Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Kisah Si Naga Langit - 55

$
0
0
Cerita Silat | Kisah Si Naga Langit | Oleh Kho Ping Hoo | Kisah Si Naga Langit | Sakti Cersil | Kisah Si Naga Langit pdf

Boysitter - Muharram R Sebuah Desa Sebuah Mitos - Kuntowijoyo Dragon keeper - Colore Wilkinson Death Du Jour - Kathy Reichs Drakula - Bram Stoker Komplikasi Drama di Ujung Pisau Bedah - Atul Gawande Nggak sekadar ngampus - Bambang Q-Anees Candra kirana - Ajip Rosidi Api di Bukit Menoreh 2 - SH.Mintardja Goran Sembilan Bintang Biru - Imelda A. Sanjaya

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali, rakyat yang tinggal di kota raja menjadi geger. Banyak sekali tentara mengepung istana kaisar. Akan tetapi, dari tembok istana muncul pasukan lain yang menghadang. Terjadilah pertempuran hebat di sekeliling luar istana. Pangeran Hiu Kit Bong terkejut dan marah sekali melihat betapa istana dijaga banyak perajurit. Dia memerintahkan pasukannya bergerak dan menyerbu. Pertempuran hebat terjadi dan rakyat yang menjadi penduduk kota raja berserabutan melarikan diri mengungsi keluar dari kota raja! Karena merasa penasaran, Pangeran Hiu Kit Bong keluar dan memimpin sendiri pasukannya, yang dipimpin Panglima Kiat Kon dan para perwira sekutunya. Cia Song yang ingin menebus kegagalannya memperlihatkan kepandaiannya. Di depan mata Pangeran Hiu Kit Bong dia mengamuk dengan pedangnya dan banyak tentara pihak pasukan pembela kaisar roboh dan tewas di tangannya. Biarpun jumlah pasukan pemberontak dua kali lebih banyak dibandingkan pasukan pembela kaisar, namun pasukan yang dipimpin Panglima Muda Ceng dan rekan-rekannya itu melakukan perlawanan mati- matian! Maka, setelah pertempuran berlangsung sampai satu hari lamanya, pasukan pemberontak belum juga dapat menduduki istana. Pasukan pembela kaisar menutup pintu benteng istana dan biarpun banyak perajurit mereka yang tewas, semangat mereka masih besar dan mereka memperkuat benteng istana dengan balok-balok yang kokoh. Malam itu mereka melakukan penjagaan ketat dengan bergiliran, memberi kesempatan kepada pasukan untuk beristirahat dan merawat luka-luka mereka. Kaisar dan keluarganya sudah merasa khawatir sekali. Mereka tahu bahwa pasukan yang melindungi mereka kalah besar jumlahnya dibandingkan pasukan para pemberontak. Mereka mendengar pula bahwa kalau siang tadi pertempuran masih terjadi di luar istana, maka sekarang semua perajurit pembela kaisar sudah mundur memasuki benteng istana dan pintu gerbang sudah ditutup. Mereka hanya akan mempertahankan benteng istana. Kalau sampai benteng istana bobol, berarti pasukan pembela kaisar kalah dan pasukan pemberontak tentu akan menyerbu istana! ◄Y► Malam itu gelap sekali, bahkan bintang-bintang di langit juga tak tampak, tertutup mendung tebal. Hawa udaranya dingin. Pasukan kedua pihak mempergunakan kesempatan itu untuk melepas lelah setelah sehari tadi bertempur mati matian. Benteng istana dijaga ketat oleh pasukan pembela kaisar. Ronda berjalan sepanjang malam dan para penjaga itu bergiliran. Akan tetapi di malam yang gelap dan dingin itu, tampak dua bayangan berkelebat cepat sekali. Ilmu meringankan tubuh mereka sungguh amat hebat karena saking cepatnya mereka bergerak, tidak ada penjaga dalam benteng yang sempat melihat mereka. Tubuh kedua bayangan itu melayang ke atas tembok benteng lalu meluncur turun ke sebelah dalam. Mereka menyelinap di antara kegelapan yang pekat dan tak lama kemudian tubuh mereka sudah melayang naik ke atas wuwungan istana! Dua orang itu adalah Cia Song dan Panglima Kiat Kon sendiri! Mereka berdua menerima tugas istimewa dari Pangeran Hiu Kit Bong. Melihat betapa pasukan pembela kaisar melawan mati matian, Pangeran Hiu Kit Bong menjadi tidak sabar. Dia memanggil Cia Song dan mengingatkan pemuda ini akan kegagalannya menangkap Puteri Moguhai. “Aku mempunyai tugas penting dan kuharap sekali ini engkau akan melaksanakan dengan baik dan berhasil, Cia-sicu, untuk menebus kegagalanmu menangkap Puteri Moguhai,” kata Pangeran itu. Diam-diam Cia Song mendongkol. Siang tadi dia sudah memperlihatkan jasanya dengan merobohkan banyak perajurit pembela kaisar, namun tetap saja pangeran ini masih penasaran karena kegagalannya menangkap Puteri Moguhai. “Tugas apa yang harus saya lakukan, pangeran?” “Malam ini mereka tentu sedang beristirahat dan lengah. Karena itu, aku perintahkan engkau dan Panglima Kiat Kon untuk menggunakan kepandaian kalian, menyusup masuk istana dan menawan Sri Baginda dan membawanya ke sini. Kalau kalian berhasil, berarti kita tidak perlu bertempur lagi besok. Juga kalau pasukan Pangeran Kuang datang mereka juga tidak dapat berbuat apa-apa dan tidak berani menyerang kita yang sudah menyandera Sri Baginda Kaisar.” “Saya siap melaksanakan perintah itu, pangeran!” kata Panglima Kiat Kon dengan tegas. “Kalau Cia-sicu menemani saya, tugas itu pasti akan dapat kami lakukan dengan berhasil baik!” “Bagaimana dengan engkau, Cia-sicu?” tanya Pangeran Hiu Kit Bong sambil menatap wajah pemuda itu dengan tajam. Biarpun di dalam hatinya dia mendongkol sekali, akan tetapi Cia Song tidak dapat menolak. Dia mengangguk dan menjawab, “Saya sanggup, hanya tidak berani memastikan hasilnya karena di istana tentu diadakan penjagaan kuat.” Demikianlah, malam gelap dingin itu ditempuh Cia Song dan Panglima Kiat Kon. Dengan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) mereka yang tinggi, mereka berhasil melompati benteng tanpa diketahui perajurit pembela kaisar dan mereka berdua berhasil tiba di wuwungan istana! Akan tetapi selagi mereka berdua, dengan petunjuk Panglima Kiat Kon yang mengenal daerah itu, meneliti di mana kiranya kamar kaisar berada, tiba-tiba begitu mereka melangkah, kaki mereka terpeleset genteng wuwungan istana yang agaknya bergerak sendiri! Mereka terkejut dan merasa aneh. Akan tetapi ketika mereka memandang ke sekeliling yang gelap, mereka tidak mendengar apapun. Mereka melangkah lagi. Akan tetapi baru beberapa langkah, kembali genteng yang mereka injak bergerak dan mereka terpeleset, hampir jatuh. Mereka masih mampu bertahan agar tidak terjatuh. “Eh, apa ini, sicu?” Cia Song merasa bulu tengkuknya meremang. “Entahlah, ciang-kun, mungkin kebetulan saja…...” Akan tetapi mereka berdua merasa betapa ada benda kecil menyambar ke arah mereka. Mereka cepat mengelak, akan tetapi sungguh luar biasa, benda kecil itu tetap saja mengenai pundak mereka seolah benda hidup yang terbang mengejar ketika mereka mengelak. Mereka menahan seruan kaget karena pundak yang terkena benda itu terasa nyeri dan lengan di pundak itu untuk beberapa detik lamanya menjadi kesemutan dan lumpuh. Ketika dua buah benda kecil itu terjatuh ke atas genteng, terdengar suara berketikan seperti batu kerikil yang jatuh ke atas genteng. Mereka terkejut bukan main. Penyambit batu kerikil itu pasti memiliki kesaktian yang luar biasa sehingga mereka tidak mampu mengelak. Maklumlah keduanya bahwa ada orang sakti yang sengaja mengganggu mereka dan kalau tadi dua kali kaki mereka terpeleset, tentu juga akibat ulah orang yang mengganggu mereka itu. “Ciang-kun, kita pergi. Cepat!” kata Cia Song yang menjadi ketakutan. Kalau sampai orang sakti itu muncul dan mereka berdua ketahuan lalu dikepung ribuan orang perajurit, akan celakalah mereka! Keduanya lalu cepat meninggalkan wuwungan istana dan dengan gin-kang mereka yang tinggi, mereka berlompatan dan keluar dari benteng istana itu. Akan tetapi setibanya di luar benteng, dalam kegelapan malam itu Panglima Kiat kon tidak dapat menemukan Cia Song. Dia memanggil-manggil, akan tetapi Cia Song tidak menjawab. Tahulah panglima itu bahwa Cia Song diam-diam telah meninggalkannya. Dia merasa dongkol sekali. Tentu Cia Song takut bertemu Pangeran Hiu Kit Bong karena lagi-lagi gagal melaksanakan tugasnya malam ini. Kiat Kon kembali kepada Pangeran Hiu Kit Bong, menceritakan tentang kegagalannya. “Entah siapa yang mengganggu kami berdua, akan tetapi jelas bahwa dia seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali. Terpaksa kami tidak dapat melanjutkan rencana itu, Pangeran, karena dengan adanya orang yang demikian saktinya, tentu usaha kami akan gagal, bahkan tidak mustahil kalau kami akan tertangkap atau terbunuh. Maka kami segera meninggalkan wuwungan istana.” Pangeran Hiu Kit Bong mengepal tinju. “Sialan, gagal lagi! Mana orang she Cia itu?” “Ketika saya melompat keluar dari benteng istana, Cia-sicu tidak ada, Pangeran. Saya kira dia sengaja pergi meninggalkan kota raja karena tidak berani bertemu dengan paduka.” Pangeran Hiu Kit Bong marah sekali, lalu memerintahkan sekutunya untuk mempersiapkan pasukan dan besok pagi pagi melakukan penyerangan besar-besaran. Dia berpendapat bahwa besok benteng istana harus dapat dibobolkan dan kaisar harus dapat ditangkap. Kalau tidak, dia khawatir pasukan Pangeran Kuang keburu datang dan menyerang mereka. Akan tetapi Pangeran Hiu Kit Bong masih punya rencana jahat lain yang belum dilaksanakan, akan tetapi yang besar sekali harapannya akan lebih berhasil daripada tugas yang gagal dilaksanakan oleh Cia Song dan Kiat Kon tadi. Diam-diam pangeran yang licik ini telah berhasil memperalat dua orang pengawal pribadi kaisar. Dengan menyandera keluarga dua orang pengawal pribadi kaisar dan mengancam akan membunuh isteri dan anak-anak mereka, pangeran itu memerintahkan mereka untuk membunuh kaisar malam itu. Kalau hal ini tidak dilakukan, seluruh keluarga mereka yang disandera akan dibunuh! Malam itu, Kaisar kerajaan Kin berkumpul dengan semua isteri dan anak anaknya di ruangan dalam. Mereka tidak berani tidur di kamar sendiri-sendiri seperti biasa. Mereka semua duduk di dalam ruangan itu dengan wajah membayangkan ketakutan, bahkan di antara para isteri dan puteri istana ada yang terisak perlahan. Mereka semua maklum bahwa kalau pasukan yang melindungi mereka kalah, mereka akan terjatuh ke tangan pemberontak. Kaisar sendiri berdiri dengan tegar dan sama sekali tidak tampak ketakutan. Hanya penasaran dan kemarahan yang tampak membayang di wajahnya yang gagah dan keren. Dia merasa penasaran sekali mendengar bahwa Pangeran Hiu Kit Bong, kakak tirinya, orang yang telah diberikan kedudukan tinggi, memimpin pemberontakan itu. Sama sekali tidak pernah disangkanya. Dia kini merasa menyesal mengapa dia tidak mendengarkan peringatan Moguhai, puterinya yang kini tidak berada di istana. Puteri Moguhai pernah memperingatkan agar dia berhati-hati terhadap kakak tirinya itu dan jangan terlalu percaya kepadanya. Akan tetapi dia malah menertawakan puterinya itu yang dia anggap terlalu berprasangka buruk. Sekarang, peringatan puterinya itu menjadi kenyataan! Dia menghela napas panjang dan ketika dia melayangkan pandang matanya kepada belasan orang selir-selirnya, dia melihat Tan Siang Lin, ibu kandung Moguhai, duduk tak jauh darinya dan hanya selir keturunan pribumi Han ini sajalah yang kelihatan tabah dan tidak membayangkan ketakutan. Ia tetap tenang dan anggun sehingga kaisar teringat kembali kepada puteri mereka. “Dinda Siang Lin, sayang sekali Moguhai tidak berada di sini. Tahukah engkau ke mana ia pergi?” tanya kaisar dengan suara lembut kepada selirnya tercinta ini. Tan Siang Lin memandang kepada kaisar. Sejak tadi wanita ini seringkali menengok dan memandang kepada suaminya. Dalam hati ia merasa kagum dan juga bangga melihat pria yang menjadi suaminya itu sama sekali tidak tampak khawatir atau takut menghadapi keadaan yang amat gawat dan berbahaya itu. “Hamba tidak tahu, Sri Baginda. Paduka mengetahui sendiri betapa puteri kita itu suka sekali berkelana.” Kaisar mengangguk-angguk. “Aku percaya bahwa Moguhai pasti mendengar akan peristiwa di kota raja ini dan ia pasti akan datang untuk menyelamatkan kita semua.” “Semoga saja demikian, Sri Baginda,” kata Tan Siang Lin. Dalam ruangan yang luas itu terdapat belasan orang perajurit pengawal pribadi kaisar yang melindungi keluarga istana itu. Mereka berdiri dengan pedang di tangan, menjaga di pintu dan jendela jendela yang terbuka. Wajah mereka ini rata-rata tegang, karena mereka maklum bahwa kalau pertahanan pasukan pembela kaisar bobol, mereka harus melindungi keluarga kaisar dengan taruhan nyawa. Tiba-tiba, dua orang perajurit pengawal pribadi itu, yang berdiri menjaga di sebelah belakang kaisar, dalam jarak lima meter, bergerak maju sambil mengangkat pedang menyerbu ke arah Kaisar! “Ampunkan hamba, Sri Baginda!” seru yang seorang. “Ampunkan hamba, hamba...... terpaksa membunuh paduka!” seru orang kedua. Semua orang terkejut dan tertegun. Para perajurit pengawal lainnya juga terpukau, tidak sempat mencegah karena dua orang itu sudah menyerang kaisar. Seorang membacokkan pedang dari atas, orang kedua menusukkan pedangnya. Akan tetapi, tiba-tiba dua sinar hijau kecil meluncur dari arah jendela dan dua sinar hijau ini menyambar ke arah tangan dua orang perajurit pengawal yang memegang pedang. Mereka berdua berteriak mengaduh dan pedang mereka terlepas dari pegangan, jatuh berdenting ke atas lantai dan dengan tangan kiri mereka memegangi lengan kanan masing masing di mana menancap sehelai daun hijau! Para perajurit segera berlompatan dan meringkus dua orang perajurit pengawal yang tiba-tiba menyerang kaisar itu. Tan Siang Lin bangkit berdiri dari kursinya, memandang ke arah jendela dari mana sinar hijau tadi meluncur masuk. Wajahnya berseri, kedua matanya bersinar dan ia berseru girang. “Sie-ko (kanda Sie)......!” Akan tetapi ia sadar dan menahan seruannya sehingga tidak terdengar jelas. “Jangan bunuh. Seret mereka ke depanku!” kata kaisar dengan tegas, sama sekali tidak menjadi panik oleh peristiwa itu. Dua orang itu lalu didorong berlutut di depan kaisar di mana mereka menyembah- nyembah dan menangis! “Ampun, Yang Mulia…..! Ampunkan hamba berdua yang terpaksa......” mereka mengeluh dalam tangisan mereka. “Hemm, siapa yang memaksa kalian melakukan pengkhianatan hendak membunuh kami?” bentak kaisar. Seorang dari mereka menyembah dan berkata ketakutan, “Hamba berdua terpaksa melaksanakan perintah Pangeran Hiu Kit Bong untuk membunuh paduka karena kalau hamba tidak mau, seluruh keluarga hamba berdua yang sudah disandera akan dibunuh.” Kaisar dan semua orang melihat jelas betapa sehelai daun menancap di pergelangan kedua orang itu dan lengan mereka berdarah. Semua orang merasa takjub. Bagaimana mungkin sehelai daun dapat menancap pada lengan tangan dua orang itu sehingga mereka gagal membunuh kaisar? Pada hal daun hijau basah itu lunak dan lentur! “Jebloskan mereka dalam tahanan, jangan bunuh,” kata kaisar kepada para pengawalnya. Dua orang itu membentur-benturkan dahi di lantai menghaturkan terima kasih kepada kaisar. Akan tetapi dua orang perajurit memegang lengan mereka dan menarik mereka keluar dari ruangan itu. Kaisar menoleh kepada Tan Siang Lin, “Dinda Siang Lin, tadi engkau memandang ke arah jendela dan memanggil seseorang. Siapakah yang kau panggil itu? Apakah engkau melihat seseorang?” Wajah Siang Lin berubah kemerahan. “Hamba tidak melihat seseorang, Sri Baginda, akan tetapi hamba dapat menduga siapa yang telah menyelamatkan paduka. Dia pasti guru puteri kita Moguhai, karena hanya dialah kiranya yang mampu melukai dua orang tadi hanya dengan menggunakan sehelai daun.” “Luar biasa! Siapakah nama guru Moguhai itu?” tanya kaisar dan sedikit banyak kehadiran seorang manusia sesakti itu membesarkan hatinya dan dia merasa terlindung oleh suatu kekuatan yang hebat. Jantung dalam dada Siang Lin berdebar. Ia merasa serba salah, akan tetapi harus menjawab pertanyaan kaisar yang menjadi suaminya itu. “Hamba hanya mendengar bahwa guru Moguhai itu bermarga Sie, Sri baginda.” “Hemm, mengapa dia melindungiku secara diam- diam? Kalau saja dia mau muncul, mungkin dia dapat memberi tahu kami di mana adanya Moguhai sekarang ini.” Tiba-tiba tampak benda putih melayang masuk dari jendela. Seorang perajurit pengawal cepat menangkapnya dan ternyata benda itu sehelai kertas putih. “Apa itu?” tanya kaisar. “Sehelai kertas putih tertulis, Yang Mulia,” kata pengawal itu. “Cepat bawa ke sini!” perintah Sri Baginda dan perajurit itu segera menyerahkan kertas itu kepada kaisar. Kaisar membacanya dan seketika wajahnya berseri. Dia menengok ke arah jendela dan berkata dengan suara lantang. “Siapapun adanya engkau, orang gagah, kami berterima kasih sekali padamu!” Dengan wajah berseri Kaisar lalu menyerahkan surat itu kepada Siang Lin yang segera membacanya. Sepasang mata selir kaisar ini menjadi basah saking bahagia dan terharunya membaca isi kertas bertulis itu. “Moguhai dan Pangeran Kuang sedang menuju ke kota raja dengan pasukannya. Pertahankan istana sampai mereka datang.” Surat itu lalu berpindah-pindah tangan, mula-mula Siang Lin memberikannya kepada permaisuri yang setelah membacanya menyerahkan kepada para selir. Mereka bergantian membaca dan semua wajah menjadi berseri gembira. Timbul harapan dalam hati mereka. Pasukan penolong yang dipimpin pangeran Kuang dan Pureri Moguhai akan menolong mereka!

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>