Quantcast
Channel: Blog Ponsel Cerita Silat
Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Pukulan Hitam - 47

$
0
0
Cerita Silat | Pukulan Hitam | SD Liong | Pukulan Hitam | Sakti Cersil | Pukulan Hitam pdf

Pukulan Hitam - Pedang Sambar Nyawa Pukulan Hitam - Nenek kembang Pengemis Binal - 26. Sepasang Racun Api Goosebumps 29 - Darah Monster III Permainan Maut - The Cat And The Canary Pukulan Hitam - Pedang Sambar Nyawa Pukulan Hitam - Pedang Sambar Nyawa Pukulan Hitam - Mulut Besi Pukulan Hitam - Thian-he te-it-ciang Pukulan Hitam - Tersangka

Tjepat Kui-kiam-djiu menjelutuk: "Paderi Sat-sing, Serigala dari Lokyang, Liok-lim-sip-tiau.... jang manakah jang bukan golongan Rimba Hidjau!" "Djago pedang Thian-te tjoat-kiam bukankah djuga bukan golongan penjamun!" tak kurang tangkasnja Giok-lo-sat sigadis buta menjanggapi. "Tetapi apakah tudjuanmu melakukan pembunuhan jang mengerikan itu?" tegur Kui kian-djiu. "Kau ingin tahu?" seru sinona buta. "Ja!" "Baik, agar kau djangan mendjadi setan penasaran, akan kuberitahukan!" Kui-kiam-djiu mendengus: "Hm, belum dapat dipastikan siapakah jang akan mendjadi setan tanpa kepala malam ini!" "Djangan banjak tjakap!" bentak Giok-lo-sat, "djawablah, kenalkah kau pada seorang wanita jang bernama Pik Hay-tju!" Serentak saat itu Kui-kiam-djiu merasa seperti disambar petir. Wadjahnja merah padam seperti piting direbus. "Kau kenal padanja?" Giok-lo-sat mengulangi pertanjaannja pula. Walaupun nona itu melantangkan pertanjaan dengan nada jang tawar tenang, tetapi dalam pendengaran Kui-kiam-djiu seperti ajunan udjung pisau jang meng- gurat2 ulu hatinja. Tubuhnja serentak menggigil keras. "Kau... kau...kau siapa?" tanjanja tersendat-sendat. "Giok... lo... sat... sahut sinona. Tiba2 Kui-kiam-djiu berputar diri dan... lontjat melarikan diri... Kui-kiam-djiu tjepat sekali gerakannja tetapi ternjata sinona buta Giok-lo-sat lebih tjepat lagi: "Mau lari kemana kau!" teriaknja seraja melesat. Tahu2 ia sudah menghadang dimuka Kui-kiam-djiu. Dalam keadaan terdesak, Kui-kiam-djiu mendjadi nekad. Dengan tenaga penuh ia menghantam. Tetapi nona itu hanja tertawa mengikik. Sekali tangan bergerak ia gunakan dua buah djari untuk menutuk lambung orang. Kut-kiam-djiu kaget sekali karena pukulan kedua tangannja itu seperti menjusup kedalam lautan kapas. Buru2 ia hendak menarik pulang tangannja tetapi sebelum sempat, ia ratakan lambungnja sakit kesemutan. "Aduh...!" ia mendjerit dan rubuh ketanah! Giok-lo-saat mendengus dingin. Diangkatnja tubuh Kui-kiam-djiu lalu dibawanja kedalam kamar dan diletakkan diatas randjang. Kemudian nona itu mengeluarkan sebuah benda jang berwarna hitam diletakkan ditubuh Kui kiam-djiu. Berapa saat sadja, tubuh Kui-kiam-djiu berobah mendjadi hitam. Setelah melihat korbannja berwarna hitam, barulah nona ini berbangkit dan menjimpan lagi benda hitam. "Hm, akan kubuat kalian mendjadi setan hitam dengan ratjun Bak-kim!" dengusnja menggeram. Nadanja penuh dendam kebentjian jang hebat. Puas menumpahkan dendamnja, Giok-lo sat hendak berlalu. Tiba2 ia membentak: "Hai, siapakah itu?" Bentakan itu bersambut dengan melajangnja sesosok tubuh dari atas wuwungan rumah. Ah, ternjata djuga seorang nona. Belum ditegur, nona itu sudah mendahului menegur: "Giok-lo sat, sekalipun jang kau bunuh itu durdjana2 jang wadjib dilenjapkan tetapi tjaramu melenjapkan mereka itu kalewat ganas!" Giok-lo-sat marah: "Apa pedulimu.... Siapa kau?" "Aku orang she Hoa, namaku Ling-ling," sahut nona itu. "Hoa Ling-ling," seru Giok-lo-sat dengan nada keren, "karena kau berani mengintai perbuatanku, tak dapat kubiar«an kau hidup!" Giol-lo-sat menutup antjamannja dengan sebuah gerakan menjerang. Tetapi Hoa Ling-ling jang sudah siap, tjepat2 lontjat mundur sampai beberapa tombak, serunja: "Eh, aku tak bermaksud berkelahi dengan kau...." "Kau mentjari aku?" tanja Giok-lo-sat. "Ja." "Mengapa?" "Kau kenal Ko Tjian hong?" Ling-ling balas bertanja. Mendengar nama Ko Tjian hong, Giok-lo-sat mendesis pelahan. Hatinja bergolak keras. Tak tahu ia apakah perasaan jang dikandungnja saat itu. Walaupun tak dapat melihat tetapi gundu matanja ber-kitjup2 bagaikan memantjar getaran kasih. "Kenal," beberapa saat kemudian ia mendjawab, "gelar Giok-lo sat itu djuga dia jang memberikan kepadaku, Apakah maksudmu mengatakan pemuda itu kepadaku?" Hoa Ling-ling mendesis lirih. Ia merapikan rambutnja jang kusut tertiup angin malam. "Harap kau menolongnja!" katanja. "Menolongnja? Dia kenapa?" "Terkena ratjun pukulan Tjhit-im-tok-hiat-tjiang!" Giok-lo-sat berusaha keras untuk menekan hatinja jang bergolak. Djawabnja dengan tawar: "Tetapi aku tak mampu." "Kau mampu!" seru Ling-ling. "Aku? Tidak, pukulan Tjhit im-tok-hiat-tjiang itu merupakan ilmu pukulan istimewa jang mempunjai ratjun ganas tersendiri!" bantah Giok-lo-sat. Kata Ling-ling dengan sungguh2: "Djika kau memang tak mampu menolongi ja akupun tak nanti perlu mentjarimu. Ketahuilah, asal kau mau memindjamkan mustika Giok im milik Hantu-majat, aku tentu dapat menolongnja!" "Gioi-tju dapat menolongnja?" Giok-lo sat menegas. "Hm." Tiba2 Giok lo-sat kerutkan dahi, serunja: "Tetapi aku tak suka memindjamkan barang itu kepadamu!" Bermula Ling-ling mengira saat ketemu Giok-lo-sat tentulah mudah memindjam mustika itu. Ia tak mengira sama sekali bahwa Giok-lo-sat ternjata menolak permintaannja. "Dengan begitu kau tak suka menolong Ko Tjian hong?" ia menegas. Sebenarnja penolakan itu sudah tjukup menjatakan pendirian Giok-lo sat. Namun walaupun dengan harapan tipis akan memperoleh djawaban lain, tetap Ling-ling mengulang lagi. Tenang sekali Giok-lo sat menjahut: "Dia bukan anak bukan kadang dengan aku. Mengapa aku harus menolongnja?" Setitikpun Ling ling tak menjangka bahwa Giok-lo-sat akan mengatakan kata2 jang begitu getas. Ia kerutkan dahi: "Sesama umat manusia, wadjiblah tolong menolong. Mengapa kau begitu getas...!" Belum Ling ling berkata habis, Giok-lo-sat sudah menukas: "Dunia persilatan penuh badai angin, hudjan darah. Setiap orang memiliki rasa mementingkan diri sendiri; Tjoba katakan, siapakah jang benar2 rela membantu orang dengan lulus hati." "Djika kau tak bersikap bersahabat dengan orang, masakan mengharap orang akan membantumu!" Ling- ling mendampratnja dengan halus. Giok-lo-sat mendengus. Sahutnja dengan nada dingin: Kepandaian jang kumiliki sukar disaingi orang. Apalagi aku memiliki mustika Bak kim dan Giok-tju. Aku tak perlu mengharap bantuan orang lagi!" "Hm, tak kira hatimu begitu buruk...!" "Aku tak merugikan orang dan orangpun tak merugikan aku. Aku tak suka menolong orang dan tak mengharap pertolongan orang. Inilah garis hidup jang lurus. Mengapa kau memaki-maki semaumu sendiri?" "Bak-kim dan Giok-tju djuga bukan milikmu. Kau merampasnja dari tangan sipemilik Hantu-majat!" Giok-lo-sat tertawa mengikik: "Mustika dunia, harus dimiliki orang jang berdjodoh. Hantu-majat orang jang tak punja kepandaian, buktinja dapat kurebut. Djika kau punja kepandaian, silahkan merebut dari tanganku!" "Perempuan hina, aku hendak meminta peladjaranmu!" Ling-lion tak dapat mengendalikan kemarahannja lagi dan menutup kata2nja dengan sebuah serangan. Walaupun kedua matanja buta tetapi Giok-lo-sat dapat mengetahui setiap gerak serangan dari Ling- ling. Ia lontjat kebelakang lalu balas memukul dengan tangan kanan. Melihat djurus serangan Giok-lo-sat istimewa sekali, getarlah hati Ling-ling. Berputar tubuh ia mengadakan 3 buah serangan kilat. Ia lantjarkan serangan istimewa djuga. Seketika tubuh Giok-lo-sat terkurung oleh angin pukulannja. Tetapi Giok-lo-sat sidara buta itu memang sakti sekali. Dengan gerakan jang luar biasa indah dan gesit, ia dapat menghalau serangan Ling-ling dan mendesaknja mundur. Namun Ling-ling telah dihajati oleh dua tudjuan. Pertama, demi untuk menolong Tjian-hong dan kedua kalinja karena marah melihat sikap Giok-lo-sat jang tak simpati. Walaupun tahu kalau kalah sakti, tetapi ia nekad merangsang musuh. Giok-lo sat berputar, serunja: "Hm, tidak tahu diri. Djika dalam tiga djurus tak dapat mengalahkan kau, Giok-tju akan kuhaturkan padamu dengan kedua tanganku." Ling-ling kertek gigi, sahutnja: "Berani omong besar, djangan menjesal nanti!" Nona itu dengan nekad menjerang. Dua buah serangan kilat ia lantjarkan se—hebat2nja. Giok-lo—sat bergerak laksana bajangan. "Silahkan menjerang se-puas2mu! — Ia berlintjahan gesit sekali dan dua buah serangan telah dihindarinja. Kedjut Ling-ling bukan kepalang. Namun hatinja tetap teguh. Dengan diiring sebuah pekikan njaring ia lontarkan sebuah pukulan jang dahsjat. Pukulan itu diisi dengan seluruh tenaga dalamnja. Plak..... ditengah kelarutan malam jang sunji tiba2 terdengar suara tamparan keras. Tahu2 Ling-ling merasa pipinja ditampar oleh sebuah tangan jang kuat dan ter-hujung2lah ia mundur beberapa langkah. Ia mendekap mukanja, menangis ter-sedu2. Bukan karena sakitnja dipipi melainkan hatinja sakit, pedih dan geram sekali. "Karena memandang sama2 kaum wanita barulah kuberimu tamparan sebagai sedikit pengadjaran!" seru Giok-lo-sat. Marah dan putus asa menjebabkan Ling-ling tak dapat bitjara. Giok-lo-sat mendengus hambar. Segera ia berputar tubuh hendak melesat pergi. Tiba2 ia ber- paling dan berseru: "Tahukah kau apa sebab aku tak mau menolong Ko Tjian hong?" "Hm, kau manusia berhati dingin. Masakan aku tak tahu!" Mendengar itu Giok-lo-sat tertawa mengekeh. Ling-ling berhenti menangis, serunja: "Apa jang kau tertawakan? Apakah kata2ku salah?" "Kita adalah sesama kaum, kau tentu mengetahui perasaan hati wanita..." Giok-lo-sat menengadah memandang tjakrawala, "seorang gadis jang telah memberikan hatinja kepada seorang pemuda dan tjintanja itu tiada bersambut, gadis itu tentu akan mendendam kebentjian!" Tanpa menghiraukan orang jang diadjak bitjara itu mengerti atau tidak, Giok-lo sat terus melesat pergi. Tetapi baru melajang keluar pagar tembok, tiba2 nona itu membentak keras: "Hai, siapa jang berani mengintai aku!" Diluar losmen itu ternjata sebuah rimba ketjil jang disana sini ditumbuhi pohon2 besar. Teguran Giok-lo- sat itu mendapat sambutan sebuah tertawa tadjam. Dengan kepandaiannja Ilmu Thing-hong-pian-wi atau mendengar-angin-mengenal-tempat, tahulah Giok-lo- sat bahwa disebelah depan telah muntjul seseorang. Memang dugaannja tepat. Beberapa langkah dihadapannja tegak seorang setengah tua dalam dandanan saperti seorang sasterawan. Wadjahnja mengulum senjum sinis, ia madju menghampiri lima langkah kemuka Giok-lo-sat. "Hm, tak kira didunia terdapat seorang jang berani menjaingi sifatku berhati hitam!" Giok-lo-sat tergetar hatinja. Kau berhati hitam atau putih, bukan urusanku. Djangan bitjara semaumu sendiri...." "Membunuh guru, merebut kitab, melakukan pembunuhan setjara ganas. Masakan kau mampu menandingi kehitaman hatiku itu!" seru orang itu. Giok-lo-sat gemetar. "Apakah perbuatanku tidak sedjadjar dengan Hek sim-djin?" serunja. Sasterawan itu terkesiap kaget: "Hai, mengapa kau tahu gelaranku?" "Air dilaut tak mentjampuri air disumur. Bagaimana aku tahu kau siapa?" balas Giok-lo-sat. "Bukankah kau menjebut aku Hek-sim-djin?" "Kulihat sepak terdjangmu serba ganas tak kenal kasihan, tidak punja peri-kemanusiaan. Ketjuali manusia jang berhati Hek-sim, tentulah takkan berbuat sedemikian!" Sasterawan itu tertawa menjeringai: "Tetapi hatimupun hitam djuga!" "Masih djauh tingkatannja!" sahut Giok-lo-sat. "Tidak!" sahut sasterawan itu, "misalnja dalam peristiwa tadi. Asal kau mau membantu tentu dapat menolong djiwa seseorang. Tetapi kau menolak getas!" "Dia tak mempunjai ikatan budi dengan aku, mengapa aku harus menolooginja? Bukankah hal itu tak sesuai dengan hatiku jang hitam?" balas Giok-lo- sat. Sepasang mata sasterawan itu ber-kilat2 memandang Giok-lo-sat dengan tadjam. Beberapa saat kemudian ia mendengus dingin. "Mengapa kau mendengus?" tegur Giok-lo-sat. Djawab sasterawan setengah tua dengan nada dingin: "Djika ditilik sepak terdjangmu selama tiga bulan terachir ini, pembunuhan2 jang kaulakukan itu mungkin lebih ganas dari tindakanku!" Wadjah sidara buta jang aju tersembul kerut kerut kemurkaan. Serempak hatinjapun berkobar permusuhan. Namun ia berusaha keras untuk menindas perasaannja dan berkatalah dengan tawar: "Tetapi mereka memang pantas menerima nasib itu!" Kawanan durdjana dan bangsa pendjahat memang harus dibasmi. Tetapi tjaranja membunuh mereka itu terlalu kedjam sekali. Apalagi kau seorang perawan dara." Bagaikan lahar gunung, meletuslah kemarahan Giok- lo-sat: "Bukan tidak ada sebabnja kubunuh mereka!" "Apa? Kau mempunjai dendam dengan mereka?" sasterawan itu berteriak kaget. "Ja, merekalah jang membuat aku sengsara dan menderita kenistaan hidup... tiba2 dara itu merasa kelepasan omong. Seketika ia diam. "Dendam permusuhan apa?" desak sasterawan. "Suka? kuberitahukan!" "Kalau begitu kau bukan termasuk orang jang berhati hitam." Giok-lo-sat penasaran, serunja dengan geram: "Masakan kau djuga manusia berhati hitam?" "Mengapa tidak!" tiba2 sasterawan setengah tua itu menghela napas. Katanja dengan nada penuh penjesalan: "Aku adalah Hek-sim-djin Thia Tat-hu! Kau tak kenal?" Se-konjong2 wadjah Giok lo-sat mengerut lelap, bentaknja: "Thia Tat-hu, memang sudah lama aku hendak mentjarimu!" "Mengapa mentjari aku!" seru Hek-sim-djin. Singkat sekali Giok-lo sat mendjawab: "Membunuhmu!" Hek-sim-djin Thia Tat-hu tertawa mengekeh: "Kau mempunjai permusuhan?" "Selamanja aku tak membunuh tanpa alasan!" sahut Giok-lo-sat. "Kita tak saling kenal, mengapa mempunjai dendam permusuhan?" Dengan murka Giok-lo-sat berseru: "Dengan menahan derita kehinaan, aku tetap bertahan hidup sampai sekarang. Tudjuanku tak lain hanjalah untuk membunuhmu sadja!" Djawab Hek-sim-djin Thia Tat—hu keheranan: "Tak dapat kuingat permusuhan apa jang terdjadi diantara kita!" Giok-lo-sat berteriak njaring: "Dendam sebesar bengawan. Hinaan seluas telaga. Kau masih tak mengerti. Tak apalah. Nanti kalau sudah keachirat boleh kau tanjakan pada radja Achirat!" Mendengar kata2 sinona jang sedemikian menusuk perasaan, marahlah Hek-sim-djin: "Biasanja tanpa kenal kasihan ku-bunuh2i orang2 jang tak bersalah padaku. Apalagi kini kau hendak membunuhku, lebih tak dapat memberimu ampun lagi!" "Malam ini darahmu tentu akan menjiram rimba ini!" seru Giok-lo sat jang setjepat kilat terus menjerang dada Hek-sim-djin. Melihat orang menjerang dengan djurus jang amat ganas, Hek-Sim-djinpun angot penjakitnja. Ia djuga mengeluarkan djurus jang istimewa. Ditengah malam jang gelap tampak dua sosok bajangan ber-gulung2 laksana dua ekor kupu2. Suara bentakan diseling deru angin pukulan, membuat daun2 pohon jang berada disekeliling 5 tombak djauhnja berhamburan ketanah. Jang seorang, seorang dara sakti jang tengah dilanda kebentjian dendam. Jang satu seorang manusia berhati hitam jang tega membunuh guru dan merebut kitab pusaka sang guru. Keduanja saling mengeluarkan djurus2 jang luar biasa. Keduanja hanja mentjurahkan perhatian untuk menghantjurkan lawan. Mereka tak menjadari bahwa seorang tak dikenal telah melajang turun dari sebatang pohon dan melihat pertempuran itu.

Viewing all articles
Browse latest Browse all 6423

Trending Articles



<script src="https://jsc.adskeeper.com/r/s/rssing.com.1596347.js" async> </script>