Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Kisah Si Naga Langit - 54

$
0
0
Cerita Silat | Kisah Si Naga Langit | Oleh Kho Ping Hoo | Kisah Si Naga Langit | Sakti Cersil | Kisah Si Naga Langit pdf

Boysitter - Muharram R Sebuah Desa Sebuah Mitos - Kuntowijoyo Dragon keeper - Colore Wilkinson Death Du Jour - Kathy Reichs Drakula - Bram Stoker Komplikasi Drama di Ujung Pisau Bedah - Atul Gawande Nggak sekadar ngampus - Bambang Q-Anees Candra kirana - Ajip Rosidi Api di Bukit Menoreh 2 - SH.Mintardja Goran Sembilan Bintang Biru - Imelda A. Sanjaya

Sekali ini Cia Song tidak merasa ragu lagi. Pasti ada yang merobohkan pohon pohon itu! Akan tetapi, kiranya tidak mungkin ada manusia yang sanggup merobohkannya. Dia cepat menghampiri kereta di mana gurunya masih duduk dan agaknya Ali Ahmed tidak begitu perduli akan robohnya dua batang pohon tadi. Sementara itu, Thian Liong saling pandang dengan Pek Hong Nio-cu dan pemuda itu tersenyum, juga sang puteri tersenyum karena mereka berdua merasa yakin bahwa robohnya pohon-pohon secara berturut- turut itu bukan hal kebetulan dan jelas merupakan halangan bagi pasukan itu. Halangan bagi pasukan yang menawan mereka berarti harapan pertolongan bagi mereka. “Suhu, pasti ada yang merobohkan pohon-pohon itu! Harap suhu suka keluar dan melakukan pemeriksaan,” katanya. Ali Ahmed yang tua lalu turun dan keluar dari kereta sambil ditopang oleh tongkat bambunya. Dia menggeleng kepalanya yang bersorban lalu berkata, “Memang aneh. Kiranya sukar mencari orang yang kuat merobohkan pohon-pohon itu, dengan tenaga lahir maupun batin, kecuali.......” “Kecuali siapa, suhu?” “Hemm, kecuali setan itu.” Mendengar ucapan datuk Hui ini, Cia Song dan lima orang Ngo-heng Kiam-tin merinding. Mereka adalah orang-orang yang percaya sekali akan setan-setan dan ketahyulan semacam itu seperti hampir semua orang pada umumnya di jaman itu. Mendengar ini, Cia Song segera menghadap ke arah depan, ke arah pohon yang tumbang lalu menjatuhkan diri berlutut. “Paduka yang menjaga dan menguasai hutan, harap maafkan kami kalau melanggar wilayah paduka. Hamba berjanji akan mengirim orang untuk membakar dupa dan bersembahyang di sini kelak. Ijinkanlah kami melewati jalan ini!” Lima orang Ngo-heng Kiam-tin, bahkan semua perajurit yang juga tahyul ikut pula berlutut di belakang Cia Song. Juga kusir kereta sudah turun dan berlutut menghadap ke arah pohon ke tiga yang tumbang. Hanya Ali Ahmed yang tidak berlutut. Dia berdiri, bertopang pada tongkat bambunya dan sepasang matanya yang masih tajam itu mencari-cari ke depan, kanan dan kiri. Ketika menyebut setan tadi, dia sama sekali tidak maksudkan hantu. Akan tetapi dia membiarkan saja muridnya dan para perajurit itu keliru menafsirkannya dan menyangka bahwa yang menumbangkan pohon-pohon benar-benar setan atau mahluk halus. Setelah berlutut dan mengucapkan kata-kata minta maaf dan berjanji akan mengirim orang untuk menghormati “penguasa hutan” itu, Cia Song kembali menyuruh orang-orangnya untuk menyingkirkan pohon ketiga itu. Akan tetapi tiba-tiba saja, mereka terkejut mendengar suara Pek Hong Nio-cu. “Pengkhianat-pengkhianat jahanam!” Cia Song dan teman-temannya memutar tubuh mereka dan alangkah kaget dan heran hati mereka melihat Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu sudah berdiri di atas tanah dan telah bebas dari semua belenggu. Bahkan yang membuat Cia Song terkejut sekali adalah ketika melihat betapa dua orang tawanan itu sudah memegang pedang masing-masing! Padahal, dia sudah merampas kedua pedang mereka itu dan menaruhnya di atas punggung kudanya, menyelipkan di sela kuda. Otomatis dia menoleh ke arah kudanya yang ditambatkan di tepi jalan dan melihat betapa pedang-pedang itu sudah tidak berada di sela kudanya! Bukan hanya Cia Song dan semua temannya yang merasa heran. Bahkan Thian Liong dan Pek Hong Nio- cu sendiri merasa terheran-heran. Tadi, ketika Ali Ahmed turun dari kereta, tiba-tiba saja mereka melihat sinar berkelebat menyambar ke dalam kereta dan tahu-tahu ikatan tangan mereka telah putus dan pedang mereka dilempar ke atas pangkuan mereka! Tentu saja dengan tangan bebas dan pedang di pangkuan mereka, dengan mudah mereka lalu membikin putus semua tali yang mengikat tubuh dan kaki mereka. Kemudian mereka turun dari kereta dengan pedang masing-masing di tangan, lalu Pek Hong Nio-cu mengeluarkan bentakan marah itu. Dapat dibayangkan kagetnya hati Cia Song melihat betapa dua orang tawanan itu telah lolos bahkan telah memegang pedang mereka kembali. Dia segera berkata dengan gurunya. “Suhu, harap suhu cepat robohkan mereka!” Tadi ketika semua orang memutar tubuh, kakek itupun ikut memutar tubuh dan diapun merasa terkejut melihat dua orang tawanan itu sudah bebas dari belenggu. Diam-diam dia merasa gentar juga karena sejak pohon pertama tadi dia sudah mempunyai dugaan yang membuat hatinya merasa jerih. Kini, mendengar permintaan muridnya, dan juga untuk menyelamatkan diri sendiri mengandalkan bantuan banyak orang, dia lalu menudingkan tongkatnya ke arah dua orang muda itu. Tongkatnya terbuat dari Bambu Sisik Naga, semacam bambu yang bentuk kulitnya mirip sisik ikan atau naga. Mulutnya berkemak-kemik membaca mantra dan dia mengerahkan ilmu sihirnya. “Bummm......!” Tampak asap hitam mengepul dan tiba- tiba saja tongkat itu terlepas dari tangannya, dan dalam pandangan semua orang, tongkat itu telah berubah menjadi seekor naga yang terbang melayang ke arah Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu. Mengerikan sekali naga jadi-jadian itu. Matanya mencorong dan moncongnya terbuka lebar, lidahnya terjulur keluar dan mahluk itu menyemburkan api! Akan tetapi tiba-tiba dari arah kiri, meluncur sebuah bola api sebesar tangan. Bola api itu tepat menghantam kepala naga jadi-jadian itu. “Darrr……!” Naga itu terpental dan asap hitam mengepul tebal. Naga lenyap dan tongkat bambu sisik naga itu terlempar ke dekat Ali Ahmed. Semua orang menengok ke kiri dan tampaklah seorang laki-laki berusia enampuluh tahun lebih, tubuhnya sedang, mengenakan pakaian yang hanya terdiri dari kain kuning dilibatkan di tubuhnya, memakai sepatu dari kain yang berlapis besi dan rambutnya diikat pita kuning. Matanya tajam, hidung mancung dan mulut penuh kesabaran. Wajah yang masih tampak tampan itu bulat telur dengan dagu agak runcing, bersih tanpa kumis atau jenggot. Melihat laki-laki ini, Ali Ahmed marah sekali. Dia lalu berkemak-kemik membaca mantra lalu kedua tangannya didorongkan ke depan. Asap hitam bergulung-gulung menyambar ke arah laki laki itu, membawa angin pukulan yang dahsyat sekali dan berhawa panas. “Siancai......!” Laki-laki itu berkata lirih dan tangan kirinya didorongkan seperti hendak menahan serangan jarak jauh yang dahsyat dan berbahaya dari Ali Ahmed. “Blarrrr......!” Hawa pukulan berasap hitam yang dahsyat itu seolah bertemu perisai yang amat kuat dan membalik. Tubuh Ali Ahmed terjengkang roboh dan dia tidak bergerak lagi. Cia Song melompat, menghampiri gurunya dan alangkah kagetnya melihat gurunya telah tewas! Agaknya kakek yang sudah delapanpuluh lebih usianya itu dan sudah lemah daya tahannya, tidak kuat menerima tenaganya sendiri yang membalik. “Suhu......!” Thian Long berseru ketika melihat laki-laki berpakaian kuning itu. “Paman Sie......!” Pek Hong Nio-cu juga berseru. Laki-laki yang bukan lain adalah Tiong Lee Cin-jin itu memandang kepada Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu, lalu mengangguk dan tersenyum lebar, tampaknya bahagia sekali, kemudian sekali berkelebat dia sudah lenyap dari sana. Melihat dua orang tawanan itu lolos, Ngo-heng Kiam- tin segera mengerahkan semua perajurit untuk menerjang dan mengeroyok. Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu mengamuk dengan pedang mereka. Lima orang jagoan dari Pangeran Hiu Kit Bong itu mencari-cari, akan tetapi Cia Song sudah tidak tampak batang hidungnya lagi. Diam-diam pemuda ini sudah melarikan diri ketika melihat gurunya tewas dan Thian Liong menyebut “suhu” kepada laki-laki setengah tua yang tadi merobohkan gurunya. Tahulah dia bahwa kakek yang amat lihai itu tentulah Tiong Lee Cin-jin dan dia menjadi ketakutan, diam-diam terus kabur dari situ! Demikianlah memang watak seorang yang berbudi rendah. Paling penting menyelamatkan diri sendiri dan tidak perduli kepada orang-orang yang menjadi sahabat, rekan dan sekutunya. Bahkan dia tidak perduli kepada gurunya yang tewas! Setelah tahu bahwa Cia Song yang mereka andalkan, bahkan yang menjadi pemimpin mereka itu tidak muncul dan jelas sudah melarikan diri, lima orang Ngo-heng Kiam-tin menjadi panik dan gentar. Tentu saja mereka menjadi “makanan lunak” bagi Pek Hong Nio-cu dan Thian Liong, walaupun lima orang itu dibantu sembilanbelas orang perajurit berikut seorang perajurit yang tadi menjadi kusir kereta. “Jangan bunuh mereka, Nio-cu. Kita tawan mereka hidup-hidup untuk dijadikan saksi akan pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong!” Tentu saja Thian Liong berseru begini terutama sekali untuk mencegah puteri itu menyebar maut. Pek Hong Nio-cu dapat memaklumi kebenaran ucapan Thian Liong, maka ketika ia mengamuk, pedangnya merobohkan para pengeroyok tanpa membunuhnya. Thian Liong juga merobohkan banyak orang dan tak lama kemudian, Ngo-heng Kiam-tin dan duapuluh orang perajurit itu roboh semua oleh tamparan, tendangan, atau terluka oleh pedang. Thian Liong mempergunakan tali-tali yang dibawa oleh pasukan itu untuk mengikat kedua tangan mereka semua di belakang tubuh. Mereka menurut saja karena sudah terluka dan merasa sudah tidak mungkin dapat melawan dua orang muda sakti itu. Terutama terhadap Pek Hong Nio-cu mereka merasa takut sekali. Dari sikap puteri itu mereka maklum bahwa kalau tidak dicegah Thian Liong, mereka semua pasti akan dibunuh oleh Puteri Moguhai yang amat marah dan benci kepada mereka yang menjadi kaki tangan pemberontak. Setelah tangan mereka semua diikat, Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu membawa mereka ke markas pasukan penjaga tapal batas yang dipimpin oleh Pangeran Kuang sebagai komandannya. Benteng pasukan itu tidak berapa jauh lagi dari situ sehingga setelah melakukan perjalanan cepat, pada sore harinya mereka tiba di benteng itu. “Thian Liong, benarkah penolong kita tadi itu suhumu?” tanya Pek Hong Nio-cu dalam perjalanan menggiring para tawanan itu menuju markas pasukan penjaga perbatasan. “Tidak salah lagi, Nio-cu. Masa aku dapat lupa kepada guruku sendiri? Akan tetapi, mengapa engkau menyebutnya paman Sie? Benarkah itu Paman Sie seperti yang pernah keuceritakan kepadaku itu?” “Benar, Thian Liong. Biarpun dulu ketika aku melihatnya dia berpakaian biasa, akan tetapi aku tidak melupakan wajahnya. Dialah orangnya yang oleh ibu diakui sebagai sahabat baik dan yang disebut Paman Sie. Dia yang memberi perhiasan kepala yang kupakai ini dan memberi tiga buah kitab pelajaran ilmu silat. Akan tetapi mengapa setelah menolong kita, dia pergi begitu saja tanpa memberi kesempatan kepada kita untuk bertemu dan bicara dengannya?” “Entahlah, Nio-cu. Akan tetapi, suhu adalah seorang yang arif bijaksana. Mungkin belum saatnya kita dapat berbicara dengan beliau. Kita tunggu saja, kalau sudah tiba saatnya, tentu aku dapat bertemu dengan guruku dan engkau dapat bertemu dengan pamanmu itu. Akan tetapi sungguh aku heran, bagaimana guruku itu menjadi sahabat ibumu dan dikenal sebagai Paman Sie? Sungguh aku tidak mengerti.” “Apakah engkau tidak mengetahui she (Marga) gurumu itu?” tanya Pek Hong Nio-cu. Thian Liong menggeleng kepalanya. “Suhu tidak pernah memperkenalkan nama aselinya. Yang aku tahu, beliau disebut Tiong Lee Cin-jin dan berjuluk Yok-sian (Dewa Obat atau Tabib Dewa). Beliau juga tidak pernah menceritakan tentang masa lalunya.” “Akan kutanyakan nanti kepada ibuku. Aku merasa heran sekali, bagaimana gurumu yang namanya juga sudah sering kudengar itu, Tong Lee Cin-jin, ternyata adalah seorang yang oleh ibuku diaku sebagai sahabatnya dan mengharuskan aku memanggilnya Paman Sie yang juga menjadi guruku.” “Sudahlah Nio-cu. Kalau tiba saatnya, Suhu pasti akan mau menceritakan tentang hal itu. Sekarang, engkau hendak membawa orang-orang ini ke mana?” “Akan kuserahkan kepada Paman Kuang yang bentengnya tidak jauh lagi dari sini. Engkau benar, orang-orang ini dapat menjadi saksi penting bagi pengkhianatan Pangeran Hiu Kit Bong yang memberontak. Aku akan minta Paman Kuang secepatnya kembali ke kota raja membawa pasukannya untuk menumpas para pemberontak.” Setelah mereka tiba di benteng, Pangeran Kuang yang menjadi komandan pasukan penjaga tapal batas menyambut mereka dengan gembira akan tetapi juga heran. “Moguhai. Lagi-lagi engkau, melakukan perjalanan begitu jauh! Dan sekarang engkau membawa tawanan begini banyak! Apa artinya ini dan siapa pula…… pemuda ini?” Pangeran Kuang yang berusia empatpuluh tahun lebih, berpakaian sebagai seorang panglima dan berwajah tampan, bertubuh tinggi besar. Puteri Moguhai atau Pek Hong Nio-cu tersenyum. “Paman, apakah paman tidak menyuruh kami duduk dulu dan memerintahkan orang-orangmu menahan orang orang yang kutawan itu? Kami lelah sekali, paman.” Pangeran Kuang baru menyadari kelalaiannya. “Ah, sampai lupa aku karena kunjunganmu yang tiba-tiba ini sungguh mengejutkan aku. Mari, silakan duduk di dalam dan engkau juga, orang muda.” Dia menyuruh para pengawal untuk mengurus tawanan. Mereka lalu memasuki ruangan dan duduk berhadapan. Pek Hong Nio-cu segera bercerita karena ia tahu bahwa waktunya mendesak sekali. “Paman, orang yang kutawan itu...... oya, aku lupa, ini adalah Souw Thian Liong, sahabat baikku yang membantuku menghadapi para pengkhianat itu! Ketahuilah, paman. Orang-orang yang kami tawan itu adalah anak buah Paman Pangeran Hiu Kit Bong yang berkhianat dan merencanakan pemberontakan!” Pangeran Kuang membelalakkan matanya. “Apa? Kanda Pangeran Hiu Kit Bong memberontak?” “Benar, paman. Hal ini memang sudah kucurigai dan kuduga. Akan tetapi sekarang sudah terbukti. Mereka ini diutus oleh Pangeran Hiu Kit Bong untuk menangkap aku, untuk dijadikan sandera dan memaksa sri baginda untuk menyerahkan tahta kepadanya. Orang-orang ini dapat dijadikan saksi. Kalau tidak ada bantuan Souw Thian Liong ini, tentu aku telah tertawan oleh mereka. Cepat, paman. Hanya Paman Kuang saja yang dapat menyelamatkan kerajaan dan membasmi para pemberontak. Cepat paman kerahkan pasukan dan kembali ke kota raja bersama kami. Aku khawatir kalau-kalau kita terlambat. Aku khawatir akan keselamatan ayah.” Mendengar ini, Pangeran Kuang terkejut dan marah bukan main. Pangeran Hiu Kit Bong adalah kakak tirinya, seayah berlainan ibu. Dia diangkat menjadi panglima oleh kaisar, juga kakak tirinya, sesuai dengan kepandaiannya, juga Pangeran Hiu Kit Bong sudah diberi kedudukan sebagai Menteri Kebudayaan merangkap penasihat kaisar. Kalau sekarang Pangeran Hiu Kit Bong hendak memberontak, sungguh dia merupakan seorang yang tidak tahu diri, tidak mengenal budi, angkara murka dan pengkhianat! “Hemm, sungguh tidak disangka Kanda Pangeran Hiu Kit Bong akan melakukan tindakan terkutuk seperti itu!” kata Pangeran Kuang. “Baiklah, aku akan mempersiapkan pasukan dan kita berangkat sekarang juga!” Demikianlah, Pangeran Kuang lalu mempersiapkan sebagian dari pasukannya berjumlah limaribu orang dan pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia memimpin pasukan itu berangkat menuju ke Kota raja. Pek Hong Nio-cu dan Souw Thian Liong mendahului pasukan, membalapkan kuda pilihan yang diberikan Pangeran Kuang kepada mereka berdua. ◄Y► Cia Song berhasil melarikan diri sebelum Thian Liong dan Pek Hong Niocu mengamuk. Nyalinya sudah terbang begitu dia melihat munculnya kakek sakti yang membuat gurunya tewas terpukul tenaganya sendiri yang membalik. Datuk Hui itu saja yang menjadi gurunya, sekali menyerang Tiong Lee Cin-jin roboh sendiri. Apalagi dia. Baru menghadapi Thian Liong dan Pek Hong Nio-cu saja dia akan sukar mendapatkan kemenangan, apalagi di sana ada manusia setengah dewa yang sakti itu! Cia Song berlari cepat menuju ke kota raja kerajaan Kin dan menghadap Pangeran Hiu Kit Bong. Melihat malam-malam Cia Song datang menghadapnya dengan muka pucat dan basah keringat, Pengeran Hiu Kit Bong menjadi kaget dan heran. Lalu dia menggebrak meja dengan marah sekali. “Sialan! Ternyata kepercayaanku kepadamu salah tempat, Cia-sicu! Melakukan tugas begitu saja engkau gagal sama sekali, malah semua anak buahmu terancam bencana. Celaka!” “Akan tetapi saya sama sekali tidak menduga bahwa di sana akan muncul Tiong Lee Cin-jin, Pangeran! Tadinya kami sudah berhasil menangkap Souw Thian Liong dun Puteri Moguhai, sudah kami belenggu dan hendak kami bawa pulang ke sini. Siapa kira di tengah jalan muncul Tiong Lee Cin-jin yang memiliki ilmu kepandaian seperti dewa. Bahkan Ali Ahmed, guru saya sendiri, tewas ketika menyerangnya! Pangeran Hiu Kit Bong berteriak memanggil pengawal dan memerintahkan pengawal mengundang para panglima sekutunya untuk malam itu juga datang berkumpul. Mereka itu datang satu demi satu. Setelah semua berkumpul lengkap, Pangeran Hiu Kit Bong berkata. “Saudara-saudara semua, Puteri Moguhai telah pergi ke perbatasan barat mengunjungi Pangeran Kuang. Tentu ia bermaksud mengadu dan minta bantuan pasukan yang berjaga di perbatasan. Karena itu, kita tidak boleh tinggal diam. Malam ini juga kita mempersiapkan pasukan dan besok pagi-pagi kita serbu istana, kita tangkap Kaisar. Jangan sampai kita terlambat. Kalau kaisar sudah kita sandera, biarpun Pangeran Kuang datang bersama pasukannya, dia tidak akan dapat berbuat apa-apa demi keselamatan Kaisar.” Pangeran Hiu Kit Bong tidak menceritakan kegagalan orang-orangnya menangkap Puteri Moguhai karena hal itu akan membuat sekutunya gentar dan patah semangat. Setelah berunding bagaimana caranya melakukan pengepungan terhadap istana, para Panglima yang dipimpin Panglima Kiat Kon itu lalu meninggalkan gedung Pangeran Hiu Kit Bong untuk mempersiapkan pasukan masing-masing. Mereka terdiri dari empat orang perwira, dikepalai Panglima Kiat Kon. Sementara itu, Cia Song sendiri bertugas sebagai pengawal pribadi Pangeran Hiu Kit Bong. Sebetulnya Cia Song segan menjadi pengawal pribadi pangeran itu dan dia sudah ingin pulang saja ke selatan untuk melapor kepada Perdana Menteri Chin Kui. Akan tetapi dia merasa sungkan juga karena dia telah gagal menangkap Puteri Moguhai, malah semua anak buahnya mungkin tertawan dan hal itu tentu saja membahayakan karena rahasia Pangeran Hiu Kit Bong akan terbongkar. Karena itulah maka Pangeran Hiu Kit Bong hendak melakukan serangan mendadak sebelum terlambat. Akan tetapi, ketika persekutuan pemberontak itu mengumpulkan pasukan mereka, ada perajurit yang diam-diam masih setia kepada Kaisar dan malam itu juga dia meloloskan diri dari kesatuannya dan pergi melaporkan persiapan pemberontakan Pangeran Hiu Kit Bong itu kepada Panglima Muda Ceng yang setia kepada Kaisar kerajaan Kin. Panglima Muda Ceng terkejut sekali dan malam hari itu juga dia mengumpulkan teman-teman yang masih setia kepada Kaisar lalu mengerahkan pasukan seadanya untuk ditarik menjaga istana! Juga diam- diam Panglima Muda Ceng melaporkan kepada kaisar yang tentu saja menjadi terkejut, khawatir dan marah sekali.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>