Cerita Silat | Panah Kekasih | Karya Gu Long | Panah Kekasih | Cersil Sakti | Panah Kekasih pdf
Perempuan Paris - Motinggo Busye Penakluk Ujung Dunia - Bokor Hutasuhut Hamka - Di Bawah Lindungan Kabah Arus Balik - Pramoedya Ananta Toer Pandir Kelana - Ibu Sinder Pendekar Mabuk - Perawan Maha Sakti Dewa Arak 48 Tenaga Inti Bumi Pendekar Rajawali Sakti .42 Kembang Karang Hawu Trio Detektif - Penculikan Kolektor Serakah Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai - Marah Rusli
Kini perhatian semua orang yang hadir dalam ruangan, bersama-sama dialihkan ke wajah Chin Siu-ang dan menanti jawabannya. Masih dengan wajah yang kaku ujar Chin Siu-ang: “Ki-ji, bawa pulang ke dua ekor ikan segar itu” Agak bingung Tu Kuan melirik Tian Mong-pek sekejap, lalu menyerahkan ke dua ekor ikan itu ke tangan Chin Ki. “Terima kasih” bisik Chin Ki dengan wajah semu merah. Tiba tiba Tu Kuan membalikkan badan kemudian lari turun dari loteng itu dengan langkah cepat, melihat pendekar pujaan hatinya harus menelan penghinaan, diam diam ia turut mengucurkan air mata. Chin siu-ang mendongak memandang sekejap keadaan cuaca, lalu katanya dingin: “Bila anak kecil ingin minta maaf kepada cianpwee, paling tidak harus berlutut dan menyembah tiga kali" Kembali suasana jadi heboh, bahkan ada diantara para jago merasa jengkel dan tak suka hati, namun tak seorangpun berani bersuara. Dua bersaudara Ho mengepal sepasang tinjunya kencang kencang, sepasang matanya melotot besar menahan emosi. Lim Luan-hong tahu akan watak Tian Mong-pek, kalau suruh pemuda itu berlutut, mungkin jauh lebih sulit daripada memenggal kepalanya, apalagi disaat dan situasi seperti ini. Belum lagi dia berbuat sesuatu, tiba tiba terlihat Tian Mong-pek menggigit bibir sambil menghampiri Chin Siu-ang dengan langkah lebar, kemudian jatuhkan diri berlutut dan menyembahnya sebanyak tiga kali. Suasana dalam ruang loteng hening bagaikan di kuburan, terdengar... “Duuk, duuk, duukk....!" tiga kali, sambil berlutut Tian Mong-pek menyembah dan tidak berdiri lagi, terlihat tetesan air mata jatuh berlinang membasahi lantai. Perlahan Lim Luan-hong membangunkan pemuda itu, sedang dua bersaudara Ho mengawasi Chin Siu-ang tanpa berkedip, andaikata sorot mata mereka dapat membunuh, mungkin saat ini tubuh Chin Siu-ang sudah tercincang hingga hancur berkeping. Tampak kakek itu perlahan-lahan mengangkat cawan air tehnya dan meneguk sekecap, tiba tiba serunya sambil membalikkan badan: “Ayoh berangkat!” Dengan langkah lebar dia berjalan menuruni anak tangga bambu. Diiringi suara helaan napas lega, kawanan jago ikut menuruni anak tanggal, dalam waktu singkat terlihat ada puluhan buah sampan kecil bergerak menuju ke arah balik gelagah yang lebat. Cahaya matahari dimusim gugur menembusi daun jendela, menyinari sebuah pembaringan berkelambu kain sutera halus. Dibalik kelambu berbaring seorang kakek berambut putih dengan mata tertutup rapat, cahaya yang redup menyinari dua batang panah pendek yang menancap diatas bahunya dan memantulkan sinar kebiru biruan yang menggidikkan. Didepan pembaringan terdapat sebuah teko tembaga dengan air yang dibiarkan menetes ke bawah, berpuluh pasang mata sama-sama tertuju ke arah benda itu dan mengawasinya tanda berkedip. Disamping pembaringan berdiri seorang pendekar berbaju ringkas, dia tak lain adalah Cuan-hun-gan (angsa liar penembus awan) Ho Kun-hiong, salah satu diantara Lau-san-sam-gan. Disampingnya berdiri dua orang, seorang berwajah lebar bertelinga besar, bertubuh gemuk dan memancarkan sinar merah dengan mata yang sipit, alis mata yang lembut, dia bukan lain adalah hartawan paling kaya dari kota Hangciu, orang menyebutnya sebagai See-ou-liong-ong (raja naga dari telaga barat) Lu Tiang-lok. Disampingnya adalah seorang sastrawan setengah umur bermuka bersih tanpa janggut, yang berdiri sambil menggoyangkan kipasnya, biarpun orang ini berdandan sastrawan, padahal dia tak lain adalah congpiautau perusahaan ekspedisi Sam-seng-piuawkiok dari wilayah Kanglam, orang menyebutnya sebagai Thian-kiau-seng (bintang langit) Sun Giok-hud. Senjata kipasnya merupakan senjata khusus untuk menotok jalan darah orang. Lebih kedepan berdiri seorang lelaki dan seorang perempuan, yang lelaki berwajah kuning seperti orang berpenyakitan, sementara yang perempuan cantik jelita dengan mata yang jeli dan bening, mereka bukan lain adalah Kim-giok-siang-hiap (sepasang pendekar mas dan kumala), Kim-bin- thian-ong (raja langit berwajah emas) Li Koan-eng dan Giok-kwan-im (kwan-im kumala) Tan Cia-li. Masih ada dua orang lagi, seorang tinggi kekar berdada lapang penuh otot dan seorang kecil ceking tinggal kulit pembungkus tulang, dua orang itu satu positip satu negatip, satu keras satu lembut namun berdiri bersanding. Yang tinggi besar datang dari selatan, orang menyebutnya Thiat-ciong (tombak baja) Yo Seng, sedangkan yang kurus kecil adalah jago yang sangat ahli dalam ilmu menotok jalan darah, Pit-sang-seng-hoa (ujung pit tumbuh bunga) Seebun Ho. Mereka bertujuh sama-sama berkumpul didalam ruangan dengan wajah serius dan tanpa mengucapkan sepatah katapun. Butiran air didalam teko tembaga setetes demi setetes perlahan-lahan meleleh ke bawah, bersama dengan menetesnya butiran air, nyawa sang kakek yang berbaring diatas ranjang pun ikut semakin memudar. Wajahnya yang pucat kaku, kini semakin putih tanpa rona darah. Akhirnya See-ou-liong-ong tak kuasa menahan diri, setelah mendeham, katanya: “Ho tayhiap, apakah saudara saudaramu tahu tempat ini?” Sambil menghela napas Ho Kun-hiong manggut-manggut. “Kenapa bisa begitu tidak kebetulan” teriak si tombak baja Yo Seng, “Kenapa disaat dibutuhkan, si tua bangka Chin justru sedang keluar rumah” Seebun Ho hanya memandang sekejap ke arahnya dengan sinar mata dingin, sementara Kwan-im kumala Tan Cia-li segera berkata: “Bagaimana kalau kita cabut dulu ke dua batang anak panah yang tertancap ditubuh orang tua itu?” “Kalau sampai terjadi apa-apa, siapa yang mau tanggung jawab?” tanya Li Koan-eng sambil berkerut kening. “Aaai, masa aku yang musti bertanggung jawab......” “Makanya, lebih baik tutup mulutmu" tukas Li Koan-eng ketus. Tiba tiba si Bintang langit Sun Giok-hud membuka matanya, lalu sambil bertepuk tangan berseru: “Itu dia, sudah datang........” Terdengar suara langkah kaki yang ramai bergema dari jauh makin mendekat, Tian Mong-pek dengan wajah pucat pandangan kosong berlari masuk ke dalam ruangan sambil menerjang ke samping ranjang, karena tergopoh gopoh ia menumbuk teko tembaga itu hingga terguling. Lim Luan-hong, Ho Kun-kiat serta Ho Kun-hiap mengintil dibelakangnya. “Lotoa, apakah masih sempat?” Ho Kun-kiat segera bertanya. Sementara Lim Luan-hong menarik tangan Tian Mong-pek sambil berbisik: “Perlahan sedikit, jangan sampai kau kagetkan dia orang tua" “Rasanya masih belum terlambat” terdengar Ho Kun-hiong menyahut. Mendengar itu, semua orang merasakan semangatnya bangkit kembali. Tiba tiba terdengar seseorang berkata dengan suara dingin dari luar pintu: “Silahkan kalian semua menunggu diluar!” Bersamaan dengan berkumandangnya ucapan tersebut, Chin Siu-ang berjalan masuk ke dalam ruangan. Tanpa sadar semua jago menyingkir ke samping memberikan sebuah jalan lewat, dengan langkah lebar Chin Siu-ang menghampiri samping ranjang seraya berkata: “Aku minta saudara semua jangan bersuara, lebih baik lagi kalau tutup daun jendela itu rapat rapat” Ho Kun-hiong segera menutup rapat semua jendela. Chin Siu-ang menggulung ujung baju nya memperlihatkan sepasang tangannya yang kurus kering, biar kurus dan berwarna kuning kepucat pucatan, namun dalam pandangan semua orang, sepasang lengan itu justru merupakan benda yang tak ternilai harganya pada saat itu. Dengan gerakan cepat ia melepaskan pakaian yang dikenakan Tian Hua-uh, lalu memegang nadi pada pergelangan tangannya dan memperhatikan denyut nadi dengan seksama. Semua orang yang hadir dalam ruangan sebisa mungkin menahan napas, jangan lagi bersuara, bernapas keras keras pun tak berani, semua pandangan mata seolah sudah tertumpu pada sepasang tangannya dan mengikuti semua gerak tangannya ke mana pun pergi. Tiba tiba ia menghentikan gerak tangannya, semua orang merasa tercekat, detak jantung seolah mau melompat keluar saking kagetnya. “Hari ini, pada saat apa dan dimana kalian menjumpai dirinya?” terdengar Chin Siu-ang bertanya perlahan. “Kurang lebih dua jam berselang" jawab Ho Kun-hiong, “kami bersaudara menemukan tubuh dia orang tua di belakang ruang sembahyang kuil Boat-siang-sie sebelah barat kota, saat itu dia orang tua sudah terluka oleh anak panah, darah yang mengalir pun belum mengering.........” “Coh......” tiba tiba Chin Siu-ang menarik kembali tangannya lalu beranjak keluar dari pintu ruangan. Tian Mong-pek membentak nyaring, dia melompat ke depan sambil menghadang di depan pintu. “Mau apa kamu?” tegur Chin Siu-ang dengan kening berkerut. Sambil menggigit bibir menahan gejolak emosi dan menundukkan kepalanya, jawab Tian Mong-pek: II “Lu.....luka aa......ayahku......... Rasa sedih, gusar dan mendongkol yang berkecamuk jadi satu nyaris membuatnya tak sanggup berbicara. “Racun yang dilumurkan diujung sepasang panah kekasih ini boleh dibilang tiada duanya di kolong langit, cukup racun diujung panah hitam saja sudah merangkum empat puluh lima jenis racun dari yang berhawa negatip sampai yang berunsur lembut..........” kata Chin Siu-ang menerangkan. Kemudian sambil bergendong tangan dan berjalan mondar mandir, lanjutnya: “Sementara racun yang dilumurkan diujung panah merah terdiri dari tiga puluh enam jenis racun bersifat positip dan berunsur keras, ini berarti pada ujung ke dua jenis anak panah itu terdiri dari sembilan kali sembilan, delapan puluh satu jenis racun paling ganas di kolong langit. Satu jenis saja dari kedua jenis racun itu sudah cukup membuat berjuta orang mati, apalagi ketika dua unsur racun itu saling berkaitan dan saling menunjang, unsur positip yang bersatu dengan unsur negatip membuat keganasan racun yang terkandung tak terkirakan” Walaupun semua orang tidak paham mengapa secara tiba tiba dia menyampaikan uraian tersebut, namun tak seorangpun diantara mereka yang buka sua ra atau komentar. Sesudah berhenti sejenak, kembali Chin Siu-ang melanjutkan: “Sekalipun begitu, bila kalian terkena racun dari panah tersebut dan bukan terkena di ulu hati dan didalam tiga jam berhasil menemukan lohu, aku yakin pasti dapat selamatkan nyawa kalian semua, hehehe... mungkin hal ini termasuk hokki kalian, karena kebetulan hidup di kota yang sama denganku, kalau tidak...... hmm, hmm..... biarpun kolong langit amat luas, jangan lagi menemukan orang yang mampu memunahkan racun itu, mungkin yang bisa mengenali jenis racun racun itupun tak banyak” Diam diam para jago merasa bergidik bercampur tercekat, masing masing mulai menguatirkan keselamatan sendiri, karena siapa pun tak bisa meramalkan, kapan undangan dari dewa kematian akan dihantar ke tangan mereka. Lim Luan-hong mendeham berapa kali, lalu katanya: “Itu berarti Tian locianpwee masih ada harapan untuk diselamatkan nyawanya?” Sambil senyum tak senyum Chin Siu-ang melirik sekejap ke arah Tian Mong-pek, lalu sahutnya: “Seharusnya masih tertolong, hanya sayang.......” “Hanya sayang kenapa?” tanya Tian Mong-pek dengan badan bergetar dan suara gemetar. “Sayang kau sudah kurangajar terlebih dulu kepada lohu, gara gara ingin menghukum dan memberi peringatan kepadamu, maka aku telah datang terlambat, kini racun ganas sudah menyerang ke dalam ulu hati, rasanya tak tertolong lagi” Ucapannya disampaikan dengan nada dingin, tajam dan hambar, tapi justru seakan sebatang panah tajam yang dingin dan menggidikkan yang langsung menembusi tenggorokan Tian Mong-pek lalu menghujam di hatinya. Setetes air kembali mengalir keluar dari teko tembaga dan lenyap dibalik permukaan air di ember sebelah bawah, mendadak Tian Mong-pek merasakan sorot matanya jadi buram, kemudian kobaran api amarah mencorong keluar dengan tajamnya, sambil membentak marah secepat kilat tangannya menggenggam bahu kakek ceking itu, tegurnya dengan gemetar: “Kau..... kau........” Telapak tangannya berputar, kali ini dia tempeleng wajah Chin Siu-ang. Baru sampai setengah jalan, sebuah tangan lain telah menyambar tiba, mencengkeram pergelangan tangannya. Paras muka Chin Siu-ang sama sekali tak berubah, dia seolah yakin kalau tempelengan tersebut tak bakal mengenai wajahnya. Ketika Tian Mong-pek berusaha meronta untuk melepaskan diri dari cengkeraman, terdengar seseorang berkata pelan: “Tian si-heng, orang yang telah mati tak akan bangkit kembali.....” Sambil membentak gusar Tian Mong-pek berpaling, tampak Pit-sang-seng-hoa Seebun Ho berdiri kaku dihadapannya sambil berkata lebih jauh: “Apa gunanya kau menyusahkan Chin lo-sianseng?” “Betul” sambung See-ou-liong-ong Lu Tiang-lok pula, “apa gunanya kau menyusahkan Chin lo-sianseng” Karena gemuk maka sewaktu menganggukkan kepala, daging lebih dibawah dagunya ikut bergetar keras. Sepasang pendekar emas dan kumala berdiri pula dengan wajah serius, meski begitu, tidak nampak rasa sedih atau terharu barang sedikitpun. Perlahan Tian Mong-pek melepaskan tangannya sambil mundur selangkah, dengan mata berwarna merah perlahan dia awasi sekejap wajah rekan rekan ayahnya semasa hidup dulu. \\oo hmm, demi dendam pribadi menyebabkan orang lain kehilangan nyawa........ II sambil mengendalikan gejolak emosinya ia berkata dengan suara dalam, “apakah manusia semacam ini pantas disebut seorang pendekar?” Lu tiang-lok mendeham sambil menunduk, Li Koan-eng serta Tan Cia-li menghindari tatapan matanya, Seebun Ho berdiri dengan wajah kaku, Thian-kiau-seng Sun Giok-hud berkilat matanya, entah apa yang sedang dia pikirkan, hanya si tombak baja Yo Seng serta tiga jago dari keluarga Ho saja yang menunjukkan perasaan sedih bercampur geram. Dengan air mata mengembang dalam kelopak matanya, Tian Mong-pek berpaling mengawasi wajah orang orang itu, ia merasa betapa rendah dan hinanya mereka. “Aku tahu, kalian bukan sahabat karib ayahku, tidak pernah juga menerima budi kebaikan dari ayahku, walau begitu, sebagai seorang pendekar, seharusnya kalian tampil ke depan untuk menegakkan keadilan" nada suaranya makin lama semakin emosi, “tapi kenyataannya sekarang, kalian hanya memikirkan kepentingan sendiri, kuatir tak ada yang mau menolong ketika dirinya terkena panah kekasih, perbuatan kalian...... perbuatan kalian........” Saking emosinya, ucapan tersebut tak sanggup diselesaikan, air mata bercucuran semakin deras, membuat anak muda itu tak sanggup berkata kata lagi. Tombak baja Yo Seng menghela napas panjang. Sebaliknya Chin Siu-ang tertawa dingin, ejeknya: “Lantas apa yang hendak kau lakukan terhadap lohu?” “Aku akan menyiarkan kebusukan hatimu itu ke selu ruh kolong langit, biarpun memiliki ilmu pertabiban yang hebat, tapi kau tak lebih hanya manusia berdarah dingin yang tak berbudi dan tak punya hati....” Dengan cepat Seebun Ho maju selangkah, menghadang dihadapan chiusiuang, tukasnya: “Mau apa kau?" Sun Giok-hud yang berada disisinya, ikut menimbrung sambil tertawa ringan: “Perkataan Tian si-heng tak lebih hanya ucapan orang emosi, tak bisa dianggap sungguhan, apalagi siapa sih manusia dalam dunia persilatan saat ini yang tidak menaruh hormat dan kagum akan kehebatan ilmu pertabiban Chin lo-sianseng? Tian si-heng bukan orang bodoh, mana mungkin
Perempuan Paris - Motinggo Busye Penakluk Ujung Dunia - Bokor Hutasuhut Hamka - Di Bawah Lindungan Kabah Arus Balik - Pramoedya Ananta Toer Pandir Kelana - Ibu Sinder Pendekar Mabuk - Perawan Maha Sakti Dewa Arak 48 Tenaga Inti Bumi Pendekar Rajawali Sakti .42 Kembang Karang Hawu Trio Detektif - Penculikan Kolektor Serakah Siti Nurbaya Kasih Tak Sampai - Marah Rusli
Kini perhatian semua orang yang hadir dalam ruangan, bersama-sama dialihkan ke wajah Chin Siu-ang dan menanti jawabannya. Masih dengan wajah yang kaku ujar Chin Siu-ang: “Ki-ji, bawa pulang ke dua ekor ikan segar itu” Agak bingung Tu Kuan melirik Tian Mong-pek sekejap, lalu menyerahkan ke dua ekor ikan itu ke tangan Chin Ki. “Terima kasih” bisik Chin Ki dengan wajah semu merah. Tiba tiba Tu Kuan membalikkan badan kemudian lari turun dari loteng itu dengan langkah cepat, melihat pendekar pujaan hatinya harus menelan penghinaan, diam diam ia turut mengucurkan air mata. Chin siu-ang mendongak memandang sekejap keadaan cuaca, lalu katanya dingin: “Bila anak kecil ingin minta maaf kepada cianpwee, paling tidak harus berlutut dan menyembah tiga kali" Kembali suasana jadi heboh, bahkan ada diantara para jago merasa jengkel dan tak suka hati, namun tak seorangpun berani bersuara. Dua bersaudara Ho mengepal sepasang tinjunya kencang kencang, sepasang matanya melotot besar menahan emosi. Lim Luan-hong tahu akan watak Tian Mong-pek, kalau suruh pemuda itu berlutut, mungkin jauh lebih sulit daripada memenggal kepalanya, apalagi disaat dan situasi seperti ini. Belum lagi dia berbuat sesuatu, tiba tiba terlihat Tian Mong-pek menggigit bibir sambil menghampiri Chin Siu-ang dengan langkah lebar, kemudian jatuhkan diri berlutut dan menyembahnya sebanyak tiga kali. Suasana dalam ruang loteng hening bagaikan di kuburan, terdengar... “Duuk, duuk, duukk....!" tiga kali, sambil berlutut Tian Mong-pek menyembah dan tidak berdiri lagi, terlihat tetesan air mata jatuh berlinang membasahi lantai. Perlahan Lim Luan-hong membangunkan pemuda itu, sedang dua bersaudara Ho mengawasi Chin Siu-ang tanpa berkedip, andaikata sorot mata mereka dapat membunuh, mungkin saat ini tubuh Chin Siu-ang sudah tercincang hingga hancur berkeping. Tampak kakek itu perlahan-lahan mengangkat cawan air tehnya dan meneguk sekecap, tiba tiba serunya sambil membalikkan badan: “Ayoh berangkat!” Dengan langkah lebar dia berjalan menuruni anak tangga bambu. Diiringi suara helaan napas lega, kawanan jago ikut menuruni anak tanggal, dalam waktu singkat terlihat ada puluhan buah sampan kecil bergerak menuju ke arah balik gelagah yang lebat. Cahaya matahari dimusim gugur menembusi daun jendela, menyinari sebuah pembaringan berkelambu kain sutera halus. Dibalik kelambu berbaring seorang kakek berambut putih dengan mata tertutup rapat, cahaya yang redup menyinari dua batang panah pendek yang menancap diatas bahunya dan memantulkan sinar kebiru biruan yang menggidikkan. Didepan pembaringan terdapat sebuah teko tembaga dengan air yang dibiarkan menetes ke bawah, berpuluh pasang mata sama-sama tertuju ke arah benda itu dan mengawasinya tanda berkedip. Disamping pembaringan berdiri seorang pendekar berbaju ringkas, dia tak lain adalah Cuan-hun-gan (angsa liar penembus awan) Ho Kun-hiong, salah satu diantara Lau-san-sam-gan. Disampingnya berdiri dua orang, seorang berwajah lebar bertelinga besar, bertubuh gemuk dan memancarkan sinar merah dengan mata yang sipit, alis mata yang lembut, dia bukan lain adalah hartawan paling kaya dari kota Hangciu, orang menyebutnya sebagai See-ou-liong-ong (raja naga dari telaga barat) Lu Tiang-lok. Disampingnya adalah seorang sastrawan setengah umur bermuka bersih tanpa janggut, yang berdiri sambil menggoyangkan kipasnya, biarpun orang ini berdandan sastrawan, padahal dia tak lain adalah congpiautau perusahaan ekspedisi Sam-seng-piuawkiok dari wilayah Kanglam, orang menyebutnya sebagai Thian-kiau-seng (bintang langit) Sun Giok-hud. Senjata kipasnya merupakan senjata khusus untuk menotok jalan darah orang. Lebih kedepan berdiri seorang lelaki dan seorang perempuan, yang lelaki berwajah kuning seperti orang berpenyakitan, sementara yang perempuan cantik jelita dengan mata yang jeli dan bening, mereka bukan lain adalah Kim-giok-siang-hiap (sepasang pendekar mas dan kumala), Kim-bin- thian-ong (raja langit berwajah emas) Li Koan-eng dan Giok-kwan-im (kwan-im kumala) Tan Cia-li. Masih ada dua orang lagi, seorang tinggi kekar berdada lapang penuh otot dan seorang kecil ceking tinggal kulit pembungkus tulang, dua orang itu satu positip satu negatip, satu keras satu lembut namun berdiri bersanding. Yang tinggi besar datang dari selatan, orang menyebutnya Thiat-ciong (tombak baja) Yo Seng, sedangkan yang kurus kecil adalah jago yang sangat ahli dalam ilmu menotok jalan darah, Pit-sang-seng-hoa (ujung pit tumbuh bunga) Seebun Ho. Mereka bertujuh sama-sama berkumpul didalam ruangan dengan wajah serius dan tanpa mengucapkan sepatah katapun. Butiran air didalam teko tembaga setetes demi setetes perlahan-lahan meleleh ke bawah, bersama dengan menetesnya butiran air, nyawa sang kakek yang berbaring diatas ranjang pun ikut semakin memudar. Wajahnya yang pucat kaku, kini semakin putih tanpa rona darah. Akhirnya See-ou-liong-ong tak kuasa menahan diri, setelah mendeham, katanya: “Ho tayhiap, apakah saudara saudaramu tahu tempat ini?” Sambil menghela napas Ho Kun-hiong manggut-manggut. “Kenapa bisa begitu tidak kebetulan” teriak si tombak baja Yo Seng, “Kenapa disaat dibutuhkan, si tua bangka Chin justru sedang keluar rumah” Seebun Ho hanya memandang sekejap ke arahnya dengan sinar mata dingin, sementara Kwan-im kumala Tan Cia-li segera berkata: “Bagaimana kalau kita cabut dulu ke dua batang anak panah yang tertancap ditubuh orang tua itu?” “Kalau sampai terjadi apa-apa, siapa yang mau tanggung jawab?” tanya Li Koan-eng sambil berkerut kening. “Aaai, masa aku yang musti bertanggung jawab......” “Makanya, lebih baik tutup mulutmu" tukas Li Koan-eng ketus. Tiba tiba si Bintang langit Sun Giok-hud membuka matanya, lalu sambil bertepuk tangan berseru: “Itu dia, sudah datang........” Terdengar suara langkah kaki yang ramai bergema dari jauh makin mendekat, Tian Mong-pek dengan wajah pucat pandangan kosong berlari masuk ke dalam ruangan sambil menerjang ke samping ranjang, karena tergopoh gopoh ia menumbuk teko tembaga itu hingga terguling. Lim Luan-hong, Ho Kun-kiat serta Ho Kun-hiap mengintil dibelakangnya. “Lotoa, apakah masih sempat?” Ho Kun-kiat segera bertanya. Sementara Lim Luan-hong menarik tangan Tian Mong-pek sambil berbisik: “Perlahan sedikit, jangan sampai kau kagetkan dia orang tua" “Rasanya masih belum terlambat” terdengar Ho Kun-hiong menyahut. Mendengar itu, semua orang merasakan semangatnya bangkit kembali. Tiba tiba terdengar seseorang berkata dengan suara dingin dari luar pintu: “Silahkan kalian semua menunggu diluar!” Bersamaan dengan berkumandangnya ucapan tersebut, Chin Siu-ang berjalan masuk ke dalam ruangan. Tanpa sadar semua jago menyingkir ke samping memberikan sebuah jalan lewat, dengan langkah lebar Chin Siu-ang menghampiri samping ranjang seraya berkata: “Aku minta saudara semua jangan bersuara, lebih baik lagi kalau tutup daun jendela itu rapat rapat” Ho Kun-hiong segera menutup rapat semua jendela. Chin Siu-ang menggulung ujung baju nya memperlihatkan sepasang tangannya yang kurus kering, biar kurus dan berwarna kuning kepucat pucatan, namun dalam pandangan semua orang, sepasang lengan itu justru merupakan benda yang tak ternilai harganya pada saat itu. Dengan gerakan cepat ia melepaskan pakaian yang dikenakan Tian Hua-uh, lalu memegang nadi pada pergelangan tangannya dan memperhatikan denyut nadi dengan seksama. Semua orang yang hadir dalam ruangan sebisa mungkin menahan napas, jangan lagi bersuara, bernapas keras keras pun tak berani, semua pandangan mata seolah sudah tertumpu pada sepasang tangannya dan mengikuti semua gerak tangannya ke mana pun pergi. Tiba tiba ia menghentikan gerak tangannya, semua orang merasa tercekat, detak jantung seolah mau melompat keluar saking kagetnya. “Hari ini, pada saat apa dan dimana kalian menjumpai dirinya?” terdengar Chin Siu-ang bertanya perlahan. “Kurang lebih dua jam berselang" jawab Ho Kun-hiong, “kami bersaudara menemukan tubuh dia orang tua di belakang ruang sembahyang kuil Boat-siang-sie sebelah barat kota, saat itu dia orang tua sudah terluka oleh anak panah, darah yang mengalir pun belum mengering.........” “Coh......” tiba tiba Chin Siu-ang menarik kembali tangannya lalu beranjak keluar dari pintu ruangan. Tian Mong-pek membentak nyaring, dia melompat ke depan sambil menghadang di depan pintu. “Mau apa kamu?” tegur Chin Siu-ang dengan kening berkerut. Sambil menggigit bibir menahan gejolak emosi dan menundukkan kepalanya, jawab Tian Mong-pek: II “Lu.....luka aa......ayahku......... Rasa sedih, gusar dan mendongkol yang berkecamuk jadi satu nyaris membuatnya tak sanggup berbicara. “Racun yang dilumurkan diujung sepasang panah kekasih ini boleh dibilang tiada duanya di kolong langit, cukup racun diujung panah hitam saja sudah merangkum empat puluh lima jenis racun dari yang berhawa negatip sampai yang berunsur lembut..........” kata Chin Siu-ang menerangkan. Kemudian sambil bergendong tangan dan berjalan mondar mandir, lanjutnya: “Sementara racun yang dilumurkan diujung panah merah terdiri dari tiga puluh enam jenis racun bersifat positip dan berunsur keras, ini berarti pada ujung ke dua jenis anak panah itu terdiri dari sembilan kali sembilan, delapan puluh satu jenis racun paling ganas di kolong langit. Satu jenis saja dari kedua jenis racun itu sudah cukup membuat berjuta orang mati, apalagi ketika dua unsur racun itu saling berkaitan dan saling menunjang, unsur positip yang bersatu dengan unsur negatip membuat keganasan racun yang terkandung tak terkirakan” Walaupun semua orang tidak paham mengapa secara tiba tiba dia menyampaikan uraian tersebut, namun tak seorangpun diantara mereka yang buka sua ra atau komentar. Sesudah berhenti sejenak, kembali Chin Siu-ang melanjutkan: “Sekalipun begitu, bila kalian terkena racun dari panah tersebut dan bukan terkena di ulu hati dan didalam tiga jam berhasil menemukan lohu, aku yakin pasti dapat selamatkan nyawa kalian semua, hehehe... mungkin hal ini termasuk hokki kalian, karena kebetulan hidup di kota yang sama denganku, kalau tidak...... hmm, hmm..... biarpun kolong langit amat luas, jangan lagi menemukan orang yang mampu memunahkan racun itu, mungkin yang bisa mengenali jenis racun racun itupun tak banyak” Diam diam para jago merasa bergidik bercampur tercekat, masing masing mulai menguatirkan keselamatan sendiri, karena siapa pun tak bisa meramalkan, kapan undangan dari dewa kematian akan dihantar ke tangan mereka. Lim Luan-hong mendeham berapa kali, lalu katanya: “Itu berarti Tian locianpwee masih ada harapan untuk diselamatkan nyawanya?” Sambil senyum tak senyum Chin Siu-ang melirik sekejap ke arah Tian Mong-pek, lalu sahutnya: “Seharusnya masih tertolong, hanya sayang.......” “Hanya sayang kenapa?” tanya Tian Mong-pek dengan badan bergetar dan suara gemetar. “Sayang kau sudah kurangajar terlebih dulu kepada lohu, gara gara ingin menghukum dan memberi peringatan kepadamu, maka aku telah datang terlambat, kini racun ganas sudah menyerang ke dalam ulu hati, rasanya tak tertolong lagi” Ucapannya disampaikan dengan nada dingin, tajam dan hambar, tapi justru seakan sebatang panah tajam yang dingin dan menggidikkan yang langsung menembusi tenggorokan Tian Mong-pek lalu menghujam di hatinya. Setetes air kembali mengalir keluar dari teko tembaga dan lenyap dibalik permukaan air di ember sebelah bawah, mendadak Tian Mong-pek merasakan sorot matanya jadi buram, kemudian kobaran api amarah mencorong keluar dengan tajamnya, sambil membentak marah secepat kilat tangannya menggenggam bahu kakek ceking itu, tegurnya dengan gemetar: “Kau..... kau........” Telapak tangannya berputar, kali ini dia tempeleng wajah Chin Siu-ang. Baru sampai setengah jalan, sebuah tangan lain telah menyambar tiba, mencengkeram pergelangan tangannya. Paras muka Chin Siu-ang sama sekali tak berubah, dia seolah yakin kalau tempelengan tersebut tak bakal mengenai wajahnya. Ketika Tian Mong-pek berusaha meronta untuk melepaskan diri dari cengkeraman, terdengar seseorang berkata pelan: “Tian si-heng, orang yang telah mati tak akan bangkit kembali.....” Sambil membentak gusar Tian Mong-pek berpaling, tampak Pit-sang-seng-hoa Seebun Ho berdiri kaku dihadapannya sambil berkata lebih jauh: “Apa gunanya kau menyusahkan Chin lo-sianseng?” “Betul” sambung See-ou-liong-ong Lu Tiang-lok pula, “apa gunanya kau menyusahkan Chin lo-sianseng” Karena gemuk maka sewaktu menganggukkan kepala, daging lebih dibawah dagunya ikut bergetar keras. Sepasang pendekar emas dan kumala berdiri pula dengan wajah serius, meski begitu, tidak nampak rasa sedih atau terharu barang sedikitpun. Perlahan Tian Mong-pek melepaskan tangannya sambil mundur selangkah, dengan mata berwarna merah perlahan dia awasi sekejap wajah rekan rekan ayahnya semasa hidup dulu. \\oo hmm, demi dendam pribadi menyebabkan orang lain kehilangan nyawa........ II sambil mengendalikan gejolak emosinya ia berkata dengan suara dalam, “apakah manusia semacam ini pantas disebut seorang pendekar?” Lu tiang-lok mendeham sambil menunduk, Li Koan-eng serta Tan Cia-li menghindari tatapan matanya, Seebun Ho berdiri dengan wajah kaku, Thian-kiau-seng Sun Giok-hud berkilat matanya, entah apa yang sedang dia pikirkan, hanya si tombak baja Yo Seng serta tiga jago dari keluarga Ho saja yang menunjukkan perasaan sedih bercampur geram. Dengan air mata mengembang dalam kelopak matanya, Tian Mong-pek berpaling mengawasi wajah orang orang itu, ia merasa betapa rendah dan hinanya mereka. “Aku tahu, kalian bukan sahabat karib ayahku, tidak pernah juga menerima budi kebaikan dari ayahku, walau begitu, sebagai seorang pendekar, seharusnya kalian tampil ke depan untuk menegakkan keadilan" nada suaranya makin lama semakin emosi, “tapi kenyataannya sekarang, kalian hanya memikirkan kepentingan sendiri, kuatir tak ada yang mau menolong ketika dirinya terkena panah kekasih, perbuatan kalian...... perbuatan kalian........” Saking emosinya, ucapan tersebut tak sanggup diselesaikan, air mata bercucuran semakin deras, membuat anak muda itu tak sanggup berkata kata lagi. Tombak baja Yo Seng menghela napas panjang. Sebaliknya Chin Siu-ang tertawa dingin, ejeknya: “Lantas apa yang hendak kau lakukan terhadap lohu?” “Aku akan menyiarkan kebusukan hatimu itu ke selu ruh kolong langit, biarpun memiliki ilmu pertabiban yang hebat, tapi kau tak lebih hanya manusia berdarah dingin yang tak berbudi dan tak punya hati....” Dengan cepat Seebun Ho maju selangkah, menghadang dihadapan chiusiuang, tukasnya: “Mau apa kau?" Sun Giok-hud yang berada disisinya, ikut menimbrung sambil tertawa ringan: “Perkataan Tian si-heng tak lebih hanya ucapan orang emosi, tak bisa dianggap sungguhan, apalagi siapa sih manusia dalam dunia persilatan saat ini yang tidak menaruh hormat dan kagum akan kehebatan ilmu pertabiban Chin lo-sianseng? Tian si-heng bukan orang bodoh, mana mungkin