi kelonggaran kepadamu supaya kau mati dengan tubuh utuh! Hanya hendak aku peringatkan kepadamu, kalau nanti kau menjelma lagi dan kembali belajar silat, andaikata kau tidak membunuh orang, lain orang akan membunuhmu." Bukan main puasnya orang she Koh ini. Dia merasa pasti Pek Kong akan bakal binasa. Maka lantas dia berkata kepada sahabatnya. "saudara Beng, mari kita pergi," kembali dia tertawa dan terus melangkah pergi. Pek Kong sadar, ia mendengar semua kata—kata itu. Bukan main ia menyesal dan mendongkol. Kenapa ia berlaku alpa? Ingin ia menghajar orang itu hingga mampus. Ia mencoba mengerahkan tenaganya, tapi tak berhasil. Terpaksa ia menjatuhkan diri berduduk di tanah untuk menyalurkan pernapasannya. Berselang sekian lama, ia merasa otaknya jernih kembali. Lantas ia menengadah dan berkata sambil menghela napas. "Mungkinkah apabila orang belajar silat mesti membunuh orang? Benarkah kalau dia tidak membunuh orang, dia bakal dibinasakan orang lain?" Lantas Pek Kong ingat akan ayahnya dan juga pamannya. Mereka itu telah dibunuh orang. Kalau ia tidak membunuh orang, mana dapat sakit hati mereka itu dibalaskan? Ia pun ingat Honghu In Liong dan Pek Bwee Nio semua orang—orang golongan lurus, toh mereka itu mati kecewa... Memikirkan semna itu, terbangunlah semangat anak muda ini. Hanya, kalau orang saling balas membalas tak hentin ya, kapankah permusuhan akan berakhir? Sia sia anak muda itu menggunakan otaknya sampai ia merasa otaknya letih, belum juga ia memperoleh pemecahannya yang memuaskan. Bagaimana cara atau jalannya agar balas dendam tak usah membunuh orang? Sekarang baru saja ia alami bahwa ia yang tidak berniat membinasakan kedua tongcu tadi, malah ia sendiri yang dibikin celaka oleh uap beracun mereka itu! Maka ia menyesal dan mendongkol, pikirannya kacau. Berulangkali ia menghela napas panjang pendek. Segera setelah fajar datang, berniat ia menuju ke jalan umum, supaya bisa pulang ke Sip hong tin, kerumahnya, guna berunding dengan Couw Kun dan Ho Tong tentang niat membuat pembalasan itu tanpa ia membinasakan orang. Akan tetapi untuk pulang itu, ia harus melewati lagi tempat kecil dimana ia pernah bermalam. Melewati Cit Ceng Kee dan tanah pegunungan. Pek Kong tidak mendapat rintangan apa—apa, cuma ia merasakan dadanya sesak. Itulah tanda bahwa racun masih belum lenyap seluruhnya dari tubuhnya. Karena ini, ia tidak berani semberono berlari—1ari dengan ilmu ringan tubuh atau lari keras, la pun bingung sebab tidak tahu dimana letaknya jalan besar umum sedangkan untuk bertanya tanya, di situ tidak ada seorang juga.... Kali Cit seng Kee kering, disana cuma nampak batu yang berserakan, ruput tidak tumbuh disitu. Ia turun ke kali itu dan berjalan didasarnya yang kering. Sengaja Pek Kong berjalan sangat perlahan, supaya sambil berjalan ia bisa melancarkan napasnya, agar racun uap dapat diusir keluar seluruhnya. Setelah berjalan kira—kira setengah jam, ia mulai mendaki sebuah jalan pegunungan, lalu jauh disebelah depannya tampak sebuah perkampungan. Disana terlihat sebuah bangunan dengan genteng hijau serta tembok merah, kelihatannya bukan sembarang bangunan. Ia berjalan terus hingga tanpa terasa ia telah mendekati perkampungan. Tiba-tiba dari dalam pintu gerbang lari bermunculan tujuh atau delapan orang, mereka itu lantas menghampiri dan menghadang! Pek Kong mengawasi. Ia melihat mereka tidak berseragam seperti orang—orang Thian Liong Pang. Ia pun menerka mereka bukannya begal atau berandal. Maka ia menjadi heran. "Siapakah kalian, tuan—tuan ?" tanyanya. "Kenapa kalian mencegat aku?" orang yang menjadi kepala rombongan tertawa. "Jangan khawatir!" katanya. Kami tidak bermaksud jahat!" Masih Pek Kong tidak mengerti. Ia hendak bertanya lagi, tiba-tiba ia lihat seorang lain lagi keluar dan lari mendatangi. Atas datangnya orang itu, rombongan itu memecah diri kekiri dan kanan, sikapnya sangat menghormat. orang yang baru datang itu mengawasi Pek Kong sekian lama, lantas ia memberi hormat sambil berkata: "Benar—benar tuan datang tepat menurut janji! Ayahku sudah menantikan lama diruang depan! Silahkan masuk!” Pek Kong pun mengawasi orang itu, seorang muda usia duapuluh enam atau duapuluh lima tahun, alisnya panjang, romannya tampan, hidungnya mancung, mukanya lebar. Dia mengenakan baju hijau serta kopiah kecil, toh dia beroman bukan seperti sembarang orang. Ia heran juga atas kata-kata orang itu. Tapi lekas lekas ia membalas hormat dan berkata: "Aku yang muda tak berhubungan dengan pihakmu, kakak, tetapi mendengar kata—katamu ini kita seperti telah mengadakan perjanjian satu dengan yang lain, hal ini membuatku tak mengerti. Aku minta sukalah tuan lebih dahulu menjelaskannya!" Mulanya nampak air muka orang itu menjadi muram, tapi hanya sejenak dia kembali seperti biasa dan tertawa. Kata dia: "saudara pulang habis merantau jauh, mungkin saudara belum jelas tentang janji itu janji apa, maka silahkan saja masuk dahulu kedalam supaya kita dapat bicara sendiri dengan ayah, kau tahu dengan jelas bahwa Liu sie San chung bukannya kedung naga atau gua harimau, karenanya baiklah kau jangan curiga!" Dia lantas bergerak kesisi, tangannya diangkat mempersilahkan tamunya berjalan. Kata dia pula: '"Si1ahkan!" Liu sie San chung itu berarti dusun Liu. Liu sie ialah Keluarga Liu, dan "san chung" ialah rumah atau kampung. (Baca "chung" dengan suara hidung seperti suara "ceng" dari cengkeh cengkram). Mendengar kata kata orang itu, mau atau tidak Pek Kong menjadi tertawa sendirinya. “Jikalau demikian, aku turut perintah!" katanya merendah. Dan ia mengangkat kepalanya bertindak dengan sikap gagah. Setelah melintasi halaman besar itu Pek Kong tiba didepan sebuah rumah besar. Ia melihat orang keluar masuk dan mereka itu rata rata memakai semacam selendang merah didadanya. Sedangkan dimuka peseban tergantung sebuah teng loleng yang besar, bertulisan huruf "Hie" yang menjadi pertanda sukaria tanda pesta pernikahan. Ditiang tiang juga ditempelkan kertas yang bertulisan empat huruf besar "Kiut Jit Liang Sin", artinya "hari baik". Pada kedua daun pintu yang lebar ditempel "Lian" atau syair bunyinya "Kian kun teng ie, cian kouw lok cie," maksudnya, pernikahan sudah ditetapkan dan disambut dengan musik meriah. Mengetahui bahwa orang mengadakan pesta pernikahan, Pek Kong heran hingga lantas menghentikan langkahnya. "Adakah ini ruah kalian?" tanyanya menegaskan. orang itu tertawa nyengir. “Benar!" sahutnya. “Silahkan tuan masuk!” "Aneh!" kata Pek Kong didalam hati. Apakah sudah kebiasaan penduduk sini, kalau merayakan orang asingpun diundang turut berjamu. Tapi orang berlaku hormat. Heran atau tidak, ia berjalan juga. Sudah terlanjur ! Dimuka pendopo tampak seorang tua yang romannya agung, pakaiannya rapi, sepatunya tinggi. Dia menyambut dengan hormat, sembari tertawa girang dan alis terbangun dia berkata: “Sungguh seorang muda yang memegang kepercayaan. Matanya anak Lim benar-benar tidaklah lemah! Silahkan masuk untuk minum teh dahulu!" Pek Kong membalas hormat, lalu melangkah masuk. Ia tetap heran, tetapi karena orang ramah tamah, tak dapat ia segera menanyakan sesuatu. Ia cuma memanggil paman dan berjalan terus. Segera tibalah mereka diruang dalam. Si orang tua mengundang duduk, lalu ia sendiri pun duduk menemani. Seorang pelayan lantas menyuguhkan teh. orang tua itu tertawa dan menyapa: "Menantuku....." Pek Kong terperanjat. Lantas ia menerka bahwa orang telah keliru melihat. Maka lekas lekas ia berkata: "Paman benar-benar aku orang asing disini! Kebetulan saja aku lewat ditempatmu ini. Pasti paman keliru melihat orangm..” Belum lagi ia habis bicara, sikapnya orang tua itu sudah lantas berubah menjadi lain. Dari ramah tamah menjadi kasar. Dia berkata dalam: "Bocah, jangan tidak tahu diri! Aku Liu Kun San bukannya orang yang mudah diperdayakan!"