Cerita Silat | Pukulan Hitam | SD Liong | Pukulan Hitam | Sakti Cersil | Pukulan Hitam pdf
Pukulan Hitam - Pedang Sambar Nyawa Pukulan Hitam - Nenek kembang Pengemis Binal - 26. Sepasang Racun Api Goosebumps 29 - Darah Monster III Permainan Maut - The Cat And The Canary Pukulan Hitam - Pedang Sambar Nyawa Pukulan Hitam - Pedang Sambar Nyawa Pukulan Hitam - Mulut Besi Pukulan Hitam - Thian-he te-it-ciang Pukulan Hitam - Tersangka
Orang itu diam2 kagum atas djurus2 serangan jang digunakan Giok-lo-sat. Walaupun Hek-sim-djin dapat mengimbangi tetapi dalam waktu singkat tak mungkin ia dapat mengalahkan sinona, Se-konjong2 sepasang tangan Hek-sim-djin diangkat keatas dan didorongkan se-kuat2nja. Seketika itu Giok-lo-sat dihambur oleh gulung2 sinar hitam. Tetapi rupanja telinga sidara buta itu luar biasa tadjamnja. Seolah2 dapat melihat antjaman itu, gunakan gerak penjesat untuk menghindari, lalu balas menjerang. Tetapi kali ini Gok lo sat berhadapan dengan seorang tokoh Hek sim-djin jang sakti, ia memberondong sinona dengan hamburan sinar2 hitam. Untunglah mata Giok-lo-sat buta hingga tak gentar melihat hamburan sinar hitam. Ia terhujung-hujung dua langkah kebelakang dan muntahkan segumpal darah segar. Buru-buru ia mengulum mustika Giok-tju kedalam mulutnja. Mustika Giok-tju merupakan benda adjaib jang dapat menjembuhkan segala matjam ratjun. Tak berupa lama Giok-lo-satpun pulih tenaga dalamnja. "Thia Tat-hu, ilmumu Pukulan Hitam tak berguna malam ini!" serunja mengedjek. Untuk membuktikan pernjataannja, segera ia lepaskan sebuah pukulan jang penuh tenaga-dalam. Hek-sim-djin terkedjut sekali, pikirnja: "Hm, budak perempuan ini benar2 sakti. Karena sesuatu sebab dalam tubuhku, aku hanja dapat mempeladjari ilmu Pukulan Hitam sampai tiga bagian sadja. Sekalipun begitu banjak sudah djago2 sakti jang kukalahkan. Boleh dikata selama ini tiada seorang djago persilatan jang mampu menandingi aku. Tetapi tjelaka, hari ini aku benar2 ketemu batu!" Kiranja ilmu Pukulan Hitam itu harus dijakinkan dengan tjara jang istimewa. Jalah harus dipeladjari oleh seorang kemudian orang itu harus menjalurkan seluruh tenaga-dalamnja kepada orang kedua. Setelah itu barulah kesaktian Pukulan Hitam dapat dikembangkan dengan sempurna. Sekalipun hatinja gentar namun sifat2 tjongkak dan ganas dari Hek-sim-djin melarangnja pantang mundur. Dengan kedua tangannja ia ber-turut2 melepaskan 7-8 serangan. Rupanja orang jang melajang turun dari pohon tadi mengetahui tanda2 kekalahan Hek sim-djin sudah hampir mendekati. "Berhenti!" tiba2 ia membentak keras. Kedua orang jang bertempur itupun segera lontjat mundur. Orang itu melangkah madju dan memberi hormat. "Tjudjin (madjikan), pertempuran baik disudahi sampai sekian sadja!" kata orang itu. Giok lo-sat mendengus dingin: "Thia Tat-hu, tidak gampang kau hendak melarikan diri!" Hek-sim-djin mengerut bengis: "Siapa kau? Mengapa mentjampuri pertempuran ini?" Kata orang itu dengan tenang: "Masakan tjudjin lupa pada hamba Tio Sam si Mulut-besi?" Hek-sim-djin memandang tadjam orang itu lalu mendengus: "Aku tak peduli kau Tio Sam si Mulut-besi atau Mulut-lumpur, pokoknja enjahlah!" Orang jang mengaku dirinja Tio Sam si Mulut-besi itu heran mengapa tuannja tak kenal padanja. Katanja: "Harap tjudjin suka mengingat-ingat lagi. Dua puluh tahun jang lalu hamba pernah melajani tjudjin beladjar kitab!" Serentak Hek-sim-djin membentak: "Aku tak kenal padamu, djangan merengek-rengek sanak kadang." Orang itu tetap tenang. Hanja ia heran sekali mengapa Hek-sim-djin jang pernah mendjadi madjikannja lupa sama sekali kepadanja. Dipandangnja Hek-sim-djin dengan lamat2. "Ah, benar," katanja dalam hati, dia adalah madjikanku. Mengapa lupa padaku?" "Dahulu siang malam aku selain melajanimu, mengapa tjudjin lupa sama sekali?" katanja. Giok-lo-sat sebal melihat pertjakapan mereka, bentaknja: "Thia Tat-hu, malam ini kita harus selesai siapa jang berhak hidup dan siapa jang harus mati..." - kata2 itu diserempeki dengan sebuah gerak menutup kedua tangan kedada dan melangkah madju. Tiba2 orang jang menjebut dirinja Tio Sam si Mulut- besi itu segera melangkah menghadang Giok—lo-sat. "Nona, idjinkan aku berkata sepatah," katanja. "Lekas katakan!" djawab Giok-lo-sat ringkas. "Dia bukan Thia Tat-hu!" Giok-lo-sat terkesiap tetapi tjepat2 berseru: "Tidak mungkin! Dia sendiri mengaku sebagai Hek-sim-djin Thia Tat-hu, mengapa kau mengatakan bukan?" "Nona, dia benar2 bukan Thia Tat-hu!" seru orang itu. "Hm, kalau bukan habis siapakah dia?" Orang jang mengaku sebagai Tio Sam si Mulut-besi itu merenung sedjenak lalu berseru : "Dia jalah jang digelari orang sebagai Tjian...." Baru orang itu mengutjap begitu, se-konjong2 Hek- Sim-djin menghantamnja: "enjah kau!" Karena tak menjangka sama sekali bakal menerima serangan, orang jang menjebut dirinja sebagai Tio Sam itu terpental beberapa belas langkah dan membentur sebatang pohon, ia rubuh tak dapat bangun lagi... Giok-lo-sat tertawa mengikik. Hek-sim djin memandangnja dengan bengis: "Apa itu tjudjin, tuan besar Hek-sim-djin Thia Tat—hu segala matjam tetek bengek. Kau hendak mengganggu aku hendak mentjemoohkan namamu dengan segala matjam sebutan. Ngatjo belo!" Orang jang mengaku Tio Sam itu menahan kesakitan, serunja: "Tjudjin, mengapa kau bersusah pajah mengaku sebagai durdjana?" Dengan murka sekali si Hek-sim-djin menghampiri. "Berhenti!" tiba2 Giok-lo-sat berseru membentaknja. Hek-sim-djin berpaling: "Api maksudmu mentjegah aku?" "Ksatrya besar, orang gagah perwira, tak seharusnja membunuh orang lemah jang sudah kalah dengan kita!" sahut Giok-lo-sat Hek-sim djin malu hati. Tiba2 ia berputar tubuh dan batalkan niatnja hendak melabrak orang jang menjebut dirinja sebagai Tio Sam itu. "Apakah kau sungguh2 Hek-sim-djin Thia Tat-hu?" seru Giok-lo-Sat dengan rada bersungguh. Dengan nada jang girang, mendjawablah jang ditanja: "Seorang lelaki selalu tak mau mengganti nama. Hek-sim-djin Thia Tat-hu tak pernah bertindak tjara gelap2an. Dulu Hek-sim-djin sekarangpun tetap Hek-sim-djin. Si Tio Sam bermulut lumpur itulah jang meng-aku2 tak keruan hendak merusak namaku." Seru Giok-lo sat dengan nada sarat: "Djika benar- benar kau Hek-sim-djin, aku tak dapat memberimu ampun lagi!" "Aku Hek-sim-djin masakan takut padamu!" seru Hek- sim-djin dengan murka. Kaki Giok-lo-sat berkisar dan tiba2 tanganpun diangkat: "Sambutlah ini!" - wut.... berbareng tangan memukul terdengarlah deru angin kuat menjambar Hek-sim-djin. Hek-sim-djin tjepat2 menangkis. Tetapi ia rasakan angin pukulan Giok-lo-sat itu terlalu kuat sehingga ia terhujung mundur sampai 3 langkah. Tubuhnja ter- hujung2. Giok-lo-sat merangsang lagi. Dengan sekuat tenaga Hek-sim-djin lontarkan Pukulan Hitam tetapi tak mampu mentjegah badai pukulan jang dilepas Giok- lo-sat. Dalam sekedjap mata petjah lagilah pertempuran dahsjat antara kedua orang itu. Mereka tetap hendak melandjutkan pertempuran jang belum selesai tadi. Tio Sam si Mulut-besi terluka parah. Beberapa saat kemudian baru ia dapat bangkit. Rupanja ia tak sakit hati karena dipukul tuannja tadi. Bahkan ia merasa gelisah atas keadaan tuannja jang mulai terdesak lawan itu. Pelahan-lahan ia menghampiri. Rupanja ia hendak memberi bantuan kepada Hek-sim-djin. Tetapi deru angin dahsjat dan kedua tokoh jang sedang bertempur mati2an itu merupakan lingkaran badja jang menghalangi ia madju. Se-konjong2 terdengar lengking teriakan njaring dan tubuh Hek-sim-djin bagaikan sebuah bola melajang keudara. Bum..... Hek-sim-djin djatuh beberapa tombak djauhnja.... Dengan tjemas Tio Sam ber-gegas2 lari menghampiri untuk memberi pertolongan. Tetapi ia kalah tjepat dengan Giok-lo-sat jang sekali lontjat sudah tiba dihadapan Hek-sim-djin. Tangan nona buta itu menggenggam Bak-tim, benda beratjun jang paling ganas didunia. Dipandangnja wadjah Hek-sim-djin lekat2, serunja: "Akan kusuruh kau menikmati betapa rasanja bendu ini!" — Tjet, setjepat kilat ia segera susupkan Bak-kim kemulut Hek-sim djin. "Kau, kau ganas sekali!" Hek-sim djin menggeliat dan mendampratnja. Giok-lo sat menarik kembali Bak-kim, katanja dengan geram: "Kubunuhmu bukanlah sukar.... Pek Hay-tju, kau kenal padanja?" Wadjah Hek-sim djin berobah seketika, serunja kaget: "Kau... kau... kau..." Pada saat Hek-sim-djin ter-gagap2, Giok-lo-sat sudah ajunkan tubuh melesat beberapa tombak. Terdengar ia tertawa njaring, makin lama makin djauh.... Saat itu si Tio Sampun sudah tiba disamping Hek-sim- djin. Tampak wadjah Hek-sim-djin mulai berwarna hitam. "Tjudjin, mengapa kau bersusah pajah mengaku sebagai durdjana Hek-sim-djin!" seru Tio Sam dengan sedih. Saat itu Hek sim-djin sedang pedjamkan mata menjalurkan peredaran darah. Mendengar seruan Tio Sam, ia segera membuka mata. "Kau siapa? Mengapa tak henti2nja menjebut aku sebagai tuanmu!" serunja dengan geram. Tio Sam si Mulut-besi setengah merintih berkata: "Tjudjin, kau..." "Aku terang Hek-sim-djin, mengapa kau selalu..." belum habis Hek-sim-djin berkata ia pingsan. Hawa amarah telah menjerang hulu hati dan membeku. Ditambah pula dengan ratjun Bak-kim jang mulai bekerdja, gemetarlah tubuhnja dan ia djatuh pingsan tak ingat diri lagi! Dengan mengerahkan sisa tenaganja, orang jang menjebut dirinja Tio Sam si Mulut-besi itu segera mengangkat tubuh Hek Sim djin. Dengan langkah ter- hujung2 ia membawanja kedalam hutan. Fadjar mulai menebar, menjibak kegelapan malam. Tiba2 dari balik sebaran2 pohon besar, muntjul seorang gadis muda, itulah Giok-lo-sat. Rupanja dia belum meninggalkan tempat itu. Tergerak hatinja melihat perbuatan orang jang mengaku sebagai Tio Sam si Mulut besi, katanja seorang diri: "Ah, benar2 seorang budjang setia!" Masih ia tak mengerti mengapa budjang jang menjebut diri sebagai Tio Sam si Mulut besi itu menjatakan Hek sim djin madjikannja. Dan menurut keterangan budjang itu, Hek-sim-djin itu ternjata bukan Hek-sim djin jang aseli.. Antara kedua orang itu timbul perselisihan. Tio Sam mengaku Hek-sim-djin itu tuannja tetapi Hek sim djin merasa tak kenal dengan si Tio Sam. Bukankah suatu kegandjilan? Tetapi achirnja Giok-lo-sat membuang hilang peristiwa2 aneh itu. - menganggap hal itu tak ada hubungan dengan dirinja. "Aku harus melandjutkan pembunuhan sampai kawanan manusia2 itu lenjap didunia!" achirnja ia menetapkan keputusan. Segera ia ajunkan langkah menjongsong mentari pagi jang telah menembus halimun pagi. Ia terkesiap dan berhenti. Walaupun buta tetapi ia merasa silau djuga terkena sinar matahari. Pada lain saat ketika ia hendak melandjutkan perdjalanan tiba2 sesosok bajangan melajang diudara. "Tunggu dulu nona!" Demi mendengar suara orang itu, tergetarlah hati Giok-lo-sat. Walaupun ia tak dapat melihat namun telinganja tadjam sekali. Tentulah segera ia tahu siapa pendatang itu. Tetapi tjepat sekali Giok-lo-sat menekan getaran hatinja dan berseru dengan nada dingin: "Bukankah kau ini Ko sauhiap, Ko Tjian-hong?" Memang pendatang itu bukan lain adalah Ko Tjian hong jang menderita pukulan beratjun Tjhit-im-tok- hiat-tjiang dari Sin-tjiu-it-kiam. Pemuda itu lontjat kehadapan Giok-lo-sat. Wadjahnja tampak putjat lesi. "Benar, aku Ko Tjian hong," serunja. "Perlu apa kau memanggil aku?" tegur Giok-lo-sat dengan nada tawar. Tjian hong kerutkan dahi: "Hatimu jang hitam, sepak terdjangmu jang ganas, benar2 membuat orang menggigil ngeri!" geram Tjian hong. "Itu bukan urusanmu!" djawab Giok-lo-sat. "Djika nona hanja karena hendak mengisi nama Giok- lo-sat supaja benar2 sesuai lalu bertindak menggegerkan dunia persilatan, tak boleh tidak aku terpaksa bertanja!" kata Tjian hong. Djawab Giok lo sat: "Tiga bulan jang lalu, memang segala sepak terdjangku kutudjukan untuk mengangkat nama itu. Tetapi setelah itu pembunuhan jang kulakukan terhadap beberapa durdjana itu, sama sekali bukan karena mentjari kemasjhuran nama!" Tjian hong terkesiap2. "Kalau begitu, tindakan nona sekarang ini mempunjai lain tudjuan lagi," seru Tjian-hong. Giok-lo-sat mengangguk. Tetapi kerut wadjahnja menampilkan kegelisahan dan kerawanan. "Apakah kau mempunjai permusuhan dengan mereka?" tanja Tjian hong heran. "Permusuhan? Tidak!" sahut Giok-lo-sat. Tjian hong meregangkan alis, serunja dengan dingin: "Kau..." Giok-lo-sat tjepat membentaknja: "Hal ini menjangkut suatu hinaan besar...." ia berputar tubuh membelakangi Tjian hong. Diam2 ia mengusapkan udjung badju kematanja jang bertjutjuran air mata. "Aku akan membunuh orang supaja benar2 lajak mendjadi seorang durdjana wanita jang bergelar Giok-lo-sat," udjarnja geram. Mendengar itu menggigillah hati Tjian hong, udjarnja dalam hati: "Hm, benar2 berbahaja sekali angan2nja itu!" "Beberapa tahun terachir ini tak seorangpun jang memperhatikan diriku. Dunia ini hampa bagiku. Tak pernah aku mendapat kasih sajang orang. Dan akupun memang tak mengharap orang akan mentjintaiku...." "Kau salah nona. Didunia ini kita dapat memperoleh kasih sajang di-mana2..." buru2 Tjian-hong menghiburnja. Tiba2 Giok lo sat berputar tubuh menghadapi Tjian- hong lagi, serunja: "Kasih sajang? Apa perlunja kasih sajang. Hidup tanpa menikmati tjinta, hanjalah seperti ikan tanpa air atau burung jang kehilangan kebebasannja. Apakah artinja hidup begitu?" Ketika memandang akan ketjantikan Giok-lo-sat jang sedemikian menondjol, diam2 Tjian hong tergetar hatinja. "Enjahlah kau, enjahlah jang djauh!" tiba2 Giok-lo-sat memekik keras. "Nona, harap tenangkan hatimu..." budjuk Tjian hong dengan iba. "Sudah tjukup aku hidup dalam kesunjian dan kegelapan. Djika kau tak mau pergi terpaksa akan kubunuhmu djuga!" teriak Giok-lo-sat seperti orang kalap. Sudah tentu Tjian hong makin tak mau pergi. Dan memang tudjuannja mentjari Giok lo-sat itu jalah hendak meminta kembali mustika milik Hantu-majat jang dirampas nona itu. Saat itu luka dalam tubuh Tjian hong mulai terasa. Dahinja mengutjurkan butir2 keringat sebesar kedele. Mengapa Tjian hong tahu2 dapat menjusul Giok-lo sat kesitu? Bukankah ia dalam keadaan tak sadar sedjak menerima pukulan Tjhit-im-tok-hiat-tjiang? Kiranja setelah diminumi pil Siok-beng tan oleh Kang ou djo li, serta disaluri tenaga-murni oleh wanita itu, Tjian hong dapat tersadar. Tetapi djiwanja hanja dapat hidup tak lebih dari 12 djam..... "Kau, kau benar2 tak mau enjah?" bentak Giok-lo sat dengan bengis. Setjertjah keangkuhan gadis itu, membertik dalam sanubarinja. Dan sampai saat itu, Tjian-hong masih sungkan untuk mengutarakan maksud kedatangannja kepada nona itu. Ia berkomak-kamik hendak bitjara tetapi sepatahpun tak dapat mengeluarkan kata-kata. "Kalau hendak omong, lekas katakan atau segera kugebahmu pergi!" kembali Giok-lo-sat berseru dingin. Merahlah wadjah Tjian-hong. "Aku hendak memindjam mustika Giok-tju pada nona," achirnja Tjian hong memberanikan diri berkata. "Takkan kupindjamkan padamu!" kata Giok lo-sat dengan getas. Mau tak mau Tjian hong terkesiap djuga mendengar perkataan begitu getas. Rasa malu membakar mukanja. "Apakah nona benar2 tak mau memberi pindjam?" serunja dengan nada keras. "Masakan tak memindjamkan ada jang tak sungguh2?" lengking Giok-lo-sat. "Mustika Giok-tju dan Bak-kim itu adalah milik supehku (paman guru). Bagaimana nona hendak mengangkanginja?" seru Tjian hong. "Benda itu memang ada padaku. Apa kau mampu merebutnja?" edjek Giok-lo-sat. "Kalau terpaksa, apa boleh buat!" sambut Tjian-hong. Giok-lo-sat tertawa hina: "Kepandaian jang kau miliki, masih djauh dari kurang!" Seketika berobahlah wadjah Tjian hong, serunja: "Sekalipun bukan tandingan nona, namun aku tetap hendak mentjobanja. Harap nona menerima seranganku ini!" — Tjian hong menutup kata2nja dengan sebuah gerakan memukul dengan tangan kanan. Gok-lo-sat menghindar lalu balas memukul. Tjian hong kagum2 heran atas gerakan sinona jang luar biasa anehnja. Namun dia djuga seorang pemuda jang keras kepala. Dengan sepenuh tenaga, ia lantjarkan djurus Membelah-langit-menutup bumi jani djurus jang istimewa dari ilmu Pukulan Hitam. Angin menderu keras, meng-gontjang2kan rambut Giok-lo-sat. Tiba2 nona itu melengking: "Kau tjari mati!" Tjian-hong rasakan pandangannja gelap dan tahu2 siku lengannja dicengkeram Giok-lo-sat. Tjian hong ter-sipu2 malu. la menghela napas dan tundukkan kepala. Giok-lo-sat mendengus dan lemparkan tangan sipemuda: "Enjahlah!" Tjian hong ter-hujung2 sampai 4-5 langkah. Malunja bukan kepalang. "Ksatrya sedia dibunuh tetapi djangan dihina. Bunuhlah aku..."
Pukulan Hitam - Pedang Sambar Nyawa Pukulan Hitam - Nenek kembang Pengemis Binal - 26. Sepasang Racun Api Goosebumps 29 - Darah Monster III Permainan Maut - The Cat And The Canary Pukulan Hitam - Pedang Sambar Nyawa Pukulan Hitam - Pedang Sambar Nyawa Pukulan Hitam - Mulut Besi Pukulan Hitam - Thian-he te-it-ciang Pukulan Hitam - Tersangka
Orang itu diam2 kagum atas djurus2 serangan jang digunakan Giok-lo-sat. Walaupun Hek-sim-djin dapat mengimbangi tetapi dalam waktu singkat tak mungkin ia dapat mengalahkan sinona, Se-konjong2 sepasang tangan Hek-sim-djin diangkat keatas dan didorongkan se-kuat2nja. Seketika itu Giok-lo-sat dihambur oleh gulung2 sinar hitam. Tetapi rupanja telinga sidara buta itu luar biasa tadjamnja. Seolah2 dapat melihat antjaman itu, gunakan gerak penjesat untuk menghindari, lalu balas menjerang. Tetapi kali ini Gok lo sat berhadapan dengan seorang tokoh Hek sim-djin jang sakti, ia memberondong sinona dengan hamburan sinar2 hitam. Untunglah mata Giok-lo-sat buta hingga tak gentar melihat hamburan sinar hitam. Ia terhujung-hujung dua langkah kebelakang dan muntahkan segumpal darah segar. Buru-buru ia mengulum mustika Giok-tju kedalam mulutnja. Mustika Giok-tju merupakan benda adjaib jang dapat menjembuhkan segala matjam ratjun. Tak berupa lama Giok-lo-satpun pulih tenaga dalamnja. "Thia Tat-hu, ilmumu Pukulan Hitam tak berguna malam ini!" serunja mengedjek. Untuk membuktikan pernjataannja, segera ia lepaskan sebuah pukulan jang penuh tenaga-dalam. Hek-sim-djin terkedjut sekali, pikirnja: "Hm, budak perempuan ini benar2 sakti. Karena sesuatu sebab dalam tubuhku, aku hanja dapat mempeladjari ilmu Pukulan Hitam sampai tiga bagian sadja. Sekalipun begitu banjak sudah djago2 sakti jang kukalahkan. Boleh dikata selama ini tiada seorang djago persilatan jang mampu menandingi aku. Tetapi tjelaka, hari ini aku benar2 ketemu batu!" Kiranja ilmu Pukulan Hitam itu harus dijakinkan dengan tjara jang istimewa. Jalah harus dipeladjari oleh seorang kemudian orang itu harus menjalurkan seluruh tenaga-dalamnja kepada orang kedua. Setelah itu barulah kesaktian Pukulan Hitam dapat dikembangkan dengan sempurna. Sekalipun hatinja gentar namun sifat2 tjongkak dan ganas dari Hek-sim-djin melarangnja pantang mundur. Dengan kedua tangannja ia ber-turut2 melepaskan 7-8 serangan. Rupanja orang jang melajang turun dari pohon tadi mengetahui tanda2 kekalahan Hek sim-djin sudah hampir mendekati. "Berhenti!" tiba2 ia membentak keras. Kedua orang jang bertempur itupun segera lontjat mundur. Orang itu melangkah madju dan memberi hormat. "Tjudjin (madjikan), pertempuran baik disudahi sampai sekian sadja!" kata orang itu. Giok lo-sat mendengus dingin: "Thia Tat-hu, tidak gampang kau hendak melarikan diri!" Hek-sim-djin mengerut bengis: "Siapa kau? Mengapa mentjampuri pertempuran ini?" Kata orang itu dengan tenang: "Masakan tjudjin lupa pada hamba Tio Sam si Mulut-besi?" Hek-sim-djin memandang tadjam orang itu lalu mendengus: "Aku tak peduli kau Tio Sam si Mulut-besi atau Mulut-lumpur, pokoknja enjahlah!" Orang jang mengaku dirinja Tio Sam si Mulut-besi itu heran mengapa tuannja tak kenal padanja. Katanja: "Harap tjudjin suka mengingat-ingat lagi. Dua puluh tahun jang lalu hamba pernah melajani tjudjin beladjar kitab!" Serentak Hek-sim-djin membentak: "Aku tak kenal padamu, djangan merengek-rengek sanak kadang." Orang itu tetap tenang. Hanja ia heran sekali mengapa Hek-sim-djin jang pernah mendjadi madjikannja lupa sama sekali kepadanja. Dipandangnja Hek-sim-djin dengan lamat2. "Ah, benar," katanja dalam hati, dia adalah madjikanku. Mengapa lupa padaku?" "Dahulu siang malam aku selain melajanimu, mengapa tjudjin lupa sama sekali?" katanja. Giok-lo-sat sebal melihat pertjakapan mereka, bentaknja: "Thia Tat-hu, malam ini kita harus selesai siapa jang berhak hidup dan siapa jang harus mati..." - kata2 itu diserempeki dengan sebuah gerak menutup kedua tangan kedada dan melangkah madju. Tiba2 orang jang menjebut dirinja Tio Sam si Mulut- besi itu segera melangkah menghadang Giok—lo-sat. "Nona, idjinkan aku berkata sepatah," katanja. "Lekas katakan!" djawab Giok-lo-sat ringkas. "Dia bukan Thia Tat-hu!" Giok-lo-sat terkesiap tetapi tjepat2 berseru: "Tidak mungkin! Dia sendiri mengaku sebagai Hek-sim-djin Thia Tat-hu, mengapa kau mengatakan bukan?" "Nona, dia benar2 bukan Thia Tat-hu!" seru orang itu. "Hm, kalau bukan habis siapakah dia?" Orang jang mengaku sebagai Tio Sam si Mulut-besi itu merenung sedjenak lalu berseru : "Dia jalah jang digelari orang sebagai Tjian...." Baru orang itu mengutjap begitu, se-konjong2 Hek- Sim-djin menghantamnja: "enjah kau!" Karena tak menjangka sama sekali bakal menerima serangan, orang jang menjebut dirinja sebagai Tio Sam itu terpental beberapa belas langkah dan membentur sebatang pohon, ia rubuh tak dapat bangun lagi... Giok-lo-sat tertawa mengikik. Hek-sim djin memandangnja dengan bengis: "Apa itu tjudjin, tuan besar Hek-sim-djin Thia Tat—hu segala matjam tetek bengek. Kau hendak mengganggu aku hendak mentjemoohkan namamu dengan segala matjam sebutan. Ngatjo belo!" Orang jang mengaku Tio Sam itu menahan kesakitan, serunja: "Tjudjin, mengapa kau bersusah pajah mengaku sebagai durdjana?" Dengan murka sekali si Hek-sim-djin menghampiri. "Berhenti!" tiba2 Giok-lo-sat berseru membentaknja. Hek-sim-djin berpaling: "Api maksudmu mentjegah aku?" "Ksatrya besar, orang gagah perwira, tak seharusnja membunuh orang lemah jang sudah kalah dengan kita!" sahut Giok-lo-sat Hek-sim djin malu hati. Tiba2 ia berputar tubuh dan batalkan niatnja hendak melabrak orang jang menjebut dirinja sebagai Tio Sam itu. "Apakah kau sungguh2 Hek-sim-djin Thia Tat-hu?" seru Giok-lo-Sat dengan rada bersungguh. Dengan nada jang girang, mendjawablah jang ditanja: "Seorang lelaki selalu tak mau mengganti nama. Hek-sim-djin Thia Tat-hu tak pernah bertindak tjara gelap2an. Dulu Hek-sim-djin sekarangpun tetap Hek-sim-djin. Si Tio Sam bermulut lumpur itulah jang meng-aku2 tak keruan hendak merusak namaku." Seru Giok-lo sat dengan nada sarat: "Djika benar- benar kau Hek-sim-djin, aku tak dapat memberimu ampun lagi!" "Aku Hek-sim-djin masakan takut padamu!" seru Hek- sim-djin dengan murka. Kaki Giok-lo-sat berkisar dan tiba2 tanganpun diangkat: "Sambutlah ini!" - wut.... berbareng tangan memukul terdengarlah deru angin kuat menjambar Hek-sim-djin. Hek-sim-djin tjepat2 menangkis. Tetapi ia rasakan angin pukulan Giok-lo-sat itu terlalu kuat sehingga ia terhujung mundur sampai 3 langkah. Tubuhnja ter- hujung2. Giok-lo-sat merangsang lagi. Dengan sekuat tenaga Hek-sim-djin lontarkan Pukulan Hitam tetapi tak mampu mentjegah badai pukulan jang dilepas Giok- lo-sat. Dalam sekedjap mata petjah lagilah pertempuran dahsjat antara kedua orang itu. Mereka tetap hendak melandjutkan pertempuran jang belum selesai tadi. Tio Sam si Mulut-besi terluka parah. Beberapa saat kemudian baru ia dapat bangkit. Rupanja ia tak sakit hati karena dipukul tuannja tadi. Bahkan ia merasa gelisah atas keadaan tuannja jang mulai terdesak lawan itu. Pelahan-lahan ia menghampiri. Rupanja ia hendak memberi bantuan kepada Hek-sim-djin. Tetapi deru angin dahsjat dan kedua tokoh jang sedang bertempur mati2an itu merupakan lingkaran badja jang menghalangi ia madju. Se-konjong2 terdengar lengking teriakan njaring dan tubuh Hek-sim-djin bagaikan sebuah bola melajang keudara. Bum..... Hek-sim-djin djatuh beberapa tombak djauhnja.... Dengan tjemas Tio Sam ber-gegas2 lari menghampiri untuk memberi pertolongan. Tetapi ia kalah tjepat dengan Giok-lo-sat jang sekali lontjat sudah tiba dihadapan Hek-sim-djin. Tangan nona buta itu menggenggam Bak-tim, benda beratjun jang paling ganas didunia. Dipandangnja wadjah Hek-sim-djin lekat2, serunja: "Akan kusuruh kau menikmati betapa rasanja bendu ini!" — Tjet, setjepat kilat ia segera susupkan Bak-kim kemulut Hek-sim djin. "Kau, kau ganas sekali!" Hek-sim djin menggeliat dan mendampratnja. Giok-lo sat menarik kembali Bak-kim, katanja dengan geram: "Kubunuhmu bukanlah sukar.... Pek Hay-tju, kau kenal padanja?" Wadjah Hek-sim djin berobah seketika, serunja kaget: "Kau... kau... kau..." Pada saat Hek-sim-djin ter-gagap2, Giok-lo-sat sudah ajunkan tubuh melesat beberapa tombak. Terdengar ia tertawa njaring, makin lama makin djauh.... Saat itu si Tio Sampun sudah tiba disamping Hek-sim- djin. Tampak wadjah Hek-sim-djin mulai berwarna hitam. "Tjudjin, mengapa kau bersusah pajah mengaku sebagai durdjana Hek-sim-djin!" seru Tio Sam dengan sedih. Saat itu Hek sim-djin sedang pedjamkan mata menjalurkan peredaran darah. Mendengar seruan Tio Sam, ia segera membuka mata. "Kau siapa? Mengapa tak henti2nja menjebut aku sebagai tuanmu!" serunja dengan geram. Tio Sam si Mulut-besi setengah merintih berkata: "Tjudjin, kau..." "Aku terang Hek-sim-djin, mengapa kau selalu..." belum habis Hek-sim-djin berkata ia pingsan. Hawa amarah telah menjerang hulu hati dan membeku. Ditambah pula dengan ratjun Bak-kim jang mulai bekerdja, gemetarlah tubuhnja dan ia djatuh pingsan tak ingat diri lagi! Dengan mengerahkan sisa tenaganja, orang jang menjebut dirinja Tio Sam si Mulut-besi itu segera mengangkat tubuh Hek Sim djin. Dengan langkah ter- hujung2 ia membawanja kedalam hutan. Fadjar mulai menebar, menjibak kegelapan malam. Tiba2 dari balik sebaran2 pohon besar, muntjul seorang gadis muda, itulah Giok-lo-sat. Rupanja dia belum meninggalkan tempat itu. Tergerak hatinja melihat perbuatan orang jang mengaku sebagai Tio Sam si Mulut besi, katanja seorang diri: "Ah, benar2 seorang budjang setia!" Masih ia tak mengerti mengapa budjang jang menjebut diri sebagai Tio Sam si Mulut besi itu menjatakan Hek sim djin madjikannja. Dan menurut keterangan budjang itu, Hek-sim-djin itu ternjata bukan Hek-sim djin jang aseli.. Antara kedua orang itu timbul perselisihan. Tio Sam mengaku Hek-sim-djin itu tuannja tetapi Hek sim djin merasa tak kenal dengan si Tio Sam. Bukankah suatu kegandjilan? Tetapi achirnja Giok-lo-sat membuang hilang peristiwa2 aneh itu. - menganggap hal itu tak ada hubungan dengan dirinja. "Aku harus melandjutkan pembunuhan sampai kawanan manusia2 itu lenjap didunia!" achirnja ia menetapkan keputusan. Segera ia ajunkan langkah menjongsong mentari pagi jang telah menembus halimun pagi. Ia terkesiap dan berhenti. Walaupun buta tetapi ia merasa silau djuga terkena sinar matahari. Pada lain saat ketika ia hendak melandjutkan perdjalanan tiba2 sesosok bajangan melajang diudara. "Tunggu dulu nona!" Demi mendengar suara orang itu, tergetarlah hati Giok-lo-sat. Walaupun ia tak dapat melihat namun telinganja tadjam sekali. Tentulah segera ia tahu siapa pendatang itu. Tetapi tjepat sekali Giok-lo-sat menekan getaran hatinja dan berseru dengan nada dingin: "Bukankah kau ini Ko sauhiap, Ko Tjian-hong?" Memang pendatang itu bukan lain adalah Ko Tjian hong jang menderita pukulan beratjun Tjhit-im-tok- hiat-tjiang dari Sin-tjiu-it-kiam. Pemuda itu lontjat kehadapan Giok-lo-sat. Wadjahnja tampak putjat lesi. "Benar, aku Ko Tjian hong," serunja. "Perlu apa kau memanggil aku?" tegur Giok-lo-sat dengan nada tawar. Tjian hong kerutkan dahi: "Hatimu jang hitam, sepak terdjangmu jang ganas, benar2 membuat orang menggigil ngeri!" geram Tjian hong. "Itu bukan urusanmu!" djawab Giok-lo-sat. "Djika nona hanja karena hendak mengisi nama Giok- lo-sat supaja benar2 sesuai lalu bertindak menggegerkan dunia persilatan, tak boleh tidak aku terpaksa bertanja!" kata Tjian hong. Djawab Giok lo sat: "Tiga bulan jang lalu, memang segala sepak terdjangku kutudjukan untuk mengangkat nama itu. Tetapi setelah itu pembunuhan jang kulakukan terhadap beberapa durdjana itu, sama sekali bukan karena mentjari kemasjhuran nama!" Tjian hong terkesiap2. "Kalau begitu, tindakan nona sekarang ini mempunjai lain tudjuan lagi," seru Tjian-hong. Giok-lo-sat mengangguk. Tetapi kerut wadjahnja menampilkan kegelisahan dan kerawanan. "Apakah kau mempunjai permusuhan dengan mereka?" tanja Tjian hong heran. "Permusuhan? Tidak!" sahut Giok-lo-sat. Tjian hong meregangkan alis, serunja dengan dingin: "Kau..." Giok-lo-sat tjepat membentaknja: "Hal ini menjangkut suatu hinaan besar...." ia berputar tubuh membelakangi Tjian hong. Diam2 ia mengusapkan udjung badju kematanja jang bertjutjuran air mata. "Aku akan membunuh orang supaja benar2 lajak mendjadi seorang durdjana wanita jang bergelar Giok-lo-sat," udjarnja geram. Mendengar itu menggigillah hati Tjian hong, udjarnja dalam hati: "Hm, benar2 berbahaja sekali angan2nja itu!" "Beberapa tahun terachir ini tak seorangpun jang memperhatikan diriku. Dunia ini hampa bagiku. Tak pernah aku mendapat kasih sajang orang. Dan akupun memang tak mengharap orang akan mentjintaiku...." "Kau salah nona. Didunia ini kita dapat memperoleh kasih sajang di-mana2..." buru2 Tjian-hong menghiburnja. Tiba2 Giok lo sat berputar tubuh menghadapi Tjian- hong lagi, serunja: "Kasih sajang? Apa perlunja kasih sajang. Hidup tanpa menikmati tjinta, hanjalah seperti ikan tanpa air atau burung jang kehilangan kebebasannja. Apakah artinja hidup begitu?" Ketika memandang akan ketjantikan Giok-lo-sat jang sedemikian menondjol, diam2 Tjian hong tergetar hatinja. "Enjahlah kau, enjahlah jang djauh!" tiba2 Giok-lo-sat memekik keras. "Nona, harap tenangkan hatimu..." budjuk Tjian hong dengan iba. "Sudah tjukup aku hidup dalam kesunjian dan kegelapan. Djika kau tak mau pergi terpaksa akan kubunuhmu djuga!" teriak Giok-lo-sat seperti orang kalap. Sudah tentu Tjian hong makin tak mau pergi. Dan memang tudjuannja mentjari Giok lo-sat itu jalah hendak meminta kembali mustika milik Hantu-majat jang dirampas nona itu. Saat itu luka dalam tubuh Tjian hong mulai terasa. Dahinja mengutjurkan butir2 keringat sebesar kedele. Mengapa Tjian hong tahu2 dapat menjusul Giok-lo sat kesitu? Bukankah ia dalam keadaan tak sadar sedjak menerima pukulan Tjhit-im-tok-hiat-tjiang? Kiranja setelah diminumi pil Siok-beng tan oleh Kang ou djo li, serta disaluri tenaga-murni oleh wanita itu, Tjian hong dapat tersadar. Tetapi djiwanja hanja dapat hidup tak lebih dari 12 djam..... "Kau, kau benar2 tak mau enjah?" bentak Giok-lo sat dengan bengis. Setjertjah keangkuhan gadis itu, membertik dalam sanubarinja. Dan sampai saat itu, Tjian-hong masih sungkan untuk mengutarakan maksud kedatangannja kepada nona itu. Ia berkomak-kamik hendak bitjara tetapi sepatahpun tak dapat mengeluarkan kata-kata. "Kalau hendak omong, lekas katakan atau segera kugebahmu pergi!" kembali Giok-lo-sat berseru dingin. Merahlah wadjah Tjian-hong. "Aku hendak memindjam mustika Giok-tju pada nona," achirnja Tjian hong memberanikan diri berkata. "Takkan kupindjamkan padamu!" kata Giok lo-sat dengan getas. Mau tak mau Tjian hong terkesiap djuga mendengar perkataan begitu getas. Rasa malu membakar mukanja. "Apakah nona benar2 tak mau memberi pindjam?" serunja dengan nada keras. "Masakan tak memindjamkan ada jang tak sungguh2?" lengking Giok-lo-sat. "Mustika Giok-tju dan Bak-kim itu adalah milik supehku (paman guru). Bagaimana nona hendak mengangkanginja?" seru Tjian hong. "Benda itu memang ada padaku. Apa kau mampu merebutnja?" edjek Giok-lo-sat. "Kalau terpaksa, apa boleh buat!" sambut Tjian-hong. Giok-lo-sat tertawa hina: "Kepandaian jang kau miliki, masih djauh dari kurang!" Seketika berobahlah wadjah Tjian hong, serunja: "Sekalipun bukan tandingan nona, namun aku tetap hendak mentjobanja. Harap nona menerima seranganku ini!" — Tjian hong menutup kata2nja dengan sebuah gerakan memukul dengan tangan kanan. Gok-lo-sat menghindar lalu balas memukul. Tjian hong kagum2 heran atas gerakan sinona jang luar biasa anehnja. Namun dia djuga seorang pemuda jang keras kepala. Dengan sepenuh tenaga, ia lantjarkan djurus Membelah-langit-menutup bumi jani djurus jang istimewa dari ilmu Pukulan Hitam. Angin menderu keras, meng-gontjang2kan rambut Giok-lo-sat. Tiba2 nona itu melengking: "Kau tjari mati!" Tjian-hong rasakan pandangannja gelap dan tahu2 siku lengannja dicengkeram Giok-lo-sat. Tjian hong ter-sipu2 malu. la menghela napas dan tundukkan kepala. Giok-lo-sat mendengus dan lemparkan tangan sipemuda: "Enjahlah!" Tjian hong ter-hujung2 sampai 4-5 langkah. Malunja bukan kepalang. "Ksatrya sedia dibunuh tetapi djangan dihina. Bunuhlah aku..."