Cerita Silat | Pukulan Hitam | SD Liong | Pukulan Hitam | Sakti Cersil | Pukulan Hitam pdf
Pukulan Hitam - Pedang Sambar Nyawa Pukulan Hitam - Nenek kembang Pengemis Binal - 26. Sepasang Racun Api Goosebumps 29 - Darah Monster III Permainan Maut - The Cat And The Canary Pukulan Hitam - Pedang Sambar Nyawa Pukulan Hitam - Pedang Sambar Nyawa Pukulan Hitam - Mulut Besi Pukulan Hitam - Thian-he te-it-ciang Pukulan Hitam - Tersangka
Ling-ling terkedjut. Buru2 ia menghampiri gurunja dan bertanja: "Suhu, apa jang terdjadi?" "Tetapi rupanja Kang-ou-djo-li tak menghiraukan seruan muridnja. Tanpa berpaling kebelakang, ia melangkah madju. "Kau... kau... kau terluka parah!" serunja kepada seseorang. Ling-ling jang berada diambang pintu, melihat seorangtua berambut pandjang tengah menggeletak di-sebuah randjang batu. Orangtua itu sedang meregang djiwa. Melihat kedatangan orang, orangtua itu tampak bersemangat. Mulutnja ber-gerak2 hendak berkata tetapi tak dapat mengutjap apa2. Ia menghela napas ketjil, mata melengak terbuka untuk memandang wadjah Kang-ou-djo-li. Kang-ou-djo-li tahu bahwa orang itu sedang menderita luka parah. Buru2 ia ulurkan tangan mendjamah djalan darah Hong-gan hiat ditubuh orang itu agar tubuhnja hangat. Beberapa saat kemudian tampak wadjah orangtua itu ke-merah2an dan napasnjapun tak ter-engah2 lagi. Berapa saat lagi barulah kedengaran orang tua itu berkata dengan suara lemah. "Sudah setengah bulan... setengah bulan... baru dengan susah pajah dapat bertemu padamu..." - wadjah orang tua itu berseri-seri kegirangan. "Siapakah kau?" tanjanja. "Aku orang she Toan, Toan Bu-yan. Orang persilatan menggelariku sebagai Kang-ou-djo-li!" sahut Kang-ou- djo-li dengan pelahan. Orangtua berambut pandjang itu tertawa: "Apa keperluanmu datang kemari?" "Ada suatu hal jang hendak kumintakan pertolonganmu!" Orangtua itu agak terkesiap, serunja: "Hendak minta tolong apa kepadaku?" Dengan setengah berbisik Kang-ou-djo li berkata: "Hendak mohon pindjam mustikamu Giok-tju!" Orang tua berambut pandjang terbeliak mendengar permintaan orang. Rupanja ia tak menduga bakal menerima permintaan sematjam itu. Ia menghela napas. "Ah, sungguh tak terduga-duga..." Kini Kang-ou-djo-li-lah jang terkesiap. Baru ia hendak minta keterangan, orangtua berambut pandjang itu sudah mendahului: "Untuk apa kau hendak pindjam Giok-tju?" "Menolong orang!" "Menolong orang?" Kang-ou-djo-li berpaling kearah Hoa Ling-ling, lalu berkata: "Ko Tjian Hong." Oraugtua berambut pandjang itu tersentak kaget. Sepasang matanja mementang lebar2 memantjarkan sinar kemarahan. "Apa? Ko sutit?" teriaknja dengan geram, "ah, gadis buta itu memang mendjengkelkan. Djika bukan karena dia tak nanti aku sampai terluka oleh si Badju- kelabu — tiba2 ia berganti nada: "Dimanakah Ko sutit sekarang?" Kang-ou djo li tak menduga sama sekali bahwa Tjian hong ternjata sutit (murid keponakan) dari orangtua berambut pandjang atau Hantu-majat (Si-mo). Diam2 ia girang, pikirnja: "Ah, usahanja kita tentu takkan sia2." Buru2 Kang-ou-djo-li berpaling menjuruh muridnja meletakkan Tjian hong dihadapan Hantu majat. "Anak itu sudah dihadapanmu....." katanja kepada Hantu—majat. Orangtua berambut pandjang bertanja: "Apakah dia terkena ratjun Bak-kim?" Kang-ou-djo-li menggeleng. "Bukan!" "Bukan? Habis terkena ratjun apa?" tanja Hantu- majat. "Pukulan Tjhit-im-tok-hiat-tjiang dari Sin-tju it-kiam!" Tiba2 wadjah Hantu—majat berobah, tanjanja: "Sudah berapa hari?" "Tudjuh hari," sahut Kang ou-djo-li. Mendengar itu Hantu-majat terpukau. Lama baru ia berkata lagi dengan nada lemas, "Tudjuh hari... tudjuh... hari, ah... tiada harapan ditolong lagi." Gemetar tubuh Ling-ling mendengar keterangan itu. Matanja bertjutjuran airmata.... Tiba2 Kang-ou-djo-li membentak: Bohong! Siapa tak kenal kesaktian mustika Giok-tju? Ratjun apakah jang tak mungkin disembuhkan mustika itu? Terang kau tak mau memberi pertolongan. Pertjuma kau mengaku djadi paman guru pemuda itu!" Sahut Hantu-majat dengan nada rawan: "Ah, kau hanja tahu satu tapi tak tahu jang lain!" Kang-ou-djo-li menatap orangtua berambut pandjang itu dengan tadjam. "Memang ratjun pukulan Tjhit-im-tok-hiat-tjiang atau ratjun Bak-kim dapat disembuhkan oleh mustika Giok- tji. Tetapi sajang waktunja sudah terlambat sekali. Andaikata baru berselang 3 hari, tentu akan kutolong se-kuat2nja. Tetapi sudah 7 hari, ja 7 hari... ia menghela napas putus asa, "aku tak berdaja menolongnja lagi..." Tetapi Kang-ou-djo-li tak menghiraukan udjarnja: "Aku tak menjuruhmu mati2an menolongnja. Tjukup kau pindjamkan mustika itu padaku!" "Ah... hantu-majat kembali menghela napas, sudah tiga bulan jang lalu mustika itu lenjap dari tanganku!" - sekali lagi ia menghela napas, "djuga Bak-kim telah dibawanja lari, ah, benar2 mendjengkelkan sekali!" "Giok-tju dan Bak-kim hilang?" teriak Kang-ou-djo-li dengan terkedjut. "Benar, direbut oleh seorang gadis buta." "Dan kau djuga dilukainja?" "Tidak..." "Lalu mengapa kau terluka begini parah?" Hantu-majat menghela napas rawan. "Pada setengah bulan jang lalu tiba2 muntjul seorang badju kelabu berkerudung muka. Pada saat aku tengah melakukan semedhi, dia memukul djalan darahku. Mungkin aku tak dapat bertahan hidup lama!" Tanja Kang-ou-djo-li: "Siapakah si badju-kelabu jang berkerudung muka itu?" "Dia tak menjebutkan namanja. Dan akupun tak dapat menduga siapakah dia!" sahut Hantu-majat. Tiba2 Kang-ou-djo-li teringat bahwa pada tiga bulan terachir ini telah terdjadi tiga matjam peristiwa pembunuhan jang menggemparkan. Pula tentang penjaksiannja atas pembunuhan tokoh Gong-Hong— it-si dan Thian-te-tjoat-kiam jang mati terkena ratjun. "Bagaimanakah keadaan orang jang terkena ratjun Bak-kim?" tiba2 ia mengadjukan pertanjaan. Kata Hantu-majat, "Dalam sekedjab mata tubuhnja berobah hitam dan putuslah djiwanja!" "Hai, benar dia!" sekonjong-konjong Kang-ou-djo-li memekik. "Dia...?" Hantu-majat tertjengang, serunja: "siapa?" Segera Kang-ou-djo-li mentjeritakan tentang keempat peristiwa pembunuhan jang didengarnja dalam perdjalanan itu. Tiba2 mulut Hantu-majat menjungging senjuman, serunja: "Bagus, bagus....! Dosanja mentjuri mustikaku dapat kumaafkan!" "Eh, siapakah pentjuri itu?" Kang-ou-djo-li balas bertanja. "Telah kukatakan tadi, dia seorang gadis buta," sahut Hantu-majat. "Namanja?" "Dia tak meninggalkan nama. Hanja menjebutkan bahwa ada orang jang memberinja gelaran sebagai Giok-lo-sat!" Selama berketjimpung 20 tahun dalam dunia persilatan tak pernah Kang-ou-djo-li mendengar tentang tokoh persilatan jang bergelar Giok-lo-sat. "Giok-lo-sat?" buru2 ia menegas. "Hm...." Saat itu Hoa Ling-ling sudah berhenti menangis, ia mengusap pelapuk matanja dengan udjung badju. Mendengar pertjakapan Hantu-majat, ia ber-debar2. Sebentar sedih sebentar girang. Memang belum lama ia terdjun dalam dunia persilatan. Pernah djuga ia mendengar tentang tokoh Giok-lo-sat, tetapi sampai saat itu belumlah ia pernah bertemu dengan tokoh itu. Menilik sepak terdjangnja meme-bunuh2i tokoh2 durdjana, terang Giok-lo-sat itu tentu memiliki kepandaian sakti. Untuk mentjari djedjaknja tentu sukar sekali. Ling-ling hanja memikirkan keselamatan Tjian hong. Tak peduli kesukaran apapun, ia sanggup menempuhnja. Segera ia mengadjak sang suhu: "Suhu, aku hendak mentjarinja untuk memindjam mustika Giok tju!" "Dia bagaikan angin jang meniup, kemanakah kau hendak mentjarinja?" damprat Kang-ou-djo-li. Namun Ling ling tetap pantang mundur, serunja: "Suhu, harap tunggu disini. Biarlah kutjari dulu Giok-tju untuk menolong Ko sauhiap!" Tanpa menunggu perkenan sang suhu, dara itu segera melesat pergi. Terpaksa Kang-ou-djo-li mengikuti djedjak muridnja jang keras kepala itu. "Hai, Ling-dji.... !" Segera ia hendak melesat menjusul. Tetapi sekonjong-konjong Hantu—majat mentjegahnja: "Kau, tunggu dulu!" Walaupun suaranja lemah tetapi penuh dengan kewibawaan. Kang-ou-djo-li terpaksa kembali dan menghampiri kerandjang Hantu-majat. "Biarkan dia pergi!" kata Hantu-majat dengan pelahan. Kang ou-djo li menganggap pernjataan Hantu-majat itu benar, ia setudju. "Sebelum menutup mata, aku hendak meninggalkan pesan kepadamu," kata Hantu-majat setengah berbisik. Kang ou-djo li menghiburnja: "Kau takkan mati..." "Tidak!" sahut Hantu-majat, "lukaku parah sekali. Rupanja orang badju kelabu itu mempunjai dendam permusuhan besar kepadaku. Dia sudah melepaskan pukulan maut!" "Kedjam sekali!" seru Kang-ou djo-li. Hantu-majat terengah-engah: "Kuharap kau dapat menolongi aku untuk mengetahui siapakah sebenarnja orang berkerudung badju kelabu itu. Ambillah kepala dan hati orang itu dan sembahjangkanlah didepan makamku nanti. Aku... baru dapat... menghimpaskan... dendam... hatiku..." — dikala mengutjapkan kata2nja jang terachir, kepala Hantu-majat meneliku terkulai dan putuslah napasnja. Melihat Hantu-majat meninggal begitu menjedihkan, bertjutjuranlah airmata Kang-ou-djo li. Beberapa djenak kemudian, ia berkemak kemik mengutjapkan djandji: "Ja, tentu akan kulaksanakan pesanmu. Harap kau mengaso dialam baka dengan tenang!" Setelah beberapa saat berdoa, ia mengalihkan perhatiannja kepada Tjian-hong. Anakmuda itu masih tak sadarkan diri. "Hm, aku harus menunggu sampai Ling—ling kembali membawa mustika itu baru dapat menolong anakmuda ini," pikirnja. Saat itu didalam makam hanja terdapat tiga insan. Kang-ou-djo-li, Tjian hong jang masih pingsan dan Hantu-majat jang sudah mendjadi majat. Kang-ou- djo-li mendjaga mereka. Sekarang marilah kita ikuti perdjalanan Hoa Ling-ling jang hendak memburu djedjak Giok-lo sat. Sekeluarnja dari makam, ia bingung tak karuan. Kemanakah ia harus ajunkan langkah memburu djedjak Giok-lo-sat? Ah.... Namun gadis jang berhati keras itu pantang mundur. Setelah menetapkan pikirannja segera ia lari menudju ketimur. Tak berapa lama tibalah ia disebuah kota ketjil. Saat itu hari sudah petang. Lampu2 mulai dipasang. Ia menudju kesebuah rumah penginapan jang memakai nama Sim—an. Tetapi bukan main ketjewanja ketika melangkah kepintu penginapan ia mendapat sambutan dingin dari djongos jang menghadang diambang pintu. "Maaf nona Kamar sudah penuh semua, silahkan mentjari lain penginapan," kata djongos itu. Walaupun mendongkol tetapi terpaksa Ling-ling mentjari kelain tempat. Tetapi dirumah penginapan kedua iapun mendapat sambutan serupa. Kamar sudah penuh semua. "Heran, mengapa penginapan2 penuh semua," diam2 ia membatin. Masih ia mentjoba kelain penginapan. Tetapi pada rumah penginapan ketiga, keempat dan seterusnja, selalu ia mendapat keterangan kamar penuh. Ia melangkah menjusur djalan dan tibalah disebuah penginapan jang memakai nama Lam Pak. Ia bersangsi djangan2 ia akan ditolak lagi. Namun ditjobanja djuga. Baru melangkah kemuka pintu, benar djuga si djongos sudah menghadang dipintu. "Maaf, nona. Kamar sudah penuh!" Kali ini Ling-ling benar2 marah, bentaknja: "Ngatjo!" — ia terus melangkah masuk. Djongos buru2 melesat menghadang" "Harap nona auka tjari lain penginapan sadja" "Aku menginap disini tentu membajar. Mengapa kau merintangi? Bohong kau, kamar2 masih ada jang kosong!" bentak Ling-Iing. Karena tak dapat menghalangi, djongos itu merengek2 me—minta2: "Harap nona suka memberi ampun padaku, tolonglah nona...." Sebenarnja djika djongos itu bersikap kurangadjar, Ling-ling hendak memberinja pengadjaran. Tetapi demi melihat sikap orang jang meminta kasihan, Ling- ling bersangsi. "Memberi ampun? Beritahukan apa sebenarnja serunja2 Dengan nada ter-sekat2 djongos menerangkan: "Karena pada waktu achir2 ini dikota ini terdjadi beberapa peristiwa berdarah. Dan jang mendjadi korban adalah orang2 persilatan. Agar djangan sampai terlibat kesulitan maka pemilik penginapan memerintah supaja menolak orang persilatan jang hendak menginap disini." Diam2 Ling-ling terkedjut, tanjanja pula: "Dimana terdjadinja pembunuhan itu?" "Semuanja terdjadi dihotel Sim An, tetapi ada jang terdjadi... di...." "Apakah terdjadi dihotel ini?" tukas Ling-ling. Seketika merahlah wadjah sidjongos, ia mengangguk. "Bagaimanakah berlangsungnja pembunuhan?" "Korban2 itu menginap dihotel tetapi keesokan harinja mereka sudah mendjadi majat jang tubuhnja berwarna hitam seperti kena ratjun," menerangkan sidjongos. "Hm, perbuatan Giok-lo sat," diam2 Ling-ling berkata dalam hati. Kini mulailah ia mempersiapkan rentjana untuk mentjari djedjak Giok-lo sat. Ia bertanja lagi: "Kapankah peristiwa pembunuhan itu terdjadi?" Djongos garuk2 kepala, menjahut: "Kemarin!" Tiba2 dari arah djalanan terdengar derap kuda mentjongklang. Ling-ling berpaling. Seekor kuda tegar berbulu hitam mulus muntjul. Ling-ling terkesiap tetapi pada lain saat ia mempunjai rentjana, pikirnja: "Bagus!" Kuda hitam itu ternjata menghampiri kehotel Sim An. Ling—ling segera tinggalkan hotel Lam Pak. Dari kedjauhan diam2 ia memperhatikan perawakan sipenunggang kuda. Seorang lelaki jang bertubuh tinggi besar. Kuda hitam berhenti dimuka penginapan Sim An. Karena dihentikan setjara mendadak, kuda itu meringkik keras dan kedua kaki depan melondjak keatas. Seorang tinggi besar segera menepuk punggung kuda itu: "Binatang, djangan kurang adjar!" Djongos ber-lari2 keluar. Demi melihat seorang tinggi besar jang berwadjah seram, tjepat2 djongos itu bersenjum-senjum dan memberi hormat: "Tuan, maaf kamar disini sudah penuh semua, silahkan ... " Belum habis ia berkata, siorang tinggi besar sudah membentaknja diserempaki dengan mengulurkan tjambuknja keudara:" Tuan besar sekali sudah datang kemari, tak peduli ada atau tidak ada kamar, aku harus menginap disini!" Djongos itu mengkerut njalinja. Berhadapan dengan seorang tetamu jang begitu kasar, ia terpaksa mengalah. "Silahkan masuk tuan!" katanja dengan hormat. Sekali ajunkan tubuh, sitinggi besar lontjat turun dari kudanja, "Aku menghendaki kamar jang besar dan jang indah!" "Baik tuan," sahut sidjongos. Masih sitinggi besar itu memberi perintah lagi: "Mandikan kudaku dan kasih makan jang kenjang." Habis berkata ia turun melangkah masuk, seakan- akan masuk kedalam rumahnja sendiri. Djongos terpaksa melakukan perintahnja. Sambil menarik kendali kuda, ia menggerutu pandjang lebar: "Djalan kesorga tak mau sebaliknja malah masuk kedalam neraka. Hm, terserah!" Tiba2 telinganja terngiang oleh sebuah suara melengking tadjam: "Apa maksud kata2mu itu!" Saking kagetnja djongos itu sampai melondjak. Ketika berpaling, ternjata jang muntjul itu jalah sinona jang pernah ditolak menginap disitu. Seketika itu putjatlah wadjah sidjongos, tubuhnja gemetar: "Nona, toa lihiap.... mohon kau..." "Djawab jang benar, atau djiwamu kutjabut!" "Ja... tay-lihiap..." "Apakah hotelmu pernah terdjadi pembunuhan?" Djongos itu mengitjupkan mata, sahutnja: "Hm, jang mendjadi korban adalah seorang pendjahat besar!" "Siapakah lelaki tinggi besar jang minta menginap tadi? Kenalkah kau?" tanja Ling-ling pula. Djongos itu agak gugup: "Dia, dia, dia..,. Kui-kam-djin. Seorang pendjahat jang termasjhur didaerah Kanglam. Gemar merampok dan merusak wanita. Penduduk memandangnja sebagai si momok. Setiap orang tentu kenal!" Ling-ling mengangguk. "Apakah dia tidur dikamar ruang belakang jang indah itu?" tanjanja. Djongos mengangguk. "Baik, pergilah kau melakukan pekerdjaanmu," achirnja Ling-ling suruh djongos itu berlalu. Djongos- pun tjepat2 masuk. Malam itu gelap. Bumi se-olah2 diselimuti oleh keremangan jang pekat. Hotel Sim An merupakan losmen jang paling besar dikota ketjil itu. Malam merajapi kesunjian. Makin larut makin senjap. Hotel Sim An sunji sekali. Hanja dengkur tetamu2 tidur berkumandang ditengah kesunjian. Lapat2 terdengar kentongan dipalu tiga kali. Se- konjong-konjong dikamar istimewa jang terletak di- bagian belakang losmen itu, berkelebat sesosok bajangan. Dengan gerakan seringan daun kering gugur ditanah, pendatang itu tiba dimuka kamar. Dari tjahaja bintang remang jang meningkah wadjah tetamu malam itu, djelas kalau seorang wanita. Seorang nona. Nona itu mengetuk daun pintu kamar tiga kali dengan pe-lahan2 dan memanggil: "Kui kiam-djiu, mengapa kau tak lekas keluar?" Seruan itu segera mendapat sambutan dari penghuni kamar jang melesat keluar dari djendela. Orang itu adalah sitinggi besar jang datang pada petang hari tadi. Melihat orang sudah keluar, dengan suatu gerakan jang segesit burung walet, nona itu segera melesat kedalam ruang tengah. Kini keduanja saling berhadapan. Sitinggi besar memandang nona itu tadjam2 dan beberapa djenak kemudian berseru: "Giok-lo-sat, tuanmu telah lama menunggu kau!" Nona itu tertawa mengikik, sahutnja: "Malam ini aku memang hendak menjempurnakan kau!" Djawab Kui-kiam-djiu sitinggi besar dengan nada sarat: "Selama 3 bulan ini, entah berapa banjaknja orang gagah dari dunia Rimba hidjau (penjamun) jang kau binasakan. Sebenarnja kau mempunjai dendam apa dengan orang2 gagah Rimba Hidjau itu?" Sahut nona jang dipanggil Giok-lo-sat dengan tenang: "Sebenarnja aku tak se-mata2 membunuh hanja kaum Rimba Hidjau sadja."
Pukulan Hitam - Pedang Sambar Nyawa Pukulan Hitam - Nenek kembang Pengemis Binal - 26. Sepasang Racun Api Goosebumps 29 - Darah Monster III Permainan Maut - The Cat And The Canary Pukulan Hitam - Pedang Sambar Nyawa Pukulan Hitam - Pedang Sambar Nyawa Pukulan Hitam - Mulut Besi Pukulan Hitam - Thian-he te-it-ciang Pukulan Hitam - Tersangka
Ling-ling terkedjut. Buru2 ia menghampiri gurunja dan bertanja: "Suhu, apa jang terdjadi?" "Tetapi rupanja Kang-ou-djo-li tak menghiraukan seruan muridnja. Tanpa berpaling kebelakang, ia melangkah madju. "Kau... kau... kau terluka parah!" serunja kepada seseorang. Ling-ling jang berada diambang pintu, melihat seorangtua berambut pandjang tengah menggeletak di-sebuah randjang batu. Orangtua itu sedang meregang djiwa. Melihat kedatangan orang, orangtua itu tampak bersemangat. Mulutnja ber-gerak2 hendak berkata tetapi tak dapat mengutjap apa2. Ia menghela napas ketjil, mata melengak terbuka untuk memandang wadjah Kang-ou-djo-li. Kang-ou-djo-li tahu bahwa orang itu sedang menderita luka parah. Buru2 ia ulurkan tangan mendjamah djalan darah Hong-gan hiat ditubuh orang itu agar tubuhnja hangat. Beberapa saat kemudian tampak wadjah orangtua itu ke-merah2an dan napasnjapun tak ter-engah2 lagi. Berapa saat lagi barulah kedengaran orang tua itu berkata dengan suara lemah. "Sudah setengah bulan... setengah bulan... baru dengan susah pajah dapat bertemu padamu..." - wadjah orang tua itu berseri-seri kegirangan. "Siapakah kau?" tanjanja. "Aku orang she Toan, Toan Bu-yan. Orang persilatan menggelariku sebagai Kang-ou-djo-li!" sahut Kang-ou- djo-li dengan pelahan. Orangtua berambut pandjang itu tertawa: "Apa keperluanmu datang kemari?" "Ada suatu hal jang hendak kumintakan pertolonganmu!" Orangtua itu agak terkesiap, serunja: "Hendak minta tolong apa kepadaku?" Dengan setengah berbisik Kang-ou-djo li berkata: "Hendak mohon pindjam mustikamu Giok-tju!" Orang tua berambut pandjang terbeliak mendengar permintaan orang. Rupanja ia tak menduga bakal menerima permintaan sematjam itu. Ia menghela napas. "Ah, sungguh tak terduga-duga..." Kini Kang-ou-djo-li-lah jang terkesiap. Baru ia hendak minta keterangan, orangtua berambut pandjang itu sudah mendahului: "Untuk apa kau hendak pindjam Giok-tju?" "Menolong orang!" "Menolong orang?" Kang-ou-djo-li berpaling kearah Hoa Ling-ling, lalu berkata: "Ko Tjian Hong." Oraugtua berambut pandjang itu tersentak kaget. Sepasang matanja mementang lebar2 memantjarkan sinar kemarahan. "Apa? Ko sutit?" teriaknja dengan geram, "ah, gadis buta itu memang mendjengkelkan. Djika bukan karena dia tak nanti aku sampai terluka oleh si Badju- kelabu — tiba2 ia berganti nada: "Dimanakah Ko sutit sekarang?" Kang-ou djo li tak menduga sama sekali bahwa Tjian hong ternjata sutit (murid keponakan) dari orangtua berambut pandjang atau Hantu-majat (Si-mo). Diam2 ia girang, pikirnja: "Ah, usahanja kita tentu takkan sia2." Buru2 Kang-ou-djo-li berpaling menjuruh muridnja meletakkan Tjian hong dihadapan Hantu majat. "Anak itu sudah dihadapanmu....." katanja kepada Hantu—majat. Orangtua berambut pandjang bertanja: "Apakah dia terkena ratjun Bak-kim?" Kang-ou-djo-li menggeleng. "Bukan!" "Bukan? Habis terkena ratjun apa?" tanja Hantu- majat. "Pukulan Tjhit-im-tok-hiat-tjiang dari Sin-tju it-kiam!" Tiba2 wadjah Hantu—majat berobah, tanjanja: "Sudah berapa hari?" "Tudjuh hari," sahut Kang ou-djo-li. Mendengar itu Hantu-majat terpukau. Lama baru ia berkata lagi dengan nada lemas, "Tudjuh hari... tudjuh... hari, ah... tiada harapan ditolong lagi." Gemetar tubuh Ling-ling mendengar keterangan itu. Matanja bertjutjuran airmata.... Tiba2 Kang-ou-djo-li membentak: Bohong! Siapa tak kenal kesaktian mustika Giok-tju? Ratjun apakah jang tak mungkin disembuhkan mustika itu? Terang kau tak mau memberi pertolongan. Pertjuma kau mengaku djadi paman guru pemuda itu!" Sahut Hantu-majat dengan nada rawan: "Ah, kau hanja tahu satu tapi tak tahu jang lain!" Kang-ou-djo-li menatap orangtua berambut pandjang itu dengan tadjam. "Memang ratjun pukulan Tjhit-im-tok-hiat-tjiang atau ratjun Bak-kim dapat disembuhkan oleh mustika Giok- tji. Tetapi sajang waktunja sudah terlambat sekali. Andaikata baru berselang 3 hari, tentu akan kutolong se-kuat2nja. Tetapi sudah 7 hari, ja 7 hari... ia menghela napas putus asa, "aku tak berdaja menolongnja lagi..." Tetapi Kang-ou-djo-li tak menghiraukan udjarnja: "Aku tak menjuruhmu mati2an menolongnja. Tjukup kau pindjamkan mustika itu padaku!" "Ah... hantu-majat kembali menghela napas, sudah tiga bulan jang lalu mustika itu lenjap dari tanganku!" - sekali lagi ia menghela napas, "djuga Bak-kim telah dibawanja lari, ah, benar2 mendjengkelkan sekali!" "Giok-tju dan Bak-kim hilang?" teriak Kang-ou-djo-li dengan terkedjut. "Benar, direbut oleh seorang gadis buta." "Dan kau djuga dilukainja?" "Tidak..." "Lalu mengapa kau terluka begini parah?" Hantu-majat menghela napas rawan. "Pada setengah bulan jang lalu tiba2 muntjul seorang badju kelabu berkerudung muka. Pada saat aku tengah melakukan semedhi, dia memukul djalan darahku. Mungkin aku tak dapat bertahan hidup lama!" Tanja Kang-ou-djo-li: "Siapakah si badju-kelabu jang berkerudung muka itu?" "Dia tak menjebutkan namanja. Dan akupun tak dapat menduga siapakah dia!" sahut Hantu-majat. Tiba2 Kang-ou-djo-li teringat bahwa pada tiga bulan terachir ini telah terdjadi tiga matjam peristiwa pembunuhan jang menggemparkan. Pula tentang penjaksiannja atas pembunuhan tokoh Gong-Hong— it-si dan Thian-te-tjoat-kiam jang mati terkena ratjun. "Bagaimanakah keadaan orang jang terkena ratjun Bak-kim?" tiba2 ia mengadjukan pertanjaan. Kata Hantu-majat, "Dalam sekedjab mata tubuhnja berobah hitam dan putuslah djiwanja!" "Hai, benar dia!" sekonjong-konjong Kang-ou-djo-li memekik. "Dia...?" Hantu-majat tertjengang, serunja: "siapa?" Segera Kang-ou-djo-li mentjeritakan tentang keempat peristiwa pembunuhan jang didengarnja dalam perdjalanan itu. Tiba2 mulut Hantu-majat menjungging senjuman, serunja: "Bagus, bagus....! Dosanja mentjuri mustikaku dapat kumaafkan!" "Eh, siapakah pentjuri itu?" Kang-ou-djo-li balas bertanja. "Telah kukatakan tadi, dia seorang gadis buta," sahut Hantu-majat. "Namanja?" "Dia tak meninggalkan nama. Hanja menjebutkan bahwa ada orang jang memberinja gelaran sebagai Giok-lo-sat!" Selama berketjimpung 20 tahun dalam dunia persilatan tak pernah Kang-ou-djo-li mendengar tentang tokoh persilatan jang bergelar Giok-lo-sat. "Giok-lo-sat?" buru2 ia menegas. "Hm...." Saat itu Hoa Ling-ling sudah berhenti menangis, ia mengusap pelapuk matanja dengan udjung badju. Mendengar pertjakapan Hantu-majat, ia ber-debar2. Sebentar sedih sebentar girang. Memang belum lama ia terdjun dalam dunia persilatan. Pernah djuga ia mendengar tentang tokoh Giok-lo-sat, tetapi sampai saat itu belumlah ia pernah bertemu dengan tokoh itu. Menilik sepak terdjangnja meme-bunuh2i tokoh2 durdjana, terang Giok-lo-sat itu tentu memiliki kepandaian sakti. Untuk mentjari djedjaknja tentu sukar sekali. Ling-ling hanja memikirkan keselamatan Tjian hong. Tak peduli kesukaran apapun, ia sanggup menempuhnja. Segera ia mengadjak sang suhu: "Suhu, aku hendak mentjarinja untuk memindjam mustika Giok tju!" "Dia bagaikan angin jang meniup, kemanakah kau hendak mentjarinja?" damprat Kang-ou-djo-li. Namun Ling ling tetap pantang mundur, serunja: "Suhu, harap tunggu disini. Biarlah kutjari dulu Giok-tju untuk menolong Ko sauhiap!" Tanpa menunggu perkenan sang suhu, dara itu segera melesat pergi. Terpaksa Kang-ou-djo-li mengikuti djedjak muridnja jang keras kepala itu. "Hai, Ling-dji.... !" Segera ia hendak melesat menjusul. Tetapi sekonjong-konjong Hantu—majat mentjegahnja: "Kau, tunggu dulu!" Walaupun suaranja lemah tetapi penuh dengan kewibawaan. Kang-ou-djo-li terpaksa kembali dan menghampiri kerandjang Hantu-majat. "Biarkan dia pergi!" kata Hantu-majat dengan pelahan. Kang ou-djo li menganggap pernjataan Hantu-majat itu benar, ia setudju. "Sebelum menutup mata, aku hendak meninggalkan pesan kepadamu," kata Hantu-majat setengah berbisik. Kang ou-djo li menghiburnja: "Kau takkan mati..." "Tidak!" sahut Hantu-majat, "lukaku parah sekali. Rupanja orang badju kelabu itu mempunjai dendam permusuhan besar kepadaku. Dia sudah melepaskan pukulan maut!" "Kedjam sekali!" seru Kang-ou djo-li. Hantu-majat terengah-engah: "Kuharap kau dapat menolongi aku untuk mengetahui siapakah sebenarnja orang berkerudung badju kelabu itu. Ambillah kepala dan hati orang itu dan sembahjangkanlah didepan makamku nanti. Aku... baru dapat... menghimpaskan... dendam... hatiku..." — dikala mengutjapkan kata2nja jang terachir, kepala Hantu-majat meneliku terkulai dan putuslah napasnja. Melihat Hantu-majat meninggal begitu menjedihkan, bertjutjuranlah airmata Kang-ou-djo li. Beberapa djenak kemudian, ia berkemak kemik mengutjapkan djandji: "Ja, tentu akan kulaksanakan pesanmu. Harap kau mengaso dialam baka dengan tenang!" Setelah beberapa saat berdoa, ia mengalihkan perhatiannja kepada Tjian-hong. Anakmuda itu masih tak sadarkan diri. "Hm, aku harus menunggu sampai Ling—ling kembali membawa mustika itu baru dapat menolong anakmuda ini," pikirnja. Saat itu didalam makam hanja terdapat tiga insan. Kang-ou-djo-li, Tjian hong jang masih pingsan dan Hantu-majat jang sudah mendjadi majat. Kang-ou- djo-li mendjaga mereka. Sekarang marilah kita ikuti perdjalanan Hoa Ling-ling jang hendak memburu djedjak Giok-lo sat. Sekeluarnja dari makam, ia bingung tak karuan. Kemanakah ia harus ajunkan langkah memburu djedjak Giok-lo-sat? Ah.... Namun gadis jang berhati keras itu pantang mundur. Setelah menetapkan pikirannja segera ia lari menudju ketimur. Tak berapa lama tibalah ia disebuah kota ketjil. Saat itu hari sudah petang. Lampu2 mulai dipasang. Ia menudju kesebuah rumah penginapan jang memakai nama Sim—an. Tetapi bukan main ketjewanja ketika melangkah kepintu penginapan ia mendapat sambutan dingin dari djongos jang menghadang diambang pintu. "Maaf nona Kamar sudah penuh semua, silahkan mentjari lain penginapan," kata djongos itu. Walaupun mendongkol tetapi terpaksa Ling-ling mentjari kelain tempat. Tetapi dirumah penginapan kedua iapun mendapat sambutan serupa. Kamar sudah penuh semua. "Heran, mengapa penginapan2 penuh semua," diam2 ia membatin. Masih ia mentjoba kelain penginapan. Tetapi pada rumah penginapan ketiga, keempat dan seterusnja, selalu ia mendapat keterangan kamar penuh. Ia melangkah menjusur djalan dan tibalah disebuah penginapan jang memakai nama Lam Pak. Ia bersangsi djangan2 ia akan ditolak lagi. Namun ditjobanja djuga. Baru melangkah kemuka pintu, benar djuga si djongos sudah menghadang dipintu. "Maaf, nona. Kamar sudah penuh!" Kali ini Ling-ling benar2 marah, bentaknja: "Ngatjo!" — ia terus melangkah masuk. Djongos buru2 melesat menghadang" "Harap nona auka tjari lain penginapan sadja" "Aku menginap disini tentu membajar. Mengapa kau merintangi? Bohong kau, kamar2 masih ada jang kosong!" bentak Ling-Iing. Karena tak dapat menghalangi, djongos itu merengek2 me—minta2: "Harap nona suka memberi ampun padaku, tolonglah nona...." Sebenarnja djika djongos itu bersikap kurangadjar, Ling-ling hendak memberinja pengadjaran. Tetapi demi melihat sikap orang jang meminta kasihan, Ling- ling bersangsi. "Memberi ampun? Beritahukan apa sebenarnja serunja2 Dengan nada ter-sekat2 djongos menerangkan: "Karena pada waktu achir2 ini dikota ini terdjadi beberapa peristiwa berdarah. Dan jang mendjadi korban adalah orang2 persilatan. Agar djangan sampai terlibat kesulitan maka pemilik penginapan memerintah supaja menolak orang persilatan jang hendak menginap disini." Diam2 Ling-ling terkedjut, tanjanja pula: "Dimana terdjadinja pembunuhan itu?" "Semuanja terdjadi dihotel Sim An, tetapi ada jang terdjadi... di...." "Apakah terdjadi dihotel ini?" tukas Ling-ling. Seketika merahlah wadjah sidjongos, ia mengangguk. "Bagaimanakah berlangsungnja pembunuhan?" "Korban2 itu menginap dihotel tetapi keesokan harinja mereka sudah mendjadi majat jang tubuhnja berwarna hitam seperti kena ratjun," menerangkan sidjongos. "Hm, perbuatan Giok-lo sat," diam2 Ling-ling berkata dalam hati. Kini mulailah ia mempersiapkan rentjana untuk mentjari djedjak Giok-lo sat. Ia bertanja lagi: "Kapankah peristiwa pembunuhan itu terdjadi?" Djongos garuk2 kepala, menjahut: "Kemarin!" Tiba2 dari arah djalanan terdengar derap kuda mentjongklang. Ling-ling berpaling. Seekor kuda tegar berbulu hitam mulus muntjul. Ling-ling terkesiap tetapi pada lain saat ia mempunjai rentjana, pikirnja: "Bagus!" Kuda hitam itu ternjata menghampiri kehotel Sim An. Ling—ling segera tinggalkan hotel Lam Pak. Dari kedjauhan diam2 ia memperhatikan perawakan sipenunggang kuda. Seorang lelaki jang bertubuh tinggi besar. Kuda hitam berhenti dimuka penginapan Sim An. Karena dihentikan setjara mendadak, kuda itu meringkik keras dan kedua kaki depan melondjak keatas. Seorang tinggi besar segera menepuk punggung kuda itu: "Binatang, djangan kurang adjar!" Djongos ber-lari2 keluar. Demi melihat seorang tinggi besar jang berwadjah seram, tjepat2 djongos itu bersenjum-senjum dan memberi hormat: "Tuan, maaf kamar disini sudah penuh semua, silahkan ... " Belum habis ia berkata, siorang tinggi besar sudah membentaknja diserempaki dengan mengulurkan tjambuknja keudara:" Tuan besar sekali sudah datang kemari, tak peduli ada atau tidak ada kamar, aku harus menginap disini!" Djongos itu mengkerut njalinja. Berhadapan dengan seorang tetamu jang begitu kasar, ia terpaksa mengalah. "Silahkan masuk tuan!" katanja dengan hormat. Sekali ajunkan tubuh, sitinggi besar lontjat turun dari kudanja, "Aku menghendaki kamar jang besar dan jang indah!" "Baik tuan," sahut sidjongos. Masih sitinggi besar itu memberi perintah lagi: "Mandikan kudaku dan kasih makan jang kenjang." Habis berkata ia turun melangkah masuk, seakan- akan masuk kedalam rumahnja sendiri. Djongos terpaksa melakukan perintahnja. Sambil menarik kendali kuda, ia menggerutu pandjang lebar: "Djalan kesorga tak mau sebaliknja malah masuk kedalam neraka. Hm, terserah!" Tiba2 telinganja terngiang oleh sebuah suara melengking tadjam: "Apa maksud kata2mu itu!" Saking kagetnja djongos itu sampai melondjak. Ketika berpaling, ternjata jang muntjul itu jalah sinona jang pernah ditolak menginap disitu. Seketika itu putjatlah wadjah sidjongos, tubuhnja gemetar: "Nona, toa lihiap.... mohon kau..." "Djawab jang benar, atau djiwamu kutjabut!" "Ja... tay-lihiap..." "Apakah hotelmu pernah terdjadi pembunuhan?" Djongos itu mengitjupkan mata, sahutnja: "Hm, jang mendjadi korban adalah seorang pendjahat besar!" "Siapakah lelaki tinggi besar jang minta menginap tadi? Kenalkah kau?" tanja Ling-ling pula. Djongos itu agak gugup: "Dia, dia, dia..,. Kui-kam-djin. Seorang pendjahat jang termasjhur didaerah Kanglam. Gemar merampok dan merusak wanita. Penduduk memandangnja sebagai si momok. Setiap orang tentu kenal!" Ling-ling mengangguk. "Apakah dia tidur dikamar ruang belakang jang indah itu?" tanjanja. Djongos mengangguk. "Baik, pergilah kau melakukan pekerdjaanmu," achirnja Ling-ling suruh djongos itu berlalu. Djongos- pun tjepat2 masuk. Malam itu gelap. Bumi se-olah2 diselimuti oleh keremangan jang pekat. Hotel Sim An merupakan losmen jang paling besar dikota ketjil itu. Malam merajapi kesunjian. Makin larut makin senjap. Hotel Sim An sunji sekali. Hanja dengkur tetamu2 tidur berkumandang ditengah kesunjian. Lapat2 terdengar kentongan dipalu tiga kali. Se- konjong-konjong dikamar istimewa jang terletak di- bagian belakang losmen itu, berkelebat sesosok bajangan. Dengan gerakan seringan daun kering gugur ditanah, pendatang itu tiba dimuka kamar. Dari tjahaja bintang remang jang meningkah wadjah tetamu malam itu, djelas kalau seorang wanita. Seorang nona. Nona itu mengetuk daun pintu kamar tiga kali dengan pe-lahan2 dan memanggil: "Kui kiam-djiu, mengapa kau tak lekas keluar?" Seruan itu segera mendapat sambutan dari penghuni kamar jang melesat keluar dari djendela. Orang itu adalah sitinggi besar jang datang pada petang hari tadi. Melihat orang sudah keluar, dengan suatu gerakan jang segesit burung walet, nona itu segera melesat kedalam ruang tengah. Kini keduanja saling berhadapan. Sitinggi besar memandang nona itu tadjam2 dan beberapa djenak kemudian berseru: "Giok-lo-sat, tuanmu telah lama menunggu kau!" Nona itu tertawa mengikik, sahutnja: "Malam ini aku memang hendak menjempurnakan kau!" Djawab Kui-kiam-djiu sitinggi besar dengan nada sarat: "Selama 3 bulan ini, entah berapa banjaknja orang gagah dari dunia Rimba hidjau (penjamun) jang kau binasakan. Sebenarnja kau mempunjai dendam apa dengan orang2 gagah Rimba Hidjau itu?" Sahut nona jang dipanggil Giok-lo-sat dengan tenang: "Sebenarnja aku tak se-mata2 membunuh hanja kaum Rimba Hidjau sadja."